Sastra Kepejalanan: Mengulas Novel-Novel Jazuli Imam

Sastra adalah sebuah ilmu lama yang perkembangannya masih terus berjalan sampai hari ini. Keberagaman dan perkembangannya tidak berhenti karena sifat sastra sendiri dapat dikatakan luwes hingga dapat dipadupadankan dengan berbagai ilmu lain serta pandangan atau paradigma yang beraneka ragam. Jenis dimensi dan penggabungan ilmu dengan sastra memunculkan pandangan-pandangan baru tentang sastra itu sendiri.

Salah satu contohnya adalah sastra keagamaan. Sastra dan agama dapat dipadukan dengan berbagai ragam penafsiran karena dalam definisi yang singkat, sastra berarti sesuatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek & Warren, 2016).  Dari definisi singkat tersebut, dapat dikatakan secara eksplisit bahwa sastra dapat berupa penggambaran apa saja dan dapat menimbulkan pandangan yang beraneka rupa.

Seperti grup musik yang memiliki berbagai macam genre, mulai dari dangdut hingga punk rock, sastra pun tidak kalah dalam berbagai jenis genre dan kekhasannya. Misalnya, karya sastra karangan K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus) konsisten dengan unsur religiositasnya, tulisan-tulisan Djenar Maesa Ayu mengekspresikan perempuan dan pengarang, serta gaya khas tersendiri yang dimiliki sastrawan lain menjadikan gaya tersebut melekat pada dirinya. Kemudian, muncul pertanyaan, apakah genre atau gaya bersifat tetap? Wellek dan Warren dalam buku Teori Kesusastraan (2016: 276) mengatakan, “Mungkin tidak.” Dengan sifat luwes sastra seperti disinggung di awal, dengan adanya pandangan dan karya-karya baru yang terlahir, bisa saja kategori tentang sastra bergeser.

Pandangan kita terhadap sastra yang mengandung unsur-unsur tertentu merupakan genre atau nilai sastra yang terkandung dalam setiap karya yang lahir melewati pengindraan mendalam oleh pengarangnya, seperti sastra dan masyarakat yang kental pada karya-karya Ahmad Tohari, ekspresi perempuan pada Saman karya Ayu Utami, serta kearifan lokal dan kebudayaan yang tergambar pada Celurit Hujan Panas karya Zainul Muttaqin. Beragam penggambaran tentang ekologi, sosial, religiositas, serta kebudayaan terdapat pada ketiga novel Jazuli Imam (Pejalan Anarki, Jalan Pulang, dan Sumi).

Sebelum membicarakan ketiga novel tersebut, kita akan selami gaya bersastra Jazuli Imam terlebih dahulu. Juju (sapaan akrab Jazuli Imam) merupakan seorang penulis dan pengembara yang fokus menyuarakan keberpihakannya pada alam, masyarakat tertindas, dan dunia konservasi. Dari situlah muncul istilah pejalan yang dipopulerkan pada ketiga novelnya. Menurut KBBI, kata pejalan berarti orang yang suka atau biasa berjalan. Dalam artian yang general semacam itu, kita bisa memaknai siapa saja yang dapat berjalan atau yang biasa berjalan kaki merupakan pejalan. Namun, tidak hanya sebatas demikian kita dapat memaknai kata pejalan.

Kata pejalan memang sekilas terdengar seperti traveller atau avonturir. Namun, lebih dalam lagi, pejalan dapat dimaknai sebagai manusia yang melakukan sebuah perjalanan di mana pun dan kapan pun. Dalam perjalanannya itu, manusia tersebut dapat belajar betul terhadap kondisi tempat barunya mulai dari kehidupan masyarakatnya, budayanya, spiritualnya, bahkan sampai hal-hal yang menyangkut adat dan norma yang berlaku pada tempat tersebut. Ketika kembali ke tempat asalnya, manusia yang dikatakan sebagai pejalan itu dapat menjadi manusia yang lebih baik daripada sebelumnya karena telah belajar dari perjalanannya.

Kaitannya dengan karya sastra, kepejalanan menjadi sebuah gaya baru bercerita yang coba dikampanyekan oleh pengarang yang memiliki latar belakang sebagai pencinta alam. Febrialdi R. (@edelweisbasah) sukses dengan melahirkan novel berjudul Bara dan Gitanjali serta pengarang bernama Prasetyo Aditya (@pengedarkata) melahirkan novel berjudul Berdamai dengan Letusan. Istilah sastra kepejalanan merujuk pada dua kata, yaitu sastra dan pejalan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra kepejalanan adalah bentuk atau gaya bersastra yang di dalamnya termuat banyak pandangan atau paradigma tentang sebuah cerita perjalanan yang berisikan banyak pelajaran tentang kecintaan terhadap alam, ekspresi manusia dan masyarakat, religiositas dan spiritualitas, budaya, serta ajaran moral yang terkandung di dalamnya.

Contoh sastra kepejalanan ini dapat ditemukan dalam novel-novel yang dikarang oleh Jazuli Imam. Pada novel yang berjudul Pejalan Anarki, Jazuli Imam menceritakan kisah hidup tokoh bernama El yang bertahan hidup sendiri untuk mencukupi kebutuhannya. El berkuliah di kampus swasta di Yogyakarta dengan biaya hidup sendiri yang didapat dari usahanya mengelola brand pakaian outdoor. Kemandirian, relasi, dan sikap berjuang El untuk dirinya menjadi sorotan dalam novel ini. Pejalan Anarki juga menggambarkan paradigma baru tentang kehidupan. Di novel ini disajikan suatu penerapan idealisme yang dilakukan oleh tokoh El dalam konsistensinya menjaga dan melakukannya.

"Segala bentuk ketergantungan adalah penjajahan." (hlm. 309)

“Aku wajib malu pada kehidupan, jika merasa bersedih dan bisa menangis saat diri disakiti, namun baik-baik saja melihat segala kekeliruan yang menyedihkan di dunia." (hlm. 33)

            Kepejalanan dalam Pejalan Anarki juga tergambar dari El yang seorang pejalan. Dalam kisahnya, El kenal dengan berbagai macam golongan masyarakat. Anak-anak kecil, orang-orang di desa, serta namanya yang cukup tenar di dunia pencinta alam diceritakan di dalam novel. Religiositas juga terdapat pada novel ini, seperti pencarian makna tentang Tuhan yang digambarkan dalam sebuah kutipan berikut.

"Jika kau butuh lebih dari sekedar tafsiran tentang siapa itu Tuhan, teman, dan diri sendiri, pergilah mendaki gunung atau mengheninglah." (hlm. 16)

            Masalah atau persoalan sosial juga dibahas dalam novel ini. Penghargaan terhadap manusia juga diungkap Jazuli Imam dalam paradigmanya memandang manusia.

"Sekolah, titel, gelar, dan semacamnya itu, sekarang cuma jadi topeng dari kebodohan banyak manusia. Seorang dengan kecerdasan, ia tidak butuh gelar untuk diakui. Perbuatannya, karyanya, manfaat-manfaat yang diciptakan bagi sekitar adalah sesuatu yang membuat ia dianggap hidup." (hlm. 275)

Begitu juga dalam pandangannya terhadap kekerasan yang disampaikan melalui kutipan berikut.

"Kekerasan adalah manifestasi kebodohan terbesar manusia." (hlm. 295)

Dalam novel ini, Jazuli Imam juga memperkenalkan kata anarki yang sudah mendapat citra buruk dari kebanyakan masyarakat Indonesia. Kata anarki yang dalam KBBI berarti kekacauan dipatahkan oleh sosok El yang berpenampilan urakan, tetapi memiliki kelembutan dan jiwa sosial tinggi. Novel Pejalan Anarki ini menjadi pembuka bagi pembaca untuk lebih memahami arti kepejalanan dalam karangan Jazuli Imam yang lain, yaitu Jalan Pulang yang menceritakan tokoh sentral Sekar, tokoh yang diceritakan sama seperti tokoh El di novel sebelumnya. Novel Pejalan Anarki dan Jalan Pulang merupakan dwilogi yang diberi judul Sepasang yang Melawan.

Novel kedua yang berjudul Jalan Pulang ini menceritakan lanjutan kisah El dan Sekar yang kini sudah memiliki frekuensi pemikiran yang sama, pemikiran pejalan. Berbeda dengan novel pertamanya yang berbicara tentang idealisme dan sosok anarki El, Jalan Pulang bisa dianggap lebih romantis karena banyak berisikan puisi yang ditulis oleh El kepada Sekar. Selain berfokus pada Sekar, di buku ini kita juga akan diperkenalkan dengan sosok perempuan hebat lain bernama Eliza Puteri, seorang guru muda yang mengajar di sebuah distrik kecil di Merauke, Papua. Bersama dengan Eliza, kita diajak untuk mengikuti liku-liku birokrasi dan wajah pendidikan di timur Indonesia.

Kritik sosial yang dilakukan Jazuli Imam pada novel keduanya ini menyoroti sistem pendidikan di Papua yang jauh dari kata layak seperti di daerah-daerah Indonesia yang lain. Jalan Pulang juga banyak memprotes kebijakan-kebijakan lain di Papua yang dianggap keliru dan merugikan, terutama mengenai penebangan hutan, deforestasi, penambangan, degradasi lahan, pencemaran lingkungan, hingga konflik-konflik yang biasa terjadi di batas negara.

Dwilogi ini (Pejalan Anarki dan Jalan Pulang) memberi gambaran tentang sastra dan dunia kepejalanan yang erat untuk disuarakan, mulai dari religiositas, sosial masyarakat, bahkan sampai masuk ke ranah pendidikan, politik, dan ketertindasan yang terjadi di ujung timur wilayah Indonesia.

Novel ketiga yang juga menjadikan Jazuli Imam layak diselami sebagai pengarang berhaluan pejalan adalah novel berjudul Sumi. Novel ini menceritakan perjalanan seorang tokoh bernama Sumi di daerah bernama Ujung Timur. Ujung Timur yang diceritakan dalam novel ini dapat kita terka sebagai Papua karena narasi-narasi dalam novel ini menggambarkan suku-suku tradisional, keindahan alam berupa hutan dan kekayaan satwa, serta kondisi geografis yang pembaca dapat dengan mudah menebak lokasi bahwa latar dalam novel tersebut adalah Papua.

Peristiwa seperti eksploitasi hutan berupa alih fungsi menjadi lahan sawit dan deforestasi yang dilakukan di Ujung Timur ini menjadi fokus utama cerita yang terjadi pada tokoh Sumi. Selain itu, diceritakan pula kisah keluarganya yang menjadi penyebab Sumi pergi dari rumah dan meninggalkan pekerjaannya di kantor asuransi. Sumi menyimpan unsur-unsur yang kompleks, seperti konflik batin yang dialami karena tekanan keluarga hingga peristiwa rasisme yang terjadi di Indonesia (mengutip kejadian rasisme terhadap Papua di Jawa).

“Sumi tidak menangis, sebab Ayah tidak menyukai orang yang cengeng. Ayah akan marah jika Sumi menangis, meski Ayah tahu Sumi tidak menyukai orang yang marah.” (hlm. 1)

“Televisi dan radio ramai memberitakan berita buruk tersebut. Stigma perusuh dan subversif bagi pemuda Ujung Timur bersilarat di media. Satu hari setelahnya, kabar serupa ramai tersiar; sebuah asrama mahasiswa Ujung Timur di Yogyakarta digeruduk ormas yang sama. Entah apa relasinya, yang pasti, di Jakarta dan di Yogya, seragam khas ormas terbesar kedua di negara itu adalah barisan paling dominan yang melakukan sweeping ke asrama, rumah kontrakan, kos-kosan, dan semua tempat yang disinyalir menjadi tempat tinggal orang-orang timur.” (hlm. 190)

Selain konflik batin dan rasisme yang diceritakan dalam novel Sumi, Jazuli Imam juga menjelaskan dengan narasi yang apik tentang kerusakan hutan yang terjadi di Ujung Timur dan juga nilai religius agama Buddha yang disampaikan oleh tokoh Meta, seorang tokoh yang ditemui Sumi ketika Meta sedang melakukan touring dengan rombongan vespanya.

"Deforestasi besar-besaran sedang dilakukan dan akan terus terjadi di hutan Ujung Timur, yang terbesar adalah yang berada di hutan Jantung Timur. Perusahaan kayu dan perkebunan sawit adalah dua hal utama di balik itu semua selain pembukaan sawah padi.” (hlm. 161)

“Dedaunan liar tidak mengganggu, duri tidak menyakitkan, pohon tumbang tidak menyulitkan, bebatuan cadas tidak melukai, babi hutan tidak mencuri, kemudian udara dingin atau badai tidaklah membunuh. Pandangan yang seperti itu bermula dari cinta kasih.” (hlm. 145—146)

Pejalan Anarki, Jalan Pulang, dan Sumi menjadi sebuah pandangan atau daya tangkap terhadap realitas yang dilakukan oleh Jazuli Imam. Melalui karyanya, pandangan baru berupa karya sastra yang mengandung makna pejalan dapat ditangkap oleh pembaca yang melakukan pembacaan kritis atas karya sastra yang dilahirkan Jazuli Imam. Kepejalanan ini digambarkan pada cerita-cerita di setiap novel yang ditulisnya. Sastra kepejalanan yang terkandung ini menjadi sebuah paradigma baru dalam genre dan gaya khas dalam kepenulisan sastra modern di Indonesia. Sastra kepejalanan menjadi sebuah pandangan baru dalam sebuah kacamata dalam memandang karya sastra. Pada perkembangannya, dimensi sastra yang lain pun akan terus lahir dan berkembang seiring berkembangnya ilmu pengetahuan manusia dan daya cipta pengarang dalam menghasilkan karya sastra pada masa mendatang.

 

Daftar Bacaan

Imam, Jazuli. (2016). Pejalan Anarki. Yogyakarta: Djelajah Pustaka.

Imam, Jazuli. (2016). Jalan Pulang. Yogyakarta: Djelajah Pustaka.

Imam, Jazuli. (2020). Sumi. Yogyakarta: Djelajah Pustaka.

Wellek, R., & Warren, A. (2016). Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa