Mengulas Kearifan Lokal dalam Kumpulan Cerpen Celurit Hujan Panas Karya Zainul Muttaqin
Kumpulan
cerpen Celurit Hujan Panas karya Zainul Muttaqin ini memang menarik
ketika dibaca dan diulas. Kandungan nilai yang tidak tunggal menjadikan buku
yang berisi 20 cerita pendek ini dapat dikaji dengan berbagai pandangan dan
pendekatan sastra. Selain mengandung identitas sosial yang bermuara pada kuasa
individu dan kelompok dalam masyarakatnya, buku kumpulan cerpen ini juga
mengandung beragam nilai budaya yang dapat diulas dengan menarik. Nilai-nilai
budaya tersebut yang paling menonjol untuk diulas adalah kearifan lokal yang
terdapat pada cerita-cerita yang dikandung dalam buku kumpulan cerpen Celurit
Hujan Panas karya Zainul Muttaqin.
Sastra tumbuh dan berkembang dalam
pusaran arus budaya yang ada di masyakarat. Karena itulah, karya sastra tidak
akan jauh dari persoalan budaya yang terdapat pada kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu,
keterkaitan antara budaya dengan karya sastra merupakan satu ikatan yang tidak
bisa dipisahkan. Jika kebudayaan yang berkembang adalah proses, sastra adalah
hasil dari proses kreatif perkembangan budaya tersebut.
Sastra yang bertemakan nilai-nilai
budaya dapat masuk ke dalam kajian atau pendekatan sastra yang terkenal dengan
istilah antropologi sastra. Antropologi merupakan ilmu yang membahas tentang
kemasyarakatan dan kebudayaan. Antropologi dijelaskan sebagai suatu ilmu yang
mengkaji tentang manusia dan masyarakat, baik yang masih hidup maupun yang
sudah mati, yang sedang berkembang maupun yang sudah punah (Coleman & Watson, 2005). Antropologi yang
mempengaruhi karya sastra memunculkan sebuah pandangan baru yang bernama dan
antroplogi sastra. Istilah antropologi sastra didefinisikan sebagai sebuah
pemahaman atau kajian terhadap suatu karya sastra yang berkaitan
dengan kebudayaan (Ratna, 2011). Antropologi sastra
dapat dikatakan sebagai sebuah
kajian tentang karya sastra dan kebudayaan yang terkandung di dalamnya.
Pengaruh dari antropologi sastra ini
membuat sebuah karya sastra mempunyai ciri khasnya tersendiri dari
beragam kekhasan kebudayaan yang terkandung, salah satunya adalah mengenai
kearifan lokal. Kearifan lokal berkaitan dengan gagasan, prilaku, aktivitas, dan norma
atau tata krama yang melingkupi dan menjadi kekhasan tersendiri dari masyarakat
di suatu tempat (Kasmi, 2019). Kearifan
lokal juga dikenal dengan istilah pengetahuan lokal atau kecerdasan lokal. Pengetahuan
lokal merupakan bagian dari suatu kebudayan lokal. Contoh atau penggambaran
tentang adanya kearifan lokal dalam karya sastra ini terkandung dalam
cerita-cerita dalam sastra yang menggambarkan kebudayaan kelompok masyarakat
tertentu, misalnya penggambaran tentang budaya santet atau teluh sebagai
kekhasan budaya Banten yang ada pada novel Balada Si Roy yang ditulis
oleh Gol A Gong.
Celurit Hujan Panas
karya Zainul Muttaqin ini memiliki kandungan
nilai-nilai budaya masyarakat Madura yang unik dan tidak dijumpai di tempat
lain. Nilai-nilai budaya tersebut
yang menjadikan kearifan lokal dalam kumpulan cerpen Celurit Hujan
Panas menarik untuk diulas karena mengandung
nilai filosofis dan historis. Kearifan lokal
pada kumpulan cerpen ini terklasifikasi menjadi tiga unsur, yaitu nilai
budaya, kepercayaan, dan sosial. Ketiga
unsur tersebut merupakan suatu refleksi atau perilaku
yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh yang ada. Kearifan lokal ini berupa tindakan
yang masih dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan pada waktu-waktu
tertentu.
Nilai
Budaya
Nilai budaya adalah segenap sistem
gagasan, perilaku, dan hasil karya manusia
dalam pemenuhan kehidupan dengan cara belajar yang semuanya sudah berpola dan
tersusun dalam kehidupan bermasyarakat (Sujarwa, 2005).
Wujud yang terkandung dalam nilai budaya ini dapat berupa ide, aktivitas, dan
juga artefak. Nilai budaya pada kumpulan
cerpen Celurit Hujan Panas yang sangat kental adalah perjodohan
dan perilaku mempertahankan martabat
dengan ‘carok’. Kutipan nilai budaya
terdapat pada cerpen Bulan Celurit, cerpen Cinta di Ujung Celurit
dan cerpen Celurit yang Dikeramatkan.
Itulah dulu, sebelum akhirnya aku benar-benar dipersunting oleh lelaki pilihan Ibu. Lelaki itu masih ada hubungan kerabat dengan keluargaku. Itulah juga salah satu alasan kenapa Ibu dan Bapak ingin aku segera menikah. Mereka takut hubungan kekeluargaan antara Madrawi dan Bapak terputus begitu saja.
(Cerpen Bulan Celurit: 30)
“Kenapa Ibu lakukan itu padaku? Aku
bisa memilih pendamping hidup sendiri kan, Bu?” Aku merajuk.
“Dengan begitu, kekerabatan kita dengan
keluarganya Mahwiyah tak akan pernah putus. Juga takut kalau-kalau kau tak
laku, Nak.”
(Cerpen Cinta di Ujung Celurit:
40)
Kutipan dari dua cerpen yang berbeda
itu menggambarkan tentang perjodohan yang dilakukan oleh orang tua kepada anak
gadisnya. Perjodohan dalam masyarakat Madura memang sudah menjadi budaya
tersendiri yang masih sering dipraktikkan. Perjodohan dilakukan untuk mengikat
anak gadis dan laki-laki dari kedua keluarga yang nantinya akan menjalin
kekerabatan hingga nanti dan seterusnya.
Tindakan perjodohan ini biasanya
tidak memerlukan persetujuan dari kedua mempelai yang akan
dinikahkan, bahkan hanya melalui persetujuan dari dua keluarga perjodohan bisa
dilaksanakan (Mardhatillah,
2014). Perjodohan yang dilakukan dalm cerpen
tersebut mempunyai alasan untuk mempererat hubungan baik dua
keluarga besar agar terus terjaga.
Perjodohan yang dilakukan tidak
hanya ketika anak gadis sudah berusia matang dan siap menikah. Bahkan, pada
cerpen Cinta di Ujung Celurit, perjodohan
yang dilakukan antarorang tua dari dua keluarga tersebut sudah dimulai sejak
masa kehamilan atau saat kedua calon mempelai belum dilahirkan. Budaya
perjodohan ini di satu sisi berdampak baik karena kedua keluarga
sudah saling mengenal. Namun, di sisi lain
perjodohan juga menjadikan perempuan seakan dikungkung karena tidak dapat menikah
dengan laki-laki yang dicintainya. Selain perjodohan, kebudayaan lain yang
terkenal dari masyarakat Madura adalah carok, seperti
yang dicontohkan pada kutipan cerpen Celurit yang Dikeramatkan berikut
ini.
“Sukib mengganggumu. Itu artinya
penghinaan bagiku. Bagi lelaki di kampung sini, mengganggu istri orang sama
saja melecehkan harga diri seorang suami. Dan ketika hal itu terjadi tidak ada tawar-menawar
kecuali carok!” Sarkawi menembakkan matanya pada mata
istrinya yang kelihatan keruh.
(Celurit yang Dikeramatkan: 49)
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa carok merupakan bentuk budaya untuk mempertahankan harga diri dan martabat seorang lelaki Madura dalam menyelesaikan masalahnya. Pada cerpen Celurit yang Dikeramatkan, penyebab carok adalah gangguan dari lelaki lain kepada seorang istri. Sebagai suami yang mempunyai harga diri, tindakan laki-laki lain tersebut menyulut tantangan dan merendahkan si suami tersebut. Carok bukan semata-mata dilakukan atas dasar ingin membunuh, melukai, atau ajang adu kekuatan dan kesaktian dengan orang lain. Orang-orang Madura berani mempertaruhkan nyawanya dan pantang mundur apalagi bagi seorang laki-laki yang istrinya diganggu oleh laki-laki lain. Bagi orang Madura, tindakan menggoda istri orang sama dengan melecehkan martabat suami. Dengan kata lain, carok adalah simbol mempertahankan martabat yang berkaitan dengan kedudukan.
Perjodohan dan carok merupakan kekayaan
budaya dengan segenap
sistem gagasan, perilaku, dan hasil karya manusia
dalam pemenuhan kehidupan dengan cara belajar yang semuanya sudah berpola dan
tersusun dalam kehidupan bermasyarakat di Madura.
Kepercayaan
Kepercayaan merupakan sebuah unsur
yang terdiri atas mitos,
mantra, dan juga kepercayaan agama tertentu. Kepercayaan adalah sebuah
kaidah atau konsep spritual yang dipercaya oleh individu atau sekelompok
orang. Keyakinan terhadap kepercayaan tertentu ini dapat berfungsi menjadi
acuan (dalil) atau aturan yang diwariskan serta secara turun temurun tetap
diamalkan (Hasanuddin, 2015). Salah
satu kumpulan
cerpen Celurit Hujan Panas karya Zainul Muttaqin yang menunjukkan adanya
nilai kepercayaan adalah cerpen Lelaki Ojung.
Dengan tegas Pak Lurah mengumumkan akan digelar ojung besok sore di lapangan. Ritual ini dipercaya dapat memanggil hujan.
(Cerpen Lelaki Ojung: 76)
Pada kutipan cerpen tersebut
menjelaskan tentang kepercayaan orang-orang tentang pemanggilan hujan yang
dilakukan melalui kegiatan ‘ojung’. Ojung merupakan
tradisi memanggil hujan yang dilakukan masyarakat
Madura. Tradisi ini dilakukan oleh dua orang laki-laki dengan cara bertelanjang
dada dan tubuhnya dicambuk dengan rotan dengan bergantian.
Ritual ini dipercaya dapat menurunkan hujan. Dalam pelaksanaannya, ojung juga
memiliki mantra yang sudah diwariskan secara turun temurun dan harus dirapalkan
ketika pelaksanaannya. Ojung juga merupakan bentuk
kegiatan yang dipercaya oleh orang Madura ketika hujan tidak lama turun di
daerah mereka. Kepercayaan terhadap ojung ini sudah melekat lama seperti dalil
atau acuan dalam menghadapi sebuah persoalan yang ada.
Nilai
Sosial
Nilai sosial dalam kearifan
lokal berartikan juga sebuah ungkapan yang terlontar dalam bentuk bahasa daerah
berupa kata-kata bijak (falsafah), nasihat,
pepatah, cerita lisan, dan sebagainya yang masih berlaku dan dilestarikan turun
temurun dalam suatu daerah tertentu (Hiryanto &
Fathiyah, 2013). Nilai sosial dapat ditemukan pada kata-kata
yang menggunakan bahasa Madura ataupun pepatah yang dituturkan dalam
bahasa Madura. Kumpulan cerpen Celurit Hujan Panas yang menunjukkan
adanya nilai sosial terdapat pada kutipan cerpen
yang berjudul Kutukan Tanah Leluhur.
“Aku tak mau
menjual tanah itu karena ajhege nak poto bhudi are,” Maksan menekan suaranya.
Terlampau kesal.
(Cerpen Kutukan Tanah Leluhur:
128).
Kutipan singkat tersebut menjelaskan
bahwa Maksan kesal karena istrinya memintanya untuk
menjual tanah warisan leluhur yang terletak di
tepi pantai. Alasan Maksan tidak mau menjual tanahnya tersebut adalah untuk ‘menjaga
anak cucu di kemudian hari’. Nilai sosial yang mengandung nasihat mendalam
ini dipertahankan Maksan demi menjaga anak cucunya di kemudian hari. Maksan
mempunyai pemikiran bahwa uang akan habis ketika digunakan terus-menerus. Namun, ketika
mempertahankan tanah, tanah tersebut akan terus bermanfaat untuk kehidupan
penerus-penerusnya nanti.
Simpulan
Kearifan lokal dalam kumpulan cerpen
Celurit Hujan Panas karya Zainul Muttaqin ini merupakan salah satu
kekayaan kesusastraan yang mengangkat kebudayaan Madura dalam cerita-ceritanya. Nilai-nilai
luhur suatu budaya tertentu berakar dari suatu sejarah panjang
yang terus
lestari hingga kini. Nilai
budaya tersebut tercermin dari kegiatan perjodohan dan tradisi carok yang masih dilakukan
oleh masyarakat.
Kepercayaan berupa dalil atau petunjuk secara tradisi digambarkan dengan
tradisi ojung. Nilai kearifan lokal ini juga
mengandung makna filosofis, yaitu nilai
sosial yang ditunjukkan dalam nasihat berbahasa
Madura.
Daftar
Bacaan
Coleman, Simon & Watson, Helen. 2005. Pengantar
Antropologi.
Bandung: Penerbit Nuansa.
Hasanuddin, W. S. 2015. “Kearifan
Lokal Dalam Tradisi Lisan Kepercayaan Rakyat Ungkapan Larangan Tentang Kehamilan, Masa
Bayi, dan Kanak-kanak
Masyarakat Minangkabau Wilayah Adat Luhak Nan Tigo”. Jurnal
Kembara Vol. 1, No. 2, Hal. 198–204.
Hiryanto & Fathiyah, Kartika Nur. 2013. Identifikasi Kearifan Lokal dalam
Memahami Tanda Tanda
Bencana Alam Pada Insan Usia Lanjut di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Badan Pendidikan dan
Penelitian Kesejahteraan Sosial.
Kasmi, Hendra. 2019. “Nilai-Nilai
Kearifan Lokal dalam Novel Tempat Paling Sunyi Karya Arafat Nur”. Jurnal Metamorfosa Vol. 7, No. 2.
Mardhatillah, M. 2014. “Perempuan
Madura Sebagai Simbol Prestise dan Pelaku Tradisi Perjodohan”. Jurnal Musawa Vol. 13, No. 2, Hal. 167–178.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan
Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sujarwa.
2005. Manusia dan Fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bayu Suta Wardianto
Penulis adalah Peneliti bidang bahasa dan sastra di Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto