Keterhubungan Kata sebagai Simbol di dalam Sajak
Setiap Rindu
Setiap rindu yang ditanamkan oleh
cinta
Tumbuh bersama buahnya dan
belukar
Ada lebah yang menghisap sari
bunga
Sekaligus menghantar pernikahan
semesta
Setiap rindu yang terus ditawar
oleh jarak
Mengeraskan angin dan tahu arah
adzan dan iqamah
Ada saat badai itu justru indah
dalam gemuruh yang
Sempurna, melengkapkan perkawinan
kita
Yogyakarta, 13 Mei 2022
Cara Pandang Penyair terhadap Realitas
Yang menarik dari
"Setiap Rindu" adalah sajak sederhana tersebut memiliki hubungan
antarsimbol yang bersifat asosiatif serta memakai kiasan metonimia.
Keterhubungannya pada sifat menonjol saja dari "sesuatu" yang
diposisikan sebagai simbol. Metonimia yang berupa keterhubungan antara
pembanding dan yang dibandingkan bersifat implisit. Jika dibandingkan dengan kiasan
lainnya, keterhubungannya sering eksplisit, bahkan ada sarana penghubungnya
(metafora eksplisit).
Tentu latar belakang
penciptaan sajak karya saya tersebut tidaklah seteknis itu. Hal itu terjadi
karena, menurut hemat saya, setiap puisi cenderung merupakan cara pandang
seorang penyair terhadap realitas, baik realitas alam maupun realitas budaya.
Cara pandang tersebut tentu menjadi rujukan awal penyair ketika dia merenungi
realitasnya sekaligus menjadi stimulan baginya dalam mendapatkan hikmah
(kebijaksanaan) hidup. Dengan persepsi seorang penyair, dia memosisikan dirinya
di tengah pemaknaan-pemaknaan yang dilakukannya terhadap realitasnya. Kiasan
itu hanyalah wasilah (‘perantara’) seorang penyair dalam memaknai
realitas untuk menemukan hikmah bagi hidupnya, syukur-syukur apabila hikmah
tersebut juga bisa diperoleh pembacanya.
Ada kalanya
pemerolehan hikmah di dalam puisi itu terbaca oleh pembaca melalui metafora
yang eksplisit, ada kalanya melalui metafora implisit. Lalu, jika ada di dalam
sajak pendek, bagaimana caranya agar makna itu bisa meluas?
Tiap kata
dipertaruhkan penyair untuk memiliki fungsi ganda, antara itu berperan sebagai arti
yang menghubungkan antarkata menjadi peristiwa dan itu berperan sebagai makna
peristiwa yang menghubungkan antarkata menjadi narasi hikmah bagi
pembaca.
Oleh karena itu,
keterhubungan kata di dalam sajak pendek semacam itu hendaknya memberikan kedua
atmosfer tersebut bagi pembaca. Di satu sisi itu menggambarkan peristiwa
yang boleh jadi sederhana, tetapi oleh penyair diberi ruh agar hidup sehingga
pembaca juga bisa masuk ke dalam frekuensi narasi hikmah itu.
Penyair sebagai Pembaca
Dalam pandangan
hidup penyair, tersebab dia menggunakan mata hikmah, setiap sesuatu dari
realitas menjadi tertembus materialnya sehingga yang dia tangkap justru
hakikatnya. Boleh jadi, itulah sebabnya setiap pengalaman transendental bersifat
konotatif, yakni pengalaman yang dialami secara langsung oleh subjek dan
objek, berlangsung dalam taraf tak sadar, dan karena itu berlangsung tanpa
bahasa. Namun, ketika subjek (penyair) membahasakan pengalaman religiusnya, aspek
konotatif itu masuk ke dalam aspek reflektif, yakni pengalaman transendental
yang telah terabstraksikan ke pola indrawi. Perpindahan itu dalam bahasa
religius berlangsung dengan jalan analogi.
Namun, ketika
seorang penyair membaca kembali sajaknya dan dia harus menceritakan
keterhubungan-keterhubungan yang ada di dalam sajaknya, penyair yang dalam hal
ini bertindak sebagai pembaca harus rasional dalam menjelaskannya. Seolah dia
berteori bahwa sesuatu dari luar terpaksa dia gunakan untuk menjelaskan sesuatu
yang berada di dalam "dunia" sajaknya. Ya, apa boleh buat?
Pemaknaan Hikmah
Di dalam sajak
"Setiap Rindu" itu analogi bait pertama menggambarkan contoh pernikahan
semesta akibat dari daur kehidupan lebah. Ia mengisap sari bunga
sekaligus mengantarkan pernikahan semesta bunga yang akan menjadi buah.
Namun, pada saat yang sama tumbuh bersama antara buah dan belukar.
Di dalam sajak, peristiwa alam tersebut menjadi penggambaran (objektifikasi)
yang berposisi sebagai sampiran sehingga teaching point atau isinya adalah
"Setiap rindu yang ditanamkan oleh cinta/(itu) Tumbuh bersama buahnya dan
(sekaligus) belukar". Hal itu merupakan representasi dari nilai “… Fa
inna ma’al-‘usri yusr?; Inna ma’al-‘usri yusr? …” (‘karena sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan’) (Q.S. al-Insyirah Ayat 5—6). Penggambaran tersebut memungkinkan
pembaca, sebagaimana penyair, memberikan makna terhadap peristiwa di dalam
sajak, yakni melakukan subjektifikasi. Namun, dari sinilah pencarian hikmah atas sajak
terjadi.
Selanjutnya, pada
tingkat personalisasi, rindu itu mengalami perluasan fungsi dan makna ketika
ia ditawar karena adanya jarak sehingga tak sampai-sampai sesuatu yang
dirindukan itu atau diinginkan itu, bahkan bisa mengeraskan angin. Akan
tetapi, justru perilaku angin itu, dalam pengalaman religiositas, tahu
ke mana arah tatkala dilantunkan azan dan ikamah.
Justru jika dilihat
hikmahnya, lebah yang
menyengat, ia mengisap sari bunga, tetapi pada saat yang sama ia juga mengantarkan
penyerbukan.
Dengan pemaknaan
hikmah, jarak (yang) mengeraskan angin bisa sangat memorakporandakan. Namun,
pada saat yang sama, ketika diketahui hakikat azan dan ikamah, apa pun badai
kehidupan yang menerpa, ia menjadi bagian yang melengkapkan indah dan nikmatnya
perkawinan. Itu menjadi peleburan yang tidak lagi membutuhkan sekadar kata-kata.
Silang Simbol
Masalahnya adalah
pembaca boleh bersetuju ataukah tidak dengan penyair dalam menyikapi kata yang
dipersepsi dan diposisikan sebagai simbol itu. Bukankah simbol juga ada yang
disikapi berterima oleh masyarakat sebab memang simbol tersebut hidup dan dihidupi
oleh masyarakat tempat penyair hidup bermasyarakat? Terhadap simbol yang
demikian tentu tidak ada silang pandangan antara masyarakat pembaca dan
penyair.
Akan tetapi, ada
kalanya antara satu masyarakat dan masyarakat lain terdapat perbedaan pandangan
dalam menyikapi suatu kata, belum lagi antara satu zaman dan zaman yang lain.
Sebagai contoh,
pita pengikat rambut Siti Nurbaya di dalam novel Sitti Nurbaya karya
Marah Rusli pada periode Balai Pustaka (terbit pertama kali tahun 1922) berwarna
kuning. Namun, dalam novel terbitan belakangan ini pita rambut Siti
Nurbaya berganti warna menjadi merah. Kuning pada zamannya bermakna ‘keagungan’
yang selaras dengan pilihan Marah Rusli dalam mencitrakan tokoh Siti Nurbaya pada
era 1920-an. Sekarang terjadi pergeseran nilai simbolik. Seorang gadis
dicitrakan sebagai "Merah, meriah euih ..." seperti slogan
iklan rokok.
Justru di sinilah tugas
seorang penyair agar mampu memersepsikan dan memosisikan kata di dalam sajaknya
agar tidak basi sebagai metafora mati yang sudah sangat umum digunakan
oleh masyarakatnya. Untuk itu, penyair mendayagunakan kreativitasnya dalam
menyegarkan keterhubungan kata di dalam sajaknya, baik sebagai estetika, etika,
maupun metafisika.*****
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah seorang penyair, lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS), dan menjadi dosen negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto.