Imaji dalam Laras Keperempuanan Ulasan Buku Kumpulan Puisi Di Kedalaman Dadamu* Karya Nina Minareli
Nina Minareli mulai
menulis puisi pada
tahun 1990-an.
Kepenyairannya tumbuh bersama Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST). Kala itu SST
sedang sangat getol bertanam
benih kepenyairan. Diskusi rutin mingguan, pembacaan puisi mingguan di radio,
diskusi tentatif dengan mengundang sastrawan, penerbitan buletin mingguan, dan
penerbitan antologi puisi bersama memupuk kinarya
Nina dalam menulis puisi. Dapat dibayangkan, sampai memasuki tahun 2000-an
gairah kesastraan di Tasikmalaya dibangun dalam interaksi dan internalisasi
proses yang intensitasnya sangat tinggi.
Buku kumpulan puisi
yang berjudul Di Kedalaman Dadamu ini
memotret kepenyairan Nina pada rentang waktu itu. Lebih dari itu, dalam
beberapa kasus, kehadiran penyair perempuan selalu menarik untuk dicermati.
Boleh jadi kehadiran penyair perempuan berkaitan dengan kuasa patriarki yang kuat
dalam sistem dan nilai sosial-budaya tempat penyair hidup. Mungkin kita banyak menemukan kisah penyair
perempuan yang produktif menulis sebelum berumah tangga dan entah bagaimana kabar
kinarya-nya setelah mereka menikah.
Kehadiran buku
kumpulan puisi ini dapat dianggap sebagai penanda elan-krisis. Keberdayaan
penyair perempuan dalam kesastraan kita yang mulai tandus memunculkan nama dan
karya, terkhusus di Tasikmalaya.
Bagai ladang dan pengebun, pada dua
dekade ini penyair-penyair baru hampir tak terbaca dari komunitas sastra luring
(luar jaringan internet), seperti Sanggar Sastra Tasik. Sang pengebun pun, Acep Zamzam Noor dan
Saeful Badar, terlihat lelah mencari benih dan menebar pupuk untuk menumbuhkan
kepenyairan baru, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, dari aras lain,
kesastraan kita bergairah dengan daya dukung komunitas-komunitas sastra daring
(dalam jaringan internet), terutama grup-grup sastra di media sosial.
Hal yang
menarik adalah
kepenyairan yang tumbuh dari kedua rahim komunitas sastra ini memiliki pola
persebaran karya yang cenderung berbeda. Boleh jadi kepenyairan yang lahir dari
rahim komunitas sastra luring lebih inklusif,
reflektif, dan diskursif jika dibandingkan dengan kepenyairan yang berangkat dari
komunitas sastra daring. Inklusif dalam pemolaan gaya kepenyairan
disebabkan keniscayaan atas proses, yakni intensitas diskusi antaranggota komunitas,
antara pengebun dan benih yang sedang tumbuh. Sementara itu, akses keterbacaan masih terbatas,
yakni melalui media cetak buku dan koran. Reflektif
dalam publikasi disebabkan tujuan
persebaran karya puisi adalah media massa cetak, bahkan ada juga penyair yang
menulis puisi untuk tidak dipublikasikan kepada umum. Selain itu, ada asumsi bahwa
penerbitan buku puisi, baik perseorangan atau kelompok, dipandang sebagai sesuatu
yang mewah dan suci oleh para penyair muda. Terakhir, diskursif dalam hubungan keterpengaruhan karya antarpenyair,
terutama penyair-penyair yang sudah sahih meletakkan wawasan estetika kepuisian
Indonesia, kemudian menjadi mainstream bagi para penyair muda.
Dalam hal ini, dapat
dikatakan bahwa pola persebaran karya mereka menyasar pada rubrik puisi media
massa cetak, seperti koran dan majalah. Saat karyanya termuat di media massa
cetak, hal ini menjadi penanda bahwa kepenyairannya mulai diakui di luar
komunitasnya. Sebabnya adalah
kurasi yang dilakukan redaktur puisi tidak sembarangan memuat karya mereka. Selain itu,
karya yang masuk ke redaksi media massa (cetak) begitu banyak sehingga seleksi
kualitas dapat terjadi. Barangkali dalam aras kesastraan seperti inilah penyair
Nina Minareli tumbuh bersama komunitas sastra luring SST.
Sementara itu,
kepenyairan yang tumbuh dalam komunitas sastra daring memiliki pola persebaran
karya yang cepat, masif, dan cair. Cepat diartikan bahwa media internet
telah membuat karya penyair begitu mudah dipublikasikan, bahkan melalui halaman
posting media sosial pribadi atau
grup. Masif maksudnya adalah karya puisi dapat diakses pembaca di mana
pun dan kapan pun tanpa melalui kurasi, bahkan direplikasi dengan berbagi ulang
konten. Terakhir, cair diartikan bahwa karya puisi lebih terbuka menerima
wawasan estetika kepuisian karena penyair dapat mengakses beragam model,
bentuk, dan aliran puisi melalui fasilitas internet.
Dalam tegangan dua
pola persebaran karya puisi inilah kurasi karya puisi diperlukan oleh komunitas
sastra luring dan daring. Hal tersebut menjadi sedemikian teristimewa manakala kita membutuhkan kesegaran
pola ucap baru dalam kesastraan, khususnya perpuisian Indonesia. Dalam konteks ini
pulalah, buku kumpulan puisi Di Kedalaman
Dadamu hadir. Sebabnya adalah
hampir semua karya dalam buku ini memuat karya puisi Nina Minareli dalam
rentang waktu 1997—2006 yang notabene lahir dari rahim komunitas sastra luring.
Selain itu, kedelapan
puluh puisi dalam buku ini pernah termuat di media massa cetak. Tentu hal ini
menandakan bahwa karya puisi Nina Minareli teruji secara kualitas, setidaknya
oleh pembaca khusus, yakni redaktur puisi yang sekaligus berfungsi sebagai
kurator puisi di media massa cetak.
Untuk itu, dalam pengantar ini, saya berusaha menampilkan keutuhan wawasan estetika puisi Nina Minareli dengan melihat pemodelan teks puisi yang berhubungan dengan kekuatan bahasa puisi, yakni diksi dan gaya bahasa yang menciptakan pencitraan. Saya memilih kata imaji sebab pencitraan puisi akan berhubungan dengan kemampuan abstraksi belahan kiri otak dalam mewatas pengertian lambang kata dan kemampuan abstraksi belahan kanan otak dalam menciptakan imaji fisis dan psikis yang tersaran pengertian lambang kata di belahan kiri otak.
Diksi dan Gaya Bahasa
Segumpal
kata dalam dada, dingin
Tapi
mimpi samar-samar tanpa dermaga
(“Mimpi”, 1997: 9)
Satu karakteristik
bahasa puisi yang membedakannya dengan prosa, baik cerpen maupun novel, adalah
imaji-imaji yang diciptakan oleh diksi dan gaya bahasa penyairnya. Pemodelan
teks puisi yang memenggal kalimat menjadi larik demi larik yang menyusun bait
mengakibatkan hubungan peristiwa dan makna antarimaji seolah-olah berserakan.
Kepejalan ruang dan waktu sebuah puisi dalam rongga-rongga hubungan makna
antarimaji yang terjeda pemenggalan larik disusupi bentuk pengalaman dan
pengetahuan hidup pembaca. Kita akan memulainya dari sebuah diksi (pemilihan
kata) dada yang cukup intens terbaca pada
buku kumpulan puisi ini.
Diksi dada bermakna kamus sebagai satu bagian
dari anggota tubuh dan bermakna lebih (surplus
of meaning) sebagai rumah bahasa yang bersuasana dingin. Hal ini disebabkan
kecemasan atas mimpi samar-samar
sebagai harapan yang tanpa dermaga
atau tujuan akhir. Dua larik tersebut membangun sebuah dunia imaji tentang aku
larik puisi. Menariknya, diksi dada terus membangun dunia aku larik
puisi dalam beragam imaji. Ada 21 dunia imaji yang menyertakan diksi dada. Bukan kebetulan juga, diksi dada mendasari pemilihan judul buku
kumpulan puisi ini karena memang dunia aku larik puisi berhubungan erat dengan
diksi dada.
Kita akan mencoba memasuki beragam dunia imaji atas diksi dada tersebut dalam beragam pengucapan yang berhubungan dengan gaya bahasa aku larik puisi. Gaya bahasa (atau lebih teknisnya permajasan) menjadi pola ucap yang menyiratkan suasana aku larik puisi di dalam dunia imaji. Oleh karena itu, kecenderungan diksi dan gaya bahasa dapat dianggap sebagai modus keberadaan aku larik puisi. Saya sertakan sintagma puisi yang menyertakan diksi dada (21) dalam tabel berikut ini.
No |
Diksi Dada |
Gaya Bahasa |
1 |
Segumpal kata
dalam dada, dingin Tapi mimpi
samar-samar tanpa dermaga (“Mimpi”, 1997:
9) |
Sinekdoke pars pro toto, personifikasi, dan
kontradiksi internimis |
2 |
Ada yang diam di
balik perjalanan Mungkin kabut
atau air laut Melontarkan
kegelisahan ikan-ikan Menyimpan seribu
kata-kata di dada (“Jam Angin”,
1997: 10) |
Personifikasi, kontradiksi
internimis, dan alegori |
3 |
Detak jam
memberat di dada (“Napas Cuaca”,
1997: 12) |
Metafora |
4 |
Pada keringat
yang mengucur dalam sesak bau parfum Mabukku digoyang
tarian perempuan gaduh Yang kini
menyemburkan gairah musim di dadamu (“Malam yang
Bersulang”, 1997: 13) |
Personifikasi,
hiperbola, dan alegori |
5 |
Tanpa kursi akan
kusambut engkau Dengan
kalimat-kalimat tak berdaya Serta hujan yang
membasahi dada kota ... Di sini aku
berdiri Minta ciumanmu
lebih tajam lagi Sebab aku telah
menjadikan mereka pengecut Yang selalu
menghitung detak jam serta uang recehan Setelah berkoar
tentang musik kemarin yang menjengkelkan Lalu menyekapmu
kembali di ruang sempit pertanyaan Hingga dengan dada yang terbuka aku terima amukanmu (“Syair”, 1998:
15) |
Kontradiksi,
personifikasi, metafora, dan alegori |
6 |
Engkau adalah
musim yang menikam cuaca ke dalam dada (“Engkau”,
1999: 17) |
Asosiasi,
personifikasi, dan metafora |
7 |
Seluruh kota meledak Di dadaku, sebuah granat Membentur tugu, patung-patung Rel-rel dan
jalan-jalan layang (“Kini
Aku Jatuh Cinta”, 2001: 32) |
Hiperbola, metafora,
dan alegori |
8 |
Namun betapa
ingin kuperas sajak air mata Di belahan dadamu yang tak hanya mengalirkan madu Hingga akan
selalu kutampung sari langit yang lepas Dari mawar
kata-katamu itu (“Koda”,
1998: 36) |
Hiperbola,
personifikasi, metafora, dan alegori |
9 |
Saat aku
bersandar di kedalaman dadamu Ada gemuruh angin
yang menggoncangkan waktu Ada jalan ke
tengah hutan yang tak pernah tergambarkan Dan masih ada
banyak malam yang tak pernah selesai (“Di
Kedalaman Dadamu”, 1998: 38) |
Metafora,
personifikasi, dan hiperbola |
10 |
Embun mata ini,
kabut jiwa ini, dahaga luluhlantahkan Sangsaka, syair
pujangga, peluru yang melubangi dada Menggugah napas
perang, akrobat di atas ranjang (“Sebuah Lirik”,
2003: 47) |
Hiperbola,
personifikasi, metafora, dan alegori |
11 |
Kekasih, rabalah dada ini Tak usah kau
tebak arah kata-kataku Sebagai teka-teki
atau kartu mati Kekasih rabalah dada ini (“Sajak
dari Rumah Sakit Jiwa”, 2001: 78) |
Personifikasi, metafora,
dan alegori |
12 |
Langit telah aku
warnai karena peristiwa Malam yang
teramat rawan di dadaku (“Untuk
Puisi”, 2006: 84) |
Hiperbola dan
metafora |
13 |
Mungkin kau rindu
pada sebongkah dada yang berat Dari sekedar
tarian kata, atau kau rindu ciuman Yang akan melumat
sisi kejantananmu ... Di dadaku, wajahmu di pulau yang jauh Tergambar di atas
air, meraba sudut cuaca Mengungsikan
ruhku jauh ke tanah jiwamu (“Zahri”,
2006: 85) |
Metafora,
personifikasi, dan hiperbola |
14 |
Dada yang terbelah jadi malam Igauanku
mendengungkan serangga Syair-syair
kutemukan lewat sejengkal kitab Yang menyusun
mimpi-mimpi asing (“Di
Separuh Sepi”, 2006: 87) |
Hiperbola,
personifikasi, dan metafora |
15 |
Di dadaku, menghitung jarak sepi (“Bagi Kekasih”,
2004: 90) |
Hiperbola dan
metafora |
16 |
Aku mengeram
sunyi pada matamu Yang terasa samar
namun bergetar Kuungsikan ruhku
ke dadamu (“Calang”,
2006: 92) |
Hiperbola dan
metafora |
Kedua, simbol linear (segaris) terjadi dengan membandingkan dua hal karena menyamakan ciri, karakter, atau sifat. Sebagai contoh, kata putih menyimbolkan sesuatu yang pokok, dasar, atau awal; menyimbolkan sesuatu yang bersih dari warna lain; menyimbolkan sesuatu yang belum ternodai; dan akhirnya menyimbolkan sesuatu yang suci. Domain perempuan dengan segala simbolitasnya telah membangun simbol-simbol linear yang menggambarkan keberadaan perempuan, seperti domain perempuan dalam sistem sosial-budaya masyarakat kita yang digambarkan berbatas dapur, sumur, dan kasur.
Ketiga, simbol digresif (menyebar) terjadi dengan membandingkan dua atau lebih hal karena mempertentangkan dan/atau menyamakan ciri, karakter, atau sifat antarhal tersebut. Dapat dikatakan bahwa simbol digresif merupakan simbol kompleks karena menyertakan simbol sirkular secara vertikal dan simbol linear secara horizontal dalam rangkaian hubungan bertingkat. Simbol linear dapur, sumur, dan kasur yang horizontal menggambarkan dunia perempuan akan berhubungan erat dengan pandangan hierarkis yang vertikal pada masyarakat patriarki, misalnya. Hubungan simbolis ini tentu makin kompleks manakala pada masyarakat tersebut terdapat sistem kepercayaan agama, sistem sosial-budaya, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, dan yang lainnya.
Keempat, simbol paralel (sejajar) terjadi karena simbol-simbol sirkular, linear, dan digresif yang ada pada masyarakat dapat beroperasi dalam sistem simbol masing-masing tanpa perlu lagi berhubungan satu dengan yang lainnya. Simbol-simbol yang menggambarkan keberadaan perempuan dapat dipahami tanpa harus berhubungan lagi dengan simbol-simbol yang menggambarkan keberadaan laki-laki. Dengan kata lain, dalam proses pembentukkannya, simbol yang menggambarkan laki-laki dan simbol yang menggambarkan perempuan telah membangun domain masing-masing. Kedua simbol tersebut dapat hidup berdampingan tanpa harus ditempatkan dalam hubungan hierarkis atau subordinatif.
Sekarang kita dapat memasukkan diksi dada dan gaya bahasa yang menyertainya, yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, ke dalam ragam simbol di atas. Kita dapat menganggap bahwa setiap sintagma puisi yang menyertakan diksi dada merupakan sebuah simbol linear. Maksudnya, diksi dada yang diungkapkan dengan berbagai gaya bahasa tersebut telah membangun peristiwa dan makna dalam sebuah dunia imaji pembaca. Sebagai contoh, sintagma puisi berikut ini sempurna membangun sebuah imaji kisahan tentang diksi dada.
Ada
yang diam di balik perjalanan
Mungkin
kabut atau air laut
Melontarkan
kegelisahan ikan-ikan
Menyimpan
seribu kata-kata di dada
(“Jam Angin”, 1997: 10)
Dengan kata lain, kita
dapat menganggap bahwa setiap sintagma puisi membangun imaji kisahan. Dengan
demikian, terdapat 21 imaji kisahan atas diksi dada.
Dalam sintagma berikut, simbol linear atas diksi dada disampaikan dalam kombinasi gaya bahasa sinekdoke pars pro toto dan kontradiksi internimis. Diksi dada menjadi simbol tempat kegelisahan aku larik puisi dalam memahami identitas keperempuanan yang dingin. Diksi dada adalah penyebutan salah satu anggota tubuh yang mewakili keseluruhan tubuh fisik dan psikis aku larik puisi seperti terbaca dalam sintagma puisi berikut.
Segumpal
kata dalam dada, dingin
Tapi mimpi
samar-samar tanpa dermaga
(“Mimpi”, 1997: 9)
Sementara itu, diksi mimpi sebagai energi hidup digambarkan tidak memiliki tujuan akhir.
Kita percaya bahwa imaji atas mimpi mampu mendorong manusia bergerak dan
berbuat menggapainya. Kita dapat menganggap sintagma puisi ini sebagai dua
pernyataan yang bertentangan.
Dunia keperempuanan yang digambarkan aku larik puisi makin terasa dingin dalam gaya bahasa hiperbola: //Detak jam memberat di dada// (“Napas Cuaca”, 1997: 12); //Langit telah aku warnai karena peristiwa/Malam yang teramat rawan di dadaku// (“Untuk Puisi”, 2006: 84); dan //Di dadaku, menghitung jarak sepi// (“Bagi Kekasih”, 2004: 90). Tentunya, kita bertanya, apa gerangan sebab semua ini? Setidaknya, kita dapat menemukan jawaban dari sintagma puisi //Engkau adalah musim yang menikam cuaca ke dalam dada// (“Engkau”, 1999: 17). Sintagma ini menjadi jelas maknanya manakala kita menemukan partisipan orang kedua engkau sebagai mitra bicara aku larik puisi dalam sintagma puisi berikut.
Tanpa
kursi akan kusambut engkau
Dengan
kalimat-kalimat tak berdaya
Serta
hujan yang membasahi dada kota
...
Di
sini aku berdiri
Minta
ciumanmu lebih tajam lagi
Sebab
aku telah menjadikan mereka pengecut
Yang
selalu menghitung detak jam serta uang recehan
Setelah
berkoar tentang musik kemarin yang menjengkelkan
Lalu
menyekapmu kembali di ruang sempit pertanyaan
Hingga
dengan dada yang terbuka aku terima
amukanmu
(“Syair”,
1998: 15)
Meski berjudul “Syair”, partisipan orang kedua engkau dalam sintagma di atas teridentifikasi sebagai laki-laki. Hal ini terbaca dalam sintagma puisi berikut.
Mungkin
kau rindu pada sebongkah dada yang
berat
Dari
sekedar tarian kata, atau kau rindu ciuman
Yang
akan melumat sisi kejantananmu
...
Di dadaku, wajahmu di pulau yang jauh
Tergambar
di atas air, meraba sudut cuaca
Mengungsikan
ruhku jauh ke tanah jiwamu
(“Zahri”,
2006: 85)
Diksi dada dalam sintagma yang menyertakan aku
larik puisi dan partisipan orang kedua engkau
menandai peristiwa dan makna dalam kisahan: dunia perempuan yang sepi, dunia
aku larik puisi yang terjarak engkau, dunia aku-engkau yang berlatar sebuah
kota: //Serta hujan yang membasahi dada kota// (“Syair”, 1998: 15 ). Bersamanya terdapat tiga imaji atas diksi dada, yakni dada sebagai anggota tubuh;
dada sebagai rumah kata, syair, atau puisi; dan dada sebagai bagian dari sebuah
tubuh kota. Sintagma yang menyertakan diksi dada
ini menandai simbol digresif dalam sebuah sintagma puisi.
Bagaimana tutupan kisahan atas 21 diksi dada ini terjadi? Setidaknya, kita dapat menyertakan dua sintagma berikut.
Kekasih, rabalah dada ini
Tak
usah kau tebak arah kata-kataku
Sebagai
teka-teki atau kartu mati
Kekasih
rabalah dada ini
(“Sajak
dari Rumah Sakit Jiwa”, 2001: 78)
Dada yang terbelah jadi malam
Igauanku
mendengungkan serangga
Syair-syair
kutemukan lewat sejengkal kitab
Yang
menyusun mimpi-mimpi asing
(“Di
Separuh Sepi”, 2006: 87)
Sintagma pertama
menandai bahwa aku larik puisi mengalami pergumulan yang terkalahkan (rebahlah dada ini) dan sampai pada
tujuan yang tidak diharapkan (menyusun
mimpi asing). Kedua
sintagma ini menegaskan bahwa dari ke-21 simbol linear atas diksi dada berdasar pada simbol sirkular,
yakni simbol tentang laki-laki dan perempuan. Perluasan simbol sirkular tentang
laki-laki dan perempuan ini sejajar dengan simbol sirkular lain dalam diksi dada,
yakni simbol sirkular syair (atau puisi) dan kata. Syair dianggap
sebagai bumi yang berkonotasi perempuan. Sementara itu, kata, baik diksi maupun gaya bahasa, dianggap sebagai langit yang
berkonotasi laki-laki. Hal ini sejajar dengan diksi dada yang berkonotasi sebagai bumi perempuan, sementara kata yang
turun dari atas dada, yakni dari kepala, berkonotasi langit sebagai laki-laki.
Kita
akhirnya dapat menarik sebuah simpulan bahwa diksi dada yang ada dalam kumpulan buku puisi Di Kedalaman Dadamu karya Nina Minareli diungkapkan dalam berbagai
gaya bahasa yang membangun keutuhan perumpamaan dalam laras alegoris. Sementara
itu, dalam ranah simbol, diksi dada yang
membangun imaji-imaji simbolis keperempuanan dapat dianggap sebagai simbol-simbol
digresif dalam laras keperempuanan aku larik puisi. Namun, laras keperempuanan
masih cenderung terbaca tersubordinasi oleh simbol-simbol kelaki-lakian. Mungkin,
dalam buku kumpulan puisi berikutnya, kita dapat menemukan laras keperempuanan
yang bersimbol paralel: kesetaraan langit perempuan dan bumi laki-laki. Tabik!
Mangkubumi, 17 November 2021
*Buku kumpulan puisi Di Kedalaman Dadamu karya Nina Minareli diterbitkan Basabasi.co
tahun 2022. Ulasan ini dibuat untuk pengantar buku tersebut.
Nizar Machyuzaar
Penulis, aktif sebagai ketua Mata Pelajar Indonesia. Karya tulis dimuat di laman artikel Badan Bahasa Kemendikbudristek, Koran dan Majalah Tempo, Harian Kompas, Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Kabar Priangan, dan beberapa portal berita digital. Karya yang telah dihasilkan adalah buku puisi bersama Doa Kecil (1999), buku puisi tunggal Di Puncak Gunung Nun (2001), dan buku kumpulan puisi bersama Muktamar Penyair Jawa Barat (2003). Terbaru, artikel bahasa dimuat di Kolom Bahasa majalah Tempo, Kolom Bahasa harian Kompas, Wisata Bahasa Pikiran Rakyat, artikel bahasa di beberapa portal berita digital, seperti badanbahasa.kemdikbud.go.id, kapol.id.