Jejak-Jejak Kolonial sebagai Pembangun Kumpulan Cerpen Teh dan Pengkhianat Karya Iksaka Banu (Telaah Pendekatan Poskolonialisme)

Karya sastra merupakan hasil dari ekspresi jiwa ataupun pemikiran dari pengarang atau penulis yang melahirkannya. Karya sastra tumbuh dan berkembang dengan mendapatkan pengaruh kondisi sosial masyarakat pada zamannya. Melalui tulisannya, pengarang melakukan interaksi dengan pembaca sekaligus dengan zaman dan sejarahnya. Hubungan interaksi yang demikian akan membuat karya sastra mendapat nilai tambah yang lebih. Oleh karena itu, karya sastra selain dapat dijadikan sebagai media hiburan, dapat dimanfaatkan sebagai pembelajaran, kritik, serta dokumentasi peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masanya (Wellek dan Warren, 1993: 21).

Novel, roman, dan cerpen merupakan ragam sastra yang banyak dinikmati oleh pembaca karena selain mudah dipahami, bentuk prosa tersebut mengangkat peristiwa seputar kehidupan manusia dalam dunia nyata. Pada novel ataupun roman, topik yang diangkat biasanya berdasarkan ragam tema yang sesuai serta populer pada masanya. Ia juga mengungkapkan suatu cerita yang berkaitan dengan peristiwa berlatarkan kehidupan manusia di alam nyata, hingga pada akhinya ide, pemikiran, gagasan, sindiran, dan kritik yang dituangkan pada novel ataupun roman itu dapat diresapi dengan baik oleh pembaca.

Salah satu karya sastra yang mengangkat tema poskolonialisme adalah kumpulan cerpen Teh dan Pengkhianat karya Iksaka Banu yang diterbitkan pada tahun 2019 oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Melalui cerpen-cerpen di dalamnya, Iksaka Banu mengajak pembaca untuk masuk ke masa penjajahan era kolonial Hindia Belanda. Bentuk fiksi-fiksinya dikemas dengan alur yang mudah dicerna. Selain itu, pesan yang disampaikan dapat menjadi jembatan bagi pembaca untuk mengenal sejarah dan kehidupan bangsa Indonesia pada saat penjajahan kolonial. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam ceritanya mengambil sudut pandang dari pihak Belanda. Pembahasan mengenai bangsa Indonesia yang sedang terjajah dalam kumpulan cerpen itu secara tidak langsung menghadirkan jejak-jejak kolonial dalam segi ekonomi, budaya, politik, dan sastra sehingga relevan untuk dikaji menggunakan teori poskolonial. Pembahasan pada teori poskolonial ini kemudian dibagi menjadi tiga subbagian, yakni mimikri, hibriditas, dan ambivalensi.

Mimikri dalam Kumpulan Cerpen Teh dan Pengkhianat

Konsep mimikri adalah sebuah peniruan oleh sekelompok pribumi terhadap bangsa Eropa (kolonial Belanda), terutama terkait dengan gaya hidup. Berikut adalah bentuk-bentuk mimikri yang termuat dalam kumpulan cerpen Teh dan Pengkhianat karya Iksaka Banu.

Pertama adalah cara berpakaian. Pakaian merupakan alat pelindung tubuh dari berbagai hal yang dapat mengakibatkan dampak negatif. Selain itu, pakaian merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Di samping sebagai kebutuhan primer, pakaian bagi pemakainya dapat pula menjadi simbol identitas diri dan stratifikasi sosial (Zaman, 2000: 14). Gaya berpakaian sejak lama merupakan unsur pembeda bagi beragamnya golongan atau jenis masyarakat. Pakaian dijadikan simbol sosial serta penggolongan kelas yang ada di masyarakat. Stratifikasi sosial antara masyarakat pribumi dan pihak kolonial ataupun Timur Asing dapat diidentifikasi melalui gaya berpakaiannya. (Mesita & Sapto, 2020: 191)

Hal itu tecermin dalam kumpulan cerpen Teh dan Pengkhianat karya Iksaka Banu yang menyiratkan budaya kolonialisme. Dalam cerpen tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang kaya di Banda dan merupakan pemangku kekuasaan di daerah tersebut berpenampilan layaknya orang Eropa. Cara berpakaiannya pun berbeda dengan kaum pribumi. Mimikri dalam bentuk cara berpakaian dapat dilihat pada kutipan berikut.

Kami hampiri seorang kaya paling menonjol menampilannya. Ia seorang pemuda tampan berkulit jernih. Tampaknya seorang mestizo. Namanya, Kalabala Maniasa. Pakainnya mirip busana eropa: Topi hitam bergesper, baju beludru, lengkap dengan hiasan jabot pada leher, serta celana selutut. Bedanya ia tak bersepatu. (Kalabaka, 2019: 9)

Kutipan cerpen tersebut merepresentasikan bahwa pakaian yang dikenakan oleh kaum bangsawan sama dengan pakaian kaum dominan. Cara berpakaian menjadi salah satu identitas diri dan stratifikasi. Cara berpakaian Barat banyak diadopsi oleh kalangan bangsawan atau priyayi yang memiliki strata lebih tinggi daripada kaum proletar. Sebagaimana dalam kutipan tersebut dijelaskan bahwa Kalabaka Maniasa adalah seorang terpelajar dan merupakan salah satu orang kaya yang memimpin Banda. Dia berpenampilan layaknya orang Barat. Kalabala sendiri seorang mestizo keturunan Belanda yang sudah lama tinggal di Banda. Seseorang yang terpandang pada kala itu berpenampilan lebih mewah.

Kedua adalah gaya hidup. Pada cerpen yang berjudul Kutukan Lara Ireng dihadirkan cerita mengenai masuknya opium atau sejenis narkoba yang dikonsumsi oleh masyarakat Hindia Belanda dan sangat laris di wilayah Pulau Jawa. Pemerintah kolonial Belanda memasukkan opium ke Hindia Belanda melalui perdagangan di Levant, kemudian ke Jawa, lalu menyimpannya di tempat khusus berupa gudang-gudang opium yang ada di Semarang, Surabaya, dan Batavia (Rush, 2012: 69). Masuknya kolonial Belanda mengakibatkan perdagangan opium menjadi makin besar dan menjamur di kalangan masyarakat. Hal itu terjadi karena para bangsawan berpandangan bahwa opium merupakan bagian keramah-tamahan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, pada saat digelar pesta golongan atau kalangan atas, tamu yang hadir diberi suguhan opium (Poeponegoro, 2010: 248)

“Berapa banyak buruh kasar bumiputera yang sanggup membeli opium kelas satu, sementara upah mereka hanya 25 sen sehari? Tapi merekalah pembeli terbesar opium. Di sinilah ironisnya,menurutku. Pemasukan pajak opium sangat besar. (Kutukan Lara Ireng, 2019: 81)

Kutipan tersebut menggambarkan bahwa masuknya opium ke wilayah Hindia Belanda memunculkan gaya hidup baru bagi orang-orang pribumi. Walaupun dari segi kesehatan penyalahgunaan opium membahayakan, opium sangat menguntungkan bagi pemerintah kolonial dari segi pajak. Ironisnya, opium tidak hanya dikonsumsi oleh para bangsawan, tetapi juga oleh para pekerja. Hal itu membuat Belanda meraup untung melalui penjualan opium secara besar-besaran sehingga yang didapatkan pribumi hanyalah bentuk kerugiannya. Berikut adalah kutipan dalam cerpennya.

“Namun dari pengamatan sederhana itu biarlah kuulang ucapanku tadi yang paling menderita dalam mata rantai perdagangan opium adalah orang Jawa. Mereka penikmat terbanyak. Baik parah buruh, maupun bangsawan. Uang senilai satu hingga dua puluh sen yang mereka tukar opium sebesar kacang polong telah membuat bandar Cina kaya raya. Sementara mereka memperoleh buruknya: kehabisan uang, sesak napas, dan seluruh tulang dada mereka bersembulan di atas permukaan tubuh yang tipis.

Ketiga adalah bentuk bangunan. Bentuk bangunan atau arsitektur memiliki corak yang berbeda di setiap tiap-tiap tempat. Hal tersebut mencirikan asal-usul dan budaya tempat yang mereka tinggali. Dalam konteks wacana kolonial, bentuk bangunan juga bisa diidentikkan sebagai pembagian kelas antara Eropa dan pribumi. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Kartodirjo (1990: 211) bahwa ciri khas yang digunakan merupakan upaya untuk menonjolkan jati diri sebagai anggota dari kelompok masyarakat atau golongan yang mempunyai kuasa sehingga menjadi pembeda dengan rakyat biasa.

Bentuk bangunan yang menjadi tempat tinggal pejabat Hindia Belanda memiliki ciri, yaitu berupa perpaduan gaya bangunan Belanda dengan gaya tradisional atau yang disebut arsitek sebagai gaya Indis. Situasi serta kondisi pemerintahan kolonial menetapkan keharusan bagi aparatur pemerintahnya untuk memiliki gaya hidup yang berbudaya serta memiliki tempat tinggal yang berbeda dengan rumah masyarakat pribumi (Prastiwi, Saraswati, & Witasari, 2019: 89). Dalam salah satu kumpulan cerpen yang berjudul Belenggu Emas terdapat pendeskripsian mengenai bentuk bangunan yang memiliki ciri khas Eropa yang megah dan mewah.

Tak jauh berbeda dengan rumah-rumah Hindia lain yang biasa dimiliki pejabat bumiputra terpandang, yang kami sambangi ini adalah bangunan besar dengan empat keping jendela gaya Prancis, masing-masing dua buah di sisi kiri dan kanan, mengapit pintu depan. Ada pula bangunan tambahan, memanjang di kedua sisi rumah utama, mirip ruang kelas. Itulah bagian yang sesungguhnya paling penting dari bangunan ini. Ingin sekali aku segera melongok isinya, yang konon telah membuat gempar banyak pejabat Belanda di seantero Hindia. (Belenggu Emas, 2015: 104)

Kutipan tersebut mengekspresikan bahwa bentuk bangunan milik pejabat bumiputra memiliki corak khas Eropa dengan bentuk yang luas dan mewah. Hal itu merepresentasikan identitas pemiliknya bahwa ia merupakan bangsawan atau pejabat pemerintah Hindia yang jelas memiliki kedudukan sosial tinggi di masyarakat. Terlebih lagi, yang memiliki bangunan dalam cerpen tersebut adalah orang pribumi. Dengan demikian, hal itu menandakan bentuk peniruan atau mimikri terhadap gaya arsitektur bangunan bangsa Eropa.

 

Hibriditas dalam Kumpulan Cerpen Teh dan Pengkhianat

Hibriditas umumnya mengacu pada bentuk transkultural baru sebagai pengaruh kolonialisasi. Hibriditas memiliki hubungan dengan tulisan Homi Bhabha tentang analisisnya terhadap kaitan antara penjajah dan pihak yang dijajah. Hibriditas dalam poskolonial menyatakan adanya pertukaran budaya. Hibriditas adalah istilah yang menjelaskan interaksi antara beragam bentuk budaya yang berbeda-beda dan melahirkan bentuk budaya ataupun identitas yang baru (Priventa, 2019: 128). Dalam hal itu, terkadang pengertian hibriditas lebih mengerucut menjadi istilah hibriditas budaya. Pada kajian poskolonial, hibriditas mengacu pada persilangan atau percampuran berbagai elemen budaya, dalam hal ini budaya penguasa dan terjajah.

Pertama adalah pendidikan. Pendidikan modern dimulai pada saat datangnya bangsa kolonial Belanda di Indonesia. Pendidikan dari Belanda sejatinya bertujuan untuk membuat masyarakat yang feodal serta para elit yang baru menaati keinginan penjajah. Pada mulanya, para penduduk pribumi sudah mengenal pendidikan sejak dini di lingkungan keluarga, tetapi masih menekankan pendidikan karakter dan sifatnya nonformal. Datangnya Daendels ke Hindia Belanda pada 1808 membawa suatu pembaharuan pada bidang pendidikan, seperti menginstruksikan bupati agar membuat sekolah. Hal tersebut bertujuan untuk memperlancar roda pemerintahan. Akan tetapi, kala itu pendirian sekolah diprioritaskan hanya untuk kalangan anak-anak Belanda (Prayudi dan Salindri, 2015 :21).

Sekolah pertama berdiri pada 1817 di Batavia dengan nama Europeesche Lagere School atau ELS. Pendirian sekolah itu menjadi tonggak daerah atau lokasi yang ditempati orang Belanda, seperti daerah yang ada perkebunan ataupun pelabuhan yang dimiliki Belanda. Sekolah tersebut diperuntukkan bagi siswa yang menempuh pendidikan tingkat dasar. Pada 1860 didirikan pula Sekolah Gymanasium III yang memiliki jenjang setara dengan sekolah sebelumnya. Belanda juga mengadakan perluasan pembangunan sekolah di kota-kota besar lainnya, misalnya di Jawa, yang diberi nama Hoogere Burger School (HBS) (Soemarsono, 1985: 50).

“Akhirnya di kota-kota besar seperti Batavia, Bogor, Semarang, Surabaya, Bandung, pemerintah membolehkan bumiputera mendirikan sekolah, mengenakan busana Eropa, serta mengendarai fiets.Kereta angin kata orang Melayu. Alias sepeda” lanjutku. “Dibeberapa tempat, mereka bahkan bisa menghadap pembesar tanpa harus bersimpuh di lantai. Jangan lupa, para bumiputera kini juga mahir berdansa tango saat rohaniawan kita masih menganggap tarian itu berasal dari liukan cabul para wanita Negro.” (Di Atas Kereta Angin, 2019: 97)

Pada masa itu pemerintah kolonial mengizinkan orang-orang pribumi bersekolah. Pendirian sekolah bertujuan untuk menambah khazanah pengetahuan bagi bangsa pribumi. Pada kala itu pemerintah Belanda melalui tiga petingginya yang mendesak dan membela hak asasi manusia di Hindia membentuk politik etis. Mereka menuntut pemerintah Belanda untuk memenuhi hak-hak kepentingan masyarakat pribumi, terutama dalam emigrasi, irigasi, serta edukasi (pendidikan). Adapun hibriditas yang terdapat pada kutipan tersebut adalah pendidikan yang tadinya diperoleh melalui pendidikan nonformal, yaitu dari lingkungan keluarga dan kiai, kini diperoleh melalui sekolah formal. Hal itu berlaku sampai generasi saat ini yang dapat menikmati pendidikan secara formal.

Kedua adalah gaya hidup. Gaya hidup dapat menjadi gambaran perilaku, pola, atau cara hidup individu yang ditunjukkan melalui aktivitas, minat, serta ketertarikan terhadap apa yang dipikirkan tentang diri mereka sehingga membedakan statusnya dengan lingkungan lain, yaitu melalui lambang-lambang sosial yang mereka miliki.

Pada masa kolonial Belanda diterapkan aturan-aturan dan kebijakan dalam seluruh aspek, baik dalam aktivitas sosial, ekonomi, keagamaan, maupun kebudayaan. Hal tersebut diterapkan pemerintah kolonial sebagai upaya pengontrolan terhadap kehidupan masyarakat pribumi (Sulastri dan Husin, 2017: 74). Selain bentuk pengontrolan, kebijakan tersebut menjadi pertanda antara kelompok penguasa dan kelompok yang dikontrolnya. Bentuk hibriditas dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

“Akhirnya di kota-kota besar seperti Batavia, Bogor, Semarang, Surabaya, Bandung, pemerintah membolehkan bumiputera mendirikan sekolah, mengenakan busana Eropa, serta mengendarai fiets. Kereta angin kata orang Melayu. Alias sepeda” lanjutku. “Dibeberapa tempat, mereka bahkan bisa menghadap pembesar tanpa harus bersimpuh di lantai. Jangan lupa, para bumiputera kini juga mahir berdansa tango saat rohaniawan kita masih menganggap tarian itu berasal dari liukan cabul para wanita Negro.” (Di Atas Kereta Angin, 2019: 97)

Dari kutipan tersebut, tiga hibriditas muncul karena ada kebijakan baru yang diterapkan oleh pemerintah Belanda. Yang pertama adalah pemerintah memberikan keleluasaan bagi masyarakat bumiputra untuk mengenakan busana Eropa. Artinya, terjadi modernisasi di kalangan kaum pribumi. Yang kedua adalah masyarakat diperbolehkan untuk mengendarai fiets (sepeda). Pada mulanya sepeda hanya dimiliki oleh orang Belanda. Pribumi yang mengendari sepeda pastilah berasal dari kalangan bangsawan atau priyayi. Yang ketiga adalah sikap kaum pribumi terhadap pembesar (bangsawan Belanda). Sikap tunduk dan patuh oleh kaum pribumi terhadap Belanda merupakan keharusan karena ras Barat menganggap dirinya lebih tinggi daripada ras Timur. Dengan adanya kebijakan tersebut, budaya bersimpuh di depan pembesar sudah tidak berlaku. Saat ini budaya bersimpuh di depan pembesar hanya berlaku di lingkungan keraton.


Ketiga adalah sistem upah kerja. Buruh pada masa kolonial merupakan kelompok sosial yang berkaitan erat dengan sektor pertanian dan perkebunan. Dalam memenuhi kebutuhan seharai-hari, para pekerja buruh bersedia bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda walau hanya mendapatkan upah yang sangat minim (Kirom, 2013: 10). Dari upah sekitar 2 sampai dengan 2,5 dolar setiap bulan, buruh-buruh itu dipaksa memutar otak supaya upah tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengurangan upah yang sering terjadi belum termasuk dalam hal ini. Pemotongan upah dapat terjadi jikalau para buruh melakukan kesalahan dalam pekerjaannya (Hutagaol & Simangunsong, 2020: 68). Artinya, apa yang mereka kerjakan tidak sebanding dengan upah yang dibayarkan oleh juragan Belanda. Terkadang para pekerja harus menggigit jari karena penerimaan komisi sering terlambat.

“Di luar akal sehat? Marilah kita melihat situasi dengan jujur, Letnan. Mereka sering terlambat menerima upah,” kata-kataku. “Bahkan konon tidak dibayar sesuai dengan kesepakatan kontrak kerja. Aku punya saksi terpercaya yang bisa mengukuhkan kebenaran berita itu. (Teh dan Pengkhianat, 2019: 32).

Dalam kutipan tersebut digambarkan bagaimana sistem kerja yang dilakukan oleh kelompok elite Belanda yang tidak menghargai para buruh. Komisi yang diberikan tidak sebanding dengan kerja keras mereka. Ironisnya, selain upah yang minimal, terkadang tuan tanah Belanda terlambat memberikan gaji. Hal itu mengakibatkan para pekerja melakukan protes, hingga pemberontakan. Bentuk hibriditas sistem pengupahan para buruh pada masa kolonial tidak sesuai dengan perjanjian kontrak. Budaya tersebut juga terbawa sampai dengan saat ini. Para buruh tentunya ingin mendapatkan keadilan dari perusahaan atau instansi tempatnya bekerja. Namun, mereka sering mendapatkan masalah penundaan gaji. Kapitalisme kolonial Barat sudah membudaya dan mengakar sampai dengan saat ini. Mereka hanya memikirkan keuntungan diri semata.

 

Ambivalensi dalam Kumpulan Cerpen Teh dan Pengkhianat

Ambivalensi merupakan penerimaan sekaligus penolakan terhadap suatu tindakan atas peniruan atau perpaduan budaya antara penjajah dan kaum terjajah. Munculnya ambivalensi dalam diri masyarakat terjajah disebabkan oleh adanya pemicu. Pemicu yang dimaksud bisa dalam bentuk kecintaan akan suatu hal, tetapi di sisi lain terjadi pula penolakan.

Pertama adalah model atau cara berpakaian. Pakaian bagi pemakainya merupakan simbol identitas diri dan stratatifikasi sosial (Zaman, 2000: 14). Dalam tingkat sosial, seseorang dapat dikenali melalui jenis pakaian yang dikenakan. Latar belakang setiap individu dapat pula dikenali melalui bahan dan model busananya. Pada tempo dulu perbedaan-perbedaan cara berpakaian dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat sebagai wujud pelapisan atau kelas-kelas sosial. Pelapisan sosial dapat dijumpai, baik pada kaum kolonial, priyayi atau bangsawan, maupun pribumi.

“Sejauh yang kuingat, hal itu tidak menurunkan wibawa mereka di depan jongos maupun babu. Di Batavia kemarin, semua warga Belanda juga memakai sarung, kebaya, dan baju takwa. Beberapa pemuda bumiputra terpelajar juga ada yang mengenakan dasi dan pantalon. Engkau tidak merasa ter­ ganggu?”

“Kita bukan di Singapura maupun Batavia, yang memang sudah lebih terbuka.” Teho mengetuk pipa, membuang sisa abu. “Di sini orang masih mudah menghunus parang untuk alasan yang sulit kita cerna. Kita harus tegas, sedikit keras. Harus diingatkan bahwa jarak dengan kita tetap ada. (Belenggu Emas, 2019: 113)

Gaya berpakaian sudah sejak lama menjadi unsur pembeda bagi beragam golongan masyarakat. Pakaian dijadikan simbol sosial dan penggolongan kelas pada masyarakat. Stratifikasi sosial antara masyarakat pribumi dan pihak kolonial ataupun Timur Asing dapat diidentifikasi melalui gaya berpakaiannya. Dari situlah muncul ambivalensi atau penolakan bahwa semewah-mewahnya orang pribumi hingga dapat mengenakan pakaian Eropa, mereka tetaplah manusia rendahan. Di mata orang Barat, seorang bupati ataupun priyayi tetaplah masyarakat kelas dua yang hampir sama derajatnya dengan seorang pesuruh.

Kedua adalah sikap rasisme. Rasisme merupakan suatu ideologi yang mendasarkan diri pada diskriminasi terhadap suatu kelompok tertentu. Nilai sosial masyarakat di luar pandangan penganut rasisme adalah salah serta tidak bisa diterima. Hal itu tergambar dalam kumpulan cerpen Teh dan Pengkhianat. Diskriminasi dilakukan oleh kaum Barat yang menganggap bahwa bangsanya (kulit putih) lebih unggul daripada ras mongoloid (termasuk Indonesia). Atas dasar hal itu, bangsa Belanda melegitimasi bahwa mereka berhak untuk melancarkan diskriminasi. Dalam cerpen Di Atas Kereta Angin diceritakan bahwa kaum pribumi tidak sepantasnya mengikuti gaya atau mode kaum dominan.

“Nah, mengapa bujangmu naik fiets dan memakai pantolan Eropa?” Jan Buskes mendekatkan wajahnya kepadaku. “Buka kelompok kita saja yang akan tersengat hal semacam itu. Tapi juga para bangsawan bumiputera. Bagi mereka, pantolan dan sepatu adalah pembeda kedudukan antara priyayi dan kawula. Jangan membuat mereka merasa terhina.“ (Di Atas Kereta Angin, 2019: 95)

 

Dalam kutipan tersebut digambarkan kegeraman seorang Belanda ketika melihat Dullah yang merupakan seorang pembantu dari keluarga Belanda menaiki sepeda dan mengenakan pantolan Eropa. Menurutnya, tidak selayaknya seorang pribumi apalagi kaum rendahan meniru budaya orang-orang Barat. Kaum pribumi dianggap kaum subeltern yang derajadnya lebih rendah daripada orang Barat. Para penjajah sendiri mengklaim bahwa bangsa mereka adalah kaum superior, maju, dan memiliki kehidupan yang lebih baik daripada bangsa mana pun sehingga mereka tidak ingin disamakan dengan kaum terjajah. Bahkan, dampak penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Barat selama berabad-abad lamanya mengakibatkan pembentukan pola pikir masyarakat Timur bahwa produk Barat mewah dan mahal.

Sikap rasisme juga terlontar oleh seorang Belanda yang menyatakan bahwa masyarakat bumiputra adalah manusia yang bodoh. Mereka dianggap tidak pantas untuk dimintai pendapat ataupun sebaliknya. Oleh karena itu, mantri polisi enggan mendengarkan pendapat dari salah satu pribumi ketika akan melepaskan tembakan kepada garong desa. Menurut kaum Barat, mereka ras yang paling cerdas dan berwibawa apabila dibandingkan dengan bangsa ras Timur yang memiliki kemampuan jongkok dan terpinggirkan.

Ia tak menjawab. Otaknya melarang ia bertukar pendapat dengan bumiputra untuk dua alasan pokok. Pertama, mereka bodoh. Kedua, mereka tak bisa memaksanya. Memangnya mereka tahu beratnya tanggung jawab yang harus ia pikul untuk peristiwa ini? Belum lagi mayat•mayat itu. Tapi sampai kapan keadaan ini berlangsung tanpa hasil? (Sebutir Peluru Saja, 2019: 61).

Dari situlah orang Barat membentuk stereotipe bahwa bumiputra adalah manusia rendahan. Meskipun ada salah satu dari mereka yang memiliki jabatan sebagai bangsawan, hal itu tidak menghindarkan mereka dari anggapan kaum rendahan. Rasisme adalah masalah yang sampai sekarang pun masih terjadi. Bangsa Timur yang selama berabad-abad terjajah sampai sekarang masih memandang orang berkulit putih memiliki kemampuan lebih dalam bidang ilmu pengetahuan. Permasalahan rasisme memunculkan jarak perbedaan yang cukup renggang sehingga sukar untuk digapai kaum Timur. Ironisnya, pandangan kaum Barat mengenai kaum Timur yang rendah masih terus berlanjut.

 

Simpulan

Dalam kumpulan cerpen Teh dan Pengkhianat karya Iksaka Banu ditemukan beberapa bentuk mimikri. Bentuk mimikri tersebut berupa cara berpakaian kaum bangsawan pribumi yang menyerupai kaum Barat, gaya hidup kaum minoritas yang mengadopsi gaya hidup kaum Barat, dan bentuk bangunan rumah para bangsawan dan priyayi pribumi yang menyerupai bangunan Eropa dengan gaya arsitektur dan ornamen-ornamen ala Eropa.

Bentuk peniruan juga ditemukan dalam kumpulan cerpen Teh dan Pengkhianat. Model pakaian Eropa diadopsi oleh pribumi dan dikombinasikan dengan adat pribumi dan budaya modern. Selain itu, ditemukan gaya hidup orang-orang pribumi yang meniru gaya hidup orang Barat hingga pada akhirnya melekat sampai dengan saat ini. Sistem kerja pada masa kolonial juga diadopsi dan menjadi sistem yang turun-temurun digunakan hingga saat ini.

Dalam kumpulan cerpen Teh dan Pengkhianat ditemukan beberapa bentuk ambivalensi, seperti model atau cara berpakaian dan sikap rasisme oleh kaum dominan terhadap kaum minoritas. Rasisme pada cerpen tersebut dituangkan dalam bentuk pendiskreditan dan sikap merendahkan oleh kaum dominan kepada kaum minoritas.

 

Daftar Bacaan

Banu, Iksaka. 2019. Teh dan Pengkhianat. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional     dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: PT Gramedia.

M, Zaman. 2002. 100 Tahun Mode di Indonesia (1901200). Jakarta: Meutia  Cipta Sarana & DPP Ikatan Penata Busana Indonesia.

Prastiwi, dkk. 2019. Sejarah Perkembangan Arsitektur Bangunan Indis di Purworejo Tahun 19131942. Journal of Indonesia History, Vol. 8, No. 1, hlm. 89.

Priventa, H. 2019. Sikap Ambivalensi Pribumi dan Hibriditas Masyarakat di Kepulauan Utara Jepang dalam Film Animasi Joppani No Shima Karya Shigemichi Sugita”. Jurnal Kiryoku, Vol. 3, No. 3, hlm. 126134.

Rush, James R. 2012. Candu Tempo Doloe: Pemerintah, Pengedar, Pecandu 18601910. Jakarta: Komunitas Bambu.

Sulastri, S. dan Husin, H. 2017. “Kapas, Kain dan Seragam Sekolah di Jawa 19001942”. SOSIO-E              KONS, Vol. 9(1), hlm. 6578.

Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1993. Teori Kesusastraan. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Mukhamad Hamid Samiaji dan Bayu Suta Wardianto

Pegiat Literasi di Komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa