Strategi Memobilisasi Pantun
Heru Kurniawan
Pengajar UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto
Litbang Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM)
Penulis buku bacaan dan aktivitas literasi anak
Salah satu khazanah budaya kita yang masih lestari adalah pantun. Pantun masih dikaji dan dipelajari di sekolah. Pantun masih sering dibacakan dalam kegiatan-kegiatan akademik dan nonakademik. Pantun sering dijadikan bahan bergurau dalam tayangan acara-acara di televisi. Pantun juga masih sering dikumandangkan dalam berbagai kegiatan upacara dan kesenian tradisional. Semua itu menunjukkan kenyataan bahwa pantun masih hidup dalam konstelasi masyarakat yang makin modern ini.
Mengapa pantun masih bisa bertahan? Padahal, banyak karya sastra lama yang lain mulai menghilang, misalnya mantra dan syair. Inilah hal yang unik dari pantun. Kalau kita telaah, pantun masih digunakan masyarakat karena dua alasan penting.
Pertama, dalam pantun ada bahasa yang unik, bahasa yang disukai oleh masyarakat, bahasa yang polanya sering digunakan dalam perbincangan sehari-hari, yaitu permainan rima a-b-a-b. Rasanya, jika dalam setiap ungkapan dan perkataan ada permainan rima a-b-a-b, perkataan dan ungkapan itu menjadi makin indah dan bermakna serta enak untuk didengarkan dan diingat. Pola perkataan yang berima a-b-a-b kemudian dijadikan model berbahasa yang indah dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, dalam lirik lagu, pidato, dan orasi ilmiah, pola kalimat berima a-b-a-b ini sering digunakan. Saat kita mendengarnya, asosiasi pantun langsung hinggap di ruang pikiran kita.
Oleh karena itu, pantun kemudian menjadi salah satu jenis karya sastra lama yang pola bahasanya menjadi rujukan perkataan banyak orang. Bahasa pantun menjadi sumber inspirasi banyak perkataan dan ungkapan. Bahasa pantun dengan pola rima a-b-a-b selalu hidup dalam ruang berpikir dan bercakap dalam masyarakat.
Kedua, selain pola bahasa, pantun juga merupakan seni berbahasa yang mengedepankan nilai. Melalui dialektika sampiran dan isi, pantun selalu menghadirkan nilai dalam bentuk ajaran, sindiran, hingga etika. Artinya, pantun tidak semata-mata masuk dalam ruang bahasa yang indah. Pantun dihadirkan tidak semata-mata untuk hiburan. Pantun dicipta karena ada tujuan pendidikan.
Pantun pun banyak disuarakan dalam kegiatan pendidikan, ajakan, hingga kritik, baik untuk personal maupun sosial. Dari hal ini, pantun mendapatkan bobot kualifikasi isinya. Pantun diciptakan dalam tanggung jawab untuk memperbaiki tata kehidupan yang sudah ada. Atas dasar beban nilai inilah, pantun kemudian dijadikan sarana paling menghibur dalam melakukan kritik personal dan sosial.
Atas dasar dua hal tersebut, eksistensi dan variasi pantun yang masih bertahan harus terus ditingkatkan melalui strategi mobilisasi masyarakat untuk menghidupkan pantun dalam ruang interaksi dan komunikasi masyarakat. Strategi mobilisasi ini dapat dilakukan melalui tiga hal.
Pertama, pantun dihadirkan dalam ruang belajar. Sebagai khazanah budaya, pantun harus dipelajari dan diteliti dengan baik. Dengan demikian, pantun harus masuk ruang akademik, baik di sekolah maupun lembaga, untuk dikaji dan diteliti. Melalui kegiatan belajar dan mempelajari pantun, berbagai bentuk ilmu pengetahuan tentang pantun akan ditemukan. Dengan demikian, dasar keilmuan pantun yang kuat akan diketahui sehingga dapat terus dikembangkan.
Kedua, pantun dimobilisasi untuk masuk dalam berbagai kegiatan yang mengorganisasi masyarakat, baik dalam ruang formal maupun nonformal. Mobilisasi ini dilakukan dengan menggunakan pantun dalam setiap sambutan, percakapan, hingga penyampaian materi. Penggunaan pantun di ruang tersebut akan membuat banyak orang mengerti dan bisa menikmati pantun. Wawasan tentang pantun pun terbuka. Ketertarikan terhadap pantun pun akan tercipta. Hasil akhirnya adalah masyarakat kemudian meniru, yaitu menggunakan pantun dalam setiap kegiatan masyarakat. Saat hal itu terjadi, pantun telah menjadi milik bersama. Pantun hidup dalam percakapan pada berbagai kegiatan. Pantun merayakan dirinya dalam kemeriahan percakapan yang indah.
Ketiga, eksistensi pantun dikuatkan dalam dunia maya. Hal ini harus dilakukan karena percakapan lisan kita sekarang tidak hanya dilakukan dalam tatap muka, tetapi juga aktif dalam tatap layar. Layar teknologi, seperti gawai dan komputer, telah menjadi sarana bercakap intens yang dimediasi oleh media sosial. Melalui media sosial, masyarakat mendapatkan berita, informasi, hiburan, hingga gosip. Oleh karena itu, pantun harus hadir dalam media sosial. Mobilisasi pantun dalam ruang media sosial menjadi keharusan.
Artinya, bahasa yang berpola pantun harus selalu kita percakapkan dalam ruang media sosial melalui status, percakapan layar, tulisan, dan lain-lain. Dengan demikian, pantun akan makin dikenal. Mobilisasi pantun bisa dilakukan dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jika sudah begitu, pantun akan menjadi milik dan kebanggaan masyarakat karena setiap elemen masyarakat ikut mendukung dan memobilisasi pantun dalam ruang-ruang masyarakat.
Saat ini semua sudah terjadi maka pantun akan menjadi khazanah kebudayaan kita yang begitu membanggakan. Pantun telah hidup dengan sangat baik dengan masyarakat.
Heru Kurniawan
Heru Kurniawan lahir di Brebes, 22 Maret 1982. Pekerjaan sehari-harinya adalah mengajar di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Ia juga merupakan founder Komunitas Literasi Rumah Kreatif Wadas Kelir dan penulis buku-buku bacaan dan aktivitas literasi anak. Sejak 2015 ia mulai aktif menulis buku-buku bacaan anak, mulai dari kajian bacaan anak, buku dongeng, hingga buku aktivitas anak. Ia sudah menulis ratusan buku bacaan anak yang diterbitkan oleh Bhuana Ilmu Populer-Gramedia, Grasindo-Gramedia, Elex Media Komputindo-Gramedia, dan M&C-Gramedia.