Keterpanaan Fisik dan Ideologis Puisi Efen Nurfiana
Sebagai media komunikasi, puisi memerlukan
narasi yang bersifat simbolik. Sebagai contoh, Sapardi Djoko Damono
mendeskripsikan alam dalam bahasa yang mengisyaratkan suasana dan Dorothea Rosa
Herliany membicarakan anatomi dan eksistensi tubuh. Ketika kita memahami bahwa
kehidupan bersifat aktif dan terus mengalami pertumbuhan, tentunya kita tidak
dapat hanya membaca satu atau dua karya untuk dapat membicarakan eksistensi dan
arah kepenyairan seseorang. Untuk itu, diperlukan juga pembacaan lebih banyak
atas karya-karyanya agar cara pandang terhadap realitas tersebut dapat terlihat
jelas.
Begitu pula ketika saya selesai membaca
sajak-sajak Efen Nurfiana. Saya dapat membicarakan pemahaman eksistensi dan
perspektif kepenyairannya secara mendalam. Bagi Efen Nurfiana, menulis puisi
merupakan aktivitas memandang realitas dengan lebih detail. Menulis puisi
adalah kerja pikiran, bukan kegiatan klenik yang lepas dari kontrol nalar.
Itu tidak hanya melibatkan tubuh, tetapi juga ruh yang secara bersamaan bekerja
sama mengafirmasi realitas atas kesemestaannya.
Penyair kelahiran Banyumas itu kini masih menempuh pendidikan magisternya di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto. Karya sastranya terpublikasi di media cetak, media daring (online), dan antologi bersama, seperti Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, sksp-literary, Maarif NU Jateng, Teplok, Becik ID, Cerano, Antologi ASEAN-1: Requiem Tiada Henti, Negeri Poci 8: Penyair-Penyair Negeri Bahari, dan Negeri Poci 10: Rantau. Karyanya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Korea dan dimuat dalam laman (website) Komunitas Siwa Sanmun, Korea Selatan, dan lainnya. Kepenyairannya juga berkembang dengan menjadi juri lomba cipta puisi nasional dan mengisi seminar kepenulisan. Selain menulis puisi, Efen Nurfiana menulis esai dan artikel.
Efen Nurfiana tidak hanya mengontribusikan pemikiran eksistensial tentang berbagai aspek kehidupan dalam sebuah puisi karena dia juga menyukai dunia fotografi dan karyanya pernah menjuarai beberapa lomba. Bakat dan minat seni Efen Nurfiana mendapat wadah untuk berkembang. Ketertarikan itulah yang membawa Efen Nurfiana bergabung dalam Ikatan Pelukis Banyumas. Sembari menyelesaikan pendidikannya, kini Efen Nurfiana menjadi redaktur galeri seni rupa Sksp-literary.com.
DUA JAM
dua jam melalui menit ini. Akan kupanjat lekuk wajahmu. Patah hati yang tak mampu menyentuhmu itu selalu berkeliling diam-diam di kepalaku. Meski begitu, merah kuku dan senja matamu masihlah doa yang terbenam di ujung malam.
pintu pulang dan satu jam pertama. Kita saling mengarahkan rindu dan melingkarkan waktu tunggu. Tatapanmu, sepenggal kalimat yang jatuh di pematang sawah.
dua jam pada menit terakhir. Lambaian tangan melepaskan aroma parfum paling kuat. Mengarah tepat pada tangisanku.
Purwokerto, 2022
Citraan Tubuh Digambarkan dengan Santai
Yang menarik dari erotisme puisi Efen
Nurfiana adalah bagaimana citraan tubuh di dalamnya digambarkan dengan santai.
Tolok ukur keberanian tidak mengurungnya dalam dinamika tubuh dan cinta sebagai
gambaran erotisme, justru rangsangan yang diungkapkan oleh Efen Nurfiana
bersifat statis. Yang dimaksudkan di sini adalah bahwa Efen Nurfiana tidak
menggambarkan komponen gerak erotisme, tetapi meletakkan garis citraannya pada
ranah imajinasi. Mengapa menarik? Itu karena denyutan erotisme itu tetap
merangsang pembaca tanpa harus menyentuhkannya pada gerak erotis.
Contonya adalah Akan kupanjat
lekuk wajahmu/patah hati yang tak mampu menyentuhmu itu selalu berkeliling diam-diam
di kepalaku/meski begitu, merah kuku dan senja matamu masihlah doa yang
terbenam di ujung malam//. Dalam konteks tersebut, Efen Nurfiana bisa saja
mengambil penggambaran tubuh yang lebih liar selain kupanjat lekuk wajahmu.
Bagaimana caranya memanjat? Apakah dibersamai kemabukan cinta sehingga
menghasilkan gerak imaji erotis? Itu tidak digambarkan. Memanjat yang seperti
apa dan sampai pada puncak yang mana, itu tidak dijelaskan. Akan tetapi, Efen Nurfiana
menuliskan patah hati yang tak mampu menyentuhmu itu selalu berkeliling
diam-diam di kepalaku. Itu berarti bahwa puncak dari rangsangan pada sajak
sebelumnya merupakan gambaran dari imajinasi aku-lirik.
Kemudian, dia menuliskan Meski begitu,
merah kuku dan senja matamu masihlah doa yang terbenam di ujung malam. Rangsangan
yang diciptakan dalam sajak “Dua Jam” itu melatarbelakangi kesatuan
imaji. Padahal, Efen Nurfiana bisa saja meneruskan erotisme lekuk wajah
dengan turunan kata yang lebih aktif, tetapi dia tidak begitu. Efen Nurfiana
berhenti pada merah kuku dan senja matamu sebagai bentuk fisik,
tidak pada bentuk keseksian bahasa yang menggambarkan suatu pergerakan.
Begitu pula ketika dikatakan bahwa rindu
merupakan gambaran dari erotisme dalam puisi Efen Nurfiana, citraan rindu tidak
digambarkan meletup dengan sentuhan fisik. Efen Nurfiana hanya mengungkapkannya
dengan Pintu pulang dan satu jam pertama/kita saling mengarahkan rindu dan
melingkarkan waktu tunggu/tatapanmu, sepenggal kalimat yang jatuh di pematang
sawang//. Efen Nurfiana tidak mengurai kegiatan seperti apa untuk
mengaktifkan gerak erotisme. Tatkala konsep rindu itu diaktifkan sebagai
konotasi jarak, pembatasan jarak seperti apa yang muncul dalam erotisme puisi
tersebut? Sementara itu, Efen Nurfiana mengungkapkan Dua jam pada menit
terakhir. Lambaian tangan melepaskan aroma parfum paling kuat/mengarah tepat
pada tangisanku//. Dengan demikian, konotasi
akan jarak sebagai batasan dalam pengungkapan gerak erotisme dapat dipatahkan. Karena
itu, Efen Nurfiana justru menempatkan aku-lirik dalam sebuah pertemuan secara fisik.
PENTAS
pada pentas kali ini
kita dilarang telanjang
meski gairah di sela napasmu berlarian
menyingkap selendangku
kita sungguh tak boleh telanjang, apalagi naik ke
panggung
di antara kita malam berangsur lebur
meninggalkan pertunjukan
meninggalkan jalanan
meninggalkan hutang
menuju rumah-rumah, singgah-menyinggah
menjelang subuh, kau terkantuk-kantuk menabuh
gendang
aku telanjang sendiri di ranjang
Purwokerto, 13 April 2020
Sajak “Pentas” tersebut
memiliki keterikatan simbol yang jelas menggambarkan erotisme. Contohnya
adalah pada bait pertama Pada pentas kali ini/kita dilarang telanjang/meski
gairah di sela napasmu berlarian/menyingkap selendangku/kita sungguh tak boleh
telanjang, apalagi naik ke panggung//. Kemudian, pada bait akhir sajak “Pentas”,
Efen Nurfiana mengungkapkan Menjelang subuh, kau terkantuk-kantuk menabuh
gendang/aku telanjang sendiri di ranjang//. Bukannya diakhiri dengan puncak
kenikmatan sentuhan fisik atau gambaran gerak erotisme setelah keterbukaan yang
begitu telanjang, Efen Nurfiana justru mengakhirinya dengan Aku telanjang
sendiri di ranjang.
Seolah ada sebuah “rem” yang bekerja mengendalikan gerak erotisme tersebut. Bahasa ketelanjangan yang sifatnya menonjol diposisikan sebagai suatu spirit imaji. Tentu penciptaan sajak “Pentas” tidak dapat dikatakan hanya bagian dari bentuk “rem” dalam perpuisian Efen Nurfiana. Mengapa demikian? Itu karena stamina bahasa sebagai rujukan atas pemaknaan simbol di dalam sajak Efen Nurfiana ini menggambarkan realitas. Akan tetapi, apakah “rem” yang diciptakan Efen Nurfiana itu merupakan bentuk dari kelemahan dan ketidakmampuannya membuat gambaran erotisme secara dinamis? Saya pikir tidak begitu karena bahasa yang lahir hingga saat ini berpotensi memosisikan aku-lirik ke arah sana. Apakah dengan begitu kemudian Efen Nurfiana akan mewarisi ketelanjangan bahasa Dorothea Rosa Herliany dalam sajak erotisnya? Kita lihat nanti.
Gerak Erotisme secara Aktif
Mengapa saya mengatakan bahwa bahasa perpuisian Efen Nurfiana berpotensi mengarah ke dalam gerak erotisme secara aktif? Kita lihat dalam sajak “Perempuan yang Mengawini Harapan” berikut.
PEREMPUAN YANG MENGAWINI HARAPAN
aku tidur di bahu malam
gonggogan anjing dari jauh menusuk kepala
aku mengawini tubuhmu dalam satu rabaan
menikam erangan dari mulutku sendiri
dan segala waktu yang menindih lidahku
sebentar lagi terbit sebagai matahari
esok hari setelah malam ini
aku resmi mengandung rerumputan
Purwokerto, 2021
Melalui sajak pendek tersebut, Efen Nurfiana mengungkapkan Aku
mengawini tubuhmu dalam satu rabaan/menikam erangan dari mulutku sendiri/dan
segala waktu yang menindih lidahku/sebentar lagi terbit sebagai matahari//.
Konotasi yang dilahirkan atas mengawini tubuh, satu rabaan, menikam
erangan, dan menindih lidahku merupakan citraan erotisme yang
bersifat aktif, yaitu berupa gerakan dan erotisme tersebut digambarkan lebih
ekspresif. Meskipun potensi kebahasaan tersebut tidak melepaskan diri dari
eksistensi kepenyairan Efen Nurfiana, pada sajak “Perempuan yang Mengawini
Harapan” Efen Nurfiana sedikit lebih berani lagi dari sekadar penggunaan kata telanjang
pada sajak “Pentas”. Mengapa demikian? Itu karena Efen Nurfiana
mulai menyentuhkan diri pada gerak erotisme meskipun sifatnya hanya mengetuk,
belum memasukinya lebih dalam.
Mengawini tubuh yang seperti apa juga
tidak digambarkan oleh Efen Nurfiana sehingga bentuk fisik dari erotisme yang
digambarkan oleh Efen Nurfiana ini hanya bergerak dalam perspektif. Itu
termasuk ketelanjangan dalam sajak “Pentas”. Bentuk fisik dari tubuh yang
telanjang itu tidak didefinisikan. Bahkan, ketika Efen Nurfiana mengatakan lekuk
wajah yang pada dasarnya bukan bagian dari keseluruhan tubuh pun, dia tidak
mendeskripsikannya, misalnya bagaimana bentuk hidung, pipi, bibir, telinga,
mata, alis, dan komponen wajah lainnya.
Dengan demikian, membaca puisi Efen Nurfiana, mula-mula saya seperti tersedak ketika makan enak. Itu seperti halnya Nabi Adam yang memakan buah khuldi di surga. Akan tetapi, hal itu ada benarnya. Saya sayang kepada orang yang ada di sekitar dan sama sekali tidak ingin mengarah-arahkan, apalagi mengurung kebahasaannya, kecuali jika itu berkaitan dengan hal-hal umum. Ketika saya membaca puisi Efen Nurfiana, saya seperti membaca puisi bukan “orang UIN”, bukan orang yang mempelajari studi Islam (Islamic Studies). Di dalam perpuisiannya seperti ada “kedurhakaan”, yaitu kedurhakaan bahasa dan kedurhakaan perspektif. Efen Nurfiana ini meneruskan “Malin Kundang”-nya Goenawan Mohamad. Kalau Goenawan Mohamad itu menjadi Malin Kundang atas tradisi budayanya yang notabenenya adalah “orang pantai”, keberlisanan. Sementara itu, Efen Nurfiana melakukan “kedurhakaan” atas pemikiran-pemikiran religius. Dia memiliki religiositas di dalam puisinya, tetapi religiositas perspektif seorang Efen Nurfiana. Di dalam perpuisian Efen Nurfiana, “memandang” laki-laki, simbolitas laki-laki, dan maskulinitas itu menjadi sangat penting.
Keterpanaan Fisik dan
Ideologis
Baiklah, saya hendak mengurai kembali
gambaran umum yang berkaitan dengan simbolisme tersebut agar kemudian gambaran
mengenai erotisme puisi Efen Nurfiana ini menemukan puncak pemaknaannya.
Pada umumnya, seseorang yang menyukai
simbolisme laki-laki itu sekaligus memperlihatkan ketidakberdayaan gendernya
sebagai seorang perempuan karena dia memiliki ketergantungan, sekalipun laki-laki
dalam hal ini sebagai objek. Akan tetapi, pada saat yang sama, sesungguhnya
laki-laki yang dia jadikan objek ini sekaligus sebagai subjek karena dia
menjadi tema sentrum yang terus-menerus dihadirkan dan dipikirkan, bahkan
dibutuhkan. Saya pernah membaca yang demikian. Contohnya adalah sajak-sajak
dalam buku Kasidah Pengantin karya Evi Idawati (Moestikawacana, 2002)
yang kemudian saya tulis dalam buku Sastra Pencerahan, “Si Kupu-Kupu
Jingga Evi Idawati: Domestifikasi Perempuan, dan Ekspresionisme Bahasa
Pengantin Sepi.” Dalam membaca puisi Evi Idawati, saya menemukan sebuah
kepribadian (personality) yang mengusung kesetaraan gender, misalnya dengan
cara duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Boleh jadi, ketika
laki-laki bisa membentak, perempuan juga bisa
membentak; ketika laki-laki bisa mengkhianati, perempuan juga bisa mengkhianati;
dan seterusnya.
Setelah diperhatikan, saya evaluasi
bahwa sesungguhnya pemberontakan yang substantif itu ada pada tingkat batiniah.
Sebagai contoh, dalam suatu rumah tangga terdapat istri yang sangat otoriter,
sedangkan suami adalah seseorang yang lemah-lembut. Melalui keotoriteran
itulah, suami dieksploitasi dalam ukuran finansial. Dalam keadaan ini, bisa
saja suami dikagumi perempuan lain dan istri merasa cemburu sehingga mendatangi
perempuan itu. Pada konteks ini, muncul pertanyaan, siapakah yang melakukan
dominasi? Apakah istri yang mendominasi karena melakukan eksploitasi atas
suaminya? Bagaimana sebuah pemberontakan atas konstruksi gender tersebut
berakhir hanya pada hal-hal yang bersifat permukaan, bukan substantif?
Ada sektor lain dari perspektif
kepenyairan. Istilahnya adalah “takdim kepada istri”, yaitu dengan melakukan
banyak kegiatan “tamasya” sebagai bagian dari simbolisme “perjalanan hidup”.
Perspektif seperti itu menggambarkan kesadaran suami bahwa dunia istri adalah
dunia “pelayanan”. Sementara itu, seorang “laki-laki yang duniawi” selalu
memiliki egoisme terhadap wanita dengan bersikap posesif, bahkan “menjajah”
istri. Oleh karena itu, dapat dinilai bahwa eksistensi gender dirinya menjadi
luntur.
Jalaludin Rumi dalam puisinya “Cinta Wanita”
mengatakan, “…Wanita adalah seberkas sinar Tuhan: ia bukan kekasih lelaki yang
duniawi ….” Itu terjadi karena lelaki yang duniawi tidak akan mampu memberi
makna kepada istrinya, kepada kaum wanita, sebagaimana kemuliaan. Gambaran
seperti itu dapat diambil melalui laki-laki yang memuliakan ibunya pastilah dia
mampu memuliakan istrinya. Sebagaimana laki-laki itu menghormati ibunya, istrinya
pun belajar banyak hal melalui sikapnya, akhlaknya, kesabarannya, dan hal-hal
lain. Banyak puisi yang mencitrakan hal-hal demikian, sebagaimana kumpulan
sajak karya A. Mustofa Bisri, yaitu Sajak-sajak Cinta Gandrung dan Aku
Manusia.
Dari gambaran tersebut, ada dua
perspektif. Di manakah perpuisian Efen Nurfiana? Apakah perspektif aku-lirik pada
perpuisian Efen Nurfiana masuk dalam perspektif wanita yang mencoba untuk
melakukan konstruksi gender dari kemegahan fisiknya?
Aku-lirik dalam perpuisian Efen
Nurfiana, memang, memandang laki-laki itu “fisik”, seperti Hawa ketika pertama
kali membuka mata di surga dan beberapa saat terpana melihat Adam. Hawa tidak
berani memandang lama-lama lantaran malu.
Dalam perspektif kejasmanian, Efen
Nurfiana mengagumi laki-laki tidak dalam pengertian semata-mata bersifat
platonik. Citraan dalam puisi Efen Nurfiana adalah kekaguman fisik terhadap
laki-laki, tetapi sejauh itu sebagai sebuah perspektif, imajinasi. Saya belum
menemukan puisi Efen Nurfiana yang memandang secara praktik, hanya bergerak
sebagai perspektif.
Sebagaimana puisi yang dijadikan
contoh di awal, Efen Nurfiana cukup berani melakukan deskripsi dan citraan
fisik maskulinitas sekalipun jika dibandingkan dengan Dorothea
Rosa Herliany, belumlah apa-apanya karena Efen Nurfiana “masih santai”
dalam melihat maskulinitas laki-laki. Sementara itu, di dalam puisinya,
Dorothea Rosa Herliany mencitrakan “maskulinitas” demikian terang
sebagaimana dalam kumpulan sajak Nikah Ilalang (Pustaka Nusatama, 1995).
Sederhananya, Efen Nurfiana menghadirkan
“tubuh laki-laki” dalam perpuisiannya tidak dalam bentuk fisik semata, tetapi digambarkan
sebagai ekspresi kekaguman kepada yang fisik itu. Sosok pribadi dalam
perpuisian Efen Nurfiana mengagumi eksotisme pria.
Eros Djarot dalam lirik lagu “Malam
Pertama” menggambarkan tubuh perempuan begitu erotis, Pagi yang cerah/Senyum
di bibir merah/Dari balik jendela/ Sinar mentari lembut menyapa/… Kutidur
didalam pelukmu/ Diantara rambut yang terurai/…. Namun, Efen Nurfiana tidak.
Dia memandang bahwa laki-laki itu seksi, tetapi tidak secara detail
menggambarkannya.
Tanpa bermaksud menyetarakannya, hanya
agar dapat memersepsikan dan memosisikan citraan maskulitas laki-laki dalam
perpuisiannya, saya membandingkan perpuisian Efen Nurfiana dengan perpuisian Evi
Idawati, Dorothea Rosa Herliany, atau Abidah el-Khalieqy dalam Ibuku Laut
Berkobar (Titian Ilahi Press, 1998). Perspektif Abidah el-Khalieqy
terhadap laki-laki bukan dalam hal romantisme, melainkan mirip perspektif Toeti
Heraty dalam Mimpi dan Pretensi (Balai Pustaka, 1982), yakni memosisikan
kesetaraan gender.
Dalam persepsi dan posisi tersebut,
membaca sajak-sajak Efen Nurfiana yang dimuat tiga kali di sksp-literary.com, dia
belum sampai ke tingkat ideologi kesetaraan gender. Secara pencitraan fisik
laki-laki, dalam puisinya dia mengaguminya. Akan tetapi, pencitraan fisik
laki-laki yang bagaimana? Hal itu belum gamblang, kecuali kekaguman aku-lirik yang
terpana, sama terpananya dengan Hawa ketika pertama kali berjumpa dengan Adam
di surga. Sekalipun demikian, masih diperlukan jawaban tentang apakah
keterpanaan Hawa kepada Adam itu bersifat fisik, ideologis, ataukah keduanya.
Itu sama halnya dengan bagaimana Efen
Nurfiana “memandang” sosok laki-laki dalam puisinya. Laki-laki sebagai teman
pendamping, teman belakang, teman depan, ataukah saling melengkapi? Apakah
imaji-imaji erotis maskulinitas laki-laki dalam perpuisian Efen Nurfiana tidak
punya pandangan-dunia (weltanschauung)?
Dengan teridentifikasinya imaji-imaji
erotis maskulinitas laki-laki dalam perpuisian Efen Nurfiana, itu menandakan
telah menjadi-nya bahasa perpuisiannya. Sementara itu, kematangan bahasa
(puisi seorang penyair) menyediakan jawaban atas sekian banyak pertanyaan
yang muncul dari teks-konteks-kontekstualisasi oleh pembacanya.
Belum waktunya kita memberikan jawaban atas penafsiran akhir karena perpuisian Efen Nurfiana masih berkembang.***
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah penyair dan dosen di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu), Purwokerto.