Keterkaitan Kemahiran Berbahasa dengan Muatan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah

I. Pendahuluan

            Sebagai guru pengampu materi pelajaran Bahasa Indonesia dan berbekal pengalaman sebagai tutor di beberapa bimbingan belajar selama lebih dari 10 tahun, penulis menemukan dua fakta unik yang terkesan bertolak belakang. Penulis sudah meringkasnya dalam esai dan diterbitkan di Kompas dengan tajuk “Supaya Siswa Kasmaran Berliterasi” (Situmorang, 6 November 2020). Esai singkat itu saya buat sebagai respons kekecewaan saya ketika Panitia Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) III kurang peduli pada gagasan saya bahwa hal pokok yang harus segera diperbaiki untuk meningkatkan semangat literasi di kalangan pelajar adalah pembenahan ulang materi mata pelajaran Bahasa Indonesia.

            Dengan mengadopsi Kurikulum 2013, saat ini topik Bahasa Indonesia terkesan menjauh dari sastra. Dari delapan bab dalam 1 tahun pelajaran untuk tiap tingkatan di kelas SMA (X, XI, dan XII), misalnya, hanya satu bab yang berkaitan dengan sastra. Selebihnya, topik lainnya cenderung membosankan dan berulang-ulang. Semua topik pelajaran pada SMP akan diulang pada SMA. Ada juga, misalnya, teks laporan yang akan dipelajari pada SMP lalu dilanjutkan pada SMA. Secara teori, mengajarkan topik ini tak sampai satu jam pembelajaran. Namun, pada praktinya, untuk topik ini, lebih dari sebulan pembelajaran. Oleh karena itu, penulis mengerti kebosanan siswa sebab topik yang diberikan jauh dari menantang.

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis sering mendapatkan dua kenyataan yang sangat bertolak belakang dari lembaga pendidikan, terutama yang bersifat formal dan informal. Di sekolah, misalnya, setiap jam mata pelajaran Bahasa Indonesia tiba, semangat siswa akan jauh lebih terasa daripada ketika jam mata pelajaran eksakta. Namun, berbeda halnya di bimbel. Setiap jadwal mata pelajaran Bahasa Indonesia tiba, siswa sama sekali tak tertarik. Pertanyaan pun muncul. Mengapa di sekolah siswa lebih bersemangat belajar Bahasa Indonesia, sementara di bimbel mata pelajaran Bahasa Indonesia terkesan justru begitu dihindari?

Banyak kemungkinan yang bisa menjadi jawaban. Namun, dalam benak penulis, ketika belajar di sekolah (formal), pelajaran Bahasa Indonesia digunakan siswa sebagai waktu istirahat setelah lelah menguras pikiran pada mata pelajaran yang lain. Pada titik seperti ini, belajar bahasa Indonesia rupanya tidak membutuhkan proses berpikir. Senapas dengan itu, di bimbel (informal), saat belajar bahasa Indonesia, siswa pun merasa belum perlu menguras pikiran sehingga lebih baik tabungan pikiran itu dihibahkan ke pelajaran yang lain. Dengan begitu, ketika mata pelajaran Bahasa Indonesia tiba, siswa akan bermalas-malasan, jauh dari kata antusias. Andai saja hipotesis saya ini benar, nyatalah bahwa mata pelajaran Bahasa Indonesia ada semata karena kita tinggal di Indonesia.

Artinya, belajar bahasa Indonesia bagi siswa hanya formalitas belaka: keharusan, bukan kebutuhan. Siswa hanya terpaksa belajar bahasa Indonesia. Padahal, segala yang terpaksa tak pernah baik. Hasilnya akan buruk. Hal ini dengan mudah bisa kita baca dari berbagai studi, salah satunya dari The World’s Most Literate Nations 2016, yakni kita menempati urutan ke-60 dari 61 negara. Kita hanya unggul dari Botswana, negara kecil yang tertinggal di Afrika. Peringkat ini terlihat sangat buruk. Bahkan, dalam pemikiran saya, hasil studi ini rasanya tidak benar atau mengada-ada.

Namun, riset lain ternyata menunjukkan hal yang sama. Kemampuan membaca kita masih sangat rendah. Menurut UNESCO, keterbacaan kita hanya 0,001 (dari 1.000 orang hanya satu yang membaca). Jika penelitan ini dielaborasikan di sekolah, sangat mungkin kita menyebutkan bahwa pada satu sekolah belum tentu ada siswa yang rajin membaca. Saya ambil contoh dari sekolah saya dengan rombongan belajar 30 dengan jumlah siswa 36 per kelas (30x36). Berarti, ada 1.080 siswa. Dari 1.080 siswa ini, dengan mengacu pada studi UNESCO, hanya satu siswa kami yang rajin membaca.

Saya mengambil contoh sederhana itu supaya kita mulai berpikir teknis bahwa ada yang salah dalam materi mata pelajaran Bahasa Indonesia sebagai ujung tombak dalam gerakan literasi. Sangat mudah membayangkan jika dari 1.080 siswa itu hanya ada satu orang siswa yang rajin membaca, selebihnya adalah siswa yang malas membaca. Padahal, dari 1.080 siswa tersebut, untuk tataran daerah kami, sudah pasti merekalah yang akan menjadi pemegang tonggak kepemimpinan dan kemajuan. Lalu, kepemimpinan dan kemajuan seperti apa yang akan didapatkan dari siswa yang malas membaca?

II. Pembahasan

Sejauh ini gerakan membaca masih terkesan diabaikan. Membaca belum menjadi kebutuhan. Dalam pengamatan saya, hal itu terjadi karena banyak pendidik dan siswa yang beranggapan bahwa membaca hanya untuk memperoleh informasi. Saya mengetahui itu setelah bertanya kepada siswa tentang alasan mengapa mereka tak bergairah membaca. Alasan yang mereka berikan adalah membaca hanya untuk mendapatkan informasi. Tenaga pendidikan bahkan ada yang berpikiran lebih dangkal dengan menyebut bahwa gerakan membaca adalah gerakan kembali ke anak SD. Tenaga kependidikan itu mengartikan membaca sebagai mengeja saja. Wajarlah kemudian siswa kita sebagai generasi penerus bangsa ini malas membaca.

 Dalam penemuan penelitian saya (sudah diterbitkan pada portal badanbahasa.kemdikbud.go.id dengan judul “Menumbuhkan Gerakan Literasi di Sekolah”), terungkap bahwa gerakan literasi dibuat sebagai gerakan tanpa arah, apalagi jiwa. Di beberapa sekolah gerakan literasi digunakan gurunya sebagai waktu untuk istirahat. Ketika guru istirahat, siswa pun bermain-main di kelas. Siswa sama sekali belum memahami manfaat membaca. Bagi mereka, membaca hanya menambah informasi dan kegiatan membaca semestinya sudah selesai setelah mereka bisa mengeja.

a. Memaknai Ulang Gerakan Membaca di Sekolah

Menurut saya, hal ini bermasalah. Perlu diberi pemahaman kepada guru agar mereka bisa memahamkan siswa tentang manfaat membaca. Negara-negara yang maju saat ini sudah punya sejarah masa lalu dengan kegiatan literasi yang ditekuni. Artinya, jika hendak menjadi negara maju pada masa depan, gerakan literasi yang dilaksanakan dengan tekun dan terarah harus dibibitkan sejak dini dari sekolah. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa kemajuan sebuah bangsa erat kaitannya dengan budaya tekun membaca sebuah bangsa. Dengan bahasa sederhana, membaca adalah fondasi awal kemajuan.

Di samping itu, Far (1984: 5) mengatakan bahwa membaca merupakan jantung pendidikan. Artinya, tanpa membaca, mustahil timbul kehidupan dari pendidikan. Membaca adalah berpikir, bahkan membentuk pola pikir. Oleh karena itu, membaca bukanlah persoalan sederhana. Membaca pada hakikatnya adalah sesuatu yang rumit yang melibatkan banyak hal, tidak sekadar melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan aktivitas visual, berpikir, psikolinguistik, dan metakognitif. Sebagai proses visual, membaca merupakan proses menerjemahkan simbol tulis (huruf) ke dalam kata-kata lisan. Sebagai proses berpikir, membaca mencakup aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis, dan pemahaman kreatif (Rahim, 2008). Sejalan dengan itu, Finonchiaro mendefinisikan membaca sebagai suatu usaha memetik dan memahami makna yang terkandung dalam bahasa tertulis, baik makna yang tersirat dengan cara memproses informasi, silabas, sintaksis, maupun semantik (Tarigan, 2008). Oleh karena itu, tidak mengherankan sebuah bangsa benar-benar maju karena budaya membaca. Contoh yang sederhana bisa kita ambil dari pengalaman Jepang.

Pada 2002 Jepang sudah dipercaya menjadi tuan rumah Piala Dunia. Hal ini terjadi karena prestasi sepak bola di Jepang melejit dengan signifikan. Prestasi ini terilhami komik andalan mereka yang berjudul Captain Tsubasa yang baru terbit pada 8 tahun sebelumnya, yaitu tahun 1994. Dari pengalaman Jepang, seharusnya kita mengerti bahwa Captain Tsubasa tak hanya cerita dalam buku. Dengan membaca, cerita dalam buku itu mendadak hidup pada imajinasi anak muda di Jepang. Dalam istilah David McClelland sebagaimana terangkum dalam buku Arief Budiman berjudul Teori Pembangunan Dunia Ketiga, hal itu disebut sebagai “virus prestasi”, sebuah virus yang menggerogoti hasrat untuk berprestasi.

Virus inilah, menurut David McClelland, yang membuat Inggris jauh lebih maju daripada Spanyol sejak abad ke-16. Kita tahu bahwa semula Inggris dan Spanyol adalah dua negara raksasa. Namun, sejak abad ke-16, kedua negara ini menjadi berbeda. Sebagai seorang psikolog sosial asal Amerika yang tertarik pada masalah pembangunan, David McClelland membuat penelitian tentang bangsa tertentu yang rakyatnya bekerja keras untuk maju dan bangsa lain yang tidak maju. Lebih spesifik, ia meneliti pesatnya kemajuan Inggris serta stagnasi dan melempemnya Spanyol.

David McClelland akhirnya mengetahui bahwa faktor penentu dan pembeda antara Spanyol dan Inggris terletak pada muatan buku. Pasalnya sebagaimana disebut Agus M. Irkham (Tempo, 2 September 2014), dongeng dan cerita anak di Inggris pada awal abad ke-16 itu mengandung semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit “butuh berprestasi”. Sementara itu, cerita anak dan dongeng yang ada di Spanyol didominasi oleh cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati dan meninabobokan.

Berdasarkan kenyataan itu (tidak hanya jumlah buku, tetapi lebih penting juga isinya), pantas saja negara kita makin tertinggal dalam hal prestasi karena jangankan kualitas buku yang membuat “virus prestasi”, jumlah buku kita saja masih sangat minim seperti dikutip di atas. Oleh karena itu, gerakan literasi harus diseriusi dan tidak bisa mundur meski saat ini cenderung gagal. Hasil GLN tidak seperti memakan cabai. Diperlukan proses untuk melihat hasilnya, bahkan sampai berpuluh-puluh tahun.

Berdasarkan penelitian David McClelland, perubahan mental di Spanyol dan di Inggris setidaknya membutuhkan waktu selama 25 tahun. Memang ada yang relatif singkat. Jepang, misalnya, untuk mengubah mental sepak bola, hanya butuh waktu 8 tahun. Jepang menjadi tuan rumah Piala Dunia 2002, padahal komik Captain Tsubasa yang menjadi andalan mereka untuk mengubah mental anak mudanya tentang sepak bola baru terbit pertama kali pada 1994. Artinya, cepat atau lambat, kita akan memanen hasil kerja keras kita melalui GLN.

Dengan cakupan yang lebih luas, ternyata David McClelland juga mengumpulkan 1.300 cerita anak dari banyak negara sejak era 1925 hingga 1950. Dari penelitian itu, David McClelland meyakini bahwa cerita anak yang mengandung “hasrat untuk berprestasi” yang tinggi pada suatu negeri akan diikuti pula dengan pertumbuhan negeri tersebut. Persoalan di negeri kita adalah pelajaran Bahasa Indonesia sebagai corong utama untuk meningkatkan budaya membaca masih sangat bermasalah dari berbagai arah. Seperti disebutkan di awal tulisan ini, persoalannya menyangkut materi ajar Bahasa Indonesia yang cenderung gramatikal daripada membaca.

Dalam pengamatan sederhana saya, inilah yang sekurang-kurangnya membuat semangat belajar membaca anak lemah. Pasalnya, juga seperti saya utarakan dalam berbagai artikel, siswa lebih senang belajar bahasa Indonesia jika banyak muatan materi sastra. Siswa makin bersemangat pula jika dilibatkan secara aktif untuk mendebatkan hasil pemikiran karya sastra tersebut. Hal itu saya ketahui dari salah seorang siswa saya yang pernah mengalami pertukaran siswa selama setahun di Italia. Menurut siswa tersebut, belajar bahasa di sana justru sangat menyenangkan dan dinantikan oleh siswa. Menurutnya, belajar bahasa di Indonesia justru tidak menyenangkan.

b. Teladan Berbahasa dari Guru Bahasa Indonesia

Jika pernyataan siswa tersebut bisa mewakili seluruh aspirasi siswa Indonesia, sudah sepatutnya kita merombak muatan mata pelajaran Bahasa Indonesia agar lebih bergairah. Memang pembelajaran yang bergairah tergantung pada guru pengampu juga. Namun, muatan pembelajaran juga sangat mendukung dan membantu guru untuk berkreasi lebih tinggi dalam membelajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Faktanya, seperti dikhawatirkan banyak orang, semangat budaya membaca siswa sangat rendah. Hasil PISA dari periode ke periode, khususnya dalam ranah literasi, selalu menempatkan siswa kita pada papan terbawah.

Hal ini makin menandaskan bahwa memang semangat berbahasa siswa kita masih mengkhawatirkan. Agus Fitrianto menulis bahwa budaya membaca siswa kita (SMA) masih nol judul buku setiap tahunnya (Kompas, 10 Agustus 2021). Kondisi ini jauh berbeda dengan siswa-siswa sederajat dari negara-negara maju, seperti Jerman (32), Belanda (30), Rusia (12), dan Jepang (15). Dengan negara tetangga sesama Melayu, kita juga kalah dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia (6). Minat baca ini menjadi petunjuk besar bahwa kemampuan berbahasa siswa kita masih sangat rendah. Untuk memperbaikinya, guru harus menjadi teladan yang baik.

Persoalannya lagi, ternyata guru pun, khususnya yang berstatus guru Bahasa Indonesia, masih kurang antusias dalam membelajarkan bahasa. Padahal, guru Bahasa Indonesia sering kali diplot menjadi panutan hidup. Sayangnya, dalam esai yang terangkum dalam buku Guru Gokil Murid Unyu, Johannes Sumardinata mengisahkan bahwa dari ribuan guru Bahasa Indonesia, tak sampai 0,5 persen yang pernah membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Mereka bahkan tidak mengenali buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara, apalagi Paulo Freire. Senada dengan itu, menurut penelitian Anita Lie (Kompas, 5 Maret 2019), hampir separuh sampel guru Bahasa Indonesia tak bisa menulis tiga paragraf esai. Bahkan, masih ada guru yang tak mengerti apa itu paragraf.

Dengan logis, tentu bisa muncul kritik. Jika profil gurunya saja masih jauh dari semangat berliterasi, konon siswanya? Kita mengenal peribahasa untuk menggambarkan itu: guru kencing berdiri, siswa kencing berlari. Oleh karena itu, peran guru, terutama guru Bahasa Indonesia sangat dibutuhkan untuk menuntaskan Gerakan Literasi Nasional dari sekolah. Kehadiran guru sangat dibutuhkan agar gerakan literasi menjadi lebih bermakna, tidak lagi sebatas baca buku. Peran guru pengampu sangat besar. Dilansir dari kemdikbud.go.id, seperti dikutip sebelumnya, siswa yang dilibatkan oleh guru atau orang tua dalam pelajaran membaca memiliki skor 30 poin lebih tinggi daripada siswa yang sama sekali tidak dilibatkan oleh orang tua atau guru.

c. Modifikasi Muatan Pelajaran Bahasa Indonesia

Walau begitu, sebagai guru, hal mendasar yang perlu dirancang adalah memodifikasi muatan pembelajaran bahasa Indonesia, terutama tujuannya. Disadari atau tidak, tujuan pembelajaran bahasa Indonesia saat ini sangat dangkal. Pembelajaran nyaris tak berjiwa sehingga belajar bahasa Indonesia menjadi keringGuru lebih sibuk mengajarkan bahasa Indonesia melalui pendekatan soal-soal. Hal ini terjadi karena pada akhirnya tujuan pembelajaran bahasa Indonesia sangat sederhana, yaitu lulus UN dan PTN melalui seperangkat soal-soal. Karena sibuk membahas soal-soal itulah, kita kemudian lupa pada hal yang paling mendasar, yaitu kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Padahal, kemampuan itulah yang diharapkan melalui belajar bahasa, bukan semata mahir menjawab soal. Sebagai dampaknya, seperti yang sudah dikutip banyak media, kemampuan literasi kita selalu rendah.

            Betapa tidak? Kita berada pada level <1> yakni level yang menurut OECD hanya mampu membaca teks singkat tentang topik yang sudah akrab. Buruknya peringkat dan kemampuan literasi ini bukan hanya terlihat dari hasil survei, melainkan juga terlihat jelas dari produksi buku-buku kita. Menurut Ikatan Penerbitan Indonesia (2015), penerbit Indonesia rata-rata hanya menerbitkan 30.000 judul. Hal ini sangat tak sehat. International Publishers Association menyebutkan bahwa sehat tidaknya keterbacaan dapat dilihat dengan membandingkan jumlah buku per sejuta penduduk. Menurut BPS (2015), penduduk kita berjumlah 255.461.700 jiwa. Artinya, hanya delapan judul buku per sejuta penduduk (Billy Antoro).

Angka ini kalah jauh dari Thailand yang mencapai angka 168, bahkan dari Kenya sekalipun, yaitu mencapai sebelas judul per sejuta penduduk. Uniknya, meski kalah dari segi buku, kita justru unggul dari segi infrastruktur. Dalam survei Central Connecticut State University, kita berada pada peringkat ke-36, unggul dari Singapura dengan peringkat ke-59, Malaysia pada peringkat ke-44, Korea Selatan pada peringkat ke-42, dan Jerman yang berada pada peringkat ke-47. Pertanyaannya adalah mengapa tingkat literasi kita sangat jelek. Jawaban atas pertanyaan ini sebetulnya sangat sederhana, yaitu karena pelajaran Bahasa Indonesia kita tak menggalakkan literasi sejak dini dan dengan benar.

Penyebabnya beragam. Salah satunya adalah karena muara pengajaran bahasa Indonesia sangat dangkal, sekadar mampu lulus UN dan SBMPTN. Pengajaran bahasa Indonesia akhirnya fokus pada tanda-tanda baca atau penulisan kata sehingga lupa bahwa ada yang paling penting di dalam bacaan itu, yaitu alur cerita dan segenap persoalan yang ada di dalamnya. Dampak yang lebih hebat pun terjadi, yakni imajinasi, ketahanan, apalagi minat membaca siswa sama sekali tidak terbangun. Alih-alih terbangun, ketika menghadapi soal wacana, para siswa lebih sering meminta trik tentang bagaimana menjawab soal-soal tanpa membaca wacana kepada gurunya.

Triknya tentu sederhana, yaitu lihat tanda baca jika yang ditanya tanda baca, fokus pada penulisan kata-kata jika yang ditanya penulisan kata, atau beri perhatian khusus pada kalimat pertama dan kedua atau kalimat terakhir jika yang ditanya adalah ide pokok paragraf. Jangan habiskan waktumu untuk membaca wacana! Itu saja! Untuk menjawab soal-soal demikian, metode di atas selain hemat waktu, juga ternyata sangat jitu. Sayangnya, kalau siswa sudah diajarkan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) berkali-kali, dengan metode di atas sebenarnya kita justru menyingkirkan satu tujuan penting dari pengajaran bahasa, yaitu membaca.

Dengan demikian, tidak mengherankan jika saat ini minat membaca siswa kita sangat rendah. Hal ini diperparah lagi dengan lingkungan siswa yang tak memberi teladan tentang pentingnya budaya membaca. Strategi yang sudah matang pun tak dilakukan dengan teknis-teknis yang baik. Berdasarkan sebuah survei yang dilakukan pada awal 2017, dari 24 sekolah dasar yang disurvei di sebuah kota, hanya 33% yang rutin melaksanakan sesuai dengan panduan gerakan literasi sekolah. Bahkan, masih terdapat 33% sekolah yang belum pernah melakukan program implementasi gerakan literasi sekolah sesuai dengan panduan, kemudian selebihnya pernah melaksanakan, tetapi tidak rutin (Krismanto, 2017).

d. Mendalami Bacaan pada Pelajaran Berbahasa

Apakah PISA bisa menjadi rujukan bahwa memang ada masalah dengan pembelajaran bahasa Indonesia? Jika saja keterampilan berbicara hanya soal mengeluarkan bunyi dari mulut, keterampilan mendengar hanya soal menggunakan telinga, keterampilan membaca hanya soal mengeja, dan keterampilan menulis hanya soal menggunakan pena, tentu hasil PISA tak pantas menjadi rujukan karena dengan keterampilan terbatas tersebut di atas, kemampuan literasi kita sudah mumpuni sehingga pantas disebut melek literasi. Oleh karena itu, pelajaran Bahasa Indonesia sudah berhasil membuat siswa menjadi anak-anak yang mahir berbahasa.

Namun, keterampilan berbahasa adalah sesuatu yang rumit. Sederhananya, tak bisa lagi sebatas LOTS (lower order thinking skills), tetapi sudah HOTS (higher order thinking skills). Faktanya, sejauh ini kita masih mengandalkan keterampilan berbasis LOTS. Bukti kecilnya adalah ketika soal tipe HOTS diterapkan pertama kali, siswa kita langsung meraung-raung di media sosial. Raungan itu sebenarnya masuk akal karena bagaimana mungkin siswa bisa mengerjakan soal HOTS jika selama ini mereka sibuk pada penulisan tanda baca atau penulisan kata tanpa ikut mendalami kasus dalam alur cerita wacana itu. Oleh karena itu, sudah saatnya kita masuk mendalami bacaan.

Dalam hal ini, kemampuan para penulis buku ajar, penyusun soal, dan guru dalam memfasilitasi dan membiasakan siswa dengan bacaan dan soal yang high order thinking skils (HOTS) sangat dibutuhkan. Widiningsih (2019) menjelaskan bahwa wacana dan penilaian yang berorientasi high order thinking akan mengarahkan pada proses pembentukan keterampilan dalam hal 1) transfer satu konsep ke konsep lainnya, 2) memproses dan mengintegrasikan informasi, 3) mencari kaitan dari berbagai informasi yang berbeda-beda, 4) menggunakan informasi untuk menyelesaikan masalah, dan 5) menelaah ide dan informasi secara kritis.

Sesuai dengan pernyataan tersebut, makin nyata di pikiran kita bahwa membaca tidak semudah mengeja atau membaca berbeda dengan mengeja. Mengeja hanya teknis menggabungkan huruf, sementara membaca adalah memaknai gabungan huruf. Membaca merupakan suatu kegiatan atau proses kognitif yang berupaya untuk menemukan berbagai informasi yang terdapat dalam tulisan (Dalman, 2013: 5). Menurut Bobi de Porter dalam Quantum Teaching (2015), sumber pengetahuan siswa berasal dari kemampuan indrawi, yakni melihat, merasakan, mencium, dan sebagainya. Membaca berarti sudah melibatkan semua sumber pengetahuan untuk bekerja: kemampuan indrawi.

Dari berbagai teori di atas, kita sudah mengetahui bahwa membaca itu sangat penting. Seharusnya, materi pembelajaran bahasa Indonesia peru diperkuat muatannya untuk merangsang semangat budaya membaca siswa. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan kemahiran berbahasa siswa. Jika muatannya tak diperdalam untuk merangsang kegiatan membaca, sebagai guru, saya sangat khawatir pembelajaran bahasa Indonesia kian lama kian kering dan tak berjiwa atau sebagaimana sudah disebutkan di atas, pembelajaran bahasa Indonesia menjadi sebatas formalitas di Indonesia, yakni hanya karena kita orang Indonesia. Lantas, kalau demikian halnya, kemahiran berbahasa macam apa yang bisa kita harapkan dari siswa?

Menurut teori behaviorisme Throndike, proses pembelajaran (tentu juga termasuk pembelajaran bahasa Indonesia) didasarkan pada hubungan antara rangsangan (stimulus) dan balasan (respons). Ada tiga hukum pembelajaran. Pertama, jika kondisi peserta didik disiapkan lebih dahulu sebelum mengiktui pembelajaran (rangsangan), hasil pembelajaran (respons) makin meningkat atau sering juga disebut law of readiness. Kedua, jika peserta didik dilatih terus-menerus untuk melakukan pembelajaran (rangsangan), hasil pembelajaran (respons) akan makin meningkat atau sering juga disebut sebagai law of exercise. Ketiga, jika perserta didik memperoleh kepuasan mengikuti pembelajaran (rangsangan), hasil pembelajaran (respons) akan makin meningkat atau sering disebut law of effect.

Dari ketiga hukum pembelajaran itu, tampak bahwa rangsangan sangat penting untuk mendapatkan respons sebagai output yang diharapkan. Namun, rangsangan ini bisa menjadi tumpul ketika materi pembelajaran tidak menyenangkan untuk diorkestrasi dan dikembangkan, apalagi kemudian, untuk satu topik, kita harus berjumpa selama hampir sebulan penuh. Yang terjadi di lapangan adalah siswa justru merasa bosan karena materinya itu-itu saja.

III. Penutup

Pada akhirnya, belajar dari pengalaman, saya menyimpulkan bahwa hubungan kemahiran berbahasa kita sangat erat dengan materi pembelajaran bahasa, terutama bahasa Indonesia. Jika materinya padat, menyenangkan, menantang, atau bahkan menegangkan, pembelajaran akan makin menarik dan berjiwa. Siswa pun mendapatkan ilmu pengetahuan yang hidup dari buku, dari guru, dari dialektika sesama siswa, atau bahkan dari perjalanannya sendiri ketika belajar. Sebaliknya, jika materinya dangkal, membosankan, dan terkesan berulang-ulang, ambisi siswa untuk belajar pun rendah karena mereka tak mendapatkan rangsangan sesuai dengan hukum belajar.

Kenyataannya adalah terkesan langsung terpatri di kepala para siswa jika materi pembelajaran bahasa sangat miskin dan berkutat di topik-topik itu saja, pembelajaran bahasa menjadi kaku dan mekanis. Oleh karena itu, untuk merangsang imajinasi siswa dalam berbahasa agar kemahiran mereka bisa dilejitkan, hal mendesak yang perlu dilakukan adalah merevolusi dan mengembangkan muatan isi dan pembelajaran bahasa Indonesia. Saya sangat yakin hal ini terkait dengan apa yang dikeluhkan siswa, yakni pembelajaran bahasa Indonesia tidak semenarik pembelajaran bahasa di negara lain karena muatan pembelajaran kita sangat mekanis dan membosankan. Oleh karena itu, mari kita sama-sama berpikir untuk memodifikasi muatan isi pembelajaran bahasa Indonesia!

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Budiman, Arif. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia.

Dalman. 2013. Keterampilan Membaca. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Driana, Elin. (2012, 14 Desember). “Gawat Darurat Pendidikan”. Jakarta: Kompas.

Farida, Rahim. 2008. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Fitrianto, Agus. (2021, 10 Agustus). “Korona, ‘Pengasingan’, dan Membaca Buku”. Jakarta: Kompas

Harsiati, Titik. 2018. Karakteristik Soal Literasi Membaca pada Program PISA. Vol. 17, No.1. Malang: Unimal.

Ibarhim, G.A. (2017, 29 April). “PISA dan Daya Baca Bangsa”. Jakarta: Kompas

Kemdikbud.go.id. (2019, 4 Desember). “Hasil PISA Indonesia 2018: Akses Makin Meluas, Saatnya Tingkatkan Kualitas”. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/12/hasil-pisa-indonesia-2018-akses-makin-meluas-saatnya-tingkatkan-kualitas

Kuder, S.J. dan Hasit, C. 2002. Enhancing Literacy for All Students. Pearson Education, Inc. New Jersey, USA.

Media Indonesia. (2021, 23 Mei). “Susupan Paham Radikal Lewat Gerakan Literasi”. https://mediaindonesia.com/opini/354722/susupan-paham-radikal-lewat-gerakan-literasi

Situmorang, Riduan. (2016, 27 September). “Gagap Membaca Fakta”. Jakarta: Kompas.

Situmorang, Riduan. (2019, 11 April). “Mengapa Materi Bahasa Indonesia Menjadi Momok?”. https://basabasi.co/mengapa-materi-bahasa-indonesia-jadi-momok/

Situmorang, Riduan. (2019, 25 April). “Refleksi Hari Buku”. https://basabasi.co/refleksi-hari-buku/

Situmorang, Riduan. (2020, 6 November). “Supaya Siswa Kasmaran Berliterasi”. Jakarta: Kompas.

Tarigan, Henry Guntur. 2008. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa

Wardana dan Zamzam. 2014. “Strategi Peningkatan Kemampuan Literasi Siswa di Madrasah”. Jurnal Ilmiah Widya Pustaka Pendidikan.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa