UKBI untuk Martabat Bahasa

Sebagai bahasa resmi dan bahasa negara, bahasa Indonesia semestinya dibuat bermartabat. Arti bermartabat tentu tidak lagi sebatas bahasa utama dalam percakapan atau tulisan. Lebih detail, bahasa Indonesia harus naik levelnya menjadi simbol profesionalisme sebagaimana bahasa resmi sebuah negara, apalagi untuk berbagai bidang studi, di negara kita hasil TOEFL menjadi syarat yang tak bisa ditawar sebagai bentuk profesionalisme. Pada rekrutmen CPNS, beberapa bidang pekerjaan bahkan sudah mewajibkan TOEFL. Artinya, di negara kita TOEFL sudah dibuat sebagai catatan administratif untuk profesionalisme.

Sesungguhnya, negara lain juga sudah melakukan pemartabatan bahasa negara masing-masing. Oleh karena itu, tentu saja memartabatkan bahasa Indonesia di tanahnya sendiri menjadi tugas kita, apalagi saat ini kita sudah punya alat yang identik dengan TOEFL, yaitu Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Sayangnya, UKBI (luring dan daring) masih belum dipandang. Padahal, metode UKBI sudah sangat berkembang. Saat ini sistem UKBI sudah adaptif. Artinya, seperti asesmen, UKBI disesuaikan dengan kemampuan peserta uji. Yang lebih miris, tes UKBI bahkan belum dilakukan di semua perguruan tinggi yang mempunyai prodi Bahasa Indonesia.

Tes UKBI adalah salah satu cara kita untuk membuat bahasa Indonesia bermartabat sebagai bahasa resmi. Lagi pula, secara yuridis, dalam Permendikbud Nomor 7 Tahun 2016 tentang Standar Kemahiran Berbahasa Indonesia sudah disebutkan mengenai kewajiban memakai UKBI untuk berbagai ragam profesi. Namun, implementasinya di lapangan belum ada. Semestinya, implementasi UKBI pada perekrutan CPNS bisa menjadi cara baru untuk mempromosikan dan memartabatkan bahasa Indonesia. Sayangnya, kesempatan itu belum diambil. Pada masa mendatang UKBI harus menjadi tes wajib untuk semua profesi.

Ada Kemunduran

Jika TOEFL dipersyaratkan di negara kita dan UKBI malah diabaikan, hal tersebut merupakan sesuatu yang kurang logis. Harus dipahami bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak hanya berfungsi sebagai bahasa percakapan dan bahasa persatuan. Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia juga sekaligus mengandung fungsi dan gambaran kemampuan sintas, vokasional, akademis, hingga profesional seseorang. Dalam hal ini, kepemilikan sertifikat UKBI yang sesuai dengan peruntukannya harus menjadi kewajiban, terutama untuk bidang vokasi, akademisi, dan profesi di negara kita.

Hal itu masuk akal karena misi kita sesuai dengan amanat undang-undang, yakni menginternasionalkan bahasa Indonesia. Internasionalisasi bahasa Indonesia tentu saja harus dipandang sebagai sebuah kewajiban, bukan semata harapan. Artinya, langkah-langkah teknis dan terukur dalam mewujudkannya harus dilakukan. Memang kita tak menampik bahwa langkah-langkah teknis sudah mulai dilakukan. Prodi-prodi Bahasa Indonesia di dunia internasional, misalnya, sudah digalakkan. Pengajar BIPA (bahasa Indonesia bagi penutur asing) pun sudah dipersiapkan.

Beberapa lomba untuk penutur asing pun sudah rutin dilakukan, seperti lomba baca puisi dan lomba monolog. Namun, belakangan ini ada kemunduran terhadap agresivitas kita dalam upaya penginternasionalan bahasa Indonesia. Di Australia, misalnya, animo belajar bahasa Indonesia mulai menurun drastis. Tentu ada banyak penyebabnya. Bisa saja hal tersebut terjadi karena kita cenderung lambat dalam kemajuan ekonomi dan teknologi serta masih kurang bertaji dalam diplomasi budaya. Akan tetapi, hal yang jauh lebih penting adalah sisi bahasa, terutama segi internal.

Betapa tidak? Sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanggaan kita berbahasa Indonesia cenderung sangat lemah. Nomenklatur di negara ini, misalnya, masih dikuasai bahasa asing. Pada kasus tertentu, nomenklatur dalam bahasa asing justru dibuat menjadi gengsi dalam menaikkan pamor dan harga. Dengan begitu, akan selalu lebih mahal fried chicken daripada ayam goreng. Fried chicken akan tampil di restoran mewah, sedangkan ayam goreng di kaki lima. Bermula dari situ, muncullah penyakit warga Indonesia (pejabat hingga remaja) untuk selalu menyisipkan bahasa asing pada kalimat-kalimatnya.

Pasalnya, menyisipkan bahasa asing dianggap menjadi simbol kepintaran. Sesungguhnya, saya tidak anti terhadap bahasa asing, apalagi takut (xenoglosofobia). Di dunia yang mulai tak terbatas (bordeless) kita memang harus tahu bahwa kita perlu menguasai bahasa asing. Hal ini sejalan dengan pesan Badan Bahasa, yakni utamakan bahasa Indonesia, kuasai bahasa asing, dan lestarikan bahasa daerah. Namun, kita harus ingat bahwa kata kunci dari pesan tersebut adalah kita harus tetap teguh dalam mengutamakan bahasa Indonesia, terutama jika berdialog dengan orang Indonesia.

Sayangnya, pengutamaan ini pelan-pelan menghilang dari kita. Di ruang publik di kota-kota besar, misalnya, generasi muda Indonesia banyak yang fasih berbahasa asing, tetapi malah gagap berbahasa Indonesia. Artinya, di negara kita saja bahasa Indonesia mulai ditinggalkan dan ditanggalkan, apalagi di dunia internasional, seperti Australia. Oleh karena itu, makin jelas bahwa hulu dari meredupnya bahasa Indonesia adalah kita sendiri. Hal itu sudah diakui oleh George Quinn, dosen pengajar bahasa Indonesia di Australian National University.

Mengapa Kita Tidak?

Menurut George Quinn, belakangan ini pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing makin lesu justru karena orang di Indonesia sudah keranjingan berbahasa Inggris. Sudah mulai ada rasa minder berbahasa Indonesia pada generasi muda. Menurut teori David Crystal (2003), bahasa Indonesia akhirnya dipandang bukanlah sebagai simbol kemajuan, melainkan simbol ketertinggalan. Oleh karena itu, sesuai dengan amanat undang-undang dan dasar negara, sebaiknya kita sudah harus memartabatkan bahasa Indonesia dengan menjadikan kepemilikan UKBI sebagai syarat administratif untuk berbagai jabatan di negara ini.

Dengan menjadikan UKBI sebagai syarat administratif untuk berbagai profesi sebagaimana diamanatkan dalam Permendikbud Nomor 7 Tahun 2016, tentu sedikit banyak hal tersebut akan menaikkan martabat bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan. Kita tidak mau suatu saat bahasa Indonesia justru tergusur wibawanya atas nama globalisme. Lagi pula, sebagai kekayaan negara sebagaimana tersaji dalam konstitusi dasar, bahasa mempunyai kedudukan yang sama dengan bendera. Saya tidak sedang berusaha untuk konservatif, apalagi primitif.

Namun, sebaiknya kita menyadari bahwa jika kita selalu mengutamakan bahasa asing melalui berbagai aktivitas keseharian kita (luring dan daring), hal itu tentu saja berarti kita sedang mengibarkan bendera negara lain. Oleh karena itu, memartabatkan bahasa Indonesia dengan pendekatan profesionalisme secara sesegera mungkin menjadi sangat mendesak rasanya bagi kita. Bangsa lain bangga memartabatkan bahasanya dengan menjadikan serangkaian tes, seperti UKBI, sebagai syarat administratif. Mengapa kita tidak? Semoga.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa