Budaya Ewuh Pekewuh

Dalam sebuah opini di salah satu media cetak beberapa waktu silam saya sempat membaca judul yang menggunakan kata antithesis yang ditulis oleh seseorang bergelar profesor. Saya mengerutkan dahi, lalu mencari sumber referensi, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Di dalam sumber penelusuran tersebut terdapat kata tesis dan antonimnya adalah antitesis. Persoalan yang muncul bukan karena secara umum tesis dan thesis sama-sama mengandung makna ‘anasir teori’. Yang satu sudah menjadi kata yang teradopsi dalam penggunaan bahasa sehari-hari, sedangkan yang satu adalah bentuk sama dari penulisan bahasa Inggris. Mungkin saja itu terjadi karena editor atau redaktur cukup dilematis untuk mengubah judul sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).

Ada rasa bijak dengan kehati-hatian dan sikap santun ketika editor atau redaktur melakukan konfirmasi kepada penulis. Hal itu mungkin merupakan bentuk/cara konfirmasi secara beretika. Mungkin juga hal itu tidak sempat dilakukan dengan alibi untuk menjaga kesantunan dalam penghargaan profesi. Bisa jadi kemudian muncul perdebatan meski itu untuk tujuan pembetulan (ralat).

Persoalan lain dalam pembetulan ini menempatkan sisi kebenaran pada sisi ewuh pekewuh (dari bahasa Jawa) yang bersinggungan dengan prasangka kritis. Itu pasti sangat tidak elok. Itu bagai buah simalakama. Namun, mungkin kita lebih setuju dengan menempatkan frasa ini sebagai—sebuah kenaifan—sadar atau tidak sadar seraya mengharapkan pembaca bersikap bijak untuk tidak mempersoalkannya.

Penulis sedikit menarik garis lurus bahwa kadang pembaca harus menempatkan etika budaya di atas kemafhuman para pembaca. Itu tidak mudah karena pembaca sering terjebak untuk melindungi kebebasan pemikiran yang bersifat subjektif.

Ewuh pekewuh dalam orientasi budaya Jawa adalah sikap penjagaan nilai-nilai kesopanan meski praktiknya terkadang salah kaprah. Itu bagai buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan ayah yang mati. Bagaimana kemudian apabila terjadi selip kata, misalnya diucapkan oleh seorang pejabat publik? Dengan demikian, ewuh pekewuh ini menjadi sikap yang menerjemahkan kata segan demi sebuah pembetulan.

Apakah realitas sosial kini sedang meraba peradaban baru yang sedang mencari identitas baru? Mungkin kita mulai terjebak dengan peradaban baru yang tersublimasi dari kemajuan iptek yang begitu drastis. Namun, itu bukan sebuah kameo atau konteks stigma baru jika kemudian berakar menjadi “satire budaya”. Konteks penyebutan gelar seperti tertera pada tulisan di atas, yaitu memunculkan nama seseorang secara terbuka memang menunjukkan ewuh pekewuh. Penyebutan yang terkadang dianggap cukup vulgar bisa memantik ketersinggungan.

Batasan ketersingungan dengan persoalan etika dapat menimbulkan bentuk jamak. Penyebutan kata profesor dalam dimensi gelar bisa mencakup objek yang luas. Gelar akademisi yang diperoleh tentu melalui proses panjang, yakni melalui fase penyempunaan teori analitik dan praktik. Penyebutan nama secara terbuka dan langsung pun harus ditempatkan di ruang yang tepat. Hal itu ironis karena bisa jadi memunculkan masalah baru, misalnya gugatan hukum.

Akhirnya, meski tulisan ini belum diakhiri dengan sebuah simpulan, hal itu bisa menjadi alibi pembenaran, misalnya tentang mana yang benar dan mana yang salah. Sangat tidak etis ketika persoalan penggunaan literasi bahasa dijadikan alat untuk memvonis atau menghakimi dengan perdebatan yang sebetulnya dapat diselesaikan secara bijak. Tak ada manusia yang luput dari khilaf.

Ketika kita mengulik makna dari frasa ewuh pekewuh yang dalam tradisi Jawa menandakan pekerti dari kebiasaan lingkungan dan digunakan secara turun-temurun, hal itu semata-mata untuk mendidik anak bersikap terhadap orang yang lebih tua. Persoalannya adalah apakah penjagaan nilai-nilai subbudaya yang, antara lain, meliputi literasi bahasa, tidak hanya membebaskan objektivitas kata semata, tetapi juga sangat bergantung pada pembentukan sikap?

Lebih lanjut, dalam hal eksistensi, budaya yang terserap dari kata buddhaya (Sanskerta) adalah sebuah relativitas yang sangat lentur sehingga kadang kelenturan itu dianggap sebagai pembenaran atau pembiaran terhadap perubahan struktur sosial. Meskipun demikian, dampak yang ditimbulkannya sering bertentangan dengan asal-usulnya. Contohnya adalah penggabungan unsur budaya (akulturasi). Selama tidak merugikan kedua belah pihak, hal itu bisa dianggap sebagai sebuah dinamika budaya yang terjadi.

Konteks pikiran yang mencerminkan beberapa teori tentang budaya seyogianya menjadi rujukan dalam menyublimasi dialog antara penulis (pendapat) dan pembaca. Persoalan budaya ewuh pekewuh bukan hanya terjadi pada penggunaan kata, misalnya terkait dengan kata mana yang benar atau mana yang salah. Dengan demikian, kita tidak terjebak pada konteks bahasa yang kaku, sedangkan faktanya dalam praktik, sikapnya justru lebih benar. Ada makna antagonis yang merupakan cerminan kehidupan sehari-hari.

Saya sedikit membandingkan, yaitu rasa sungkan itu menjadi simbolik antara pertentangan makna, malas/enggan melakukan, atau merasa tidak enak hati karena menaruh hormat. Itu memang tidak mudah karena bagaimanapun juga dimensi ilmu seperti dua mata sisi yang bernilai sama. Dalam pandangan lebih luas, kita juga harus menempatkan perbedaan tutur atau sikap karena tuntutan melestarikan tradisi daerah masing-masing.

Dengan menelisik beberapa catatan teori tentang budaya, penulis mencoba menyajikan paparan beberapa teori. Salah satunya adalah budaya sebagai makna yang dimiliki bersama oleh (sebagian besar) masyarakat dalam suatu kelompok sosial (Olson, 2000) . Kemudian, budaya merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling dasar.

Teori di atas tentu dalam beberapa kondisi akan mengalami perubahan, misalnya karena terjadinya revolusi sosial. Itu juga terjadi karena perubahan zaman secara terus-menerus ke arah yang lebih modern. Dengan demikian, subjektivitas perilaku dalam budaya dapat diterjemahkan sebagai nilai-nilai yang dirasakan bersama oleh suatu kelompok masyarakat (berapa pun ukurannya) yang menjadi subbudaya dan berorientasi pada objek materi (geografis, etnis, jenis kelamin, usia, dan nilai ekonomi).

   Akhirnya, jika kita melihat makna “budaya ewuh pekewuh” ini, lebih banyak disimpulkan sebagai perjanjian atau transaksi tidak tertulis selama tidak melanggar norma sosial dan susila. Namun, dalam pesan mendalam tentunya kita sangat gembira jika bahasa dan budaya tetap bermartabat meski terus terjadi pertentangan antara polemik budaya kuno dan budaya modern. ***

Vito Prasetyo

Penulis adalah sastrawan dan peminat budaya.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa