Mengurai Identitas Sosial dalam Kumpulan Cerpen Celurit Hujan Panas Karya Zainul Muttaqin
Suatu kemenarikan bahwa sampul buku
kumpulan cerita pendek berjudul Celurit Hujan Panas karya Zainul Muttaqin
bergambar
ilustrasi dua laki-laki bertubuh tegap yang berbusana
khas Madura dengan kaos berwarna merah dan putih serta ilustrasi perempuan
dengan busana khas pedesaan berupa baju terusan panjang dan penutup kepala
berbentuk bulat. Ketika kita membaca
judul dan melihat ilustrasinya, kesan
Madura menjadi sangat kentara. Semiotik
yang ditujukan sampul dan
judul akhirnya langsung tergambar oleh pembaca.
Seketika pergulatan antara sastra, sosial, dan budaya terpampang saat kita melihat
buku kumpulan cerita ini.
Buku kumpulan cerita pendek ini menunjukkan
bahwasanya sastra, sosial masyarakat, dan budaya merupakan tiga komponen yang
pada dasarnya tidak bisa dipisahkan. Sastra ada karena merupakan buah
keterampilan dan produk budaya yang dihasilkan oleh masyakarat dalam kehidupan
sosialnya. Sastra tumbuh dan berkembang dalam pusaran arus budaya yang ada di
masyakarat. Karena hal itulah, karya sastra tidak akan
jauh dari permasalahan sosial masyarakat dan budaya yang terdapat pada
kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu, antara sosial masyarakat, budaya, dan
karya sastra ada satu kesatuan yang saling berkaitan. Jika sosial masyarakat
dan kebudayaan yang berkembang adalah proses, sastra adalah hasil dari proses
kreatif perkembangan budaya dan sosial.
Pengaruh sosial dan budaya dalam
karya sastra erat kaitannya dengan penggabungan antara sastra dan ilmu sosial
(sosiologi) yang menjadi sebuah pendekatan sastra
yang biasa disebut dengan sosiologi sastra. Sebuah karya sastra yang lahir
dalam sebuah kebudayaan dan realita sosial yang ada dipengaruhi oleh
percampuran ilmu yang lain. Sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan
pertumbuhan masyakarat, yang juga mempelajari tentang keseluruhan jaringan
hubungan antarmanusia dalam masyakarat (Ratna,
2009). Sosiologi memandang manusia melalui kehidupan sosial bermasyarakatnya. Istilah
tersebut mengacu pada penggabungan antara sastra yang mengandung unsur
kemasyarakatan. Sosiologi sastra merupakan pemahaman terhadap karya sastra yang
di dalamnya menyangkut status sosial, ideologi sosial, dan mempertimbangkan
aspek-aspek kemasyarakatan (Faruk, 2005).
Pengaruh sosial masyaralat terhadap sastra
membuat sebuah karya sastra mempunyai ciri khas tersendiri. Dalam
sosiologi sastra terdapat beragam pendekatan atau model yang ditemukan,
misalnya identitas sosial yang ada dalam karya sastra. Identitas sosial yang
terkandung dalam karya sastra membicarakan konsep individu yang memiliki
pengetahuan tertentu mengenai anggota yang terdapat dalam suatu kelompok sosial
tertentu yang sudah tertanam secara emosional dalam kelompok tersebut. Identitas
sosial merupakan penggambaran sosial yang keluar dari individu-individu dalam
suatu kelompok sosial serta mempunyai pandangan dan emosi yang sama. Identitas
sosial berbicara tentang sebuah perlakuan sosial antara
anggota individu yang berasal dari suatu kelompok yang sama dan juga untuk
memperbandingkan individu (dirinya) serta kelompok dengan yang lainnya.
Maksudnya adalah individu yang terdapat pada suatu kelompok sosial masyarakat
tertentu pastilah mempunyai sebuah pandangan atau emosi yang sama. Misalnya, ketika
suatu invidu dari kelompok suku Jawa sedang menggelar kenduri, otomatis
kelompok lainnya akan membantu atau setidaknya terlibat dalam berbagai peran
yang ada pada kegiatan tersebut. Identitas sosial dalam karya sastra ini
menandakan bahwa manusia memang tidak bisa terlepas dari kontrol sosial kelompok
masyarakat yang sudah tertanam dan mengakar pada sebuah peraturan yang tidak
tertulis, tetapi
berlaku.
Identitas sosial ini menjadi sebuah kekhasan tersendiri yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Salah satu kumpulan cerita pendek yang di dalamnya terkandung nilai identitas sosial dan kearifan lokal adalah kumpulan cerpen yang berjudul Celurit Hujan Panas karya Zainul Muttaqin. Kumpulan cerpen ini berisikan dua puluh cerita pendek yang menceritakan kisah sehari-hari berlatarkan Pulau Garam atau Madura. Kisah tersebut berisikan kejadian-kejadian sosial serta adat istiadat dan budaya Madura yang terkenal, seperti karapan sapi dan carok. Identitas sosial yang terdapat dalam buku kumpulan cerita pendek ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga unsur. Ketiga unsur tersebut dimulai dari struktrur sosial, tingkah laku sosial, dan definisi ontologis.
Struktur sosial atau yang bisa juga
disebut kategori sosial adalah dasar
berpijak bagi seseorang dalam proses identitas dan hubungan antarkelompok.
Orang bisa saja diklasifikasikan ke dalam kategori jenis kelamin, umur, etnik,
ras, budaya, dan sebagainya. Kutipan yang menunjukkan adanya struktur sosial terdapat pada
cerpen yang berjudul “Penjung”.
“Kamu harus bisa menempatkan diri
dari mana kamu berada,” Maskarib bicara dengan menekan suaranya.
Beberapa saat kemudian Maskarib kembali mengatakan, “Ahwiyani itu tamu saya. Ia seorang tandak. Bukan pelacur. Tidak pantas kau berlaku seperti itu padanya. Sebagai tuan rumah, wajib bagi saya menjaga kehormatan dia. Ingat itu!” (hlm. 4)
Kutipan tersebut memberi penjelasan
tentang Maskarib yang memperingatkan Maksan yang bertingkah kelewatan saat
berjoget bersama seorang tandak (penari) bernama Ahwiyani.
Pada masyarakat yang ada di latar cerpen itu, jelas tindakan yang dilakukan
oleh Maksan adalah sebuah pelanggaran yang berat. Seorang tandak
yang diundang pada pesta pernikahan adalah tanggung jawab tuan rumah yang
mengundangnya. Maksan juga terlampau kelewatan dengan mencium pipi Ahwiyani.
Identitas seorang tandak hanya sebatas menari dan
melemparkan penjung (selendang
tari) untuk mengajak penonton ikut menari bersamanya di panggung. Kemudian, si
penonton yang dipilih dengan cara mengalungkan penjung tersebut harus memberikan uang saweran dan bisa ikut menari
bersamanya.
Selain itu, hubungan antarkelompok yang terjadi pada peristiwa menjelaskan bahwa Maskarib selaku tuan rumah adalah sosok bajing yang paling ditakuti dan Maksan merupakan orang yang ada di bawah struktur Maskarib. Sebetulnya, dengan struktur tersebut, Maskarib bisa saja menghukum Maksan saat itu juga. Namun, demi menjaga ketenangan, Maskarib menahan itu dan lebih menjaga agar tidak terjadi keributan pada peristiwa tersebut. Tindakan Maskarib terhadap Maksan dan juga kesalahan yang dibuat Maksan sudah menjelaskan keadaan struktur atau kategori sosialnya.
Tingkah
Laku Sosial
Tingkah laku sosial atau bisa
disebut komponen budaya merupakan kategori seseorang dalam praktiknya yang
sudah berlangsung terus-menerus. Tingkah laku sosial ini
dipandang sebagai penilaian seseorang tentang tingkah lakunya, sesuai dengan
norma kelompoknya atau tidak. Kutipan yang menunjukkan adanya tingkah laku
sosial terdapat pada
cerpen yang berjudul “Bulan
Celurit”.
“Ah, kau tak perlu sekolah
tinggi-tinggi. Teman-temanmu di kampung ini sudah pada menikah semua, bahkan
ada yang sudah punya anak. Untuk apa kau sekolah tinggi-tinggi? Toh pada
akhirnya kamu juga di dapur,” Ibu memegangi tanganku yang mulai dingin. (hlm. 30)
Penggambaran tindakan yang dilakukan
oleh bapak tokoh Aku merupakan
sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di lingkungan tempat
tinggalnya. Latar tempat dalam cerpen ini menjelaskan bahwa perempuan-perempuan
di kampungnya sudah dinikahkan saat umur mereka sudah memasuki 17—18 tahun.
Tindakan yang dilakukan oleh bapak tokoh Aku itu menggambarkan laku yang diterapkan sesuai dengan perilaku yang juga diterapkan oleh kelompoknya. Kasus cerpen “Bulan Celurit” ini adalah menikahkan anak perempuannya saat sang anak memasuki usia 17—18 tahun. Hal itu sesuai dengan tingkah laku dan praktik yang dilakukan oleh kelompok masyarakatnya secara terus-menerus. Bapak tokoh Aku seolah-olah menerapkan atau menjalankan komponen budaya karena melakukan tingkah laku sosial yang sesuai dengan norma kelompoknya sehingga menjadi komponen budaya yang berlangsung terus-menerus. Selain itu, tokoh Aku juga mendapatkan perlakuan ketidakadilan gender berupa subordinasi karena keputusannya untuk melanjutkan pendidikan dianggap tidak perlu dan tidak penting oleh bapaknya. Hal itu menyebabkan pandangan yang kurang menempatkan posisi perempuan untuk bisa mengembangkan diri.
Definisi
Ontologis
Definisi ontologis dapat juga
disebut sebagai label. Definisi
ontologis ini mencoba mengungkapkan orang melalui kategori nilai
alamiah individu. Label ini berangkat dari pernyataan yang sangat mendasar
bahwa memang itulah dia (individu) dan tidak bisa disangkal karena
identitas ini sudah melekat di dalam dirinya (Giddens, 1991). Kutipan
yang menunjukkan adanya label atau definisi ontologis salah satunya terdapat
pada cerpen “Gadis
Sangkal”.
Tapi, Sitti merasa peringatan ibunya
seperti tidak masuk akal. Lebih-lebih, Sitti seorang mahasiswi di sebuah
universitas swasta. Bagi Sitti, ibunya terlalu primitif, percaya pada hal-hal tidak
logis. Apa mungkin seorang gadis tak akan laku selamanya jika menolak pria yang
melamarnya pertama kali? Sitti hanya menyimpan pertanyaan itu dalam lubuk
hatinya.
Kutipan tersebut menggambarkan karakteristik
ibu tokoh Sitti. Ibu yang digambarkan dalam cerpen tersebut adalah sosok
orang tua yang sangat percaya dengan adanya takhayul
ataupun hal-hal yang tidak logis, seperti mitos tentang sangkal. Sangkal
merupakan istilah yang diadopsi dari bahasa Jawi Kuno sengkala (sengkolo).
Sangkal yang dimaksudkan oleh orang Madura (Sumenep khususnya) adalah apabila
ada orang tua mempunyai anak gadis, lalu dilamar oleh laki-laki, lamarannya tidak
boleh ditolak karena membuat si gadis akan sangkal (tidak laku
selamanya). Ibu dalam cerpen ini seakan-akan
betul-betul mempercayai hal tersebut karena merupakan kepercayaan masyarakat
yang sudah mengakar dan dilakukan terus-menerus
sehingga menjadi sebuah dalil yang harus dipegang teguh dalam kehidupannya.
Pemikiran sang ibu dalam hal sangkal memang
sangat wajar dan mengalir begitu saja karena merupakan sifat alamiah yang
dimiliki oleh kelompok masyarakat yang mempercayainya.
Pada kasus dalam cerpen tersebut, sang ibu tidak akan membiarkan anak gadisnya menjadi sangkal karena menolak lamaran pertama dari laki-laki. Karakter dan perilaku tokoh Ibu tersebut merupakan definisi ontologis karena tokoh Ibu memang digambarkan seperti itu sesuai dengan pemikiran dan gagasan yang telah lama mengakar di masyarakat. Pemikiran itu menimbulkan stigma bahwa memang seperti itulah kelompok masyarakat tersebut memegang teguh prinsip dan nilai hidupnya. Sangkal dan tokoh Ibu merupakan bentuk penjabaran dari definisi ontologis yang menjelaskan bahwa label ini berangkat dari pernyataan yang sangat mendasar bahwa memang itulah dia (individu). Hal itu tidak bisa disangkal karena identitas ini sudah melekat di dalam dirinya (individu tersebut).
Simpulan
Berdasarkan pembacaan terhadap kumpulan cerpen Celurit Hujan Panas karya Zainul Muttaqin, identitas sosial pada karya tersebut menggambarkan kekuatan dan kekhasan kelompok masyarakat yang ada di daerah Madura. Identitas ini menggambarkan kekuataan dan kekuasaan yang dimiliki oleh individu atau kelompok yang menggambarkan kekhasan masyarakat di wilayah tersebut sehingga dapat dikenali dengan identitas yang melekat itu.
Daftar
Bacaan
Faruk.
2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Giddens,
Anthony. 1991. Modernity
dan Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age. Stanford: Stanford University Press.
Muttaqin,
Zainul. 2020. Celurit Hujan Panas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ratna,
N. K. 2009. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bayu Suta Wardianto
Peneliti bidang bahasa dan sastra di Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto