Memikirkan Bahasa, Melukis Kalimat, dan Menciptakan Kemungkinan Lain

Tegak lurus dengan langit, ia berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum fajar. Di kakinya tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang. Dalam dadanya lesu dan bingung dari dendam yang terlalu lama dipendam, dan baru saja dapat dibalaskan.

Terlepas dari apa yang ingin disampaikan Iwan Simatupang dalam cerpennya yang berjudul “Tegak Lurus dengan Langit”, pertanyaan pertama yang dapat saya ajukan adalah lanskap batin apa yang tergambar dari potongan cerpen Iwan Simatupang di atas? Bukankah sesuatu yang biasa kita saksikan dalam keseharian adalah langit di atas kepala kitalangit, kemarau, dan fajar. Apa yang dapat kita rasakan? Coba perhatikan sekali lagi. Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum fajar, di kakinya tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang.

Apa yang dapat kita simpulkan dari seorang Iwan Simatupang sebagai pengarang? Jika menemukan jawabannya, kita dapat belajar mengarang dengan baik. Saya pikir sudah menjadi rahasia umum bahwa salah satu syarat untuk menulis karya sastra yang baik ialah kemampuan kita mengolah bahasa. Kemampuan tersebut bukan hanya untuk mendapatkan keindahan dan efek tertentu, melainkan memikirkan bahasa sebagai upaya mewujudkan “kemungkinan yang lain”.

Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum fajar, di kakinya tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang. Susunan kalimat ini tidak lazim dalam bahasa kita, tetapi begitulah kerja seorang pengarang: “memikirkan bahasa”. Iwan Simatupang menunjukkan kegigihannya dalam melukis kalimat. Di kakinya tanah kemarau. Bagi saya, ganjil cara Iwan Simatupang menyusun kalimat, tetapi itulah letak kehebatannya. Selama ini yang tersedia dalam tata bahasa kita adalah musim kemarau, kemarau telah tiba, dan seterusnya. Iwan Simatupang hanya mengubah sedikit, di kakinya tanah kemarau. Namun, kata-kata itu menghasilkan visual baru, efek yang berbeda, dan siluet lain di kepala pembaca.

Coba perhatikan yang satu ini: tahun ini kelewat panjang. Bagian ini Iwan Simatupang hanya menambahkan kata kelewat. Umumnya, perbendaharaan kata yang sering kita dengar adalah tahun yang panjang, tahun yang lama, tahun ini begitu lama, dan sebagainya. Kata kelewat yang disumbangkan Iwan Simatupang berhasil menggambarkan suasana lain, lukisan baru yang selama ini kita akrabi.

Inilah yang harus diperhatikan para pengarang: “memikirkan bahasa”. Tidak mudah untuk sampai pada kesadaran titik ini. Sebagai langkah awal, seorang pengarang yang baik harus mempunyai keterampilan dalam menyampaikan ceritanya dengan kalimat yang juga harus baik. Tentu saja banyak nama selain Iwan Simatupang yang bersungguh-sungguh “memikirkan bahasa”, bukan hanya sebagai upaya “bermain-main”, melainkan menciptakan kemungkinan lain. Dalam sejarah perpuisian kita, nama Chairil Anwar adalah tokoh yang bergelut dengan hal itu.

Untuk mencapai kemampuan tersebut, salah satu usaha yang dapat kita lakukan untuk memikirkan bahasa adalah melukiskannya dengan mencipta metafora. Ada banyak jenis metafora. Fungsinya sama: melukis kalimat. Metafora meniupkan roh saat kalimat disusun supaya hidup dan berdenyut. Ada efek lain yang dihasilkan tentu saja, yakni gaya bahasa lebih menarik, bahkan acapkali melekat pada diri seorang pengarang sebagai sesuatu yang khas. Iwan Simatupang salah satunya.

Selain Iwan Simatupang, sastrawan yang gigih memikirkan bahasa salah satunya adalah Nukila Amal. Nukila bisa dikatakan satu dari sedikit saja sastrawan yang secara sadar memikirkan bahasa. Coba perhatikan potongan prosa Cala Ibi karya Nukila berikut.

Sebab bisikan selalu jatuh lembut di telinga, tak seperti teriak yang menghantam pekak.  Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku mawar merah di taman, dekat pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan. Melahirkanku. Bayi merah muda kamboja. Bunga kuburan.

Nukila tidak hanya berhasil menciptakan kalimat menjadi pemandangan baru, tetapi juga memaksa kita menjadi pembaca berpikir ulang jika tidak mau dikatakan berkali-kali. Sebab bisikan selalu jatuh lembut di telinga. Pada potongan kalimat tersebut, Nukila hanya menambahkan kata jatuh pada kalimat yang sering kita konsumsi dalam keseharian kita dengan wajar. Nukila mengolahnya, melukiskannya sampai tampak menjadi baru, kemudian mengemasnya sehingga menjadi bacaan yang seru. Sebab bisikan selalu lembut di telinga. Sudah banyak kalimat seperti ini kita dengar, ucapkan, dan pahami bukan sebagai sesuatu yang istimewa. Di tangan Nukila kata-kata itu diolah hingga menghasilkan kalimat yang mewah sebagai bahasa dalam karya sastra: Sebab bisikan selalu “jatuh” lembut di telinga.

Lebih rumit lagi kalimat berikut. Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku mawar merah di taman, dekat pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan. Melahirkanku. Bayi merah muda kamboja. Bunga kuburan.

Selain penuh muatan puitis, apa lagi yang dapat kita pujikan kepada Nukila? Upaya “bermain-main” dengan pembaca atau menggiringnya dengan maksud “menyesatkan” pembaca? Bukan. Nukila menawarkan “kemungkinan lain” dari hasil pergulatannya “memikirkan bahasa”. Bukankah seperti itu idealnya gaya bahasa dalam karya sastra?

Jika balik ke belakang, misalnya, kita singgung sedikit bentuk estetika kesusastraan kita, terutama pascakemerdekaan Indonesia. Karya sastra yang kita akrabi tidak lepas dari muatan politik dan ideologis. Kita bisa memaklumi itu sebagai bentuk pencarian estetika bagi negara yang baru merdeka. Polemik kebudayaan yang dipelopori Sutan Takdir Alisjahbana, Armine Pane, dan tokoh lainnya sebelum kemerdekaan, atau lebih gila lagi pertengkaran Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) versus manifestasi kebudayaan jelas tidak lepas dari muatan politis cum ideologis dengan segala retorikanya. Motifnya sama: muatan ideologis.

Supaya lebih “provokatif”, saya katakan bahwa manifestasi kebudayaan yang mengusung l’art pour l’art (kesenian untuk kesenian) juga tidak lepas dari muatan ideologis: falsafah liberalisme. Dick Hartoko menyatakan, “Yang dimaksud alam pikiran mereka yang individualistis itu ialah kedaulatan bulat bagi seni dan seniman. Lepas bebas, tidak terikat oleh norma, kesusilaan, agama, tradisi, pendapat umum, dan sebagainya.”

Pada titik ini, kita memaklumi jika karya sastra pada masa itu penuh dengan teriakan, anjuran, dan khotbah, yang disebut “baik” dan “benar”. Akhirnya, usaha “memikirkan bahasa” terlewatkan, bukan tidak bisa, melainkan karena instrumen itu tidak dijadikan prioritas utama. Hal yang penting adalah “idealisme”, “politik“, dan “ideologis” tersampaikan.

Barangkali pada masa pascareformasi inilah bentuk karya sastra menemukan rumahnya untuk memproduksi dirinya, bukan bebas nilai, melainkan membebaskan diri dari kungkungan yang merongrongnya dalam berkarya. Maksudnya, pengarang tidak lagi memikirkan ideologis apa yang hendak disampaikan, tetapi mencari bentuk baru untuk menghasilkan karya sastra yang gemilang dalam “penyampaian” cerita. Tentu saja kita bisa memperdebatkan apa yang disebut “baik” dan “buruk” dalam karya sastra. Akan tetapi, jika batasan pada tulisan ini “memikirkan bahasa” untuk menghasilkan kemungkinan lain, para pengarang, seperti Iwan Simatupang, Nukila, dan ditambahkan satu lagi, Ayu Utami, patut kita rayakan perihal pencapaiannya: mengerami bahasa, melahirkan kebaruan estetika dalam karya sastra.

Dalam proses kreatif penulisan, kesadaran menjadi sangat penting untuk menciptakan karya sastra yang berhasil meski “misteri kreativitas” sering kali hadir di dalamnya. Namun, itulah kenikmatannya. Apa yang dapat kita produksi ulang dari kalimat biasa ini? Ibu pergi ke pasar membeli cabai. Seorang Nukila tentu saja tidak menulis kalimat dangkal yang kering kerontang seperti itu.

Sekali lagi, metafora disediakan sebagai salah satu peralatan pengarang untuk melukis kalimat lebih memikat lagi. Inilah yang harus dimanfaatkan pengarang. Melatih kesabaran dan keuletan sama pentingnya dengan melatih kegigihan saat “memikirkan bahasa”.

Coba perhatian petikan cerpen “Bulan Gendut” karya pengarang perempuan Wa Ode Wulan Ratna. Kuperhatikan kau. Tubuhmu yang basah hujan dan masih berdiri di tepi Gangsal yang kian menderas itu di mataku bagai berlumur anggur. Aku sebenarnya ingin menanam benih di pangkal pahamu untuk kelak kau sebar di lahan-lahan gosong itu. Itulah lahan tersubur yang akan kugarap sebelum tidur, yang tidak dilalui undang-undang legal meski mungkin kau mandul. Sebab kau pun tahu, hutan yang tandas itu butuh benih yang akan membuatnya rimbun kembali.”

Betapa mengasyikkan gaya bertutur Wulan, membelokkan jalan yang dapat ditempuh dengan lurus. Seperti labirin menghasilkan “kemungkinan lain”, kekayaan berbahasa memberi warna pada kalimat yang pucat, mengemasnya, dan menawarkannya sebagai sesuatu yang lain. Itulah sastra, di antara “permainan bahasa” dan penawaran labirin yang tak terduga.

Jika kita sebagai pengarang lengah atau tidak cukup tenaga saat memikirkan bahasa, sangat mungkin karya sastra yang dihasilkan akan tergelincir kepada kejenuhan bahasa yang tidak bernyawa. Konsekuensi yang paling buruk adalah karya kita abadi tinggal di laci. Pendeknya, banyak ide hebat dan cemerlang, tetapi gagal saat disampaikan lewat tulisan. Bahasa dalam karya sastra bukanlah susun kata yang biasa-biasa saja. Itulah yang membedakannya dengan berita, laporan jurnalistik, atau tindak tutur anak muda selatan Jakarta—yang hanya ingin terlihat berbeda, tetapi tergelincir ke dalam kekosongan makna.

Terakhir, mari kita pinjam pernyataan George Orwell. “Langgar aturan-aturan ini lebih cepat daripada Anda mengatakannya secara barbar dan biadab.”

Abaikan aturan ini dan mulailah menulis! Selamat berkarya.

Ade Mulyono

Ade Mulyono lahir di Tegal. Tulisannya, baik fiksi maupun nonfiksi, dimuat di sejumlah media. Novel terbarunya Namaku Bunga 2022

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa