Kongres Bahasa Indonesia : Bermufakat Tentang ke Indonesiaan dalam Bahasa Persatuan

Kongres Bahasa Indonesia pada masa awal merupakan suatu upaya untuk mengukuhkan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kongres Bahasa Indonesia I yang dilaksanakan pada tahun 1938 merupakan titik tolak untuk menguatkan bahasa Indonesia yang digaungkan sebagai bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda Tahun 1928. Kongres Bahasa Indonesia I (KBI I) diselenggarakan atas prakarsa Raden Mas Soedardjo Tjokrosisworo dan Soemanang Soerjowinoto yang merupakan perpaduan antara kalangan pers dan kalangan pendidikan.

Tokoh-tokoh yang berkiprah dalam KBI I adalah perpaduan antara tokoh muda dan tokoh dewasa.  Mereka yang memberi kontribusi berupa rumusan secara khusus adalah Amir Sjarifoeddin yang saat itu berusia 31 tahun, St. Takdir Alisjahbana yang saat itu berusia 32 tahun, Muh. Yamin (35 tahun), K. St. Pamoentjak (52 tahun), Adi Negoro (34 tahun), Ki Hadjar Dewantara (49 tahun), Soekardjo Wirjopranoto (35 tahun), R.P. Soeroso (45 tahun), dan Sanoesi Pane (33 tahun). Dalam kongres terlihat perpaduan antargenerasi sehingga muncul gagasan segar tokoh muda yang akan berpeluang besar dalam melaksanakan rekomendasi dan kebijakan di bidang bahasa dan muncul pula gagasan dari bulir pengalaman tokoh dewasa yang telah berperan dalam bidang bahasa dan mewarnai masa sebelumnya.

Dalam perjalanan selanjutnya, KBI dilakukan sebagai salah satu tradisi kebangsaan yang memuat rumusan berbagai hal tentang pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. KBI II dilaksanakan setelah Indonesia merdeka. Oleh karena itu, pada KBI II telah termuat kesadaran penuh para ahli bahasa dan tokoh lain yang bergerak di bidang kebahasaan untuk menguatkan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara serta mengimplementasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Terdapat beberapa hal menarik yang dapat dikemukakan tentang rumusan yang dihasilkan dari KBI satu ke KBI berikutnya. Pertama dari segi waktu pelaksanaan. KBI I dilaksanakan pada tahun 1938, sedangkan KBI II dilaksanakan pada tahun 1954. Jarak antardua KBI tersebut adalah 16 tahun. Dapat dikatakan jarak belasan tahun itu telah memunculkan perubahan yang sangat besar, baik dalam kebijakan maupun pengembangan bahasa Indonesia. Ada seorang tokoh yang menautkan dua kongres tersebut, yaitu Muh. Yamin yang pada saat KBI II telah menjadi seorang menteri. Selanjutnya, dapat dilihat pula bahwa jarak antara KBI II dan KBI III justru lebih jauh lagi, yaitu 24 tahun. Jarak waktu yang membentang itu mengisyaratkan bahwa pada masa itu, bangsa Indonesia lebih menguatkan diri dalam bidang lain sehingga ihwal konsesus, konvensi, dan invensi di bidang kebahasaan menjadi suatu hal yang sedikit terlupakan. Masa yang terentang itu juga mengisyaratkan bahwa ada banyak hal di bidang kebahasaan yang mungkin terlewat untuk dicermati atau terlewat untuk dikembangkan lebih lanjut. Pada KBI selanjutnya, yaitu KBI III pada tahun 1978 hingga KBI XI pada tahun 2018, terlihat bahwa jarak antarkongres adalah lima tahun. Dengan berpedoman pada tradisi jarak lima tahunan itu, Kongres Bahasa Indonesia XII mendatang dapat diprediksi akan dilaksanakan pada tahun 2023. Pada saatnya nanti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai lembaga resmi yang ditunjuk negara untuk mengelola urusan bahasa akan memberi taklimat resmi tentang kongres tersebut. 

Hal menarik kedua yang dapat dicermati dari perjalanan KBI adalah topik yang termuat dalam rumusan kongres. Dari hasil telaah sederhana, didapati bahwa ada dua topik yang terus melekat dalam setiap kongres, yaitu (1) tentang perencanaan dan kedudukan bahasa Indonesia dan (2) pendidikan dan pengajaran bahasa.

Tampak bahwa topik lain muncul secara dinamis sesuai dengan isu-isu mutakhir yang berkembang dalam setiap kongres yang berlangsung pada masa itu. Kesadaran tentang pentingnya penerjemahan dan bahasa daerah, misalnya, muncul pada KBI III tahun 1978. Pada masa sebelumnya, kesadaran bahwa bahasa daerah diperlukan untuk mengiringi perkembangan bahasa Indonesia belum mengemuka. Apalagi, kesadaran bahwa bahasa daerah, sebagaimana bahasa lainnya, akan diterpa juga dengan isu kepunahan.

Kesadaran tentang pentingnya tes kemahiran berbahasa Indonesia bagi penutur bahasa Indonesia dimulai sejak KBI V tahun 1988. Sejak KBI V tersebut para ahli bahasa merumuskan bentuk dan standar tentang tes berbahasa Indonesia dengan pembanding TOEFL, tes kemahiran berbahasa dalam bahasa Inggris. Pada KBI VIII topik tentang tes kemahiran berbahasa Indonesia yang disebut dengan UKBI tercantum kembali. Seiring dengan itu, pada tahun itu hak cipta UKBI pun sudah didaftarkan.

Topik tentang bahasa Indonesia bagi penutur asing muncul lima tahun selanjutnya. Topik tersebut menjadi bagian dari rumusan pada KBI VI tahun 1993. Topik tersebut terus mengemuka sepanjang KBI berikutnya hingga pada KBI XI pada tahun 2018.

Hal yang menarik tentang topik pada rumusan ini adalah ihwal ejaan. Pada masa KBI I hingga KBI VII ejaan, tata bahasa, dan acuan kebahasaan lain menjadi topik yang selalu hadir. Akan tetapi, sebagaimana diketahui pada KBI selanjutnya, topik ini tidak lagi muncul. Pada KBI IX tahun 2008 topik ini muncul kembali. Ada kemungkinan bahwa ketidakmunculannya karena ihwal ejaan dianggap sudah mapan bagi penutur bahasa Indonesia.

Topik tentang kamus dan peristilahan merupakan topik yang sudah muncul sejak KBI I. Akan tetapi, dalam KBI selanjutnya topik ini silih berganti muncul dengan topik yang lain. Akan tetapi, secara khusus dalam KBI IV tahun 1983 dimunculkan topik khusus tentang kamus dan tata bahasa. Kutipan rumusan hasil KBI IV dalam bagian tindak lanjut tentang itu adalah (1) perlu segera disusun tata bahasa baku bahasa Indonesia sebagai tata bahasa acuan yang lengkap dengan memperhatikan berbagai ragam bahasa Indonesia, baik ragam tulis maupun ragam lisan dan (2) perlu segera disusun kamus besar bahasa Indonesia yang memuat tidak hanya bentuk-bentuk leksikon, tetapi juga lafal yang dianggap baku, kategori sintaksis setiap kata, dan batasan serta contoh pemakaian yang lebih lengkap. Jika mungkin, kamus ini perlu dilengkapi dengan gambar dan keterangan mengenai asal kata.

Dari segi topik juga dapat dicermati bahwa terdapat dua topik yang baru muncul pada dua KBI terakhir, yaitu pada KBI X tahun 2013 dan KBI XI tahun 2018. Topik tersebut adalah literasi dan penginternasionalan bahasa Indonesia. Berikut ini tabel yang memuat topik yang diangkat dalam rumusan kongres bahasa Indonesia dari KBI I hingga KBI XI.

 

Topik Rumusan Hasil Kongres Bahasa Indonesia

Beberapa hasil kongres juga menandai terbentuknya lembaga di bidang kebahasaan dan kesastraan, seperti Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 yang merekomendasikan kepada pemerintah untuk mendirikan Lembaga Bahasa Indonesia yang kemudian diwujudkan dalam bentuk Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pada Kongres Bahasa Indonesia V tahun 1988 tercetus pula gagasan pembentukan pusat pengkajian internasional tentang bahasa Indonesia yang pada masa selanjutnya diwujudkan dalam bentuk salah satu satuan kerja di lingkungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Sebagaimana diketahui bahwa terdapat situasi dan kondisi skala nasional dan global yang jauh berbeda antara KBI tahun 2018 dan KBI selanjutnya yang nanti akan digelar. Situasi pandemi dan kemajuan teknologi informasi telah menciptakan pengembangan yang luar biasa di bidang bahasa. Dalam hal ini bahasa dengan segala aspeknya telah berkolaborasi dengan bidang lain hingga menghasilkan bentuk mutakhir pengembangan di bidang kebahasaan dan kesastraan, seperti pengajaran berbahasa Indonesia secara daring, layanan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) Adaptif, acuan kebahasaan, dan layanan penyuluhan bahasa Indonesia secara daring. Perpaduan linguistik dan teknologi informasi ini pada masa depan mungkin akan mendorong pengembangan bahasa Indonesia secara lebih intensif dan penggunaan  layanan serta produk kebahasaan secara masif.

Kondisi bahasa daerah dan penempatan bahasa daerah dalam situasi kebahasaan di Indonesia juga menjadi satu hal menarik saat ini, terutama jika dikaitkan dengan penguasaan bahasa ibu penutur bahasa Indonesia. Dalam berbagai kesempatan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Prof. E. Aminudin Aziz, terus menggelorakan revitalisasi bahasa daerah sebagai salah satu program Merdeka Belajar yang dicanangkan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Apakah tali-temali topik bahasa daerah, bahasa ibu, revitalisasi bahasa, dan penutur bahasa Indonesia akan diperbincangkan dalam kongres? Diperlukan kesabaran kita untuk menunggu edaran resmi berkaitan dengan itu.

Kongres mendatang dapat menjadi penanda perubahan situasi dan kondisi serta perkembangan mutakhir kolaborasi berbagai bidang ilmu dengan bidang bahasa. Oleh karena itu, di kongres diharapkan akan muncul permufakatan baru berkaitan dengan kemajuan bahasa dan sastra yang dengan itu akan mendorong kemajuan bangsa Indonesia secara menyeluruh di bidang  lain. Permufakatan sebagai tradisi kebangsaan tentu akan dilakukan dengan menggunakan bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Pada akhirnya, sebagai warga negara Indonesia, mari kita sambut dan kita jelang Kongres Bahasa Indonesia mendatang dengan menyiapkan partisipasi terbaik, baik sebagai anggota masyarakat yang aktif memberi dukungan maupun sebagai peserta yang aktif berbagi gagasan bernas.

Dr. Atikah Solihah

Penulis merupakan Koordinator Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional UKBI di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa