Membaca atau Mati!
Dulu
pekik yang paling berjiwa dan membakar semangat adalah frasa ini: merdeka atau
mati. Pengertian frasa itu adalah lebih baik mati daripada terjajah, lebih baik
berjuang daripada menikmati penjajahan. Entah karena perjuangan itu, kita harus
mengakhiri hidup. Hidup adalah perjuangan, bukan kepasrahan. Pengertian yang
lebih filosofis adalah bahwa sebaik-baik hidup adalah lepas dari penjajahan. Seburuk-buruknya
hidup adalah menikmati penjajahan. Dengan pengertian itulah, dapat disimpulkan
bahwa hidup adalah kebebasan.
Manakala belum bebas, kita sejatinya tidak hidup.
Pengertian inilah yang kemudian kita dekatkan dengan sabda pendidikan, yaitu
sebuah proses berkesinambungan dengan penuh kesadaran, perencanaan, dan
bersistem untuk memanusiakan manusia. Dengan kata lain, pada hakikatnya,
manusia itu belum seutuhnya manusia jika tidak mengecap pendidikan. Manusia
hanya akan seutuhnya menjadi manusia setelah menikmati pembelajaran. Manusia
harus aktif-produktif (hidup), bukan pasif-konsumtif (mati).
Saat ini pemerintah melalui Badan Bahasa sedang sangat
semangat menggelorakan gerakan “Ayo Membaca” setidak-tidaknya selama 15 menit (di
ruang kelas). Gerakan ini bertujuan untuk menumbuhkan budaya literasi kita yang
kian hari kian buram. Keburaman itu, misalnya, dapat kita toleh pada nukilan
The World’s Most Literate Nations (WMLN) 2016. Betapa tidak, angka melek
literasi kita berada pada posisi ke-60 dari 61 negara yang dikaji. Kita adalah negara
terburuk yang kedua. Miris!
Bermula dari Membaca
Itulah sebabnya teman-teman pegiat literasi rutin
mengadakan diskusi. Diskusi serupa juga makin terlihat rutin dilakukan
pemerintah. Diskusi tak jarang juga melahirkan eksekusi berupa pengiriman buku.
Pada portal Badan Bahasa, dalam waktu berdekatan ada dua berita dengan semangat
luar biasa: pengiriman jutaan buku. Salah
satunya adalah artikel bertajuk “Pengiriman 2.978.450 Buku ke
Wilayah NTT dan NTB untuk Perkuat Semangat Literasi Siswa”
(Badanbahasa.kemdikbud.go.id, 13 Juli 2022).
Dilansir dari portal tersebut, konon upaya tersebut
dilakukan karena adanya indikasi kehilangan pembelajaran atau learning
loss yang signifikan di kalangan siswa. Selain
itu, banyak
siswa putus sekolah, bahkan hasil Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK)
tahun 2021 menunjukkan bahwa kurang dari 50%
siswa mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca. Semangat serupa juga gencar
dilakukan dengan pengiriman 2.574.052 eksemplar buku ke daerah 3T regional
empat untuk wilayah Papua, Papua Barat, Maluku, serta Maluku Utara. PT Temprina
ditunjuk sebagai perusahaan yang mencetak buku, sedangkan PT Pos Indonesia
ditunjuk untuk pendistribusian buku ke daerah 3T.
Semangat seperti ini rasanya perlu didukung tanpa
tanggung-tanggung. Mungkin banyak orang akan bertanya: untuk apa mengirim buku
dan untuk apa membaca? Apakah buku dan membaca memang benar-benar berguna?
Rasanya kita tak perlu berdebat panjang untuk itu. Toh berbagai penelitian
sudah memberikan petunjuk yang benar. Joko Pinurbo pernah mengatakan begini: masa kecil kau rayakan dengan membaca;
(maka) kepalamu berambutkan kata-kata. Kalimat ini dengan lugas meneguhkan
bahwa asal kata-kata yang akan berteriak di pikiran kita adalah membaca.
Membaca adalah bahan baku untuk menuangkan dan
memproduksi ide. Banyak membaca maka banyak bahan baku. Setelah banyak bahan
baku, tentu terserah kepada kita pengolahannya. Boleh diucap bahwa kalau tak
pernah membaca, mustahil seseorang bisa menulis. Jujur saja, ketika menjadi
pemakalah atau ketika ada diskusi literasi, saya selalu mengatakan bahwa bahan baku
utama untuk menulis adalah membaca. Maka dari itu, gerakan “Ayo Membaca”
sesungguhnya juga mengandung pesan ayo menulis, ayo produktif, dan ayo bekerja,
bukan bermalas-malasan.
Sebuah
Candu
Bagi saya pribadi, membaca adalah menanam ideologi.
Membaca adalah mempersiapkan diri. Membaca adalah melengkapi rongga-rongga
bangunan. Membaca adalah membenihkan. Membaca adalah mematangkan imajinasi.
Membaca adalah meneropong dan menikmati masa depan dengan cara dan pemahaman
yang berbeda. Maka dari itu, seperti kata Muhammadun, jika ingin maju dan bangkit seperti
Eropa (renaissance), kita harus mampu membangkitkan motivasi membaca
para generasi Indonesia.
Pekikan-pekikan
lama, seperti “merdeka atau mati” harus kembali hidup dan bergelora di dalam
dada kita masing-masing. Memang kini kita tak lagi hidup pada zaman penjajahan
fisik. Kolonialisme dalam bentuknya yang purba sudah usang. Akan tetapi, bebas
dari penjajahan fisik bukan berarti bebas seutuhnya. Justru di sinilah hakikat
dari sebuah kemerdekaan itu diuji. Apakah karena kebebasan itu, kita lalu
berleha-leha dan bermalas-malas? Jika bermalas-malas, tentu saja kita tak lebih
mulia daripada para bapak pendiri bangsa.
Mereka (para
pendiri bangsa) masih menyempatkan diri membaca dan membawa buku. Tan Malaka
dalam pergerakannya ketika dikepung musuh lebih menyelamatkan buku-buku
daripada harta lainnya. Bung Karno menyibukkan diri di dalam penjara dengan
buku-buku. Pramoedya Ananta Toer berkarya justru dari balik penjara. Bahkan
lagi, dalam perjalanan ketika hendak dihukum mati, Amir Syarifuddin menyempatkan
diri membaca karangan William Shakespeare. Artinya, penjajahan ternyata tak
berhasil membuat mereka untuk tidak produktif dan positif.
Saat itu
membaca adalah sebuah candu. Tak peduli badan dikekang, asal pikiran bisa
bebas. Dalam bahasa lugasnya, para pendiri bangsa hanya terjajah dari segi
fisik (eksistensial), bukan jiwa dan pemikiran (substansial). Lalu kita? Maaf
saja, justru sebaliknya. Padahal, meminjam ungkapan almarhum Muhammad Zuhri
(2007), manusia seperti ini, meskipun masih dapat melangsungkan hidup secara
fisik, sebagai manusia sebenarnya ia telah mati. Yang mau saya utarakan di sini
sebenarnya singkat saja: ayo membaca. Membaca itu adalah menabung ide.
Membaca itu berkorelasi positif dengan kemajuan sebuah bangsa. Kalau mau diperinci lagi, membaca hal-hal positif yang mengguncang imajinasi akan membuat kita menjadi pribadi bergairah. Mari, saya kutipkan penelitian David C. McClelland di sini! Dia seorang psikolog sosial asal Amerika yang tertarik pada masalah-masalah pembangunan. Dia dalam penelitiannya membandingkan Inggris dan Spanyol. Kita tahu bahwa pada abad ke-16 kedua negara ini merupakan dua negara raksasa. Bedanya, sejak saat itu, Inggris makin jaya, tetapi Spanyol malah melempem.
Pilihan
Hanya Dua
Penyebabnya apa? Sebagaimana dimuat dalam buku Arief
Budiman yang berjudul Teori Pembangunan
Dunia Ketiga (1995), ternyata
penyebabnya tak lain ada pada muatan cerita buku. Kelihatannya, dongeng
dan cerita anak di Inggris pada awal abad ke-16 mengandung semacam virus yang
menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit "butuh berprestasi" (need
for achievement). Sebaliknya, cerita anak dan dongeng yang ada di Spanyol
didominasi oleh cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru
membuat penikmatnya lunak hati dan meninabobokan sehingga serasa ada di atas
surga.
Saat
ini berkaitan dengan itu, tak usah dulu kita repot-repot memilih Inggris atau
Spanyol. Katakanlah ini masih tahap awal. Sebagai awal, marilah dulu
membiasakan diri untuk membaca dan membaca. Buku apa pun dan cerita apa pun
itu. Pokoknya, mari membiasakan membaca dulu. Jangan merasa rendah kalau tak
bisa membaca karya bernuansa ilmiah. Karya ilmiah tak selalu lebih mulia dari
karya imajinatif.
Albert Einstein pernah
bergumam bahwa imajinasi ternyata lebih liat dan liar. Jika logika membawa kita
dari A ke B, imajinasi akan membawa kita ke mana-mana. Jadi, jangan takut untuk
membaca. Dongeng sekalipun, silakan Tuan dan Puan baca! Para guru dan terutama
siswa, mari kita sambut seruan bijak untuk membiasakan diri membaca (paling
tidak) selama 15 menit. Singkat saja, pilihan kini hanya dua: membaca atau mati
tergilas di balik impitan informasi dan buku yang tak pernah kita baca dengan
baik.
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional, Pengurus PGRI Humbang Hasundutan, Pengurus Nasional P2G