Kontestasi Kepahlawanan dalam Novel Melangkah Karya J.S. Khairen
Satu peristiwa menarik yang menjadi pembuka novel Melangkah karya J.S. Khairen adalah perang pasola antara pasukan berkuda yang dipimpin oleh Umbu Mala dan pasukan berkuda yang dipimpin oleh Umbu Mao dengan dibantu oleh Prabu yang bersenjata pistol. Pasukan Umbu Mala berperang karena tidak ingin kampung dengan batu besarnya diambil oleh Prabu dan Umbu Mao. Dalam peperangan itulah Umbu Mala dan pasukannya tewas, kecuali Runa Anapaku, putra Umbu Mala yang masih kanak-kanak yang dibawa untuk menyaksikan perang tersebut. Karena kekalahan itulah, kampung dan batu besar yang berharga milik masyarakat yang dipimpin Umbu Mala itu diambil oleh Umbu Mao dan Prabu. Karena tragedi itu, Runa kemudian pergi merantau dengan membawa dendam kesumat atas kematian ayahnya (J.S. Khairen, 2021).
Peristiwa dalam novel itu berkembang menjadi cerita heroik yang penuh dengan pertarungan dalam konteks pertentangan antartokoh yang diselesaikan dengan adu kanuragan yang seru. Pertarungan antartokoh dalam novel bertumpu pada dua rasionalisasi dan keyakinan yang berbeda dan tidak bisa dipertemukan dalam ruang negosiasi (Faruk, 2020) yang damai sehingga berujung pada pertempuran. Setiap pertempuran yang terjadi selalu dipimpin oleh tokoh yang menjadi pemimpin atas pasukannya dalam medan perkelahian yang berbuah pada hilangnya nyawa orang-orang yang kalah.
Karena itu, dimensi kepahlawanan dalam novel Melangkah karya J.S. Khairen menarik
untuk ditelisik dan dimaknai dalam konteks sosial saat ini. Pertanyaannya
adalah kepahlawanan seperti apa yang dimunculkan? Lalu, bagaimana konteks kepahlawanan dalam ruang sosial saat ini?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring (2016), pahlawan berarti ‘orang atau individu yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam
membela kebenaran; pejuang yang gagah berani’. Pahlawan merujuk pada sifat seseorang yang berani dan karena
keberaniannya itulah, orang tersebut melakukan pengorbanan atas suatu nilai yang dipercaya dan
diyakini kebenarannya (Matta, 2021). Dengan demikian, kepahlawanan adalah
perihal sifat
seseorang atau individu yang memiliki ciri (1) menjunjung
tinggi prinsip, keyakinan, dan tata nilai ideal yang harus ditegakkan; (2) memiliki
sikap dan karakter berani melakukan apa pun demi nilai yang diyakini kebenarannya; dan (3) berani melakukan
pengorbanan dengan gagah berani demi sesuatu yang diyakininya sekalipun nyawa
taruhannya.
Konflik Kepahlawanan dalam Novel
Dengan tiga prinsip dasar itu, kepahlawan tokoh-tokoh dalam novel Melangkah karya J.S. Khairen dapat diidentifikasi dan dimaknai. Berdasarkan pada keyakinan tata nilai yang diperjuangkan tokoh-tokohnya, kepahlawanan dalam novel terpolarisasi menjadi dua kubu yang berlawanan. Pertama, tokoh meyakini nilai kemanusiaan universal yang dipimpin oleh Aura dan teman-temannya (Siti, Ocha, dan Arif), keluarganya (Daniel, Ayah, dan Ibu), dan masyarakat Sumba. Kedua, tokoh mementingkan ego sektoral kelompoknya demi kekuasaan dan materi yang dipimpin oleh Runa Anapaku dan kelompoknya serta Prabu dan anak buahnya.
Uniknya, sekalipun Runa dan Aura terlibat dalam resistansi yang krusial, sesungguhnya keduanya terlahir dalam genetika yang sama (Damono, 2021). Keduanya lahir dari ibu yang sama dan struktur masyarakat yang sama, yaitu masyarakat Sumba. Namun, sekalipun genetika personal dan lokalnya sama, keduanya tumbuh dalam konteks sejarah, keluarga, dan sosial yang berbeda. Runa terlahir dengan pengalaman disharmoni kondisi masyarakat Sumba. Ayahnya terbunuh dan terpisahkan dari keluarga dan masyarakatnya. Sejak kecil, Runa diburu oleh sekelompok orang yang ingin membunuhnya sehingga pelarian, kemiskinan, dan kekerasan yang tanpa henti selalu membayangi Runa. Sementara itu, Aura lahir dalam tatanan sosial yang harmonis, yaitu keluarga dan lingkungan sosial yang baik dan penuh kasih serta kehidupan ibu kota yang aman dan tenang.
Kondisi keluarga serta sejarah lokal dan sosial yang berbeda itu membuat keduanya memiliki keyakinan atas tata nilai ideal
yang berbeda. Keduanya memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat dunia,
tidak terkecuali dalam memersepsikan masyarakat Sumba sebagai tempatnya hidup. Keduanya kemudian terlibat
dalam konflik yang berpusat di medan pertempuran terkait dengan energi listrik
dan perspektif lokalitas. Dalam memandang soal energi listrik, Aura dan kelompok sosialnya berkeyakinan bahwa listrik, dalam
konteks humanisme universal, kebermanfaatannya adalah untuk kepentingan masyarakat luas. Sementara itu, Runa dan teman-temannya memersepsikan energi listrik sebagai persoalan yang mengancam manusia sehingga harus diganti dengan sumber energi lain yang lebih ramah
lingkungan. Namun, gagasan membarukan
sumber energi listrik dari Runa sesungguhnya mengganggu dan menimbulkan kegoncangan tatanan masyarakat
luas karena dilakukan dengan tujuan untuk
kekuasaan sektoral dan kelompok semata.
Dalam memersepsikan lokalitas masyarakat
Sumba, keduanya pun berada dalam kubu dan posisi yang berbeda dan bertolak
belakang. Aura, teman, keluarga, dan masyarakat pada umumnya memersepsikan masyarakat Sumba sebagai bagian atas masyarakat Indonesia yang tunduk pada
hukum yang
harmonis. Masyarakat Sumba
diposisikan sebagai masyarakat yang menjadi bagian Indonesia sehingga tidak
memunculkan perjuangan untuk menjadi superior. Sebaliknya, Runa dan
teman-temannya memandang masyarakat Sumba yang jauh dari kemajuan sebagai
persoalan sehingga harus diperjuangkan untuk menjadi superior dibandingkan
dengan masyarakat lain.
Dengan rasionalisasi perspektif yang berbeda dalam memosisikan energi
listrik dan lokalitas Sumba, keduanya membangun keberanian untuk melakukan
suatu pertempuran. Aura dan teman-temannya mempergunakan kekuatan silat dan
mitos sebagai basis keberaniannya. Sementara itu, Runa dan teman-temannya mempergunakan kekuatan silat dan
tekonologi sebagai basis kekuatannya. Dengan dua basis keberanian itulah, resistansi
dalam setiap peristiwa terjadi di dalam novel ini.
Resistansinya
diwujudkan dalam pertempuran fisik, yaitu perkelahian
antara dua kubu tersebut: Aura dan teman-temannya dengan Runa dan anak buahnya. Pertempuran itu terjadi secara fisik dengan
mendayagunakan silat dan mitos serta silat dan teknologi. Keduanya pun terlibat dalam
aksi-aksi heroisme dan
perkelahian fisik yang berbuah kematian. Kematian pun
diabaikan, keberanian diwujudkan, dan keyakinan diperjuangkan. Hasilnya,
peristiwa pertempuran secara fisik menghiasi setiap kejadian dalam novel ini.
Pertempuran dilakukan dengan dasar untuk memperjuangkan suatu keyakinan atas
tata nilai yang diinginkan tokoh-tokohnya.
Hasilnya
adalah dalam rangkaian perkelahian dan pertempuran yang
diperankan oleh para pahlawan dalam dua kubu yang berbeda, kubu Aura dan teman-temannya yang memperjuangan tata nilai kemanusiaan
universal dalam memosisikan energi listrik dan lokalitas Sumba menjadi
pemenangnya. Aura dengan perjuangan luar biasa, sampai tertusuk pisau, akhirnya
bisa mengalahkan Runa. Begitu juga kelompok yang Aura pimpin. Walaupun sempat berputus asa dan beberapa kali hampir terbunuh, akhirnya mereka bisa mengalahkan pasukan Runa. Di sinilah kepahlawanan
dalam pertempuran dua kubu yang berbeda keyakinan dan sudut pandang itu telah melahirkan banyak kematian serta tertangkapnya kubu Runa dan teman-temannya oleh polisi sehingga dipenjara.
Di sinilah kepahlawanan dalam novel Melangkah karya J.S. Khairen
dapat dimaknai sebagai pengorbanan dan perjuangan tak berkesudahan dengan
taruhan nyawa dalam memperjuangkan kebenaran
yang diyakininya, yaitu humanisasi pemanfaatan listrik dan pandangan atas lokalitas. Kepahlawanan itu bertumpu pada universalitas kemanusiaan dalam memerankan
dirinya sebagai mahluk sosial yang selalu menjaga harmonisasi diri dengan
lingkungan, diri dengan sosial, dan diri dengan sumber energi. Kepahlawanan dibangun
dalam konteks kerelawanan berkorban melakukan
apa
pun demi kebaikan kehidupan kemanusiaan.
Kepahlawanan dalam Konteks Sosial
Dari sinilah kita bisa melihat kenyataan bahwa kepahlawan Aura dan Runa
tumbuh karena adanya keyakinan atas tata nilai yang diidealkannya, yaitu
kemanusian universal. Tata nilai itulah yang kemudian membuat keduanya melewati pengalaman hidup dalam membangun keberanian diri melalui pendidikan,
pencak silat, teknologi, ekonomi, hingga kemanusiaan. Pengalaman hidup itu melahirkan karakter dan sikap berani yang kemudian
ditunjukkan dengan pertentangan yang direalisasikan dalam pertempuran secara fisik.
Keberanian melakukan pertempuran dengan gagah berani demi memperjuangkan suatu
alasan, keyakinan, hingga tata nilai itulah yang melahirkan sosok yang disebut sebagai pahlawan, terutama pahlawan
yang memimpin dan mengorganisasi anggotanya bersama-sama melawan kelompok lain
yang berbeda keyakinan. Runa dan Aura merupakan pahlawan dalam memperjuangkan
dua hal yang berbeda, yaitu energi listrik dan lokalitas Sumba sebagai tempat hidup keduanya.
Hal itu menunjukkan bahwa konteks keyakinan seseorang atas suatu
tata nilai dibentuk dari tempaan dalam kehidupan keluarga dan sosialnya. Itu yang dialami oleh Aura dan Runa. Keharmonisan dan
kedisharmonian dalam dua kehidupan keluarga dan sosial sangat berpengaruh dalam
membentuk keyakinan seseorang. Aura yang dididik dalam keluarga dan lingkungan
sosial yang baik menjadikannya memiliki kepribadian yang baik. Sebaliknya, Runa yang dididik dalam keluarga dan lingkungan sosial yang bermasalah membuatnya memiliki persoalan kepribadian. Karena
itu, tidak heran apabila dalam
bingkai masyarakat sekarang, kehidupan sosial dan keluarga telah ditempatkan
dalam basis pendidikan sehingga keberadannya bisa terus diketahui (Soerjono
Soekanto, 2010). Untuk itu, kita (secara umum) pun tidak memiliki problematika keluarga
dan sosial seperti yang dialami oleh Runa yang menyaksikan ayahnya terbunuh,
dipersekusi oleh masyarakat, terlantar, dan tebuang.
Namun, kita memiliki problem dalam kaitan akses informasi yang mampu
membentuk keyakinan kita atas dunia. Dunia informasi yang begitu masif membuat
masyarakat dengan mudah mengakses informasi tanpa
tahu kebenarannya. Provokasi untuk mengajak seseorang terlibat dalam suatu keyakinan tertentu pun banyak dilakukan. Itu membuat masyarakat kita cenderung plural dan labil dalam memahami
kebenaran suatu informasi. Itu sama seperti yang dilakukan Runa dengan kekuatan magisnya yang memengaruhi masyarakat Sumba untuk mendukung kejahatannya. Itu tentu saja menunjukkan pola yang sama dengan media sosial yang seperti sihir sehingga memiliki pengaruh besar dalam kehidupan seseorang karena
dapat menciptakan segmentasi keyakinan antarindividu dan
kelompok yang di satu sisi memisahkan, tetapi di sisi lainnya juga mengelompokkan.
Dengan keyakinan yang bersumber dari teknologi informasi yang sama seperti sihir yang dilakukan Runa, proses membangun keberaniannya
dilakukan dengan membuat identifikasi kelompok tertentu melalui media sosial. Di grup media sosial kita mengidentifikasi satu kelompok tertentu.
Sama seperti yang dilakukan Runa dalam membangkitkan keberanian masyarakat
dengan sihirnya. Itulah yang membuat keberanian seseorang tumbuh. Kita tidak lagi merasa
sendirian. Kita meyakinai suatu nilai bersama teman lainnya. Dari keberanian itulah, perjuangan dalam menunjukkan kepahlawanannya dilakukan melalui media sosial. Peperangan keyakinan terjadi dengan menyalahkan dan membenarkan suatu fenomena berdasarkan keyakinan kelompoknya sendiri. Perang itu pun ramai dan menjadi viral sehingga diketahui masyarakat luas.
Biasanya setiap peperangan antardua kelompok yang berbeda dalam memperjuangkan suatu keyakinan dan tata nilai akan berujung pada kemunculan
pahlawan-pahlawan dari kelompok yang berbeda, seperti Aura dan Runa yang memperjuangkan keyakinan
masing-masing tentang energi listrik dan lokalitas Sumba.
Tentu saja pahlawannya adalah siapa saja yang telah gagah berani memimpin
anggotanya dalam bertempur di media sosial, seperti Runa yang memimpin pasukannya dan Aura yang memimpin
teman-temannya. Itulah peperangan dunia
teknologi dan informasi yang sedang terjadi saat ini yang kejamnya sama dengan
peperangan antara Aura dan Runa. Proses menjadi pahlawan, sekalipun tahapannya sama seperti yang
dilakukan oleh Aura dan Runa dalam novel, ruang pembentukan keyakinan,
keberanian, dan medan pertarungannya sudah berbeda.
Hal itulah tentu yang menjadi pemikiran dan perenungan bersama bahwa dialektika
perkembangan masyarakat telah menyebabkan transformasi kepahlawanan menjadi hal yang berbeda. Akan tetapi, sekalipun berbeda, substansi perjuangan menjadi pahlawan dalam novel memiliki kenyataan yang sama. Namun,
medan pertempurannya berbeda. Oleh karena itu, novel bisa dijadikan sebagai cermin dalam merefleksikan kenyataan yang
sedang terjadi, salah satunya dalam memaknai kepahlawanan dan kondisi masyarakat kita saat ini.
Sumber Bacaan
Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diakses
dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/.
Damono,
Sapardi Djoko. 2021. Sosiologi Sastra. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
H.T., Faruk. 2020. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Khairen,
J.S. 2021. Melangkah. Jakarta: Grasindo.
Matta,
Anis. 2021. Mencari Pahlawan Indonesia.
Soekanto, Soerjono.
2010. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.
Heru Kurniawan
Heru Kurniawan lahir di Brebes, 22 Maret 1982. Pekerjaan sehari-harinya adalah mengajar di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Ia juga merupakan founder Komunitas Literasi Rumah Kreatif Wadas Kelir dan penulis buku-buku bacaan dan aktivitas literasi anak. Sejak 2015 ia mulai aktif menulis buku-buku bacaan anak, mulai dari kajian bacaan anak, buku dongeng, hingga buku aktivitas anak. Ia sudah menulis ratusan buku bacaan anak yang diterbitkan oleh Bhuana Ilmu Populer-Gramedia, Grasindo-Gramedia, Elex Media Komputindo-Gramedia, dan M&C-Gramedia.