Penguatan Diplomasi Linguistis Menuju Bahasa-Kedua Asean

Bahasa Indonesia (BI) atau bahasa Melayu (BM) yang akan menjadi bahasa-kedua Asean? Belum tampak tanda-tandanya. Malaysia menampakkan sikap lebih agresif dalam memperjuangkan BM sebagai sebagai bahasa kedua Asean, tetapi Indonesia memilih bersikap bijaksana dengan menata lebih banyak argumen sebagai dasar penguatan diplomasi linguistis dalam pengambilan keputusan resmi pada saatnya nanti.   

Bila dipandang secara objektif, langkah Malaysia mengusulkan BM sebagai bahasa-kedua Asean patut diapresiasi karena membuka jalan bagi diskusi lebih lanjut tentang bahasa yang lebih representatif sebagai bahasa resmi Asean setelah bahasa Inggris. Negara-negara lain yang  bersifat pasif juga patut diapresiasi karena menyadari kecilnya peluang yang dimiliki. Peluang Thailand, Vietnam, Myanmar, Laos, dan Kamboja memang tidak sebesar Indonesia dan Malaysia karena terkendala sistem ortografis, di samping jumlah dan sebaran pengguna serta perkembangan pembelajarannya di berbagai negara. Demikian pun Singapura, Filipina, dan Brunei Darussalam yang sekalipun tidak terkendala sistem ortografis, jumlah dan sebaran pengguna bahasa nasionalnya terbatas. Sementara itu, sikap Indonesia yang tampak akademis dapat dipahami karena mengedepankan objektivitas.

Indonesia tidak memungkiri fakta bahwa BM berjasa besar sebagai jalan keluar dalam diskusi kritis tentang bahasa nasional pada Konggres Pemuda 1928. Akan tetapi, status BM sebagai bahasa daerah merupakan fakta pula dan hal itu disadari menjadi kendala empiris untuk dijadikan bahasa regional, apalagi internasional. Fakta terang-benderang menunjukkan bahwa sejauh ini tidak satu pun bahasa daerah yang mampu mencuat sebagai bahasa regional, apalagi internasional. Fenomena penggunaan bahasa Inggris, Perancis, Arab, Spanyol, Cina, dan Rusia sebagai bahasa resmi PBB menunjukkan dengan jelas bahwa bahasa internasional bukan bahasa daerah.

 

Bahasa Melayu Malaysia

Bila yang diusulkan oleh Malaysia bukan BM sebagai bahasa daerah, melainkan BM Malaysia (BMM) yang merupakan bahasa nasionalnya, ada tiga catatan yang perlu garis bawah. Pertama, penggunaan BM sebagai bahasa nasional tanpa mengubah namanya, misalnya menjadi bahasa Malaysia, secara internal menjadi persoalan tersendiri karena dianggap tidak inklusif bagi bahasa berpenutur asli non-Melayu. Persoalan itu harus diselesaikan lebih dahulu agar tidak melebar sebelum peran BM ditingkatkan dalam skala yang lebih luas.

Sekadar bandingan, Indonesia mengantisipasi persoalan tanpa ujung seperti itu dengan lebih awal menggunakan BI sebagai nama bahasa nasional dan menjadikan BM “sekadar” sebagai bahasa asal agar semua pihak dapat menerima dan merasa memilikinya serta berkepentingan untuk mengembangkannya secara bersama-sama. Maka, siapa menabur siapa menuai, siapa menanam akan memetik. BI kemudian kukuh sebagai entitas nasional milik bersama. Tidak ada satu pun pihak yang menganggap BI lebih dekat dengan dan lebih mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan ras atau konstituen tertentu.

Kedua, BMM secara resmi hadir pada 1957 bersamaan dengan deklarasi kemerdekaan Malaysia. Usianya terpaut jauh dari BI yang dideklarasikan sebagai bahasa nasional pada 1928. Usia muda BMM tersebut bahkan sangat kontras bila dibandingkan dengan usia bahasa-bahasa yang digunakan sebagai bahasa regional atau pun bahasa internasional. Bahasa Inggris modern, misalnya, seperti dinyatakan oleh Frederick T. Wood (2015) dalam  An Otline History of the English Language, telah digunakan ratusan tahun sejak tahun 1500 sebagai kelanjutan bahasa Inggris abad pertengahan (tahun 1100 s.d. 1500) dan bahasa Inggris lama generasi Anglo-Saxon (tahun 600 SM s.d. 1100).

Demikian pun bahasa internasional lainnya. Dalam A History of French Language, Peter Rickard (2003) menyatakan bahasa Perancis eksis sebagai bahasa modern sejak abad XVIII. Bahasa Arab, seperti dijelaskan oleh Muhammad al-Sharkawi (2016) dalam History and Development of Arabic Language tidak mengalami perubahan berarti sejak pra-Islam dan itu berarti bahasa Arab standar telah berusia lebih dari 1400 tahun. Dalam A History of the Spanish Language, bahasa Spanyol standar digunakan sejak abad XIII era Alfonso X, Raja Castile dan Leon (Ralph Penny, 2002). Rintisan bahasa Cina modern, menurut Hongyuan Dong (2014) dalam A History of the Chinese Language, digunakan sejak era Marco Polo, akhir abad XIII. Sementara itu, dalam The Language of Russian Peasants in the Twentieth Century, Alexander D. Nakhimovsky (2020) memaparkan bahwa  bahasa Rusia standar digunakan pada windu-windu awal tahun 1900.

Bagaimana pun, faktor usia penting dijadikan bahan pertimbangan karena merepresentasikan perjalanan kedalaman kajian. Bahasa regional atau internasional idealnya telah dikaji secara mendalam lintas zaman. Eksplorasi komprehensif kajiannya harus menyentuh semua aspek, tidak sekadar permukaan. Sebagai contoh, bahasa Inggris yang usianya telah ribuan tahun pun masih dikaji hingga sekarang, seperti yang dilakukan oleh Elisa Mattiello dan Wolfgang U. Dressler (2022) dalam artikelnya “Dualism and Superposition in the Analysis of English Synthetic Compound Ending in –Er” yang dipublikasikan pada Linguistics, sebuah jurnal internasional bereputasi papan atas.

 

PR Bahasa Indonesia

Jika kepentingan politis dan berbagai perbedaan pandangan antara Indonesia dan Malaysia didekatkan, dan pada sisi lain objektivitas dikedepankan, sejalan dengan paparan di depan BI selayaknya diterima sebagai bahasa-kedua Asean. Untuk mengantisipasi resistensi, barangkali baik pula nama yang digunakan adalah “bahasa Asean” dengan BI sebagai bahasa asal yang kemudian diperkaya secara berkelanjutan dengan kosakata dari seluruh negara Asean. Thailand, misalnya, dapat menyumbangkan kata “chai” yang berarti “ya” atau “mai” yang berarti “tidak”, Vietnam menyumbangkan “chao” yang berarti “sampai jumpa”, dan Laos menyumbangkan “komchai lai lai” yang berarti “terima kasih banyak”. Dengan kolaborasi itu, BI sama dengan bahasa Asean hanya pada detik-detik pertama deklarasi penggunaan bahasa kedua tersebut. Hari-hari berikutnya bahasa Asean akan menjadi bahasa tersendiri yang makin berbeda dengan BI sebagai bahasa asalnya, seperti BI dengan BM yang pada 28 Oktober 1928 memiliki kesamaan 100%. Saat ini kesamaannya menurun sebagai akibat kesamaan lema pokoknya bersisa hanya dalam kisaran 10% sebagai dampak tambahan kosakata dari serapan (bahasa asing dan daerah) dan kreasi.

Kolaborasi itu memiliki konsekuensi. Pertama, bila selama ini bahasa negara-negara Asean tidak menjadi prioritas sumber kata serapan, hal itu harus ditinjau kembali. Bagaimana pun, keberadaan bahasa negara-negara Asean harus mendapatkan perhatian lebih sekali pun secara teoretis tidak sedominan  bahasa Inggris sebagai representasi bahasa ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

Kedua, saat ini BI memiliki 127.036 lema dan makna. Jumlah itu memang belum sebanding dengan bahasa Inggris yang memiliki 273.000 lema, yang 171.476 di antaranya digunakan secara aktif, dan 4.200 idiom (multiword expressions) yang diturunkan dari 11.100 keluarga kata. Akan tetapi, kekayaan BI tersebut sudah setara dengan bahasa Perancis yang memiliki 100.000 kata dan 350.000 definisi. Fakta itu perlu diapresiasi. Demikian pun kemajuan-kemajuan dalam penyediaan KBBI daring, Tesaurus Tematis Daring, Ensiklopedia Sastra Indonesia Daring, dan sebagainya. Namun, akselerasi berbagai lini tetap diperlukan agar dapat memfasilitasi kebutuhan publik dan komunitas yang lebih luas, misalnya penciptaan aplikasi lematizer berbasis mesin kecerdasan buatan yang berguna untuk menyusun korpus linguistik.

Ada fenomena menarik dalam konteks ini, yaitu bahwa BI sebenarnya sudah digunakan sebagai bahasa Asean, sebagaimana tampak pada penggunaan kata “administratif” yang dalam BMM disebut “pentadbiran”, pada butir kedua subbutir (3) The Asean Declaration (Bangkok Declaration) yang ditandatangani pada 8 Agustus 1967 di Bangkok. Dinyatakan pada subbutir (3) bahwa tujuan pendirian Asean adalah “to promote active collaboration and mutual assistance on matters of common interest in the economic, social, cultural, technical, scientific and administratif fields”. Apakah dengan modal diplomasi linguistis fenomena itu merupakan sinyal bahwa BI akan menjadi asal bahasa Asean, semoga demikian.

Suhartono

Penulis adalah Kaprodi S-3 Pendidikan Bahasa dan Sastra, Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa