“Jarum Pentul” Alegori Kedesaan, Perubahan, dan Kesantrian
Sejak awal membaca sajak karya Irna
Novia Damayanti, sebagaimana sajak berjudul “Mimpi”, saya berjumpa dengan pengakuan-pengakuan
yang menceritakan pengalaman hidup sehari-hari yang diungkapkan secara puitis.
Terkadang ungkapan puitisnya itu menjadi sebuah peristiwa puisi yang indah,
tanpa harus diindah-indahkan. Namun, tidak jarang ungkapan-ungkapan puitis
itu menjadi sebuah kalimat panjang yang dianyam oleh Irna Novia
Damayanti, sebagaimana sebuah jarum pentul yang menganyam, keluar-masuk
menautkannya dengan benang yang bernama perlambangan, dengan maksud agar
kalimatnya menjadi karya puitis, bahkan menjadi puisi.
Irna Novia Damayanti dilahirkan di
Purbalingga pada 14 September 1992. Dia beralamat di Desa Rajawana, Kecamatan
Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Dia pernah menjadi
santri di Pesantren Mahasiswa An-Najah, Purwokerto. Dia lulus S-1 jurusan Pendidikan
Bahasa Arab dan S-2 jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) dari IAIN
Purwokerto.
Puisi yang dipuisi-puisikan
Ketika membaca sajak-sajak Irna Novia Damayanti dalam kumpulan sajak Jarum Pentul (Penerbit Wawasan Ilmu, 2022) ini, kita disodorkan pada kalimat-kalimat yang bercerita, setidaknya menyatakan suatu tanggapan atau pemikiran tentang suatu hal yang menarik bagi penyair. Dalam hal ini, sesuatu yang menarik bagi penyair itu adalah yang sebagaimana dia ungkapkan di salah satu sajaknya dengan dipuisikan.
Tempur
Sari
(Jenderal Soedirman)
ini
tentang kepercayaanku yang
kadang
menggantung di angan-angan
tentang
sawah, langit biru, embun
di
atas daun kacang panjang
daun
tales dan yang meresap di tanah
begitu
mudah merawat kehijauan
menjadi
diksi-diksi menyapa mataku dengan
udara
yang berlarian sambil mengirim kesejukan
biasa
dipuisikan waktuku ketika berangkat ke sekolah
saat SMA
adalah perangkum tangis kali pertamamu
hingga
detak nafasmu tak didengar semesta
namamu
masih mendapat kursi keagungan
di
dada generasi muda
lantaran
menulis riwayat dengan bergerilya
yang
menjelma mahkota kemerdekaan
di waktu yang kini diprasastikan
(An-Najah, September 2015)
Ungkapan-ungkapan puitis itu
merupakan sebuah kalimat panjang yang dianyam oleh Irna Novia Damayanti
sebagaimana contoh di atas. Jika dihilangkan sistem pembarisan dan pembaitannya,
hilanglah ketaklangsungan ekspresinya sehingga menjadi ekspresi langsung yang
mungkin mirip prosa.
Ada pengertian yang berbeda antara puisi
dan dipuisikan. Puisi bermakna bahwa suatu realitas itu telah mengandung
puisi, yaitu mengandung hikmah, sejak awal ia menjadi subjek bagi
terciptanya sebuah puisi karena mengandung "keindahan". Sementara
itu, dipuisikan boleh jadi tidaklah mengandung keindahan di pandangan
mata umum. Namun, di pandangan Irna Novia Damayanti itu dianggap indah atau
mengandung keindahan. Dalam banyak sajak yang ditulis oleh Irna Novia
Damayanti, sudut-pandang memuisikan itu dominan dalam penulisan tentang apa
yang dia sebut sebagai puisi. Itulah sebabnya mengapa dalam merangkai
kalimat demi kalimat di dalam sajaknya, Irna Novia Damayanti mencampur begitu
saja antara satu realitas dan realitas lain, antara yang indah di mata
dan yang indah menurut pikirannya atau perasaannya. Apakah dengan
demikian, Irna Novia Damayanti memuisikan realitas yang sesungguhnya bukan
mengandung puisi/keindahan/hikmah, melainkan dipuisi-puisikan? Akan
tetapi, bukankah dengan demikian, kreativitas yang bagi orang lain tidak
mungkin, bagi Irna Novia Damayanti menjadi mungkin?
Boleh jadi, suatu hal yang tampak di pandangan
Irna Novia Damayanti itu kemudian dipuisi-puisikan menjadi puitis karena
telah menjadi pola penciptaan sajaknya. Tentu saja dia menyadarinya sebagai
seorang yang menuliskannya. Boleh jadi, hal-hal yang dipuisikannya itu menjadi
sebuah gambaran dunia yang utuh sehingga bisa dinikmati oleh pembacanya,
kemudian memperoleh hikmah kebijaksanaan hidup yang bisa dipetik. Dunia yang
dibangun oleh Irna Novia Damayanti dalam puisi itu berhasil
berkomunikasi dengan pembaca karena pandangan mata pandang penyair dan pembaca
memperoleh cakrawala yang sama dalam menerima dunia yang dibangun dalam sajak.
Apakah banyak sajak yang demikian berhasil dituliskan oleh Irna Novia Damayanti
dengan pola tersebut?
Saya baca satu per satu sajaknya dari tahun penciptaan 2013 hingga 2021. Pada 5 tahun pertama proses kreatifnya sebagai penyair, puisi yang dipuisikannya itu terasa tidak ada hubungan antara satu simbol dan simbol yang lain dalam kesatuan sebagai gambaran dunia yang utuh di dalam sebuah sajak. Pada sajak yang demikian, terasa ketidakmengertian sebagai pembaca untuk melakukan rekonstruksi makna yang utuh menjadi seni sebuah puisi yang indah. Melalui bahasa sajaknya, saya kehilangan komunikasi, kehilangan makna dunia yang dia bangun dalam sajaknya. Penilaian itu berlaku untuk sajak-sajak yang dia tulis pada periode awal proses kreatifnya sebagai penyair, yaitu sajak “Mimpi”, “Tahlil Cinta”, “Aku Seorang Mengemis”, dan seterusnya. Sebagai contoh, makna yang sudah terbangun dari hubungan perlambangan antara rembulan dan malam, api dan bara, kata dan sunyi, jawaban dan teka-teki, kemudian oleh penyair diakhiri dengan pernyataan, “Kini aku hanya bisa menjadi batu.” Hubungan itu menjadi terputus sekalipun jika dipaksakan pembaca juga mau mengerti. Hal itulah yang saya maksudkan sebagai puisi yang dipuisi-puisikan.
Jadi Batu
tak
akan ada rembulan jika kau tak hadirkan malam
tak
akan ada api jika kau tak hadirkan bara
tak
akan ada kata jika kau tetap mendekap sunyi
tak
akan ada jawab jika kau tak mengisi teka-teki
kini aku hanya bisa menjadi batu
(Rajawana, 16 Juli 2013)
Pada sajak periode berikutnya, apakah Irna Novia Damayanti berhasil memuisikan suatu realitas yang dia puisi-puisikan? Pada sisi manakah keberhasilannya dalam membangun dunia dalam sajak bisa diterima oleh pembaca sebagai keindahan/hikmah/puisi?
“Jarum Pentul” Alegori Kedesaan, Perubahan, dan Kesantrian
Ketidakberhasilan penyair dalam
membangun dunia yang utuh dalam sajaknya terjadi karena ia terlalu personal
dalam menempatkan sesuatu sebagai simbol sehingga rangkaian kalimat
panjang yang dipotong dalam baris dan bait itu tidak mampu dimaknai oleh
pembaca. Hal itu terjadi karena komunikasi bahasa yang dilakukan oleh
pembacanya tidak nyambung.
Sementara itu, di dalam sajak yang
berhasil, serangkaian kalimat yang ditata denotatif dan konotatifnya itu menyambungkan
antara persepsi penyair dan pembacanya. "Nyambungnya" itu disebabkan
oleh pilihan kata (diksi) yang diposisikan sebagai lambang (simbol) oleh
penyair mampu dimaknai oleh pembaca. "Nyambungnya" itu terjadi ketika
Irna Novia Damayanti menarasikan pengalaman rohani yang dapat dicari rujukannya
oleh pembaca melalui ingatan pada sikap khas wong ndesa dan santri.
Kedua perspektif itu menguat dalam ingatan sajak-sajak karya Irna Novia
Damayanti yang berhasil dan bagi pembaca, hal itu menumbuhkan ingatan pula,
kerinduan kepada perspektif, baik kedesaan maupun kesantrian, yang masih murni
selaras alam dan hati-nurani. Keberhasilan itu dapat disimak
dalam sajak “Jarum Pentul” dan “Kain Batik Nenek” berikut ini.
Sajak Jarum Pentul kepada Pemiliknya
sungguh aku tak ingin dilepaskan dari kerudung
tergeletak di atas meja menyaksikanmu
diombang ambingkan nafsu
yang mengajak membunuh peringatan-peringatan-Nya
mulailah kau menjadikanku perekam paling dekat
pandangmu dan pandangnya yang
saling berkirim ribuan sajak
lalu gerai rambut dan
sentuhan tangan memulai menguasai hasrat
pada kisah akhirnya puisi tercium amis
dalam kamar kos yang baru digambarkan dalam ingatan
lalu mana mungkin Tuhan
mendekat dan
mengabarkan
semacam sabit di waktu rahasia
pada bentang
mimpi
ingin kupinta
waktu mengembalikan aku
pada
gabus-gabus
lalu ketika
dikenakan, tubuhku yang lancip ingin menancap
pada jari-jarinya yang lentik
(An-Najah, 11 Oktober 2015)
Jarum pentul merupakan sesuatu yang
kecil, tetapi tajam dan jika berkarat dan mengenai kaki, hal itu bisa berakibat
fatal. Oleh karena itu, di tempat manakah jarum pentul itu selayaknya
ditempatkan? Bagaimanakah agar jarum pentul tidak sampai berkarat? Bagaimana
pula agar pada saat dibutuhkan, jarum pentul ada, tetapi pada saat tidak
dibutuhkan, itu tidak berada di sembarang tempat sehingga bisa melukai orang
lain, bahkan pemiliknya.
Di sini ada suatu ketegangan antara mempertahankan
nilai kemurnian gadis dan hasrat bersamanya: “diombang-ambingkan nafsu”,
“pandangmu dan pandangnya”, dan “sentuhan tangan memulai menguasai hasrat”,
“pada kisah akhirnya puisi tercium amis dalam kamar kos” sekalipun semua itu “baru
digambarkan dalam ingatan.” Gambaran erotis sajak tersebut berhasil membangkitkan
imajinasi pembaca sehingga memunculkan pertanyaan tentang waktu rahasia
di tengah malam, yang jawabannya tidak berupa dogma, tetapi isyarat jarum
pentul, yang “ingin kupinta waktu mengembalikan aku/pada gabus-gabus/lalu
ketika dikenakan, tubuhku yang lancip ingin menancap/pada jari-jarinya yang
lentik”. Hal tersebut bertujuan agar kesucian gadis sebagai representasi dari
kemuliaan manusia (desa dan santri) tetap terjaga.
Kesantrian dan kedesaan di tengah
kota urban menjadi ketegangan yang substansial di dalam perpuisian Irna Novia
Damayanti pada periode 5 tahun terakhir ini sehingga menjadi karakter yang unik.
Dalam bahasa sajaknya yang demikian, perlambangan cukup intens memberikan
jembatan komunikasi antara puisi dan pembacanya, sebagaimana sajak “Kain Batik
Nenek” berikut ini.
Kain Batik Nenek
kurasa
kain batik nenek begitu indah
kain
itu berbentuk persegi panjang terbuat dari usianya
di
bagian kanan, tergambar senyum
seorang
cucu bermain pasir di belakang rumah
tangannya
lihai mengeruk kebahagiaan dengan bathok kelapa
di
bagian kiri tergambar anaknya menanak nasi di atas tungku
ada
mimpi yang lepas bersama asap
adalah
melayani jiwa berkelana ke banyak kota, tapi
waktu
telah diserahkan kepada senyum anak dan kekasih
melengkapi
pagi dengan memasak, lalu
siangnya
mengumpulkan hikmah
di
kelapa anak-anaknya dengan bantuan pelepah pisang
atau
cerita yang disimpan di dalam masa lalu
di
bagian atas, tergambar seorang bapak
mengasuh
kasih sayang Tuhan pada tanaman palawija
dia
juga menjemput rizkinya di bebatuan sungai dan
menaruhnya
ke tepi jalan
sebelum
menjadi pondasi sebuah rumah
kulihat kain batik nenek masih terpajang
indah
menjadi mozaik kenangan di kepalaku
(Rajawana, 2020)
Sebagaimana sajak “Kain Batik Nenek” tersebut,
Irna Novia Damayanti berhasil membangkitkan alegori dari budaya tradisional kain
batik nenek sebagai saksi dari perubahan desa-kota. Tarik-menarik desa dan kota
serta duniawi dan ukhrawi di dalam puisinya yang berhasil membuat Irna Novia
Damayanti berhasil membangun komunikasi perpuisiannya melalui nilai kesantrian
sebagai wajah, sebagaimana bait terakhir sajak “Wajahku” yang menjadi akhirulkalam
esai ini.
…
aku
tidak menahu kapan mataku mulai buta
melihat
wajahku di dalam hati
tapi
bukan itu yang perlu diperdebatkan
sebab
yang paling penting aku menemukan
orang
yang sudah ditugasi membawakan kabar gembira
menjelaskan
rupa wajahku yang
saat
ini belum kukenali sebelum masuk masjid
menjadi tamu-Nya***
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah penyair dan dosen di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu), Purwokerto.