Empat Gajak Revitalisasi Bahasa Daerah

Belakangan punahnya bahasa daerah makin tampak di permukaan kebahasaan kita. Tak dinyana, terdapat 718 bahasa daerah dari 2.560 daerah pengamatan di Indonesia hingga Oktober 2019. Dari jumlah tersebut, dikonfirmasi 8 bahasa daerah telah punah, 5 bahasa dalam keadaan kritis, 24 bahasa terancam punah, dan 12 bahasa dalam kondisi rentan.

            Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, bahasa daerah punah disebabkan oleh dua pasal. Pertama, bahasa dikatakan terancam apabila makin sedikit masyarakat yang mengakui bahasanya dan bahasa itu tidak pernah digunakan ataupun diajarkan kepada anak-anak. Kedua, bahasa dikategorikan terancam punah jika bahasa itu makin sedikit digunakan dalam kegiatan sehari-hari sehingga kehilangan fungsi sosial atau komunikatifnya.

            Gayung bersambut. Untuk merespons fenomena tersebut, akhirnya diresmikan renstra pelindungan bahasa. Di dalamnya termaktub revitalisasi bahasa daerah di samping empat cara lainnya.  Secara sederhana, King (2021) mendefinisikan revitalisasi bahasa daerah sebagai usaha untuk meningkatkan bentuk atau fungsi penggunaan bahasa untuk kelompok yang terancam kehilangan bahasa (language loss) atau kematian bahasa (language death). Pelaksanaan revitalisasi bahasa daerah diharapkan dapat meningkatkan jumlah pengguna bahasa daerah di satu wilayah dengan metode pembelajaran klasikal dan nonklasikal.

Empat Gajak Revitalisasi Bahasa Daerah

Berangkat dari masalah tersebut, dalam Peluncuran Merdeka Belajar Episode 17: Revitalisasi Bahasa Daerah pada pertengahan bulan Februari 2022, Mendikbudristek, Nadiem Makarim, menjelaskan rancangan tiga model revitalisasi bahasa daerah. Ketiga rancangan model revitalisasi bahasa daerah dibuat seyogianya untuk menghindari kegagalan. Mendikbudristek menerangkan bahwa model revitalisasi yang dirancang tidak seragam. Artinya, revitalisasi tergantung pada bahasanya sendiri. Dalam hal ini, terdapat spektrum dari model A sampai dengan C.

            Ketiga model tersebut memiliki implementasi yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang serupa. Model pertama, yakni model A, akan dilakukan dengan kecenderungan pada pemberian materi. Model A ini diterapkan pada bahasa daerah yang dinilai masih aman dengan jumlah penutur di masyarakat yang terbilang masih banyak. Pelaksanaan model A akan berpusat pada pembelajaran di sekolah, yakni pembelajaran integratif dan adaptif melalui materi muatan lokal ataupun ekskul.

            Model B ditujukan pada bahasa daerah yang terbilang rentan untuk punah dengan jumlah penutur dalam model ini relatif lebih sedikit daripada model A. Adapun penerapannya lebih kompleks daripada model A. Pembelajarannya dilakukan tidak hanya di sekolah karena pewarisan dalam wilayah tutur bahasa itu bisa dilakukan juga dalam komunitas-komunitas daerah.

            Berikutnya adalah model C yang penerapannya lebih pada penunjukan dua atau lebih keluarga sebagai model belajar. Diharapkan akan ada kreativitas mencari tempat, lokasi kegiatan masyarakat, tempat ibadah, dan kantor desa agar kita dapat agresif dalam menjaga pelestarian bahasa tersebut. Model C digolongkan untuk daerah dengan tingkat risiko punah yang tinggi. Pendekatan pelestarian bahasa memang tidak semata-mata akan dilakukan pada tingkat sekolah dan komunitas masyarakat.

            Tentunya ketiga model ini setidaknya mampu membuat sedikit pemetaan terhadap pengerjaan revitalisasi bahasa dearah yang tidak tearahkan sebelumnya. Ketiga model ini nantinya akan dileburkan ke berbagai aturan-aturan yang lebih eksplisit dan khusus. Namun, masalahnya adalah bagaimana ketiga model kasar tersebut mampu dilaksanakan dengan jelas.

            Pada pemilihan Duta Bahasa Sumatra Utara 2022, saya memaparkan setidaknya ada empat pokok yang dapat diterapkan untuk revitalisasi bahasa daerah seturut dengan tiga model yang dikemukakan Mendikbudristek. Ketiga model tersebut saya terapkan dalam empat langkah yang saya namakan sebagai empat gajak revitalisasi bahasa daerah yang dasar-dasarnya tak mengikis faktor pendidikan, masyarakat adat, seniman, dan yuridis.

            Pertama, revitalisasi bahasa daerah bisa dimulai dengan penciptaan manuskrip dari hal-hal lisan yang nantinya menjadi bahan pembelajaran di sekolah-sekolah. Dalam hal ini, revitalisasi akan menyasar cerita rakyat atau pantun yang nantinya digunakan sebagai bahan pembelajaran di tingkat sekolah dan komunitas. Misalnya, dalam Suku Batak, terdapat tujuh jenis pantun, yakni umpasa, umpama, pasa-pasa, anian, udoan, umpama ni pangandung, dan umpama ni ampangardang. Pada dasarnya, ketujuh jenis pantun ini hanya didengarkan secara lisan pada pesta-pesta adat, seperti pernikahan dan kematian, yang biasanya dibawakan oleh raja parhata. Padahal dalam linguistik, pantun-pantun tersebut memiliki kekayaan makna kehidupan yang mendalam.

            Di luar pesta-pesta adat, ketujuh jenis pantun tersebut tidak pernah dibicarakan lebih lanjut. Dengan pengumpulan hal-hal lisan, seperti pantun, diharapkan akan menambah pengetahuan terkait bahasa daerah.

            Kedua, ada sayembara penulisan yang mengutamakan bahasa daerah sebagai pendukung terciptanya proses kreatif pelaku seni yang peduli terhadap bahasa daerah dengan penggarapan semiorisinal. Tahap ini tentunya dilakukan dengan pertimbangan bahwa penguatan bahasa daerah tidak semata-mata dilakukan oleh Badan Bahasa yang merupakan instansi pemerintah. Para pelaku seni, khususnya sastrawan, haruslah mampu mengambil kaki untuk menyiapkan hal tersebut.

            Langkah ini juga diambil berdasarkan etos kreativitas, yakni suatu kekayaan yang terdapat pada bahasa daerah mampu dialihwahanakan ke bentuk lain yang lebih mengedepankan nilai estetika.

            Ketiga, ada siniar bahasa daerah. Langkah ini menjadi penting karena munculnya tren metaverse yang baru saja dikeluarkan Mark Zuckerberg dan sebagai penguat digitalisasi yang merupakan alternatif paling mutakhir. Nantinya program ini akan memanfaatkan perkembangan teknologi berupa siniar di beberapa kanal, seperti Club House, dengan akulturasi bahasa daerah sebagai pokok pembicaraan. Hal ini kelak akan menjadi sebuah tontonan kekinian dengan sasaran anak muda.

            Gajak yang terakhir adalah pembuatan peraturan bupati atau wali kota. Seperti yang kita tahu, hal-hal yang bersifat yuridis pada dasarnya sangat vital untuk dibuat. Langkah ini patut dilaksanakan untuk mendukung pelajaran bahasa daerah di tiap sekolah menjadi pelajaran wajib dan untuk mengedapankan kembali bahasa daerah dalam berbagai aspek yang bersifat pendidikan. Tentu langkah ini tidaklah terlalu sukar dilakukan. Kita bisa berkaca pada Gubernur NTB dengan dasar Perda Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Daerah.

                Dengan empat gajak tersebut, setidaknya dasar-dasar tiga model dari Kemendikbudristek sempurna terkandung di dalamnya, baik secara konvensional maupun kontemporer. Selanjutnya revitalisasi bahasa daerah diharapkan dapat secara konsisten diterapkan agar bahasa daerah di seluruh Indonesia tetap terjaga.

Raja Malo Sinaga

Raja Malo Sinaga adalah mahasiswa PBSI, Universitas HKBP Nommensen yang lahir pada 20 Januari 2000. Ia merupakan alumni Kelas Menulis Prosa Balai Bahasa Sumatera Utara 2019 dan aktif menulis kolom esai, puisi, dan cerpen di sejumlah media nasional dan lokal.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa