“Merdeka Belajar” Chairil Anwar

Chairil Anwar lahir pada 26 Juli 1922 dan meninggal pada 28 April 1949 dalam usia 27 tahun. Setelah 73 tahun berlalu sejak kematiannya pada 1949 dan 100 tahun sejak kelahirannya, seabad dapat disebut laku kenang untuk mengenangnya—kalau boleh dikatakan demikian. Ya, 100 tahun mengenang Si Binatang Jalang di tengah gempita “berpikir merdeka”, dirasa terus bergulir pada tahun-tahun ke depan. Chairil Anwar mengalir bagai air dan meniup bagai angin, konon ungkapan.

Mengenang Chairil tentunya bagian situasi susastra. Bukan satu negeri belaka, melainkan “dunia”, barangkali—mengenangnya. Mungkin itu penyebab mental kepenyairan ekspresifnya dirasa wajar manakala puisi “Aku”, sebagimana kita ketahui, menjadi bagian hiasan sebuah dinding di Leiden, Belanda. Berbagai literaturnya yang beranjak dari kekuatan bahasa Indonesia pun kembali diterjemahkan ke bahasa asing, yakni Inggris, Belanda, dan Jerman.

Tentu juga, 100 tahun mengenang Chairil bukan sekadar seremoni susastra belaka, melainkan kerja keras profesi yang tak sekadar berkutat pada rutinitas—kesetiaanlah pertaruhannya. Pertaruhan? Ya, sebab situasi hari ini, banyak “menjadi”, tetapi sedikit “terpanggil”—apa pun itu, anggaplah proses kreatif kerja sastra. Sementara itu, Chairil sejak berusia 15 bertekad bulat dan menyala untuk menjadi seniman—sekalipun pendidikannya hanya di kelas II meer uitgebreid lager onderwijs (MULO) pada masa itu.

Chairil Anwar memang bagian dari kepatutan untuk dikenang. Melalui totalitas sastranya, ia ibarat garda depan menawan bak pahlawan. Mungkin kita ingat, bukan pemberontakan dalam kaidah bahasa dilakukannya, melainkan kebaruan. Hal itu berpijak atas kontemplasi dipujanya masa Pujangga Baru. Sepakat dengan apa yang Sapardi Djoko Damono pernah katakan, Chairil mengubah gaya pengucapan lama menjadi sama sekali baru hanya dalam rentang waktu yang tidak lama.

Upaya mengenang Chairil hari ini barangkali juga meninggalkan catatan penting untuk dibaca sekaligus dipahami. Tentu saja yang terpenting adalah keaktualan dalam berliterasi mestilah jauh dari kesemenjanaan. Terlebih, pertaruhan bahasa dikemas lugas dan ekspresif sekaligus reflektif dalam puisi-puisinya.

Chairil menyegarkan bahasa Indonesia, sebagaimana ketika bahasa Belanda dan Inggris dilarang semasa pendudukan Jepang (1942—1945). Ia justru mengalirkan padanan kata-kata dalam puisi-puisinya—seperlunya dan sewajarnya, lalu ditariklah istilah baru untuk melengkapi “rumah tangga kata” bagi pilihan bebunyiannya. Katakanlah amboi, iseng, kunyah, sumsum, radang, dan beberapa kata lain dari bahasa daerah meresap dalam proses kreasinya.

Barangkali demikianlah konsep Chairil mengenai seni dan seniman. Dirinya tampak memiliki keunikan dan keberanian tersendiri. Baginya, seniman adalah seorang pemberani dan tidak boleh berpangku tangan di belakang meja—seperti digelisahkan Pamusuk Eneste dalam catatannya yang merujuk pada prinsip Chairil Anwar. “Tiap seniman harus seorang perintis jalan …,” ujar Chairil. “Penuh keberanian, tenaga hidup. Tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang-binatang buas, mengarungi lautan lebar tidak bertepi, seniman adalah tanda dari hidup yang melepas-bebas.”

Demikian juga prinsip modern yang diemban tersirat dari tunaian Chairil atas apa yang sering disebut hari ini bahwa yang demikianlah karya adiluhung sekaligus maestro. Sesungguhnya, mengenang Chairil berarti mempertanyakan ulang atas situasi bahasa Indonesia hari ini. Apabila pada masa lampau Chairil dianggap sebagai perintis sastra modern Indonesia lantaran menghidupkan kesungguhan bahasa Indonesia yang sedemikian menyimpan tenaga besar, seperti dikatakan A. Teeuw, hari ini bagaimanakah mengawal bahasa Indonesia agar tetap terjaga dan aman, bahkan dengan kian bertumbuhnya perbendaharaan kosakata dari berbagai daerah ke dalam satuan bahasa Indonesia? Terlebih, bagaimana mengawalnya dari situasi kepunahan sekaligus ancaman lainnya?

Pada setiap 28 April dirayakanlah bulan Chairil Anwar. Kesungguhan yang mesti diemban adalah bahwa bukan lagi saatnya kita mengelu-elukan atau sekadar bernostalgia, melainkan cenderung pada bagaimana situasi Chairil Anwar kian bermartabat sekaligus bermanfaat dalam perkembangan kehidupan perpuisian hari ini.

 

Situasi Chairil Anwar

Apabila A. Teeuw pernah menyinggung bahwa pada 1940-an bahasa Indonesia tampak sangat muda, sesungguhnya justru pada saat itu bahasa Indonesia menyimpan tenaga besar. Tenaga tersebut direalisasikan sekaligus dinyalabenderangkan Chairil pada penghujung masa prakemerdekaan. Sesungguhnya pula, ia ibarat pelopor metaforis di tengah isu nasionalisme yang mesti kian menebal kala itu.

Ya, Chairil tampil menyalakan kehidupan seribu tahun ke depan bagi perpuisian. Chairil dengan implisit memetakan pesona bahasa Indonesia yang dirasa belum matang dan belum cukup digerakkan. Chairil mematangkan sekaligus membentangkan bahasa Indonesia ke depan.

Semua terjadi bukan tanpa risiko. Sebagaimana kita ketahui, dalam suatu ceramah yang membahas sajak-sajak perjuangan, ia maju untuk mengemukakan argumentasinya dengan kata yang berapi-api sehingga Armyn Pane yang menjadi moderator merasa tersudut[1]. Di situ Chairil melancarkan serangan terhadap semangat dan bentuk sajak. Sajak lama ia mengemukakan sajak-sajaknya sendiri yang revolusioner, baik bentuk maupun isinya. Chairil Anwar menghendaki sesuatu yang baru. Ukuran dan ikatan lama ia tinggalkan. la tampil ke depan untuk mengembangkan corak dan suasana baru. la tinggalkan segala yang dimuat oleh para seniman-seniman sebelumnya. Chairil tidak mau peduli dengan segala kaidah yang sudah ada waktu itu. la tinggalkan segala bujuk-rayu yang mendayu-dayu. Ia buang segala kecengengan yang mengikat erat. la tampil dengan wajah yang begitu jantan dalam kepenyairan kita[2]. Chairil seolah menghendaki perubahan bagi generasinya, yaitu generasi sesudah perang—tegap, tegas, dan tegar sekaligus senantiasa membujuk dengan optimistis.

Perubahan atas Chairil sebagaimana maksud di atas itu sudah mulai tampak saat zaman Jepang. Hal itu berkaitan dengan adanya kejadian-kejadian hebat, seperti larangan sensor Jepang terhadap kesentimentilan yang dianggap melemahkan semangat. Kesengsaraan dan penderitaan yang sudah dialami dan perkenalan lebih dekat dengan maut sesudah Proklamasi Indonesia Merdeka, memberi isi tentang pengertian hidup atau mati yang tadinya hanya perkataan belaka. Angkatan sesudah perang telah mengalami kepahitan hidup dan tidak hanya melihat dari kesamaan pandangan seorang jejaka yang didendang asmara[3].

Ya, apabila kembali dipertebal, Chairil Anwar yang memang mulai dikenal sebagai penyair pada 1945, eksistensinya makin dibuktikan ketika suatu hari pada tahun tersebut ia ke redaktur Panji Pustaka membawa sajak-sajaknya. la minta kepada redaktur, kala itu Armyn Pane, agar sajak-sajaknya dimuat. Di antara sajak tersebut terdapat sajak “Aku”. Namun, apa yeng terjadi? Saat itu ia ditolak oleh Armyn Pane karena sajak-sajaknya sangat individualistis. Terutama sajak “Aku” dinilai terlalu berbau pemujaan terhadap diri sendiri. Atas penolakan tersebut, ternyata Chairil tidak sakit hati.

Satu catatan kembali, menurut H.B. Jassin, "Aku" ditolak sebenarnya bukan karena sajak itu buruk, melainkan karena lebih banyak menyangkut situasi pada saat pendudukan Jepang yang peka terhadap kata-kata yang dapat dituduh mengandung unsur-unsur agitatif dan "Aku" memang mengandung bara api. Dari Panji Pustaka, "Aku" tiba di redaksi majalah Timur yang dipegang oleh Nur Sutan lskandar. Walaupun Nur Sutan lskandar tidak menyetujui sikap dan tampang Chairil Anwar, ketika Chairil Anwar datang, Nur Sutan lskandar menyetujui dimuatnya "Aku" dalam majalah Timur dengan diubah judulnya menjadi "Semangat"[4]. Melalui sajak "Aku" tersebut, Chairil Anwar kemudian terkenal dengan sebutan Si Binatang Jalang di kalangan teman-temannya. Dalam menuliskan sajak-sajaknya, Chairil membawa perubahan yang radikal. la mempergunakan bahasa Indonesia yang hidup dan berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang begitu sastrawi yang ia gunakan. Bentuk dan iramanya jauh dari pantun, syair, soneta, ataupun sajak bebas Pujangga Baru. lsinya seperti dibuat berisi listrik. lni adalah pemberontakan yang terjadi dalam jiwa. Ukuran-ukuran lama dilemparkan semua. Kesombongan yang dilarang orang-orang tua mencapai puncaknya, maut ditantang dan dikesampingkan[6].

Atas pengarfimasian secara tidak langsung seperti di atas, sajak-sajak Chairil memberi udara baru yang segar bagi kesusasteraan Indonesia. Meski saat itu bangsa Indonesia sedang di bawah kekuasaan Jepang yang tidak memberikan kebebasan berpikir—juga dalam seni dan budaya. Namun, justru saat itulah Chairil Anwar membuat suatu revolusi dalam kesusasteraan Indonesia.

Perlu diakui, Chairil memang terpengaruh oleh penyair-penyair Belanda, seperti Marsman, Du Perron, dan Ter Braak, yang merupakan sastrawan-sastrawan angkatan sesudah Perang Dunia I yang menghantam Angkatan 80[6]. Seperti halnya Chairil Anwar yang menghantam Pujangga Baru. Chairil Anwar membawa suatu aliran yang disebut ekspresionisme, yaitu suatu aliran seni yang menghendaki kedekatan pada sumber asal pikiran dan keinsyafan. Pikiran dan keinsyafan dalam pertumbuhan yang pertama, belum lagi diatur dan disusun, dipengaruhi pikiran dan keinsyafan dari luar, pengolahan dan pembetulan dari luar. Ekspresionisme pikiran dan keinsyafan tingkat pertama itu masih sangat dekat pada perasaan dan jiwa asal. Itulah yang sejelasnya dilontarkan atau lebih tepat melontar dalam ciptaan. Demikianlah buah ciptaan bukan lukisan kesan pada jiwa, teriakan jiwa itu sendiri".[7]

Setelah 18 bulan berlalu sejak ketiadaan Chairil Anwar pada April 1949, semangat ekspresionisme kerabatnya pun, Asrul Sani dan Rivai Apin, mengikhwali suatu prinsip dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang” pada kisaran Oktober 1950 yang berbunyi demikian.

Kami adalah ahli waris yang syah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat dari kami adalah kumpulan campur baur mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan. Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sama matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pemyataan hati dan pikiran kami. Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia kami tidak ingat kepada dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oteh suara-suara yang dilohtarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha-usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai. Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikianlah kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami belum selesai. Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam cara mencari, membahas dan menelaah kami membawa sifat sendiri. Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman. Jakarta, Februari 1950[8]

Satu abad Chairil Anwar terjadi persis pada 2022. Mampukah kita—kalau boleh ditebalkan pada kehidupan masyarakat sastra di Indonesia—tampil berani, lalu kembali menyebut sebagai ahli waris yang sah atas situasi sastra di negeri ini atau merasa cukup dan sekadar berpuas tanpa menanggalkan utang kepadanya sambil sesekali membatin selaiknya larik Chairil Anwar, “Sekali berarti, sesudah itu mati”?


[1]Majalah Pop. Th. 1 No. 9. 1974.

[2]Pelita Th. V No. 1214, 28 April 1978

[3]H.B. Jassin, Kesusasteraan Indonesia Dalam Kritik dan Esei , Penerbit PT. Gunung Agung 1967, Jakarta.

[4]Majalah Pop, Th. 1, No. 9, 1974.

[5]H.B. Jassin, Tifa dan Daerahnya, PT Gunung Agung, 1965, hlm. 42.

[6]De Tachtigers (Bahasa Indonesia: Gerakan Delapan Puluh) adalah suatu gerakan sastra yang ada di Belanda yang melejit pada tahun 1880-an. (Sumber: Wikipedia)

[7]H.B. Jassin, Kesusasteraan Indonesia dalam Kritik dan Esai, Hlm. 46.

[8]Ajip Rosidi, lkhtisar Sejarah Sastra Indonesia, hlm. 92—93.

Fernandus Moses

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa