Keterkaitan Kemahiran Berbahasa dengan Muatan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
I. Pendahuluan
Sebagai
guru pengampu materi pelajaran Bahasa Indonesia dan berbekal pengalaman sebagai
tutor di beberapa bimbingan belajar selama lebih dari 10 tahun, penulis
menemukan dua fakta unik yang terkesan bertolak belakang. Penulis sudah
meringkasnya dalam esai dan diterbitkan di Kompas
dengan tajuk “Supaya Siswa Kasmaran Berliterasi” (Situmorang, 6 November
2020). Esai singkat itu saya buat sebagai respons kekecewaan saya ketika
Panitia Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) III kurang peduli pada
gagasan saya bahwa hal pokok yang harus segera diperbaiki untuk meningkatkan
semangat literasi di kalangan pelajar adalah pembenahan ulang materi mata pelajaran
Bahasa Indonesia.
Dengan
mengadopsi Kurikulum 2013, saat ini topik Bahasa Indonesia terkesan menjauh
dari sastra. Dari delapan bab dalam 1 tahun pelajaran untuk tiap tingkatan di
kelas SMA (X, XI, dan XII), misalnya, hanya satu bab yang berkaitan dengan
sastra. Selebihnya, topik lainnya cenderung membosankan dan berulang-ulang.
Semua topik pelajaran pada SMP akan diulang pada SMA. Ada juga, misalnya, teks
laporan yang akan dipelajari pada SMP lalu dilanjutkan pada SMA. Secara teori,
mengajarkan topik ini tak sampai satu jam pembelajaran. Namun, pada praktinya,
untuk topik ini, lebih dari sebulan pembelajaran. Oleh karena itu, penulis
mengerti kebosanan siswa sebab topik yang diberikan jauh dari menantang.
Sehubungan dengan hal tersebut,
penulis sering mendapatkan dua kenyataan yang sangat bertolak belakang dari
lembaga pendidikan, terutama yang bersifat formal dan informal. Di sekolah,
misalnya, setiap jam mata pelajaran Bahasa Indonesia tiba, semangat siswa akan
jauh lebih terasa daripada ketika jam mata pelajaran eksakta. Namun, berbeda
halnya di bimbel. Setiap jadwal mata pelajaran Bahasa Indonesia tiba, siswa
sama sekali tak tertarik. Pertanyaan pun muncul. Mengapa di sekolah siswa lebih
bersemangat belajar Bahasa Indonesia, sementara di bimbel mata pelajaran Bahasa
Indonesia terkesan justru begitu dihindari?
Banyak kemungkinan yang bisa
menjadi jawaban. Namun, dalam benak penulis, ketika belajar di sekolah
(formal), pelajaran Bahasa Indonesia digunakan siswa sebagai waktu istirahat
setelah lelah menguras pikiran pada mata pelajaran yang lain. Pada titik
seperti ini, belajar bahasa Indonesia rupanya tidak membutuhkan proses
berpikir. Senapas dengan itu, di bimbel (informal), saat belajar bahasa
Indonesia, siswa pun merasa belum perlu menguras pikiran sehingga lebih baik
tabungan pikiran itu dihibahkan ke pelajaran yang lain. Dengan begitu, ketika
mata pelajaran Bahasa Indonesia tiba, siswa akan bermalas-malasan, jauh dari
kata antusias. Andai saja hipotesis
saya ini benar, nyatalah bahwa mata pelajaran Bahasa Indonesia ada semata
karena kita tinggal di Indonesia.
Artinya, belajar bahasa
Indonesia bagi siswa hanya formalitas belaka: keharusan, bukan kebutuhan. Siswa
hanya terpaksa belajar bahasa Indonesia. Padahal, segala yang terpaksa tak
pernah baik. Hasilnya akan buruk. Hal ini dengan mudah bisa kita baca dari
berbagai studi, salah satunya dari The World’s Most Literate Nations 2016, yakni
kita menempati urutan ke-60 dari 61 negara. Kita hanya unggul dari Botswana,
negara kecil yang tertinggal di Afrika. Peringkat ini terlihat sangat buruk.
Bahkan, dalam pemikiran saya, hasil studi ini rasanya tidak benar atau
mengada-ada.
Namun, riset
lain ternyata menunjukkan hal yang sama. Kemampuan membaca kita masih sangat
rendah. Menurut UNESCO, keterbacaan kita hanya 0,001 (dari 1.000
orang hanya satu
yang membaca). Jika penelitan
ini dielaborasikan di sekolah, sangat mungkin kita menyebutkan bahwa pada satu
sekolah belum tentu ada siswa yang rajin membaca. Saya ambil contoh dari
sekolah saya dengan rombongan belajar 30 dengan jumlah siswa 36 per kelas
(30x36). Berarti, ada 1.080 siswa. Dari 1.080 siswa ini, dengan mengacu pada
studi UNESCO, hanya satu siswa kami yang rajin membaca.
Saya
mengambil contoh sederhana itu supaya kita mulai berpikir teknis bahwa ada yang
salah dalam materi mata pelajaran Bahasa Indonesia sebagai ujung tombak dalam
gerakan literasi. Sangat mudah membayangkan jika dari 1.080 siswa itu hanya ada
satu orang siswa yang rajin membaca, selebihnya adalah siswa yang malas
membaca. Padahal, dari 1.080 siswa tersebut, untuk tataran daerah kami, sudah
pasti merekalah yang akan menjadi pemegang tonggak kepemimpinan dan kemajuan.
Lalu, kepemimpinan dan kemajuan seperti apa yang akan didapatkan dari siswa
yang malas membaca?
II. Pembahasan
Sejauh ini
gerakan membaca masih terkesan diabaikan. Membaca belum menjadi kebutuhan.
Dalam pengamatan saya, hal itu terjadi karena banyak pendidik dan siswa yang
beranggapan bahwa membaca hanya untuk memperoleh informasi. Saya mengetahui itu
setelah bertanya kepada siswa tentang alasan mengapa mereka tak bergairah
membaca. Alasan yang mereka berikan adalah membaca hanya untuk mendapatkan
informasi. Tenaga pendidikan bahkan ada yang berpikiran lebih dangkal dengan
menyebut bahwa gerakan membaca adalah gerakan kembali ke anak SD. Tenaga
kependidikan itu mengartikan membaca sebagai mengeja saja. Wajarlah kemudian siswa
kita sebagai generasi penerus bangsa ini malas membaca.
Dalam penemuan penelitian saya (sudah
diterbitkan pada portal badanbahasa.kemdikbud.go.id
dengan judul “Menumbuhkan Gerakan Literasi di Sekolah”), terungkap bahwa
gerakan literasi dibuat sebagai gerakan tanpa arah, apalagi jiwa. Di beberapa
sekolah gerakan literasi digunakan gurunya sebagai waktu untuk istirahat.
Ketika guru istirahat, siswa pun bermain-main di kelas. Siswa sama sekali belum
memahami manfaat membaca. Bagi mereka, membaca hanya menambah informasi dan
kegiatan membaca semestinya sudah selesai setelah mereka bisa mengeja.
a.
Memaknai Ulang Gerakan Membaca di Sekolah
Menurut saya,
hal ini bermasalah. Perlu diberi pemahaman kepada guru agar mereka bisa
memahamkan siswa tentang manfaat membaca. Negara-negara yang maju saat ini
sudah punya sejarah masa lalu dengan kegiatan literasi yang ditekuni. Artinya,
jika hendak menjadi negara maju pada masa depan, gerakan literasi yang dilaksanakan
dengan tekun dan terarah harus dibibitkan sejak dini dari sekolah. Banyak
penelitian yang membuktikan bahwa kemajuan sebuah bangsa erat kaitannya dengan
budaya tekun membaca sebuah bangsa. Dengan bahasa sederhana, membaca adalah
fondasi awal kemajuan.
Di samping itu, Far (1984: 5) mengatakan bahwa membaca merupakan jantung
pendidikan. Artinya, tanpa membaca, mustahil timbul kehidupan dari pendidikan.
Membaca adalah berpikir, bahkan membentuk pola pikir. Oleh karena itu, membaca bukanlah
persoalan sederhana. Membaca pada hakikatnya adalah sesuatu yang
rumit yang melibatkan banyak hal, tidak sekadar melafalkan tulisan,
tetapi juga melibatkan aktivitas visual, berpikir, psikolinguistik, dan
metakognitif. Sebagai proses visual, membaca merupakan proses menerjemahkan simbol
tulis (huruf) ke dalam kata-kata lisan. Sebagai proses berpikir, membaca mencakup
aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis, dan
pemahaman kreatif (Rahim, 2008). Sejalan dengan itu, Finonchiaro
mendefinisikan membaca sebagai suatu usaha memetik dan memahami makna yang
terkandung dalam bahasa tertulis, baik makna yang tersirat dengan cara memproses
informasi, silabas, sintaksis, maupun semantik
(Tarigan, 2008). Oleh karena itu, tidak mengherankan
sebuah bangsa benar-benar maju karena budaya membaca. Contoh yang sederhana
bisa kita ambil dari pengalaman Jepang.
Pada
2002 Jepang sudah dipercaya menjadi tuan rumah Piala Dunia. Hal ini terjadi
karena prestasi sepak bola di Jepang melejit dengan signifikan. Prestasi ini
terilhami komik andalan mereka yang berjudul Captain Tsubasa yang baru terbit pada 8 tahun sebelumnya, yaitu
tahun 1994. Dari pengalaman Jepang, seharusnya
kita mengerti bahwa Captain Tsubasa tak
hanya cerita dalam buku. Dengan membaca, cerita dalam buku itu mendadak hidup
pada imajinasi anak muda di Jepang. Dalam istilah David McClelland sebagaimana
terangkum dalam buku Arief Budiman berjudul Teori
Pembangunan Dunia Ketiga, hal itu disebut
sebagai “virus prestasi”, sebuah virus yang menggerogoti hasrat untuk
berprestasi.
Virus
inilah, menurut David McClelland, yang membuat Inggris jauh lebih maju daripada
Spanyol sejak abad ke-16. Kita tahu bahwa semula Inggris dan Spanyol adalah dua
negara raksasa. Namun, sejak abad ke-16, kedua negara ini menjadi berbeda.
Sebagai seorang psikolog sosial asal Amerika yang tertarik pada masalah pembangunan,
David McClelland membuat penelitian tentang bangsa tertentu yang rakyatnya
bekerja keras untuk maju dan bangsa lain yang tidak maju. Lebih spesifik, ia
meneliti pesatnya kemajuan Inggris serta stagnasi dan melempemnya Spanyol.
David McClelland akhirnya mengetahui bahwa faktor penentu dan pembeda
antara Spanyol dan Inggris terletak pada muatan buku. Pasalnya sebagaimana
disebut Agus M. Irkham (Tempo, 2
September 2014), dongeng dan cerita anak di Inggris pada awal abad ke-16 itu
mengandung semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit
“butuh berprestasi”. Sementara itu, cerita anak dan dongeng yang ada di Spanyol
didominasi oleh cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru
membuat penikmatnya lunak hati dan meninabobokan.
Berdasarkan kenyataan itu (tidak hanya jumlah buku, tetapi lebih penting
juga isinya), pantas saja negara kita makin tertinggal dalam hal prestasi
karena jangankan kualitas buku yang membuat “virus prestasi”, jumlah buku kita
saja masih sangat minim seperti dikutip di atas. Oleh karena itu, gerakan
literasi harus diseriusi dan tidak bisa mundur meski saat ini cenderung gagal. Hasil
GLN tidak seperti memakan cabai. Diperlukan proses untuk melihat hasilnya,
bahkan sampai berpuluh-puluh tahun.
Berdasarkan penelitian David McClelland, perubahan mental di Spanyol dan
di Inggris setidaknya membutuhkan waktu selama 25 tahun. Memang ada yang
relatif singkat. Jepang, misalnya, untuk mengubah mental sepak bola, hanya
butuh waktu 8 tahun. Jepang menjadi tuan rumah Piala Dunia 2002, padahal komik Captain Tsubasa yang menjadi andalan
mereka untuk mengubah mental anak mudanya tentang sepak bola baru terbit
pertama kali pada 1994. Artinya, cepat atau lambat, kita akan memanen hasil
kerja keras kita melalui GLN.
Dengan cakupan yang lebih luas, ternyata David McClelland juga
mengumpulkan 1.300 cerita anak dari banyak negara sejak era 1925 hingga 1950.
Dari penelitian itu, David McClelland meyakini bahwa cerita anak yang
mengandung “hasrat untuk berprestasi” yang tinggi pada suatu negeri akan
diikuti pula dengan pertumbuhan negeri tersebut. Persoalan di negeri kita
adalah pelajaran Bahasa Indonesia sebagai corong utama untuk meningkatkan
budaya membaca masih sangat bermasalah dari berbagai arah. Seperti disebutkan
di awal tulisan ini, persoalannya menyangkut materi ajar Bahasa Indonesia yang
cenderung gramatikal daripada membaca.
Dalam pengamatan sederhana saya, inilah yang sekurang-kurangnya membuat semangat belajar membaca anak lemah. Pasalnya, juga seperti saya utarakan dalam berbagai artikel, siswa lebih senang belajar bahasa Indonesia jika banyak muatan materi sastra. Siswa makin bersemangat pula jika dilibatkan secara aktif untuk mendebatkan hasil pemikiran karya sastra tersebut. Hal itu saya ketahui dari salah seorang siswa saya yang pernah mengalami pertukaran siswa selama setahun di Italia. Menurut siswa tersebut, belajar bahasa di sana justru sangat menyenangkan dan dinantikan oleh siswa. Menurutnya, belajar bahasa di Indonesia justru tidak menyenangkan.
b. Teladan Berbahasa dari Guru Bahasa Indonesia
Jika pernyataan siswa tersebut bisa mewakili seluruh aspirasi siswa
Indonesia, sudah sepatutnya kita merombak muatan mata pelajaran Bahasa
Indonesia agar lebih bergairah. Memang pembelajaran yang bergairah tergantung pada
guru pengampu juga. Namun, muatan pembelajaran juga sangat mendukung dan
membantu guru untuk berkreasi lebih tinggi dalam membelajarkan mata pelajaran Bahasa
Indonesia. Faktanya, seperti dikhawatirkan banyak orang, semangat budaya
membaca siswa sangat rendah. Hasil PISA dari periode ke periode, khususnya
dalam ranah literasi, selalu menempatkan siswa kita pada papan terbawah.
Hal ini makin menandaskan bahwa memang semangat berbahasa siswa kita
masih mengkhawatirkan. Agus Fitrianto menulis bahwa budaya membaca siswa kita (SMA) masih
nol judul
buku setiap tahunnya (Kompas, 10
Agustus 2021). Kondisi ini jauh berbeda dengan siswa-siswa
sederajat dari negara-negara maju, seperti Jerman (32), Belanda (30), Rusia
(12), dan Jepang (15). Dengan negara tetangga sesama Melayu, kita juga kalah dibandingkan
dengan Singapura
dan Malaysia (6). Minat baca ini menjadi petunjuk besar bahwa
kemampuan berbahasa siswa kita masih sangat rendah. Untuk memperbaikinya, guru
harus menjadi teladan yang baik.
Persoalannya lagi, ternyata guru pun, khususnya yang
berstatus guru Bahasa Indonesia, masih kurang antusias dalam membelajarkan bahasa.
Padahal, guru Bahasa Indonesia sering kali diplot menjadi panutan hidup. Sayangnya, dalam esai yang terangkum dalam
buku Guru Gokil Murid Unyu, Johannes Sumardinata mengisahkan bahwa dari ribuan guru Bahasa Indonesia, tak sampai 0,5
persen yang pernah membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Mereka bahkan tidak
mengenali buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara, apalagi Paulo Freire. Senada
dengan itu, menurut penelitian Anita Lie (Kompas,
5 Maret 2019),
hampir separuh sampel guru Bahasa Indonesia tak bisa menulis tiga paragraf esai. Bahkan, masih ada
guru yang tak mengerti apa itu paragraf.
Dengan logis, tentu bisa muncul kritik. Jika profil gurunya saja masih jauh dari semangat berliterasi, konon siswanya? Kita mengenal peribahasa untuk menggambarkan itu: guru kencing berdiri, siswa kencing berlari. Oleh karena itu, peran guru, terutama guru Bahasa Indonesia sangat dibutuhkan untuk menuntaskan Gerakan Literasi Nasional dari sekolah. Kehadiran guru sangat dibutuhkan agar gerakan literasi menjadi lebih bermakna, tidak lagi sebatas baca buku. Peran guru pengampu sangat besar. Dilansir dari kemdikbud.go.id, seperti dikutip sebelumnya, siswa yang dilibatkan oleh guru atau orang tua dalam pelajaran membaca memiliki skor 30 poin lebih tinggi daripada siswa yang sama sekali tidak dilibatkan oleh orang tua atau guru.
c. Modifikasi Muatan Pelajaran Bahasa Indonesia
Walau begitu, sebagai guru, hal mendasar yang perlu
dirancang adalah memodifikasi muatan pembelajaran bahasa Indonesia, terutama
tujuannya. Disadari atau tidak, tujuan pembelajaran bahasa Indonesia saat ini
sangat dangkal. Pembelajaran nyaris tak berjiwa sehingga belajar bahasa Indonesia menjadi
kering. Guru lebih sibuk
mengajarkan bahasa Indonesia melalui pendekatan soal-soal. Hal
ini terjadi
karena pada akhirnya tujuan pembelajaran bahasa Indonesia sangat
sederhana, yaitu lulus UN dan PTN melalui seperangkat soal-soal. Karena sibuk membahas
soal-soal itulah, kita kemudian lupa pada hal yang paling
mendasar, yaitu kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Padahal,
kemampuan itulah yang diharapkan melalui belajar bahasa, bukan semata
mahir menjawab soal. Sebagai dampaknya, seperti yang sudah dikutip banyak media,
kemampuan literasi kita selalu rendah.
Betapa tidak? Kita berada pada level <1>
yakni level
yang menurut OECD hanya mampu membaca teks singkat tentang topik yang sudah
akrab. Buruknya peringkat dan kemampuan literasi ini bukan hanya terlihat dari
hasil survei, melainkan juga terlihat jelas dari produksi buku-buku kita.
Menurut Ikatan Penerbitan Indonesia (2015), penerbit Indonesia rata-rata hanya
menerbitkan 30.000 judul. Hal ini sangat tak sehat. International Publishers
Association menyebutkan bahwa sehat tidaknya keterbacaan dapat dilihat dengan
membandingkan jumlah buku per sejuta penduduk. Menurut BPS (2015), penduduk
kita berjumlah 255.461.700 jiwa. Artinya, hanya delapan judul buku per sejuta
penduduk (Billy Antoro).
Angka
ini kalah jauh dari Thailand yang mencapai angka 168, bahkan dari Kenya
sekalipun, yaitu mencapai sebelas judul per sejuta penduduk.
Uniknya, meski kalah dari segi buku, kita justru unggul dari segi
infrastruktur. Dalam survei Central Connecticut State University, kita berada
pada peringkat ke-36, unggul dari Singapura dengan peringkat ke-59, Malaysia
pada peringkat ke-44, Korea Selatan pada peringkat ke-42, dan Jerman yang
berada pada peringkat ke-47. Pertanyaannya adalah mengapa tingkat literasi kita
sangat jelek. Jawaban atas pertanyaan ini sebetulnya sangat sederhana, yaitu
karena pelajaran Bahasa Indonesia kita tak menggalakkan literasi sejak dini
dan dengan benar.
Penyebabnya
beragam. Salah satunya adalah karena muara pengajaran bahasa Indonesia sangat
dangkal, sekadar mampu lulus UN dan SBMPTN. Pengajaran bahasa Indonesia
akhirnya fokus pada tanda-tanda baca atau penulisan kata sehingga lupa bahwa
ada yang paling penting di dalam bacaan itu, yaitu alur cerita dan segenap
persoalan yang ada di dalamnya. Dampak yang lebih hebat pun
terjadi, yakni imajinasi, ketahanan, apalagi minat membaca siswa sama sekali tidak
terbangun. Alih-alih terbangun, ketika menghadapi soal wacana, para siswa lebih
sering meminta trik tentang bagaimana menjawab soal-soal tanpa membaca wacana
kepada gurunya.
Triknya
tentu sederhana, yaitu lihat tanda baca jika yang ditanya tanda baca, fokus
pada penulisan kata-kata jika yang ditanya penulisan kata, atau beri perhatian
khusus pada kalimat pertama dan kedua atau kalimat terakhir jika yang ditanya
adalah ide pokok paragraf. Jangan habiskan waktumu untuk membaca wacana! Itu
saja! Untuk menjawab soal-soal demikian, metode di atas selain hemat
waktu, juga ternyata sangat jitu. Sayangnya, kalau siswa sudah diajarkan PUEBI
(Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) berkali-kali, dengan metode di atas
sebenarnya kita justru menyingkirkan satu tujuan penting dari pengajaran
bahasa, yaitu membaca.
Dengan demikian, tidak mengherankan jika saat ini minat membaca siswa
kita sangat rendah. Hal ini diperparah lagi dengan lingkungan siswa yang tak
memberi teladan tentang pentingnya budaya membaca. Strategi
yang sudah matang pun tak dilakukan dengan teknis-teknis yang baik. Berdasarkan sebuah survei
yang dilakukan pada awal 2017, dari 24 sekolah dasar yang disurvei di sebuah kota,
hanya 33% yang rutin melaksanakan sesuai dengan panduan gerakan literasi
sekolah. Bahkan, masih terdapat 33% sekolah yang belum pernah melakukan program
implementasi gerakan literasi sekolah sesuai dengan panduan, kemudian selebihnya pernah
melaksanakan, tetapi tidak rutin (Krismanto, 2017).
d. Mendalami Bacaan pada
Pelajaran Berbahasa
Apakah PISA bisa menjadi rujukan bahwa memang ada masalah
dengan pembelajaran bahasa Indonesia? Jika saja keterampilan berbicara hanya
soal mengeluarkan bunyi dari mulut, keterampilan mendengar hanya soal
menggunakan telinga, keterampilan membaca hanya soal mengeja, dan keterampilan
menulis hanya soal menggunakan pena, tentu hasil PISA tak pantas menjadi
rujukan karena dengan keterampilan terbatas tersebut di atas, kemampuan
literasi kita sudah mumpuni sehingga pantas disebut melek literasi. Oleh karena
itu, pelajaran Bahasa Indonesia sudah berhasil membuat siswa menjadi anak-anak
yang mahir berbahasa.
Namun, keterampilan berbahasa adalah sesuatu yang
rumit. Sederhananya, tak bisa lagi sebatas LOTS (lower order thinking skills), tetapi sudah HOTS (higher order thinking skills). Faktanya,
sejauh ini kita masih mengandalkan keterampilan berbasis LOTS. Bukti kecilnya
adalah ketika
soal tipe HOTS diterapkan pertama kali, siswa kita langsung
meraung-raung di media sosial. Raungan itu sebenarnya masuk akal
karena bagaimana mungkin siswa bisa mengerjakan soal HOTS jika selama ini
mereka sibuk pada penulisan tanda baca atau penulisan kata tanpa ikut mendalami
kasus dalam alur cerita wacana itu. Oleh karena itu, sudah saatnya
kita masuk mendalami bacaan.
Dalam
hal ini, kemampuan para penulis buku ajar, penyusun soal, dan guru dalam
memfasilitasi dan membiasakan siswa dengan bacaan dan soal yang high order thinking skils (HOTS)
sangat
dibutuhkan. Widiningsih (2019) menjelaskan bahwa wacana dan
penilaian yang berorientasi high order
thinking akan mengarahkan pada proses pembentukan keterampilan dalam hal 1) transfer satu konsep ke
konsep lainnya, 2) memproses dan mengintegrasikan informasi, 3) mencari kaitan
dari berbagai informasi yang berbeda-beda, 4) menggunakan informasi untuk
menyelesaikan masalah, dan 5) menelaah ide dan informasi secara kritis.
Sesuai dengan pernyataan tersebut, makin
nyata di pikiran kita bahwa membaca tidak semudah mengeja atau membaca berbeda
dengan mengeja. Mengeja hanya teknis menggabungkan huruf, sementara membaca
adalah memaknai gabungan huruf. Membaca merupakan
suatu kegiatan atau proses kognitif yang berupaya untuk menemukan berbagai
informasi yang terdapat dalam tulisan (Dalman, 2013: 5). Menurut Bobi de Porter
dalam Quantum Teaching (2015), sumber
pengetahuan siswa berasal dari kemampuan indrawi, yakni melihat, merasakan,
mencium, dan sebagainya. Membaca berarti sudah melibatkan semua sumber
pengetahuan untuk bekerja: kemampuan indrawi.
Dari berbagai teori di atas, kita sudah mengetahui bahwa
membaca itu sangat penting. Seharusnya, materi pembelajaran bahasa Indonesia
peru diperkuat muatannya untuk merangsang semangat budaya membaca siswa. Hal
ini sangat penting untuk meningkatkan kemahiran berbahasa siswa. Jika muatannya
tak diperdalam untuk merangsang kegiatan membaca, sebagai guru, saya sangat
khawatir pembelajaran bahasa Indonesia kian lama kian kering dan tak berjiwa atau
sebagaimana sudah disebutkan di atas, pembelajaran bahasa Indonesia menjadi
sebatas formalitas di Indonesia, yakni hanya karena kita orang Indonesia.
Lantas, kalau demikian halnya, kemahiran berbahasa macam apa yang bisa kita
harapkan dari siswa?
Menurut teori behaviorisme Throndike, proses
pembelajaran (tentu juga termasuk pembelajaran bahasa Indonesia) didasarkan pada
hubungan antara rangsangan (stimulus) dan balasan (respons). Ada tiga hukum
pembelajaran. Pertama, jika kondisi
peserta didik disiapkan lebih dahulu sebelum mengiktui pembelajaran
(rangsangan), hasil pembelajaran (respons) makin meningkat atau sering juga
disebut law of readiness. Kedua, jika
peserta didik dilatih terus-menerus untuk melakukan pembelajaran (rangsangan), hasil
pembelajaran (respons) akan makin meningkat atau sering juga disebut sebagai law of exercise. Ketiga, jika perserta
didik memperoleh kepuasan mengikuti pembelajaran (rangsangan), hasil
pembelajaran (respons) akan makin meningkat atau sering disebut law of effect.
Dari ketiga hukum pembelajaran itu, tampak bahwa
rangsangan sangat penting untuk mendapatkan respons sebagai output yang diharapkan. Namun,
rangsangan ini bisa menjadi tumpul ketika materi pembelajaran tidak
menyenangkan untuk diorkestrasi dan dikembangkan, apalagi kemudian, untuk satu
topik, kita harus berjumpa selama hampir sebulan penuh. Yang terjadi di
lapangan adalah siswa justru merasa bosan karena materinya itu-itu saja.
III. Penutup
Pada akhirnya, belajar dari pengalaman, saya
menyimpulkan bahwa hubungan kemahiran berbahasa kita sangat erat dengan materi
pembelajaran bahasa, terutama bahasa Indonesia. Jika materinya padat,
menyenangkan, menantang, atau bahkan menegangkan, pembelajaran akan makin
menarik dan berjiwa. Siswa pun mendapatkan ilmu pengetahuan yang hidup dari
buku, dari guru, dari dialektika sesama siswa, atau bahkan dari perjalanannya
sendiri ketika belajar. Sebaliknya, jika materinya dangkal, membosankan, dan
terkesan berulang-ulang, ambisi siswa untuk belajar pun rendah karena mereka
tak mendapatkan rangsangan sesuai dengan hukum belajar.
Kenyataannya adalah terkesan langsung terpatri di
kepala para siswa jika materi pembelajaran bahasa sangat miskin dan berkutat di
topik-topik itu saja, pembelajaran bahasa menjadi kaku dan mekanis. Oleh karena
itu, untuk merangsang imajinasi siswa dalam berbahasa agar kemahiran mereka
bisa dilejitkan, hal mendesak yang perlu dilakukan adalah merevolusi dan
mengembangkan muatan isi dan pembelajaran bahasa Indonesia. Saya sangat yakin hal
ini terkait dengan apa yang dikeluhkan siswa, yakni pembelajaran bahasa
Indonesia tidak semenarik pembelajaran bahasa di negara lain karena muatan
pembelajaran kita sangat mekanis dan membosankan. Oleh karena itu, mari kita sama-sama
berpikir untuk memodifikasi muatan isi pembelajaran bahasa Indonesia!
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arif.
2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta:
Gramedia.
Dalman. 2013. Keterampilan Membaca. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Driana, Elin.
(2012, 14 Desember). “Gawat Darurat Pendidikan”. Jakarta: Kompas.
Farida, Rahim.
2008. Pengajaran Membaca di Sekolah
Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Fitrianto, Agus.
(2021, 10 Agustus). “Korona, ‘Pengasingan’, dan Membaca Buku”. Jakarta: Kompas
Harsiati, Titik.
2018. Karakteristik Soal Literasi Membaca
pada Program PISA. Vol. 17, No.1. Malang: Unimal.
Ibarhim, G.A.
(2017, 29 April). “PISA dan Daya Baca Bangsa”. Jakarta: Kompas
Kemdikbud.go.id.
(2019, 4 Desember). “Hasil PISA Indonesia 2018: Akses
Makin Meluas, Saatnya Tingkatkan Kualitas”. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/12/hasil-pisa-indonesia-2018-akses-makin-meluas-saatnya-tingkatkan-kualitas
Kuder, S.J. dan
Hasit, C. 2002. Enhancing Literacy for
All Students. Pearson Education, Inc. New Jersey, USA.
Media Indonesia.
(2021, 23 Mei). “Susupan Paham Radikal Lewat Gerakan Literasi”. https://mediaindonesia.com/opini/354722/susupan-paham-radikal-lewat-gerakan-literasi
Situmorang,
Riduan. (2016, 27 September). “Gagap Membaca Fakta”. Jakarta: Kompas.
Situmorang,
Riduan. (2019, 11 April). “Mengapa Materi Bahasa Indonesia Menjadi Momok?”. https://basabasi.co/mengapa-materi-bahasa-indonesia-jadi-momok/
Situmorang,
Riduan. (2019, 25 April). “Refleksi Hari Buku”.
https://basabasi.co/refleksi-hari-buku/
Situmorang,
Riduan. (2020, 6 November). “Supaya Siswa Kasmaran Berliterasi”. Jakarta:
Kompas.
Tarigan, Henry
Guntur. 2008. Membaca sebagai Suatu
Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa
Wardana dan
Zamzam. 2014. “Strategi Peningkatan Kemampuan Literasi Siswa di Madrasah”. Jurnal Ilmiah Widya Pustaka Pendidikan.
Riduan Situmorang
Nama : Riduan Situmorang Kegiatan : Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional Calon Guru Penggerak Pengurus PGRI Humbang Hasundutan