Perspektif Cerdas Membangun Keberagaman lewat Gerakan Literasi

Tekstur Sosial

Dalam memahami esensi permasalahan sosial, terutama yang berorientasi kebangsaan, sudah selayaknya kita menempatkan Pancasila sebagai sumber hukum dari keberagaman sosial. Perbedaan latar belakang yang mencakup suku, ras, etnis, budaya, pendidikan, agama, serta sosial-ekonomi tentu sangat rentan memunculkan sikap-sikap apriori. Namun, dalam tatanan Pancasila, persepsi itu adalah sebuah dimensi penguatan untuk melepaskan ikatan budaya primordial.

Pancasila adalah kesatuan yang bersifat universal. Artinya, lingkup kebangsaan yang berwawasan Pancasila tidak mengenal kasta atau tingkatan masyarakat meskipun dalam struktur budaya, Indonesia memiliki ratusan suku dan subsuku daerah. Begitu juga jika ditinjau dari bahasa lokal/daerah, jumlahnya sangat banyak. Bahasa dan budaya daerah tidak terlepas dari riwayat sejarah berdirinya bangsa ini. Sejak masa kerajaan di wilayah Nusantara hingga masa kini, struktur bahasa dan budaya menjadi konsep desain bagi kelangsungan bangsa.

Setiap masa tentu mempunyai tantangan tersendiri, mulai dari masa penjajahan, kemerdekaan, hingga modern. Kita meyakini bahwa sebuah bangsa dalam melewati sebuah masa tentu melalui proses panjang yang tiap-tiapnya mempunyai dinamika dan tantangannya sendiri.

Tantangan yang saat ini dianggap jauh lebih berat adalah makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam resultan sosial akan tumbuh perilaku-perilaku baru yang dapat berdampak terhadap atau berpotensi menimbulkan perubahan ekosistem kehidupan serta pergeseran struktur bahasa dan budaya. Apakah itu bisa kita sebut sebagai sebuah revolusi sosial?

Teori terkait dengan hal itu dikemukakan oleh seorang sosiolog Amerika, Kingsley Davis. Menurutnya, perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Hal itu senada dengan teori dari tokoh pendidikan Indonesia, Prof. Dr. Selo Soemardjan, yaitu perubahan sosial meliputi segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya dan di dalamnya tercakup nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku antarkelompok dalam masyarakat.

Sebagai sebuah simpulan, perubahan sosial mengikat masyarakat dengan peristiwa sosial yang menyangkut masa lalu. Dalam memecahkan perubahan sosial yang terjadi, dibedakan beberapa teori, yakni teori evolusi, teori konflik, teori fungsional, teori siklus, dan teori pembangunan. Di samping itu, waktu menjadi sebuah fase dan alat dalam merumuskan perubahan-perubahan tersebut.

Perspektif Literasi

Sebuah skeptisisme yang kadang terjadi dalam masyarakat adalah pembiaran dalam merawat sumber-sumber literasi akan mengalami pertumbuhan sesuai dengan masanya. Sementara itu, tantangan yang dihadapi kian besar dampaknya, terutama bahasa ibu di beberapa daerah makin tergerus, bahkan nyaris punah. Mungkin itu terjadi karena adanya anggapan bahwa literasi berbasis daerah, seperti bahasa ibu, sudah ketinggalan zaman atau karena akses untuk mendapatkan sumber literasi makin instan dengan alat bantu teknologi, seperti gawai.

Lebih lanjut, dalam mengaktualisasikan gerakan literasi, ada baiknya kita mengenal apa yang dimaksud dengan literasi. Literasi termasuk dalam kelas nomina atau kata benda. Istilah literasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin—literatus—yang berarti ‘orang yang belajar’. Dalam bahasa Latin juga ditemukan littera, yaitu ‘huruf’.

Sementara itu, istilah literasi dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari kata bahasa Inggris, yaitu literacy. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), literasi adalah ‘kemampuan menulis dan membaca’. Literasi begitu kuat dan sangat erat dengan proses membaca dan menulis.

Namun, makna literasi sebenarnya memiliki pemahaman yang lebih kompleks dan dinamis. Artinya, itu tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga pada kemampuan mengolah, menganalisis, dan memahami informasi dari bacaan serta mampu mengomunikasikannya kembali melalui tulisan.

Dalam praktik sehari-hari, persoalan dan pembahasan literasi sangat erat kaitannya dengan proses belajar-mengajar. Maka, tidak bisa dimungkiri bahwa seorang pendidik atau guru mempunyai tanggung jawab langsung terhadap pendidikan formal. Oleh karena itu, pendidik atau guru harus mempunyai kemampuan dalam mencari, menemukan, serta menentukan sumber informasi yang sesuai dengan kebutuhan pengajaran. Itulah yang disebut dengan kemampuan literasi. Namun, apakah gerakan literasi itu hanya menjadi tanggung jawab pendidik atau guru?

Untuk menjawab pertanyaan itu, tentunya harus ada perspektif yang luas. Di tengah dinamika zaman yang kini disebut sebagai era digital atau ada yang menyebutnya sebagai postmodern, pemahaman tentang literasi tentu juga berkembang pesat sesuai dengan tantangannya. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi, membuat pemahaman kemampuan literasi tidak hanya terbatas pada membaca, menulis, dan berhitung.

Dengan mengutip Harvey J. Graff (sejarawan komparatif sosial) dalam buku The Legacies of Literacy, kemampuan dasar literasi (membaca, menulis, dan berhitung) dapat mewujudkan kreativitas, inovasi, dan inspirasi. Hal itulah yang kemudian kita baca sebagai konsep atau desain edukasi di Indonesia, yaitu menumbuhkan kemampuan peserta didik untuk berinteraksi sosial, tidak hanya di dalam pendidikan formal, tetapi juga di lingkungan yang mengandalkan penguasaan teknologi digital sederhana, seperti gawai.

Persoalannya adalah literasi digital rentan menimbulkan keberagaman persepsi. Itu terjadi karena peserta didik memiliki keterbatasan waktu untuk menulis. Sementara itu, pengertian literasi itu adalah satu kesatuan. Dilema itu tentunya bukan merupakan persoalan kompleks karena skema pendidikan mampu menjangkau keterbatasan peserta didik dengan literasi digital yang lebih sederhana, tetapi sangat praktis. Selain itu, inovasi pemikiran peserta didik lebih terlatih untuk menangkap materi secara cepat.

Mungkin perlu juga untuk dikaji lebih mendalam persoalan indikator (nilai ukur) bagi peserta didik dalam menguasai literasi yang terkait dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Selain itu, perlu dikaji sejauh mana tingkat keberhasilannya dengan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) sebab ada paradigma dalam masyarakat saat ini bahwa makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berimbas pada pergeseran nilai-nilai sosial, termasuk etika budaya dan bahasa.

Seperti halnya sebuah peribahasa, “Banyak jalan menuju ke Roma”, yang harus dipahami adalah bagaimana memecahkan akar sebuah masalah. Apakah penerapan sistematika teoretis sudah sejalan dengan perkembangan zaman ataukah perangkat sistem kita belum mampu mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)? Tentunya banyak cara yang bisa ditempuh. Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan fungsi literasi yang perannya sangat vital dalam memahami konsep informatika melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dari uraian di atas, dalam penajaman aspek keberagaman dan gerakan literasi, sejauh ini pemerintah telah memediasi bahkan mendorong dalam menjaga tekstur literasi dan nilai-nilai budaya lokal, seperti makin banyaknya komunitas atau kelompok pegiat literasi. Bahkan, secara kelembagaan, semua daerah diperkuat dengan adanya balai/kantor bahasa. Tentu itu sangat menggembirakan untuk menggalakkan program pengembangan literasi.

Melalui penguasaan nilai-nilai seperti termaktub dalam butir-butir Pancasila, keberagaman menjadi unsur-unsur dasar untuk merekatkan kebinekaan bangsa. Harus kita sadari bahwa dalam fase transisi sosial, perspektif (sudut pandang) tentang literasi tidak hanya mencakup ekosistem bahasa, tetapi juga mencakup nilai-nilai humanisme (kemanusiaan). Oleh karena itu, kita membutuhkan pemikiran-pemikiran masa lampau yang mampu mereduksi perubahan zaman, seperti pemikiran cerdas seorang Soedjatmoko.

Terkait dengan Soedjatmoko, karya-karyanya telah dialihbahasakan ke dalam beberapa bahasa, seperti bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Jika kita menyelami pemikirannya yang disajikan seakan tersirat, literasi sangat penting perannya. Sementara itu, semasa hidupnya, modernisasi teknologi masih belum begitu maju, termasuk teknologi digital yang masih sangat terbatas. Namun, pemikiran Soedjatmoko seakan sudah menjangkau masa yang lebih luas. Soedjatmoko bahkan menyebut dirinya sebagai independent thinker (pemikir yang berdikari).

Nah, bagaimana persoalan lintas masa yang kita hadapi sekarang? Tentu hal itu begitu kompleks dengan munculnya banyak keberagaman. Sebagai individu, manusia tidak akan bisa melepaskan diri dari faktor-faktor entitas (wujud) manusia sebagai makhluk sosial. Maka, esensi dasar yang harus dipahami adalah membangun nilai-nilai humanisme (kemanusiaan) dengan akal sehat. Siapa pun manusia, prinsip dasarnya adalah mampu berinteraksi sosial dengan menggunakan literasi atau bahasa.

Jika kita kembali pada terjadinya perubahan sosial, yang kadang diterjemahkan lebih ekstrem dengan revolusi sosial, tentunya hal itu juga berimbas pada metode penguasaan dan pemahaman literasi. Dari jenisnya, literasi kemudian bercabang dan berkembang, tidak hanya sebatas literasi konvensional. Namun, kini juga ada yang disebut sebagai literasi digital. Kemudian, literasi digital banyak digunakan karena pertimbangan kecepatan dan keakuratan informasi.

Sebagai wawasan dalam memahami literasi, terutama literasi berbasis digital, di sini dapat kita lihat bentuk-bentuk digitalisasi sesuai dengan jenisnya. Sebagaimana referensi yang disadur dari Balai Pustaka, kompetensi digital terdiri atas

  1. Digital skill yang berkaitan dengan kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras, perangkat lunak, serta sistem operasi digital dalam kehidupan sehari-hari;
  2. Digital culture yang merupakan bentuk aktivitas masyarakat di ruang digital dengan tetap memiliki wawasan kebangsaan serta nilai-nilai Pancasila dan kebinekaan;
  3. Digital ethics yang merupakan kemampuan menyadari, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquette) dalam kehidupan sehari-hari; dan
  4. Digital safety yang merupakan kemampuan masyarakat untuk mengenali, menerapkan, serta meningkatkan kesadaran pelindungan data pribadi dan keamanan digital.

Dalam pengembangan dan pemanfaatan bentuk-bentuk informasi melalui digital, seyogianya dasar-dasar pemahaman tentang literasi harus terukur. Untuk itu, dijelaskan pada paragraf di atas bahwa literasi itu tidak hanya meliputi pemahaman tentang menulis, membaca, dan menghitung, tetapi juga pemahaman yang jauh lebih kompleks karena adanya dinamika teknologi dan nilai ukur yang jelas.

Dalam perspektif keberagaman pembangunan gerakan literasi, kita juga harus objektif bahwasanya unsur lokalitas harus didasari oleh kearifan lokal. Itu karena banyak peninggalan sejarah menggunakan literasi daerah yang nasibnya kini terpinggirkan. Pada posisi ini, pemerintah melalui Badan Bahasa atau balai/kantor bahasa yang ada di daerah tentunya lebih mengedepankan program-program dengan visi berbasis daerah masing-masing. Di sisi lain, pemahaman literasi tidak hanya menjadi tanggung jawab formal, tetapi potensi adat juga turut berperan.

Penyerapan literasi yang berlatar belakang kultur asing melalui sarana teknologi digital seharusnya memberikan nilai positif dalam perkembangan literasi kita. Harus kita akui bahwa mencapai standar baku memang bukan hal yang mudah. Di satu sisi, di Indonesia masih minim pakar pedagogi yang secara khusus mendalami linguistik. Logikanya adalah kebutuhan itu harus berbanding lurus dengan kemajuan teknologi digital karena peningkatan kompetensi di bidang literasi memunculkan kemajuan ilmu pengetahuan yang berbeda dengan kondisi sebelum modernisasi teknologi.

Ada yang menarik ketika Dr. Jatu Kaannaha Putri, M.A. menulis artikel dan mengulasnya di laman Badan Bahasa, Kemendikbudristek, beberapa waktu lalu dengan judul “Instagram sebagai Media Pembelajaran Bahasa Indonesia dan Sastra”. Bagaimana menggagas perkembangan era digital pada situasi yang dihadapi dalam segmen kehidupan saat ini? Begitu masif penetrasi media sosial di pelbagai aspek kehidupan. Seperti yang kita ketahui, bahasa dan sastra Indonesia sangat erat ikatannya dengan peran literasi.

Selain itu, ada yang menarik ketika wawasan itu dibuka dengan pemahaman luas, seakan ruang atau dimensi baru terbuka. Media massa tidak lagi menjadi objek pasif, tetapi juga dapat berperan sebagai produsen informasi bagi khalayak atau masyarakat umum. Artinya, masyarakat diajak untuk memerdekakan pola pikir (mindset) dari sebuah konsep subjektivitas. Tinggal diubah bagaimana melihat perubahan ini menjadi pola pemikiran dengan dimensi ruang digital (modernisasi teknologi).

Perubahan pola komunikasi yang terjadi, yaitu dari konvensional ke digital, tentunya membawa dampak sebab-akibat. Kita dapat melihat pola desain pembelajaran yang tidak lagi apriori pada kemajuan teknologi. Itu sangat jauh berbeda dengan pola pembelajaran konvensional beberapa dekade lalu. Tentu menjadi unik jika media sosial dimanfaatkan sebagai media pembelajaran. Hal itu menjadi salah satu solusi cerdas untuk mengatasi keterbatasan yang dialami masyarakat umum, terutama dalam gerakan menggiatkan literasi.

Jika sebelumnya kita menyinggung bahasa dan sastra Indonesia sebagai wadah pengembangan literasi, tentunya tidak menutup kemungkinan bagi keterbukaan inovasi dalam mengoptimalkan sumber-sumber literasi lainnya. Dalam konsep pembelajaran, terutama bagi peserta didik, diharapkan potensi literasi dapat digali dan didalami sebagai wawasan positif dalam memajukan iptek. Perlu diingat pula bahwa literasi itu bukan sekadar pengetahuan tentang cara membaca yang benar, melainkan juga tentang cara menulis yang benar.

Di sisi lain, sastra yang juga menjadi wadah pengembangan literasi diharapkan mampu tumbuh dan berkembang di masyarakat sebagai sebuah gerakan moral untuk menjaga nilai-nilai etika dan estetika. Selain itu, patut disadari bahwa karya sastra harus mampu menyajikan cermin atau potret masyarakat yang akhirnya menjadi wadah untuk membentuk karakter atau perilaku positif dalam mempertahankan dan memajukan nilai-nilai literasi.

Akhirnya, menjadi sebuah harapan bahwa bahasa dan sastra daerah juga merupakan gerakan literasi dari keberagaman struktur adat-istiadat yang ada di Indonesia. Itu menjadi potensi ketahanan bangsa dalam menjaga serta merawat nilai-nilai bahasa dan budaya yang di menjadi sumber dan referensi literasi.  ***

Vito Prasetyo

Penulis adalah sastrawan dan peminat bahasa

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa