Pembelajaran Daring dengan Menggunakan Metode ABA pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia bagi Siswa Autis

Applied Behavior behavior Analysis analysis (ABA) didefinisikan sebagai ilmu yang menerapkan prinsip-prinsip dari teori perilaku yang bertujuan untuk mengubah, memperbaiki, dan meningkatkan perilaku spesifik menjadi perilaku yang diterima secara sosial. Metode Applied Behavior AnalysisABA yang selanjutnya disebutkan dengan ABA, yang merupakan jenis terapi yang telah lama diteliti, didesain, dan digunakan untuk anak autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/ pujian). Selain untuk penyandang autis, metode ini juga dapat diterapkan kepada anak-anak dengan perilaku khusus lainnya bahkan siswa normal sekalipun.

Tujuan dari metode ABA adalah untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi masalah khusus/khas/kelaianan dalam berperilaku. Metode ABA menerapkan prinsip--prinsip sistematis untuk meningkatkan perilaku yang signifikan secara sosial dan menggunakan ekperimentasi untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang bertanggung jawab terhadap perubahan perilaku. Kurang lebih 15 tahun yang lalu, seorang pakar terapi perilaku yang bernama Ivar O Lovaas dari University of California Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat (AS), menerapkan metode ABA kepada anak–anak autis.

Lovaas menggunakan metode ini dengan sangat terstruktur untuk memudahkan mengukur hasilnya, metode ABA memiliki teknik dan tahapan–tahapan yang jelas dalam penerapannya serta memiliki cara tersendiri dalam menentukan hasil evaluasi. Tata laksana metode ABA memiliki ciri ketegasan dalam memberikan instruksi namun tanpa kekerasan, perilaku dasar yang diterapkan memberikan stimulasi sensoris dan motoris yang cukup, tuntas, konsisten, dan berkelanjutan. Pendekatan dan penyampaian materi kepada siswa yang menggunakan metode applied behavior analysis (ABA) memiliki prinsip dasar seperti berikut.

1. Kehangatan yang berdasarkan kasih sayang yang tulus, untuk menjaga kontak mata yang lama dan konsisten.

2. Tegas (tidak dapat ditawar- tawar anak).

3. Tanpa kekerasan dan tanpa marah/ jengkel.

4.Prompt (bantuan, arahan) secara tegas dan lembut.

Memberikan apresiasi kepada siswa sebagai imbalan dinilai efektif karena bertujuan untuk memotivasi siswa agar selalu bersemangat dalam proses pembelajaran. Penerapan metode ABA pada saat pembelajaran berlangsung diharapkan dalam suasana kondusif dan sebaiknya tidak melibatkan emosi negatif seperti marah/jengkel, karena hal tersebut dapat menjadi contoh yang tidak baik yang akan direkam oleh siswa autis. Implementasi metode ABA dapat menggunakan teknik discrete trial training (DTT) yang memiliki definisi membagikan kemampuan untuk menguasai sebuah perilaku atau materi dalam bentuk langkah–langkah kecil dan mengajarkan satu langkah ke langkah berikutnya dalam kurun waktu tertentu hingga mampu menguasainya. System Sistem pengajaran ini dilakukan dalam bentuk pengulangan (repitisi) dan memberikan reinforcement/penguatan pada setiap capaiannya, jika perlu dibantu dengan prosedur prompt/arahan/bantuan. DTT secara harfiah artinya adalah latihan uji coba yang jelas/nyata berupa siklus dimulai dengan instruksi, arahan, dan diakhiri dengan imbalan. Teknik DTT terbukti efektif dan tepat dalam menangani siswa autisme.

Teknik Discrete discrete Trial trial Training training (DTT) memiliki siklus antara lain.

1. Instruksi Stimulus dari lingkungan yang memberikan sinyal kepada perilaku yang berhubungan dengan reinforcement. Instruksi ini harus sederhana, padat, dan jelas. Seperti “duduk tenang”, “pegang di tangan kanan”, “lihat saya” atau sebut nama anak sebelum instruksi.

2. Respons dalam bentuk behavior sebagai respons dari instruksi. Bentuk dari responsnya bisa benar atau tidak benar. Ketika siswa memberikan respons kita harus menilai responsnya dar kontak mata, perhatian, dan reward hadiah atas usaha siswa dengan memberikan jeda waktu pada setiap responsnya.

3. Feedback (imbal balik) dan Reinforcement Feedback (penguatan sebagai imbal balik) merupakan konsekuensi yang mengikuti respons dari siswa. Feedback memberikan tanda kepada anak bahwa responnya benar atau tidak benar. Feedback yang diberikan harus konsisten. Di antara feedback dan instruksi berikutnya ada jeda sedikit sekitar 2–3 detik. Teknik ini digunakan untuk meningkatkan interaksi sosial pada anak speech delay dengan pemberian instruksi seperti bersosialisasi, bekerja sama dengan teman dalam hal permainan maupun tugas. Ketika siswa mampu melakukan instruksi maka siswa berhak mendapatkan hadiah/pujian seperti tepuk tangan, tos, peluk, cium, dan sebagainya. Materi disusun dalam tiga tingkatan, yaitu: a. dimulai dari tingkat dasar yang berisi jenis- jenis aktivitas paling sederhana 1) Kemampuan mengikuti pelajaran (kepatuhan dan kontak mata), 2) Kemampuan menirukan (imitasi), 3) Kemampuan bahasa reseptif (kognitif), 4) Kemampuan bahasa ekspresif, 5) Kemampuan pra- akademik, 6) Kemampuan membantu diri (self help skills). b. Kemudian tingkat intermediate atau menengah yang berisi lebih kompleks 1) Kemampuan mengikuti pelajaran (kepatuhan dan kontak mata), 2) Kemampuan menirukan (imitasi), 3) Kemampuan bahasa reseptif (kognitif), 4) Kemampuan bahasa ekspresif, 5) Kemampuan pra- akademik, 6) Kemampuan membantu diri. c. Dan tingkat advanced atau lanjutan yang merupakan persiapan masuk sekolah regular 1) Kemampuan mengikuti pelajaran (kontak mata), 2) Kemampuan menirukan (imitasi), 3) Kemampuan bahasa reseptif (kognitif), 4) Kemampuan bahasa ekspresif, 5) Kemampuan bahasa abstrak, 6) Kemampuan akademik, 7) Kemampuan bersosialisasi, 8) Persiapan masuk sekolah reguler kemampuan membantu diri.

Menurut Geniofam (Suryadinata & Farida, 2016, hlm. 95), siswa berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Siswa berkebutuhan khusus memiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan kelainan yang mereka miliki (Lestari, 2015, hlm. 274). Beberapa bentuk hambatan, kelainan, dan penyimpangan perkembangan pada siswa berkebutuhan khusus sebagaimana yang sering dikenal dengan tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, lamban belajar, berbakat, tunalaras, ADHD dan autisme.

Autisme adalah gangguan perkembangan yang parah atau faktor neurobiologis yang meluas dan bisa terjadi pada anak-anak dalam tiga tahun pertama hidupnya (Saad dkk., 2018).. Anak dengan gangguan autis biasanya kurang dapat merasakan kontak sosial (Mazurek dkk., 2017) s. Sehingga dapat dikatakan autisme merupakan gangguan tentang bagaimana anak melihat dunia dan bagaimana mereka belajar melalui pengalamanya.

Gejala autis muncul pada usia sebelum 3 tahun (Baio dkk., 2018). Anak autis ditinjau dari masa kemunculanya/kejadianya dapat terjadi sejak lahir yang disebut dengan autis klasik dan sesudah lahir dimana anak hingga usia 1-2 tahun menunjukkan perkembangan yang normal. Tetapi pada masa selanjutnya menunjukkan perkembangan yang menurun/mundur. Anak autis bukan “anak ajaib” atau “pembawa hoki” seperti kepercayaan sebagian orang tua. Oleh karena itu, jangan mengharapkan keajaiban muncul darinya. Akan tetapi, kehadirannya juga bukan bencana. Kehadiran anak autis ditengah keluarga tidak akan merusak keharmonisan keluarga. Anak autis sama seperti anak-anak lain. Mereka membutuhkan bimbingan dan dukungan lebih dari orang tua dan lingkunganya untuk tumbuh dan berkembang agar dapat hidup mandiri. Menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2010, p. 135), autis merupakan suatu gangguan yang kompleks. Kebutuhan anak-anak didalam kelompok ini berbeda-beda, berkisar dari ringan sampai berat. Anak-anak penyandang autis umumnya mengalami tiga bidang kesulitan yang utama yaitu: 1) Komunikasi. Hambatan bahasa melalui segala cara komunikasi, seperti berbicara, intonasi, gerakan tangan, ekspresi wajah dan bahasa badan lainya. 2) Imajinasi. Kelakuan dan infleksibilitas proses berfikir, seperti penolakan terhadap perubahan, perilaku obsesi dan ritualistik. 3) Sosialisasi. Kesulitan dengan hubungan sosial, waktu sosial yang kurang, kurangnya empati, penolakan kontak badan yang normal dan kontak mata yang tidak benar. Oleh karena itu, dari pengertian yang diberikan para ahli, peneliti menyimpulkan bahwa autisme adalah gangguan yang kompleks.

Autisme memiliki tiga permasalahan pada pertumbuhannya yakni pada komunikasi, konsentrasi, dan sosialisasi dan disinyalir sebagai suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan saraf. Anak autis mengalami gangguan perkembangan saraf sehingga menyebabkan disfungsi komunikasi verbal dan nonverbal dan sosial. Prevalensi anak autis terus meningkat selama dua dekade terakhir, perkiraan saat ini perbandingan jumlah anak autis dengan anak regular adalah 1 berbanding 36. Hal-hal yang dikaitkan menjadi penyebab utama dari anak autis, antara lain faktor keturunan, riwayat gangguan kejiwaan orang tua, kelahiran prematur dan paparan janin terhadap obat psikotropika atau insektisida.. Beberapa alat ukur yang dapat membantu menilai perilaku dan gejala untuk mendeteksi anak masuk dalam kategori autis, antara lain: Childhood childhood Autism autism Rating rating Scale scale (CARS), The the Autism autism Spectrum spectrum Disorderdisorder–Observation observation for Children children (ASD-OC), The the Developmentdevelopment, Dimensional dimensional dan Diagnostic diagnostic Interview interview (3DI) (Sharma, Gonda, & Tarazi, 2018).

Selain hal-hal di atastersebut, ada dugaan bahwa penyebab anak menjadi autis adalah karena faktor lingkungan, atau misalnya vaksinasi jenis tertentu, beberapa orang tua melaporkan bahwa anaknya “normal” perkembanganya, namun tetapi setelah divaksinasi mengalami gejala autis. Namun, tetapi ada juga orang tua yang melaporkan bahwa ada perubahan yang kurang menguntungkan setelah anaknya diberikan vaksinasi. Beberapa kasus yang dialami oleh para orang tua bahwa ciri-ciri anak autis mulai muncul pada anakmya setelah diberikan vaksinasi (Muhartomo, 2004). Dugaan penyebab lain terjadinya autis pada anak adalah perilaku ibu pada masa hamil yang sering mengkonsumsi seafood dimana jenis makanan ini mengandung merkuri yang sangat tinggi karena adanya pencemaran air laut. Selain itu, adanya kekurangan mineral yang penting seperti zinc, magnesium, iodine, lithium and potassium (Gardenia, Tursina, & Sastypratiwi, 2015).

Anak autis memiliki gangguan dalam pertumbuhannya seperti gangguan bicara, tidur dan gastrointestinal (konstipasi dan kesulitan makan), keterlambatan perkembangan, gangguan perhatian/hiperaktif, hipotonia, epilepsi, kecemasan, perilaku mengganggu, pica dan eksim. Selain itu, anak-anak autis dapat menunjukkan perilaku agresi dan menyakiti diri sendiri, respons yang tidak normal terhadap orang, keterikatan luar biasa terhadap objek, sulit menerima perubahan, aktivitas berulang seperti flipping, melompat, dan juga hipersensitivitas pada kelima indera (Jain dkk., 2014).

Ciri utama anak autis adalah memiliki masalah dalam hal komunikasi, interaksi sosial dan perhatian terbatas dalam suatu kegiatan, serta repetitif atau preventif (Khoirunnisyak, Akhyar, & Gunarhadi, 2017, hlm. 55). Dalam hal ini anak autis pada umumnya sulit berkomunikasi secara verbal maupun dan non-verbal, kurang konsentrasi dan serta kurangnya pemahaman terhadap instruksi. Hambatan belajar tersebut terjadi pada semua mata pelajaran yang dipelajari oleh anak autis, salah satunya adalah pada mata pelajaran bahasa Bahasa Indonesia.

Mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang menekankan pada aspek belajar berkomunikasi (Siswandi, 2006, hlm. 28). Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional jelas memiliki peran besar dalam pembentukan karakter Indonesia karena dengan berbahasa nasional seseorang dapat mengekspresikan rasa dan pemahaman (semangat) keindonesiannya karena mampu berkomunikasi dengan seluruh lapisan masyarakat Indonesia di mana pun mereka berada untuk berbagai macam tujuan. Selain itu, Bahasa Indonesia adalah salah satu mata pelajaran yang memberikan kemampuan untuk membaca, menulis, mengarang, membaca puisi, mendikte, berbicara atau menceritakan sesuatu. Pembelajaran bahasa Indonesia melatih siswa untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan siswa juga akan terlatih untuk menuangkan pikiran, perasaan, daya cipta mereka dalam bentuk tulisan maupun lisan. Misalnya siswa mampu menceritakan pengalamannya yang menurutnya paling menarik di depan teman-temannya (Humaira, Fatmawati, & Zulmiyetri, 2012).

Pembelajaran bahasa sangatlah penting bagi anak autis, dengan bahasa yang dipahami, serta mampu mengkomunikasikan dan mampu berhubunganan antar manusia membuat anak autis menjadi orang normal pada umumnya. Bahasa merupakan media untuk menyampaikan pesan atau informasi, melalui pembelajaran bahasa Indonesia diharapkan siswa autis mampu berkomunikasi dengan baik dan benar, memiliki intonasi yang sesuai, serta dapat memahami hal-hal yang diutarakan atau diungkapkan oleh orang lain sehingga tercipta hubungan sosialisasi antar manusia yang wajar dan normal (Tantinia, 2015, p. 3).

Metode ABA memiliki fungsi salah satunya mengajarkan kedisiplinan, dengan kurikulum yang dimodifikasi dari aktivitas sehari-hari dan dilaksanakan secara konsisten dengan tujuan untuk meningkatkan perilaku yang signifikan, maka dapat dikatakan metode ini sangat sesuai dengan kebutuhan siswa autis (Astutik, 2010, hlm. 13). Metode ini merupakan metode tata laksana perilaku yang didasarkan pada teori “Operant Conditioning” yang dipelopori oleh Burrhus Frederic Skinner (1904) seorang behavioralis dari Amerika Serikat. Dasar teori Skinner sendiri adalah pengendalian perilaku melalui manipulasi dan hukuman. Perilaku yang dibentuk melalui operant conditioning sangat bergantung pada kualitas penguat yang dimunculkan atau yang diberikan, manakala perilaku yang diharapkan telah muncul, atau sebaliknya. Operant conditioning merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh dikalangan para ahli psikologi belajar masa kini.

Penerapan metode ini pada pengajarandalam pembelajaran Bahasa bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan cara guru menggunakan instruksi yang jelas dan tegas seperti “Baca!”, ‘’Tulis!”. dan lain-lain. Pada kegiatan belajar menulis, guru juga memberikan bantuan kepada siswa untuk mengarahkan siswa belajar dengan baik. Selain itu, guru juga memberikan reinforcement atau penguatan kepada peserta didik apabila siswa mampu mengikuti capaian pembelajaran dengan baik. Penguatan dapat disesuaikan dengan kondisi dan keinginan anak yang dapat memotivasi anak untuk lebih semangat.

Pada pembelajaran bahasa Indonesia bagi siswa autis, sebaiknya guru menayangkan materi dengan menggunakan media gambar untuk mempermudah siswa mempelajari serta  dan  meningkatkan fokus siswa berkebutuhan khusus dengan melihat gambar-gambar yang menarik. Bagi siswa yang belum memiliki kemampuan motorik baik, guru sebaiknya memberikan instruksi untuk melakukan latihan motorik halus, misalnya guru memberi perintah dengan sambil mencontohkannya melalui layar untuk  menjepit jepitan baju pada kotak, menulis dalam pasir, bermain playdog (malam/lilin) dan meremas kapas. Hal ini bertujuan untuk melatih motorik halus dan memperkuat tangan siswa ketika memegang pensil. Strategi lain dalam mengajarkan anak belajar bahasa Indonesia adalah melalui bernyanyi. Guru dapat mengubah suatu materi pelajaran melalui bernyanyi. Melalui menyanyikan lagu, anak akan lebih mudah menghafal materi yang ia pelajari dan lebih menarik bagi siswa. Salah satu lagu yang dinyanyikan untuk menghafal abjad A--Z adalah lagu ABCD yang dicontohkan, diikuti dan dibimbing oleh guru.

Permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran daring menggunakan metode ABA pada mata pelajaran Bahasa Indonesia bagi siswa autis antara lain.

1. Tidak dapat diterapkan pada semua topik bahasan dalam pembelajaran daring Bahasa Indonesia bagi siswa autis dengan metode ABA, karena kemampuan motorik yang rendah, fokus yang rendah, emosi yang masih belum stabil, dan kemampuan komunikasi yang rendah dan pendamping yang kurang bisa “mengatasi sikap siswa autis”.

2. Poin 1 memberi dampak materi yang dikuasai kurang sesuai dengan jenjang pendidikan yang seharusnya dicapai.

3. Kondisi siswa yang tidak stabil dapat menghambat proses pembelajaran Bahasa bahasa Indonesia, misalnya ketika siswa autis tantrum, maka pembelajaran menjadi tidak kondusif.

4. Media pembelajaran sangat dibutuhkan dalam pembelajaran siswa autis yang menggunakan metode ABA, berupa gambar dan peraga, tetapi namun media yang disajikan secara daring ini hanya dilihat dan tidak dapat disentuh dan dipegang oleh siswa. Sehingga mengurangi fokcus dan konsentrasi siswa autis dalam belajar.

5. Pendamping siswa autis merupakan hal paling penting dalam proses pembelajaran siswa autis yang dilakukan secara daring, pendamping harus mampu menyelami kemampuan kemampuan siswa dan mengarahkan siswa autis dalam mengikuti alur pembelajaran, terutama mampu mengatasi emosi siswa autis yang berubah-ubah atau mudah teralihkan.

Hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran daring siswa autis dengan metode ABA antara lain.

1. Pembelajaran yang diberikan kepada siswa autis harus menggunakan program pembelajaran individual (PPI dalam pembelajaran Bahasa Indonesia bagi siswa autis. Penyusunan Program Pembelajaran Individual (PPI) guru menyesuaikan program dengan kondisi anak. Target tujuan program dinyatakan secara jelas, dan ditulis langkah-langkah rinci untuk mencapai target.

2. Melakukan evaluasi program pembelajaran individual secara berkala. Materi yang diberikan kepada siswa disesuaikan dengan kemampuan yang mereka miliki.

3. Diupayakan membuat media pembelajaran secara mandiri dengan peralatan yang ada untuk membantu mempermudah peserta didik dalam mempelajari materi Bahasa Indonesia sesuai dengan kebutuhan pembelajaran dan topik bahasan.

Pembelajaran bahasa Indonesia bagi anak autis dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, seperti bermain kata, dan bernyanyi. dan lain-lain. Hal tersebut bertujuan untuk membuat pelajaran bahasa Bahasa Indonesia menjadi lebih menyenangkan dan mudah dipahami siswa autis. Guru juga senantiasa mempelajari strategi-strategi pembelajaran yang terbaru yang dapat diterapkan dalam pembelajaran Bahasa bahasa Indonesia bagi anak autis.

Mengkombinasikan metode ABA bagi anak didik yang menyandang sebagai siswa autis dengan pembelajaran yang berupa daring pasti bukan tugas yang mudah bagi guru, tetapi disinilah letak kemumpunan guru dalam mengimplemantasi kreatifitas kreativitas dan keahlian nya mengelola kelasnya yang bervariasi tingkat kemampuannya. Pembelajaran daring dilaksanakan sebagai bentuk layanan pendidikan bagi siswa yang mengalami hambatan jarak dan waktu. Pembelajaran daring menjembatani antara keharusan untuk tetap mengikuti pembelajaran namun terkendala situasi yang tidak mendukung, misalnya pandemic covid-19, jarak, waktu, dan lain sebagainya namun tidak mengurangi pelayanan pembelajaran bagi anak dan hal ini berlaku sama juga dengan siswa berkebutuhan khusus. Pendidikan bertujuan mengembangkan membangun kemandirian, dan meningkatkan keterampilan adaptif pada setiap anak. Oleh karenanya, belajar merupakan hak bagi setiap siswa, termasuk siswa berkebutuhan khusus.

Pembelajaran daring bagi siswa autis dengan menggunakan metode ABA pada dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak bisa dilakukan sendiri oleh guru dan siswanya saja. Dibutuhkan pendamping bagi siswa autis untuk membantunya dalam mengikuti alur pembelajaran. Fungsi pendamping bagi siswa autis saat proses pembelajaran daring memiliki nilai yang sangat penting, selain membantu siswa autis belajar, pendamping harus mampu “mengatasi” permasalahan emosi yang sering dialami siswa autis, misalnya mood belajar yang menurun, tantrum atau perhatian yang sangat mudah teralih. Pada proses pembelajaran pendamping juga harus memastikan siswa autis fokus dan konsentrasi memperhatikan instruksi pembelajaran yang diberikan guru pada layar laptop/gadget, sehingga siswa mengikuti instruksi dan perintah yang diberikan guru, tentunya bantuan pendamping siswa autis menggambarkan peranannya yang sangat penting pada saat pembelajaran.

Pendamping siswa autis ini bisa orang tua/wali/keluarga (kakak-adik)/terapis atau orang yang dipercayai keluarga dalam mengurus keseharian siswa autis ini. Bagi siswa autis di kelas menengah, pada umumnya siswa telah memahami situasi dan kondisi pembelajaran di sekolah, sehingga lebih mudah untuk memberi pemahaman kepada siswa untuk mengikuti pembelajaran yang dilakukan secara daring. Meskipun siswa autis pada tingkat menengah lebih mudah diberi pemahaman, tetapi siswa autis ini tetap membutuhkan pendampingan dalam proses pembelajaran, walalupun tidak harus dilakukan secara terus menerus tetapi karena siswa autis memiliki kebutuhan khusus yang perlu ditangani secara khusus sehingga dalam implementasi saat pembelajaran berlangsung tetap membutuhkan pendampingan, misalnya jika siswa mengalami kebosanan dan mood yang tiba-tiba turun saat pembelajaran berlangsung, siswa membutuhkan penyemangat dan penguat yang mampu membangkitkan motivasi belajarnya. Tentu bukan pekerjaan mudah pembelajaran daring bagi siswa autis yang memiliki kebuutuhan khusus dalam proses pembelajarannya, namun tetapi bukan berarti hal tersebut tidak mungkin dilaksanakan, dibutuhkan kerja sama dan sikap kooperatif dari semua bagian, baik guru yang harus kreatif dan inovatif dalam proses pengajarannya, orang tua/wali yang harus sangat mensuport baik tenaga, perhatian, kesabaran dan lainnya serta siswa yang yang harus dikondisikan untuk koorperatif dalam proses pembelajaran. Sikap saling bahu membahu dan kerja sama yang baik antar bagian yang mengindikasikan keberhasilan pembelajaran daring mata pelajaran Bahasa Indonesia bagi siswa autis.

DAFTAR PUSTAKA

Astutik, I. P. (2010). Penerapan Metode ABA (Applied Behavior Analysis) dengan Media Kartu Bergambar Dan Benda Tiruan Secara Simultan Untuk Meningkatkan Pengenalan Angka Pada Siswa Kelas II di SDLB Autis Harmony Surakarta Tahun Pelajaran 2009/2010 (other). Universitas Sebelas Maret. Diambil dari https://eprints.uns.ac.id/6456/

Baio, J., Wiggins, L., Christensen, D. L., Maenner, M. J., Daniels, J., Warren, Z., … Dowling, N. F. (2018). Prevalence of Autism Spectrum Disorder Among Children Aged 8 Years - Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network, 11 Sites, United States, 2014. Morbidity and Mortality Weekly Report. Surveillance Summaries (Washington, D.C.: 2002), 67(6), 1–23. https://doi.org/10.15585/mmwr.ss6706a1

Gardenia, M., Tursina, T., & Sastypratiwi, H. (2015). Sistem Pakar Deteksi Autisme Pada Anak Menggunakan Metode Fuzzy Tsukamoto. Jurnal Sistem dan Teknologi Informasi (JUSTIN), 4(1), 33–38. Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Anak Autis ? 287 INKLUSI: Journal of Disability Studies, Vol. V, No. 2 Jul-Des 2018

Humaira, D., Fatmawati, F., & Zulmiyetri, Z. (2012). Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi Anak Tunagrahita Ringan Kelas III di SLB Sabiluna Pariaman. Jurnal Penelitian Pendidikan Khusus, 1(3). https://doi.org/10.24036/jupe7660.64

Jain, A., Spencer, D., Yang, W., Kelly, J. P., Newschaffer, C. J., Johnson, J., … Dennen, T. (2014). Injuries among children with autism spectrum disorder. Academic Pediatrics, 14(4), 390–397. https://doi.org/10.1016/j.acap.2014.03.012

Khoirunnisyak, K., Akhyar, M., & Gunarhadi, G. (2017). The Development of Sexual Education Learning Model For Autistic SMP Level Based On Socio-Sexual Behavior Method In SLB Autis Surakarta, Indonesia. European Journal of Special Education Research, 0(0). Diambil dari https://www.oapub.org/edu/index.php/ejse/article/view/542

Lestari, F. (2015). Metode Guru BK Dalam Mengatasi Problem Penyesuaian Diri Pada Anak Berkebutuhan Khusus. INKLUSI, 2(2), 273–298. https://doi.org/10.14421/ijds.2206

Mazurek, M. O., Lu, F., Symecko, H., Butter, E., Bing, N. M., Hundley, R. J., … Handen, B. L. (2017). A Prospective Study of the Concordance of DSM-IV and DSM-5 Diagnostic Criteria for Autism Spectrum Disorder. Journal of Autism and Developmental Disorders, 47(9), 2783–2794. https://doi.org/10.1007/s10803-017- 3200-7

Muhartomo, H. (2004). Faktor - Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Autisme ( The Risk Factors of Autism ) (masters). Program Pendidikan Pasca sarjana Universitas Diponegoro. Diambil dari http://eprints.undip.ac.id/12341/

Saad, K., Abdel-Rahman, A. A., Elserogy, Y. M., Al-Atram, A. A., ElHoufey, A. A., Othman, H. A.-K., … Abdel-Salam, A. M. (2018). Randomized controlled trial of vitamin D supplementation in children with autism spectrum disorder. Journal of Child Psychology and Psychiatry, and Allied Disciplines, 59(1), 20–29. https://doi.org/10.1111/jcpp.12652

Sharma, S. R., Gonda, X., & Tarazi, F. I. (2018). Autism Spectrum Disorder: Classification, diagnosis and therapy. Pharmacology & Therapeutics, 190, 91–104. https://doi.org/10.1016/j.pharmthera.2018.05.007

Siswandi, H. J. (2006). Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi Melalui Metode Diskusi Panel dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar (Penelitian Tindakan Kelas). Diambil dari http://bpkpenabur.or.id/wpcontent/uploads/2015/10/jurnal-No07-VDesember2006.pdf#page=31.

Sugiarmin, M. (2010). Kontrovesi Hubungan Autisme dan Imunisasi Measles- Mumps-Rubella (MMR), 8.

Suryadinata, N., & Farida, N. (2016). Analisis Proses Berpikir Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika di SMP Inklusi Kota Metro (Studi Kasus Pada Siswa Tunagrahita Ringan). AKSIOMA: Jurnal Program Studi Pendidikan Matematika, 5(1), 94–104. https://doi.org/10.24127/ajpm.v5i1.470

Tara Tantinia, N. (2015). Pengaruh Media Gambar Seri Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Terhadap Kemampuan Berbicara Bagi Anak Autis Kelas VII di Sekolah Khusus Autis Bina Anggita Yogyakarta (other). FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN. Diambil dari https://eprints.uny.ac.id/22160/

 

 

Jatu Kaannaha Putri

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa