Membaca Proses Pemerolehan Bahasa Anak
Secara fitrah, bahasa merupakan salah satu kebutuhan dasar
(primer) bagi manusia, baik bahasa verbal maupun nonverbal (bahasa nonverbal
menjadi primer bagi kaum difabel seperti tunarungu, tunanetra, dan tunawicara),
untuk berkomunikasi sebab sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kehadiran
manusia lain untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan sosialnya. Proses pemenuhan
kebutuhan tersebut memerlukan interaksi melalui media bahasa. Hal tersebut
selaras dengan yang diungkapkan oleh Kridalaksana (dalam Aslinda dan Leni
Syafyahya, 2010) bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter yang dipergunakan
oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri.
Penggunaan bahasa pada anak merupakan salah satu aspek (dari
sekian banyak tahapan) perkembangan anak yang selayaknya tidak luput dari perhatian
orang tua. Gardner (2013) menyatakan bahwa kecerdasan bahasa (linguistik)
merupakan salah satu dari delapan kecerdasan manusia yang perkembangannya
menakjubkan. Anak memperoleh bahasa secara tidak langsung dengan cara
berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Pemerolehan ini dilakukan dengan cara
belajar mengucapkan beberapa kata melalui proses peniruan (mimikri).
Perkembangan ini berawal dari bahasa yang sederhana menuju ke stuktur yang
kompleks.
Menurut Aitchison (dalam Harras dan Andika, 2009), perkembangan bahasa anak terdiri atas sepuluh tahapan, yaitu usia 0,3 tahun (tahap meraban); usia 0,9 tahun (tahap terdapat intonasi dalam ucapannya); usia 1 tahun (mengucapkan satu kata dengan cukup baik); usia 1,3 tahun (senang mendengarkan kata-kata dan belajar mengucapkan sebanyak-banyaknya); 1,8 tahun (mengucapkan 2—3 kata dengan baik); usia 2 tahun (mengucapkan empat kata, belajar merangkai maknanya serta membuat kalimat negatif, dan pengucapan vokal hampir seluruhnya sempurna); usia 5 tahun (konstruksi morfologis sempurna); dan usia 10 tahun (telah matang berbicara).
Proses Pemerolehan Bahasa Anak
Krashen dalam Schutz (dalam Rusyini, 2008) mendefinisikan
pemerolehan bahasa sebagai the product of a subconscious process very
similar to the process children undergo when they acquire their first language.
Dengan kata lain, pemerolehan bahasa adalah proses bagaimana seseorang dapat
berbahasa atau proses anak-anak pada umumnya memperoleh bahasa pertama.
Pemerolehan bahasa berlalu pada ambang sadar. Pemeroleh bahasa biasanya tidak
sadar bahwa ia tengah memperoleh bahasa. Pemeroleh bahasa hanya sadar akan
kenyataan bahwa ia tengah menggunakan bahasa untuk berkomunikasi.
Menurut Sigel dan Cocking (dalam Rusyini, 2008), pemerolehan
bahasa merupakan proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan
serangkaian hipotesis dengan ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata
bahasa yang paling baik dan sederhana dari bahasa yang bersangkutan. Pemerolehan
bahasa umumnya berlangsung di lingkungan masyarakat bahasa target dengan sifat
alami dan informal serta lebih merujuk pada tuntutan komunikasi.
Pemerolehan bahasa dibedakan menjadi pemerolehan
bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa pertama terjadi
jika anak belum pernah belajar bahasa apa pun, lalu memperoleh bahasa. Bahasa
yang diperoleh bisa satu bahasa atau monolingual FLA (first language acquisition), dua bahasa secara bersamaan atau
berurutan (bilingual FLA), atau lebih
dari dua bahasa (multilingual FLA). Pemerolehan
bahasa kedua terjadi jika seseorang memperoleh bahasa setelah menguasai bahasa
pertama atau merupakan proses seseorang mengembangkan keterampilan menggunakan bahasa
kedua atau bahasa asing.
Menurut Vygotsky (dalam Rusyini, 2008), pemerolehan bahasa
pertama diperoleh dari interaksi anak dengan lingkungannya. Walaupun anak sudah
memiliki potensi dasar atau piranti pemerolehan bahasa yang oleh Chomsky
disebut language acquisition device (LAD), potensi itu akan berkembang
secara maksimal setelah mendapat stimulus dari lingkungan.
Lebih dalam, Otto (2015) mengungkapkan bahwa pemerolehan
bahasa pada anak usia prasekolah ditanamkan dalam lingkungan tempat anak-anak
berinteraksi, khususnya lingkungan rumah, lingkungan sekolah, dan lingkungan
tempat bermain. Ketiga lingkungan ini sangat memengaruhi anak dalam pemerolehan
bahasa. Otto (2015) menegaskan bahwa pemerolehan bahasa pada anak dapat terjadi
karena faktor lingkungan rumah, lingkungan sekolah, dan lingkungan tempat
bermain.
Pertama,
lingkungan rumah. Anak dalam kesehariannya menghabiskan
setengah harinya untuk melakukan aktivitas di rumah dan setengah harinya lagi
melakukan aktivitas di lingkungan, baik itu lingkungan bermain maupun
lingkungan sekolahnya. Selama anak beraktivitas di rumah, anak tersebut berada
di dalam lingkungan rumah dan menjadi tugas utama orang tua untuk berperan
aktif dalam setiap aktivitas yang anak lakukan. Otto (2015) menyebutkan bahwa
interaksi orang tua dengan anak-anak dan konteks pembelajaran yang dibuat di
rumah dapat meningkatkan kemampuan pemerolehan bahasa pada anak.
Kedua, lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah menjadi lingkungan tempat pemerolehan
pengetahuan sekaligus pendidikan bagi anak. Di lingkungan sekolah anak diajak
untuk mengenal berbagai macam pengetahuan yang ada di dunia, baik melalui lisan
maupun tulisan. Anak akan lebih dapat berinteraksi dengan orang lain di
lingkungan sekolah, baik antara anak dan guru, anak dan teman-temannya, anak
dan orang tua, maupun anak dan orang tua teman-temannya. Proses interaksi ini
dianggap penting bagi pemerolehan bahasa pada anak. Otto (2015) menyebutkan
bahwa interaksi anak terhadap lingkungan sosialnya dapat meningkatkan kemampuan
awal membaca dan menulis. Dalam hal ini, Otto menganalogikannya dengan proses
ketika guru membacakan sebuah cerita kepada anak. Saat bercerita, guru
menggunakan bahasa sebagai media untuk menggambarkan benda atau peristiwa yang
ada di dalam cerita. Hal ini dapat merangsang anak untuk meningkatkan kemampuan
bahasa reseptifnya.
Ketiga, lingkungan bermain. Lingkungan bermain adalah lingkungan yang digunakan anak untuk
menghabiskan sebagian harinya pada satu kelompok bersama dengan anak-anak
seusianya. Situasi dan kondisi lingkungan bermain beragam dan yang paling
terlihat adalah jenis interaksi yang terjadi. Di lingkungan ini anak-anak
didorong, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk terlibat dalam
percakapan dengan orang lain. Hal ini dapat mempercepat perkembangan bahasa
pada anak. Lingkungan bermain menjadi salah satu lingkungan yang dapat
meningkatkan kemampuan pemerolehan bahasa dengan sangat signifikan.
Hal ini terjadi karena di lingkungan bermain anak akan
dihadapkan pada suatu permasalahan yang menuntut anak untuk memecahkan
masalahnya sendiri (problem solving).
Otto (2015) mengungkapkan bahwa kemampuan anak dalam bercakap akan makin
meningkat di lingkungan bermain yang menyediakan kesempatan untuk percakapan
spontan antaranak. Makin sering anak bercakap maka makin banyak pula kosakata
yang akan anak dapat dari percakapan tersebut.
Terlepas dari ketiga faktor yang memengaruhi kemampuan bahasa pada anak, perkembangan pemerolehan bahasa pada anak juga bervariasi (Rusyini, 2008). Ada anak yang dalam pemerolehan bahasanya lambat, ada juga yang sedang, dan bahkan ada yang cepat. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut.
1. Faktor Alamiah
Maksudnya adalah setiap anak lahir dengan seperangkat prosedur dan aturan bahasa yang oleh Chomsky dinamakan language acquisition divice (LAD). Potensi dasar itu akan berkembang secara maksimal setelah mendapat stimulus dari lingkungan. Proses perolehan melalui piranti ini sifatnya alamiah. Karena sifatnya alamiah, kendatipun anak tidak dirangsang untuk mendapatkan bahasa, anak tersebut akan mampu menerima apa yang terjadi di sekitarnya.
2. Faktor Perkembangan Kognitif
Perkembangan bahasa seseorang seiring dengan perkembangan kognitifnya. Keduanya memiliki hubungan yang komplementer. Pemerolehan bahasa dibantu oleh perkembangan kognitif. Sebaliknya, kemampuan kognitif akan berkembang dengan bantuan bahasa. Keduanya berkembang dalam lingkup interaksi sosial.
3. Faktor Latar Belakang Sosial
Struktur keluarga, kelompok sosial, dan lingkungan budaya sebagai faktor latar belakang sosial memungkinkan terjadinya perbedaan serius dalam pemerolehan bahasa anak. Makin tinggi tingkat interaksi sosial sebuah keluarga maka makin besar peluang anggota keluarga (anak) memperoleh bahasa. Sebaliknya, makin rendah tingkat interaksi sosial sebuah keluarga, makin kecil pula peluang anggota keluarga (anak) memperoleh bahasa.
4. Faktor Keturunan
Faktor keturunan meliputi jenis kelamin dan
inteligensi. Jenis kelamin turut memengaruhi perolehan bahasa anak. Biasanya
anak perempuan lebih superior daripada anak laki-laki meskipun dalam berbagai
studi ilmiah perbedaan mendasar mengenai hal itu belum sepenuhnya dapat
dijelaskan oleh para ahli. Inteligensi yang dimiliki anak ini berkaitan dengan
kapasitas yang dimiliki anak dalam mencerna sesuatu melalui pikirannya. Setiap
anak memiliki struktur otak yang mencakup IQ yang berbeda antara satu dan yang
lain. Makin tinggi IQ seseorang, makin cepat ia memperoleh bahasa. Sebaliknya, makin
rendah IQ-nya, makin lambat ia memperoleh bahasa.
Pemerolehan bahasa pada anak dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, baik dari lingkungan rumah (yaitu orang tua dan orang dewasa),
oleh faktor lingkungan bermain, maupun lingkungan sekolah. Kedua faktor ini
memberikan dampak tersendiri bagi anak. Terlepas dari hal tersebut, anak pada
usia 3—5 tahun adalah fase ketika anak sedang mampu menyerap semua stimulus
atau rangsangan yang diberikan ke otak sehingga secara alamiah anak akan dapat
melakukan semua stimulus itu tanpa diajari terlebih dahulu, misalnya pada
bahasa. Dengan daya otak yang sedang mampu menyerap semua rangsangan dari luar,
secara langsung ketika anak mendengar satu kata yang asing di lingkungan tempat
tinggalnya, ia akan dapat mengulang kata tersebut meskipun belum sempurna. Hal
ini menandakan bahwa proses pemerolehan bahasa pada anak dapat terjadi di mana
saja, baik di rumah, di lingkungan, maupun di tempat bermainnya.
Daftar
Bacaan
Aslinda dan
Leni Syafyahya. 2010. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika
Aditama.
Gardner,
Howard. 2013. Multiple Intelligences. Diterjemahkan oleh Yelvi Andri
Zainur. Jakarta: Daras Book.
Harras, Kholid
A. dan Andika Dutha Bachari. 2009. Dasar-Dasar Piskolinguistik. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia Press.
Otto, Beverly.
2015. Perkembangan Bahasa pada Anak Usia Dini. Jakarta: Prenada.
Rusyani,
Endang. 2008. “Pemerolehan Bahasa Indonesia Anak Usia 2,5 Tahun (Studi Kasus
terhadap Pemerolehan Bahasa Anak Usia Dini)” dalam Jurnal On-line. Bandung:
UPI.
Umi Khomsiyatun dan Mukhamad Hamid Samiaji
Pegiat literasi di Komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir Purwokerto