Absurditas dan Arkaisme Transformasi Sastra

Sesungguhnya penggunaan kata dan kalimat adalah untuk menyampaikan maksud agar siapa pun yang membaca atau mendengarkannya dapat menangkap dan mengerti apa maksud kata dan/atau kalimat yang disampaikan. Ada banyak kata yang ketika diucapkan menimbulkan kesalahpahaman penangkapan karena tidak didasari oleh pemahaman yang benar. Kesalahpahaman itu muncul karena sumber literasi yang minim.

Dalam konteks kalimat secara formal, terutama dalam pendidikan, penggunaan kata/frasa tidak terlepas dari unsur-unsur gramatikal (tata bahasa) yang tersusun sesuai dengan aturan baku. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan absurd dan arkais dalam konteks berbahasa? Pertanyaan itu muncul karena adanya anggapan bahwa penggunaan kata/frasa terlahir dari kebebasan pemikiran individu yang sering dihubungkan dengan kondisi sosial, terutama melalui penggunaan media sosial yang begitu bebas.

Ada kecenderungan di masyarakat, baik secara sadar maupun tidak, bahwa penggunaan kalimat tidak lagi mengindahkan ejaan atau kaidah bahasa yang benar. Itu tidak bersifat absolut (mutlak) bagi semua masyarakat. Namun, kecenderungan itu terjadi karena pergeseran dan perubahan nilai-nilai sosial sebagai akibat dari terjadinya revolusi pemikiran yang berada dalam kungkungan peradaban yang berbeda.

Perkembangan serta kemajuan dari ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) menjadi salah satu penyebab terbesar yang memengaruhi ekosistem sosial. Oleh karena itu, adakalanya penempatan bahasa semata-mata hanya sebagai alat komunikasi. Tekstur dan struktur menjadi tidak penting untuk diperdebatkan.

Lantas bagaimana dengan semarak perkembangan sastra tanah air? Ketika menelisik riwayat sastra, yang harus kita akui belum masuk dalam strata industri, sastra seakan memunculkan dikotomi baru. Jika pada masa silam ada pembatasan ruang dan waktu serta generasi sastra, kini hal-hal seperti itu bukan lagi menjadi pagar pembatas. Artinya, tidak ada lagi generasi yang berproses secara selektif dalam memosisikan dirinya sebagai sastrawan. Siapa pun atau di mana pun banyak orang terobsesi menjadi sastrawan. Hal itu terjadi karena tidak ada indikator yang jelas (nilai objektivitas).

Pegiat sastra masih meyakini bahwa proses seleksi alam untuk menjadikan label seorang sastrawan adalah dengan pemuatan karya-karyanya melalui media, baik media konvensional (cetak) maupun media digital. Selain itu, bagaimana konsistensi seorang pegiat sastra untuk merefleksikan karyanya kepada pembaca?

Kini kita harus menyadari bahwa dengan makin majunya teknologi digital, hal itu tentu memberikan perubahan besar bagi para pegiat sastra. Dalam proses transformasi ini, banyak yang menggunakan kecepatan teknologi untuk berkarya, kemudian secara instan karyanya dapat dinikmati oleh para pembaca. Hal itu tentunya mendorong siapa pun untuk terpacu atau terobsesi menjadi sastrawan sekalipun apa yang ditulisnya tidak memiliki tujuan yang jelas. Oleh karena itu, dalam konteks sastra harus ada nilai yang mendasari mengapa orang harus menulis karya sastra.

Dengan mengutip catatan seorang sastrawan yang sekaligus juga seorang akademisi—Budi Darma—saat ini banyak orang terobsesi menjadi sastrawan. Orang hanya menulis tanpa mengerti maksud dan tujuan menulis. Apa yang disampaikan dari pemikirannya semata-mata untuk memuaskan dirinya. Lantas, apakah hasil menulis itu bisa dikatakan sebagai sebuah karya sastra?

Lebih lanjut, dalam dimensi ruang kreatif yang serbainstan dengan tersedianya media komunikasi, seperti gawai, hal itu memudahkan siapa saja untuk menulis dan menyebarkan tulisannya. Sementara itu, secara teorema analitik, karya sastra dapat dikatakan sebuah karya apabila melalui proses seleksi serta pembuktian yang didasarkan pada asumsi secara eksplisit, melalui kurator atau editor misalnya.

Jadi, secara logis ada batasan dalam pengukuran kualitas dari sebuah karya sastra. Namun, dengan kondisi yang dihadapi pada era globalisasi/digital seperti saat ini, orang cenderung memilih cara instan untuk melepaskan ikatan teorema sastra. Dengan demikian, replika karya sastra akan melahirkan bentuk-bentuk baru. Bentuk tersebut mengeliminasi “kekuatan teori” serta menyublimasi persoalan sosial saat ini dengan bentuk-bentuk absurd (tidak masuk akal) dan arkais (tidak lazim dipakai lagi/kuno).

Pertanyaannya adalah apakah perubahan-perubahan itu dianggap sebagai sebuah pertentangan yang membatasi kebebasan pemikiran? Dalam sebuah artikel oleh penulis sastra, Vito Prasetyo, pernah digagas puisi yang terpenjara pemikiran. Itu terjadi karena puisi adalah subjektivitas pemikiran yang melahirkan sebuah kebebasan berpendapat. Kemudian, objek pembaca, terutama kalangan pecinta dan peminat sastra, sejatinya ingin mendekatkan diri dengan bahasa-bahasa sastra yang lebih sederhana dan mengedepankan bahasa metafora, hiperbol, personifikasi, simbolik, alegori, dan lainnya.

Dalam perkembangannya, sastra mulai mencari relevansi kebenaran yang melepaskan genre serta aliran-aliran sastra yang kadang tidak lagi dianggap sejalan dengan dinamika sastra. Munculnya egosentris karya sastra semata-mata karena tiap-tiap pegiat sastra ingin mempresentasikan karyanya sebagai sesuatu yang berbeda. Sedikit banyaknya juga hal itu karena terpengaruh oleh situasi dan kondisi sosial, yakni karya sastra ingin sejajar dengan karya-karya seni lainnya.

Bagaimana dengan orientasi pengakuan jika kemudian sebagian besar pegiat sastra mempresentasikan dirinya dan terjebak dengan apa yang diistilahkan sebagai star syndrome (bermakna kondisi yang dialami seseorang sebagai gambaran kepribadian seseorang yang merasa dirinya sempurna dan sangat terkenal)? Dalam beberapa referensi literatur, kondisi semacam itu mengakibatkan seorang pegiat sastra kerap melahirkan karya-karya sastra yang memiliki analogi dengan karya absurd dan arkais.

Lebih lanjut, perekaan karya-karya absurd sebetulnya sudah berlangsung beberapa puluh tahun. Dalam konsep disiplin ilmu, aliran absurdisme sebetulnya diadopsi dari ilmu filsafat, yakni pembaruan sebuah paham aliran eksistensialisme. Tokoh pencetus aliran absurditas sastra adalah Albert Camus, seorang filsuf yang juga seorang jurnalis berkebangsaan Prancis. Konsep absurdisme dipopulerkan oleh Albert Camus dengan buku berjudul Mite Sisifus. Buku itu berisi tentang bagaimana sebuah realitas bertentangan dengan nalar.

Bagaimana halnya dengan karya yang bernuansa arkais? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata arkais memiliki pengertian ‘berhubungan dengan masa dahulu atau berciri kuno, tua’ dan juga ‘tidak lazim dipakai lagi (tentang kata)’. Sementara itu, dalam karya seni, itu dapat memberikan arti tersendiri (nilai). Bagi pengamat seni, sastra juga sebagai dimensi seni yang melahirkan nilai seni dalam penggunaan aksara.

Dalam telaah zaman, realitas karya sastra yang menggabungkan konsep absurd dan arkais menimbulkan konflik atau pertentangan bagi pembaca. Namun, pada sisi tertentu karya sastra yang dihasilkan dari aliran ini begitu mengasyikkan. Tentu itu merupakan penangkapan pembaca dari nilai seni. Itu karena seni adalah realitas yang tidak harus ditampilkan dalam wujud nyata (realis).

Dalam catatan perjalanan karya sastra, ada beberapa nama sastrawan yang dimunculkan sesuai dengan masanya. Dalam aliran absurdisme, ada beberapa pengarang fiksi/sastra yang dikenal, seperti Franz Kafka, Albert Camus, Nobokov, Samuel Beckett, Flan Brien, Eugene Ionesco, dan Arthur Adamov. Sementara itu, di Indonesia ada Iwan Simatupang, Putu Wijaya, dan Arifin C. Noer. Namun, jika kita menelisik lebih jauh dalam beberapa karya sastra, seperti puisi contohnya, ada beberapa puisi yang juga bisa dikategorikan bernuansa atau memiliki kesamaan genre dengan konsep absurdisme.

Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, ada beberapa puisi yang dihasilkan oleh penyair yang sangat kental dengan warna atau nuansa absurditas. Salah satu contohnya adalah puisi karya Chairil Anwar yang bertajuk “Derai-Derai Cemara” dan “Malam”. Di dalamnya terdapat sebuah kalimat atau sebuah kata yang seolah-olah hanya seorang Chairil Anwar yang mengerti maknanya. Oleh karena itu, pembaca mereka-reka subjektivitas pemikirannya.

Dalam puisi berjudul “Derai-Derai Cemara” terkandung makna ‘kematian’ dalam pikiran Chairil Anwar sehingga tidak terjangkau dengan nalar logis pembaca. Demikian halnya dengan peletakan kata thermopylae dalam sajak “Malam”. Itu yang kemudian membuat pembaca mereka-reka dengan keterbatasannya yang mungkin akan menjadi pertentangan konflik pikiran dengan perspektif (sudut pandang) yang berbeda. Bisa jadi, sebelum tercetusnya aliran absurdisme, ada banyak karya fiksi yang dibuat oleh pengarang tanpa dalil pembenaran sebuah aliran.

Pertanyaannya adalah apakah beberapa sastrawan Indonesia saat ini juga melakukan eksperimen karya di jalur absurdisme? Tentu hal itu tidak bisa dimungkiri karena dengan kemajuan teknologi digital, sastrawan pun ikut berpacu menghasilkan karya-karyanya dan sangat bergantung pada media sosial (medsos). Jadi, medsos mempunyai peran yang sangat vital, terutama sebagai wadah media pembelajaran. Itu mungkin yang berimbas pada pergeseran karya-karya sastra karena kejenuhan dengan sastra lama bernuansa klasik atau karena pertentangan ketidakpuasan terhadap aliran-aliran sebelumnya.

Dalam pandangan bijak dengan merefleksikan kondisi saat ini, kita tidak bisa memungkiri bahwa semarak kehidupan sastra sangat dinamis. Namun, sayangnya hal itu tidak terbangun dengan konsep desain dan pola yang jelas. Seorang pengarang fiksi, baik cerpen, puisi, maupun karya lainnya hanya terbangun dari konsep mengasah bakat sebagai penulis. Bahkan, kadang penulis tidak memiliki tujuan yang jelas, mengapa ia harus menulis puisi atau cerpen. Mereka sekadar menuangkan ide dan gagasan. Seyogianya konsep tekstual dan kontekstual harus berbanding lurus.

Sebuah transformasi sastra menjadi terpolarisasi karena tidak terbangun dari konsep tujuan yang jelas. Memang, dalam etika dan estetika sastra tidak ada batasan yang menyekat ruang dan dimensi. Siapa pun boleh menulis karya fiksi. Makin banyaknya pengarang fiksi yang berkarya, tentunya secara alamiah juga akan memunculkan seleksi alam untuk menghasilkan karya-karya bagus meski dengan segala lika-liku sebuah subjektivitas, baik pemikiran maupun faktor lainnya.

Sebagai penyelarasan akibat terjadinya transformasi era, tentu juga dibutuhkan kematangan wawasan dalam menyampaikan bahasa-bahasa sastra. Tidak hanya penguasaan sumber-sumber literasi, tetapi juga diharapkan ada riset mendalam bagi pegiat sastra. Kita tidak boleh terjebak dengan sastra identitas. Apalagi jika itu melahirkan embrio baru yang hanya untuk memuaskan segelintir orang sebagai pengakuan identitas, baik secara perseorangan maupun kelompok/komunitas. Itu akan menjadi endemi sastra pada era yang akan datang.

Dalam tinjauan penulis, untuk menghasilkan karya-karya sastra yang monumental, pengarang fiksi semata-mata tidak hanya berorientasi sesaat. Minimal karya sastra itu menjadi wahana pembelajaran kepada masyarakat untuk lebih dekat dengan hal-hal yang positif. Contohnya adalah sebagai alat untuk mempertahankan nilai-nilai ekosistem budaya. Selain itu, karya sastra bisa menjadi alat untuk meningkatkan kemahiran berbahasa bagi masyarakat. Itu bukan sekadar sebuah typo karena terjebak dengan transformasi sastra yang berorientasi pada absurditas dan arkaisme karya. ***

Vito Prasetyo

Penulis adalah sastrawan serta peminat bahasa dan budaya.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa