Validasi Interpretasi “Gus Mus dan Simbolisme Feminin”

Identifikasi Simbol Feminin

Ketika kita berbicara mengenai femininisme, pembicaraan tersebut akan mengenai sifat dan nama-nama Tuhan di dunia ciptaan. Sebagaimana dalam buku Analisis Struktural Semiotika Puisi Surealistis Religius D. Zawawi Imron, buku saya, di dalamnya dinyatakan bahwa realitas alam diartikan sebagai realitas yang belum dicampurtangani oleh manusia. Hal itu membedakannya dengan realitas budaya, yang dimaksudkan sebagai realitas yang dipenuhsesaki segala ciptaan manusia dalam rangka meningkatkan harkat hidupnya. Sebelum manusia “diturunkan” dari surga ke bumi, realitas alam sudah ada.

Kata alam berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘alam yang datang hanya dalam bentuk jamak ‘alamin. Yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an adalah kumpulan sejenis makhluk Tuhan yang berakal. Karena itu, dikenal alam malaikat, alam manusia, alam jin, alam tumbuhan, dan semacamnya. Hal itu senada dengan pendapat Syekh Muhammad Abduh ketika menafsirkan kalimat Rabb al’alamin dalam surah Al-Fatihah. Menurutnya, melalui kehidupan, makan dan berkembang biak, akal manusia dapat menalar cara pendidikan dan pemeliharaan Allah dalam kehidupannya. Jadi, yang terkandung dalam kata tersebut ialah manusia, hewan dan tumbuhan (Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. V, 1994, hlm. 50). Dalam pengertian demikianlah kata alam ini dikenakan.

Ketika Efen Nurfiana berbicara mengenai identifikasi simbol feminin dalam perpuisian A. Mustofa Bisri (Gus Mus dan Simbolisme Feminin, Wadas Kelir Publishing, 2022), identifikasi ialah mengenali sesuatu berdasarkan pada ciri-ciri yang melekat pada sesuatu tersebut. Identifikasi simbolisme feminin dalam buku Efen Nurfiana membahas bagaimana simbolisme feminin menggambarkan kedekatan dengan Tuhan sehingga dapat dimulai dari identifikasi Asmaulhusna.

Berkaitan dengan simbolitas dalam konteks kedekatan dengan Tuhan, saya sepakat dengan pandangan Ibn Arabi yang menyatakan bahwa wanita merupakan gambaran paling sempurna dari sifat keindahan Tuhan. Aspek-aspek rahman Tuhan membayang di dunia ciptaan yang bernama wanita. Oleh karena itu, di sini kita akan sampai pada satu perspektif untuk mengenal Tuhan sebagai kausa prima dari segala ciptaan.

 

Simbolisme Wanita dan Peleburan

Simbolisme wanita dan peleburan berarti ada dua objek formal. Yang pertama adalah simbolisme wanita dan yang kedua adalah simbolisme peleburan. Dalam penelitian saya (“Gandrung Cinta: Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri”, Pustaka Pelajar, 2008), justru hanya ada bahasan tentang peleburan karena pembahasan penelitian saya adalah gambaran antara hubungan erotis dan ketelanjangan mistik. Saya tidak membahas femininisme. Sementara itu, subbab dalam buku Efen Nurfiana berbicara tentang simbolisme wanita dan simbolisme peleburan.

Sosok lawan jenis dalam perpuisian A. Mustofa Bisri (Gus Mus) adalah sosok yang dinisbahkan dengan kemuliaan-kemuliaan, misalnya ibu, Laila, dan Hawa. Analogi Gus Mus itu dipahamkan sebagai perilaku, sedangkan wanita lebih dipahamkan sebagai suatu keindahan yang bukan fisik semata, melainkan juga rohani. Ketika diposisikan secara fisik, yang dilahirkan adalah suatu keindahan yang bersifat ilahiah, bukan keindahan yang berbentuk darah dan daging belaka. Erotisme dalam puisi Gus Mus bukanlah erotisme yang bersifat fisik, melainkan bersifat spiritual. Dengan perspektif itu, erotisme yang dimunculkan berupa kata cinta, rindu, setia, dan menunggu sepanjang malam sehingga bersifat perilaku. Erotisme tersebut saya sebut dengan berahi spiritual.

Simbolisme peleburan tidak hanya dinisbahkan dengan hubungan suami-istri, tetapi juga memintas batas antara yang jasmani dan rohani, antara yang berahi fisik dan berahi spiritual. Hal itu sebagaimana dalam perspektif Islam bahwa Tuhan tidak hanya bersifat transenden yang jauh di atas sana, tetapi juga imanen, yaitu sedekat urat leher.

 

Tuhan sebagai Kekasih

Ketika membaca Sajak-Sajak Cinta Gandrung karya Gus Mus (MataAir Publishing, Rembang, Cetakan ke-3, 2017), saya tidak menjumpai kegandrungan atau kegilaan cinta yang dialamatkan kepada lawan jenis untuk mengumbar jiwa biologis, harta, dan tahta, tetapi kegilaan cinta itu dinisbahkan dengan kekasih. Gus Mus di dalam Sajak-Sajak Cinta Gandrung menuliskan sesuatu yang bersifat maknawi. Oleh karena itu, identifikasi simbolik kekasih dapat muncul tidak hanya secara eksplisit, tetapi juga secara implisit tanpa bunyi kekasih dan menghadirkan hakikat kekasih. Hal itu sebagaimana dalam sajak “Sepi Mengepungku”, yakni ke mana wajah menghadap di situlah kekasih hadir. Demikian juga dalam sajak “Sidikjari”. Bisa saja sajak itu dinisbahkan dengan wanita karena pada saat itu istrinya meninggal sehingga ia terpikir menuliskannya.

Manusia selalu ingin mencapai tingkat kerohanian, yakni kedekatan dengan Tuhan dalam kemesraan hubungannya, seperti hubungan kekasih antara suami dan istri. Detail dari idiom kekasih dalam “Sajak-Sajak Cinta Gandrung” ini dapat diteruskan dengan variannya, misalnya sajak “Hanien”. Kekasih Jemputlah aku/kekasih sambutlah aku//.” Kemudian, dilanjutkan, aku akan menceritakan kerinduanku/dengan kata-kata biasa/dan kau cukup tersenyum memahami deritaku/lalu kuletakan kepalaku yang penat/di haribaanmu yang hangat//. Pada dasarnya, jelas terlihat bahwa kemesraan yang dibangun dalam sajak tersebut bukan berbicara tentang wanita sebagai tubuh, melainkan berahi spiritual. Dalam situasi seorang hamba yang menjalankan seluruh syariat Islam, seorang hamba tersebut dituntun rasa cintanya oleh Tuhan sehingga segala sesuatu itu dipandanglah sebagai alamat dari kekasih.

Dalam situasi semacam itu juga seorang hamba diberi pengetahuan untuk mengenal Tuhan, bukan untuk melihat secara fisik, melainkan melihat secara rohani bahwa Tuhan itu ada. Tuhan “bekerja” dan menjadi ruang lingkup, baik jiwa maupun napasnya.

 

Sosok Pribadi yang Rahman

Untuk membangun logika demi menjawab kepentingan kedekatan dengan Tuhan, ditafsirkanlah simbolisme femininisme Tuhan yang berpuncak pada rahman dan rahim. Ketika kita sudah mengenal bahwa Tuhan adalah rahman dan rahim, pemaknaan agama yang menyertai pemaknaannya, dalam hal ini adalah Islam. Dengan demikian, penting untuk menempatkan kata agama. Jika agama merupakan esensi sebuah keselamatan dan keselamatan itu dihubungkan dengan sifat kasih sayang Tuhan, kemudian jawabannya adalah upaya untuk mengenal Tuhan dan pada akhirnya kita memiliki perjumpaan dengan Tuhan yang mempunyai sifat rahman dan rahim. Dalam perspektif ini, pengenalan manusia dan kemanusiaannya diarahkan untuk mengimplementasikan nilai-nilai ketuhanan yang berujung kepada sifat rahman dan rahim.

Dalam konteks sifat rahman dan rahim ini, kita harus mengembalikan sifat pengasih dan penyayang itu sebagaimana yang dimaksudkan oleh Tuhan sendiri. Kalimat bismill?hi al-ra?m?ni al-ra??mi yang mengawali surah dalam Al-Qur’an, kecuali surah At-Taubah itu menjadi penting untuk diperhitungkan. Firman Tuhan di dalam Al-Qur’an itu mewujud melalui utusan-Nya, yaitu Rasulullah saw. Dengan demikian, perwujudan dari sifat rahman itu dapat diidentifikasi melalui Al-Qur’an. yang berarti kita membutuhkan prototipe. Al-Qur’an sendiri mengatakan bahwa Rasulullah berada dalam adab yang agung, yakni Al-Qur’an. Hal itu senada dengan yang dikatakan Aisyah bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an.

Oleh karena itu, kerangka kedekatan pada konsep ini adalah upaya mengenal manusia sebagai manusia dengan sifat-sifat kemanusiaannya. Ketika manusia itu mengenal dirinya, mereka mengenal Tuhannya. Untuk mengenal Tuhan lebih lanjut, sifat-sifat rahman dan rahim tersebut harus diidentifikasi melalui Al-Qur’an. Manifestasi dari nilai itu kemudian diterjemahkan lebih lanjut melalui prototipe Rasulullah saw. Oleh karena itu, jelas bahwa transformasi dari nilai bismill?hi al-ra?m?ni al-ra??mi adalah pribadi agung Rasulullah saw., yakni amar ma’ruf nahi munkar.

Pemahaman itu masih bersifat deduktif sehingga kita harus masuk ke dalam Sajak-Sajak Cinta Gandrung karya Gus Mus. Seperti apa implementasi dan output dalam realitas sehari-hari terkait dengan istilah kajian Efen Nurfiana tentang simbolisme feminin, simbolisme wanita dan peleburan, Tuhan sebagai Kekasih, dan sosok “pribadi yang rahman” di dalam perpuisian Gus Mus? Hal itulah yang di dalam buku Gus Mus dan Simbolisme Feminin karya Efen Nurfiana ini diidentifikasi lebih lanjut sebagai pemikiran filosofis untuk menstransformasikan nilai-nilai kedekatan dengan Tuhan dan implementasinya di dunia nyata.**

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah penyair dan menjadi dosen di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa