Literasi: Mengapa Harus dari Keluarga
Keluarga selalu menjadi titik berangkat dan titik
kumpul. Dari sana timbul mimpi bersama. Dari sana pula muncul peranti untuk
meraih mimpi itu, baik software
maupun hardware. Dibentuklah karakter
tentang pentingnya kegigihan, sportivitas, dan kerja sama. Mimpi itu tak selalu
disuratkan, apalagi dititahkan seperti orang tua menitahkan anaknya harus
menjadi dokter hanya karena sang orang tua gagal menjadi dokter, misalnya.
Mimpi itu timbul begitu alami dari rumah hanya dengan bekal perjumpaan atau
perstiwa-peristiwa kecil di rumah.
Banyak tokoh pada akhirnya menjadi hebat hanya karena
peristiwa-peristiwa kecil di rumah. Itulah kiranya mengapa sejak silam kita
selalu terkesima dengan pandangan bahwa bagaimanapun rumah itu istana. Karena hal
itu, otomatis kita menjadi penduduk-penduduk istana. Artinya, kita orang-orang
terhormat (pada dasarnya). Akan tetapi, tak semua orang melakukan hal-hal
terhormat. Juga tak semua orang menghargai hal-hal terhormat, apalagi
menggunakannya sebagai bekal meraih mimpi. Ada orang yang malah rusak karena
kehormatan itu. Kondisi ini persis seperti penduduk istana: ada yang lalim, ada
yang bijak.
Yang lalim tentu tak timbul begitu saja. Pasti ada proses-proses kecil yang mengubahnya ke kondisi itu. Hal demikian terjadi juga pada yang bijak. Artinya, sikap atau karakter itu bukan bakat bawaan, apalagi takdir. We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit. Demikian filsuf Will Durant merumuskannya. Sikap dan karakter itu dipahat secara perlahan-lahan dan tentu saja hal itu dimulai dari rumah. Keunggulan kita pun akhirnya terbentuk karena selalu mengalami pengulangan berkali-kali. Manakala agak melenceng, penduduk-penduduk istana datang untuk mengingatkan dan mengarahkan agar kita bergerak pada siklus yang baik.
Prosesnya Sepele
Orhan Pamuk, peraih Nobel Sastra asal Turki, memulai pengulangan
siklus yang baik dari rumah. Tidak hanya memulai, Orhan Pamuk bahkan ditemukan
dan menemukan dirinya dari rumah. Semula ia tak menyadari bahwa
peristiwa-peristiwa di rumahnya akan mengantarnya pada posisi sebagai orang
hebat. Ia hanya tertarik pada hal-hal yang menarik perhatiannya di rumah.
Prosesnya unik. Misalnya, setiap hari ia melihat bahwa di sekelilingnya banyak
benda serupa. Hari ini, esok, lusa, selalu saja ia berjumpa dengan benda-benda
itu.
Ketika melihat hal itu, ia pun keheranan. Ia heran
mengapa ayahnya selalu mengasyiki benda itu dan mengapa juga banyak orang yang
mengagumi dan membolak-balik benda itu. Ia pun mulai ikut-ikutan sekadar
melihat-lihat. Ia masih anak-anak waktu itu dan belum mengenal huruf. Namun, anak-anak
adalah peniru yang tekun. Apa yang dilakukan orang tuanya akan ia ikuti secara
alami. Dari hal itulah barangkali ia terpukau sehingga timbullah sebuah
teka-teki di benak Orhan Pamuk. Untuk apa benda ini tersusun melimpah dan selalu
diasyiki banyak orang?
Teka-teki itu menancap di benaknya. Kemudian, secara
alami, berbekal sikap orang tuanya terhadap buku, Orhan Pamuk pun menjadi
pembaca yang tekun. Perhatikanlah proses itu, sangat sepele. Barangkali tak ada
niat ayahnya membuat anaknya menjadi pembaca yang tekun, apalagi penulis yang
andal. Akan tetapi, tak semua persoalan, termasuk hal-hal sepele patut
disepelekan, apalagi dikesampingkan. Benar bahwa pada mulanya Orhan Pamuk tak
peduli. Akan tetapi, lama-lama ia mulai heran, lalu pelan-pelan ikut-ikutan
membolak-balikkan buku. Esok harinya, ia malah ketagihan dengan aroma buku
hingga jadi teman karib yang baik untuk buku-buku itu.
Sekali lagi, prosesnya sepele. Namun, begitulah, buku bukan hanya sebuah tumpukan kertas. Buku adalah tumpukan ide dan imajinasi. Artinya adalah saat seseorang menggauli buku, ia sedang membuka pikirannya sebagai alat penyimpan ide dan imajinasi. Bahkan, saat bergelut dengan buku, kita tidak sembarangan bergaul dengan ide, tetapi juga bergaul di antara irisan imajinasi dan kenyataan. Melalui buku itulah, menyitir Goenawan Mohamad, tanpa sadar pola pikir(nya) dibentuk, imajinasinya dibebasliarkan. Dengan buku, Orhan Pamuk memulai dan mengakhiri hari-harinya.
Doa Penuntun
Buku menjadi doa penuntun hari-harinya. Buku menjadi
lilin untuk setiap kegelapannya. Buku menjadi gizi bagi pemikirannya. Tanpa
diduga, dengan buku itu, ia menjadi orang yang matang dan tak cengeng. Ia dibentuk
menjadi sosok yang gigih dan pekerja keras. Terbukti, Orhan Pamuk tak langsung
putus asa hanya karena karyanya tak kunjung diterima masyarakat. "Tak
suatu pun yang berubah dalam hidup saya karena saya bekerja sepanjang
waktu," kata Pamuk ketika ditanya soal pengaruh hadiah IMPAC terhadap diri
dan karyanya.
"Saya," lanjut Orhan Pamuk, "telah
menghabiskan 30 tahun dalam menulis fiksi. Selama 10 tahun pertama, saya khawatir
tentang uang dan tak seorang pun bertanya berapa banyak uang yang saya
hasilkan. Dekade kedua saya menghabiskan uang dan tak seorang pun bertanya
tentang hal itu." Kalimat-kalimat di atas hanya sebagian kecil dari
perwujudan kegigihan Orhan Pamuk. Apakah kegigihan itu adalah hasil didikan
orang tuanya? Ya, bisa jadi. Akan tetapi, buku di perpustakaan itulah sesungguhnya
yang menjadi perpanjangan tangan ayahnya. Buku itu menjadi kata-kata yang hidup
di benak Orhan Pamuk.
Tidak hanya Orhan Pamuk, banyak tokoh kemudian besar karena terlihami buku. Ada Mahatma Gandhi, Stalin, dan Karl Max. Mau yang masih hidup? Ada Mark Zuckerberg dengan misi satu buku dalam 2 minggu, Warren Bufet dengan 5—6 jam membaca buku dan koran yang berbeda, Bill Gates dengan target 50 buku per tahun, Elon Musk dengan 10 jam harinya membaca novel. Di negara ini kita mengenal Bung Karno, Gus Dur, dan Bung Hatta yang menjadikan buku sebagai istri pertama. Tan Malaka bahkan memilih menyelamatkan buku daripada benda-benda lainnya ketika diserang.
Bagaimana Caranya?
Teramat panjang jika kita berbicara bagaimana buku bisa
mengubah seseorang. Bahkan, buku ternyata tak hanya mengubah seseorang, tetapi
juga mengubah sebuah bangsa. Betapa hebatnya buku. Afirmasi hal tersebut terdapat
dalam penelitian David McClelland. Tersebutlah dua bangsa yang sama-sama unggul
pada abad XVI: Spanyol dan Inggris. Bedanya, sejak abad ke-16, Inggris makin
jaya, sementara Spanyol cenderung melempem. Mengapa? Faktor penentunya ada pada
buku. Kelihatannya cerita anak-anak Inggris mengandung semacam virus yang membuat
pembaca terjangkiti penyakit “butuh berprestasi”.
Sementara itu, muatan cerita Spanyol cenderung
didominasi oleh cerita romantis dan lagu-lagu melodramatis. Sekali lagi, kita
bisa menjabarkan betapa hebatnya buku. Apakah alasan-alasan di atas belum cukup
bagi kita untuk mulai menularkan semangat baca buku kepada anak dari rumah? Kalau
belum, mari kita ambil alasan medis. Situs Mindbodygreen menulis hal berikut. Duduklah
dan baca buku selama 20 menit. Ini sama saja dengan melakukan meditasi selama
20 menit. Membaca membuat kita berpeluang besar terhindar dari kepikunan (Ken
Pugh).
Menurut hasil studi Sussex University, membaca bahkan
bisa mengusir stres sebanyak 68 persen. Tidak sepele, menurut riset, membaca
puisi bahkan dapat mengendurkan denyut jantung dan membuat irama napas jadi
harmoni (International Journal of Cardiology: 2002). Kiranya, sekumpulan alasan
ini sudah lebih dari cukup agar kita bergegas membuat anak gemar membaca buku.
Jangan biarkan anak kita menjadi pecandu game
yang membuat mereka lupa waktu. Kalau tak punya waktu mendidik anak,
biarkan mereka jadi pembaca yang tekun di rumah. Buku yang baik bisa menjadi
pengganti nasihat-nasihat.
Bagaimana caranya? Buatlah perpustakaan kecil di
rumah. Ketika anak masih balita, sering-seringlah membaca di hadapan mereka.
Anak, seperti Orhan Pamuk itu, akan menirunya. Lama-lama, anak akan ketagihan
membaca. Jika sudah ketagihan membaca, anak akan memiliki pola pikir yang
terjaga, terlatih untuk bersabar, dan melakukan segala hal dengan tekun. Orang
tua tinggal mengarahkannya. Ada nasihat baik dari Joko Pinurbo, yakni masa kecil kau rayakan dengan membaca;
kepalamu berambutkan kata-kata. Mari membantu anak sejak dini merayakan
budaya membaca supaya kepala mereka menjadi kebun ide. Pada masa tua, kita
tinggal memanen kebun itu.
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Dolok Sanggul Aktif di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF)