Cinta Penyair Cinta

Pembahasan tentang cinta semacam dapur kecil untuk membicarakan kehidupan itu sendiri. Di dalam kehidupan itulah terdapat banyak bahan untuk meracik cinta agar sampai pada pemaknaan yang paling dekat. Setidaknya melalui persepktif inilah, analogi mengenai cinta itu sendiri dapat direbus dan dimatangkan dalam kehidupan. Intensitas dan kualitas dari gerak pemaknaan tersebut dikelola oleh pemahaman dan pengetahuan manusia, kemudian akan diambil sebagai satu garis logika yang tepat.

Ketika menyingkap sejumlah pemaknaan mengenai cinta, menurut saya, orang yang menulis puisi sama dengan orang yang memaknai kehidupan. Mengapa saya mengatakan demikian? Itu karena dia mencari hikmah, bukan sekadar pengetahuan. Hikmah diperoleh karena kita menjalani kehidupan berdasarkan cinta. Kedudukan cinta di mata apa pun sesungguhnya sama, yaitu bahwa cinta sesungguhnya sebuah ketertarikan, baik ketertarikan atas pria maupun ketertarikan atas wanita. Melalui ketertarikan itulah, terjadi hubungan-hubungan.

Dalam proses hubungan tersebut, manusia akan menukik pemaknaannya berdasarkan lingkup berpikir, tingkat berpikir, dan tingkat pengalaman (experience). Secara umum, pemaknaan tersebut akan dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berupa kebiasaan-kebiasaan, baik kebiasaan dalam keluarga, dalam lingkup pendidikan, dalam masyarakat dan lingkungan sekitar, maupun dalam kebudayaan. Namun, ketika kita mengembalikan respons atas segala sesuatu yang berhubungan dengan apa yang disebut sebagai jiwa (nafs), ketika diperhatikan hurufnya, nafs hampir mirip dengan nafas. Hurufnya sama, yaitu nun, fa, dan sin. Nafs berarti ‘jiwa’, sedangkan nafas itu ‘udara yang kita hirup’. Ketika pembicaraan ini diberangkatkan melalui nafs dan nafas, perspektif yang lahir, sebagaimana dalam Al-Qur’an, Allah dhawuh melalui Al-Qur’an bahwa jiwa dapat diidentifikasi menjadi empat, yaitu nafs muthmainnah, nafs lawwamah, nafs amarah, dan nafs sufiyah.

Sebagai suatu respons, kita kembali pada pemaknaan kebiasaan. Kebiasaan adalah jiwa sehingga bagaimana respons seseorang bergantung pada perspektif ini. Manusia dalam memaknai cinta tidak terlepas dari unsur biologisnya. Terdapat unsur bagaimana legitimasi atas rasionalismenya terhadap cinta. Hal tersebut berhubungan dengan kuasa. Beberapa di antaranya memiliki keraguan dan mempertanyakan dimensi bologis, dimensi kuasa, dan dimensi kerohaniannya. Ketika menggunakan bahasa nafs, pertanyaan tersebut selingkup dengan nafs muthmainnah ataupun nafs lawwamah. Di antara keduanya, mana yang menang atau dimenangkan oleh kepribadian seseorang? Keputusan atas jawaban tersebut jelas ada pada pilihan manusia itu sendiri.

Ketika pembicaraan mengenai cinta itu disandingkan dengan pilihan, pembicaraan akan kembali pada agama. Itu terjadi karena hal tersebut merupakan kepemilikan personality dari bagaimana seseorang meyakini sesuatu. Ketika dua manusia, laki-laki dan perempuan, bertemu atas nama cinta dan mengarahkan ekspresinya secara biologis, itu merupakan naluri tubuh. Kemudian, ketika laki-laki dan perempuan bertemu atas nama cinta, atas nama kuasa, lebih lanjut direkayasa atas nama budaya, itu adalah pilihan. Lain halnya, ketika laki-laki dan perempuan bertemu atas nama cinta, kemudian diekspresikan seharmoni mungkin dengan kemanusiaannya, dengan alam dan Sang Maha Pencipta, di situlah perspektif keberagamaan manusia muncul. Mulailah masuk pada apa-apa yang dibolehkan atau dilarang di dalam aturan sesama manusia, dengan bersendikan pada naluri budaya dan syariat sehingga terjadilah keharmonian antara potensi manusia terkait empat jiwanya tersebut dengan semesta dan Sang Maha Pencipta.

Melalui perspektif ini, kita layak bersyukur bahwa kita memiliki agama, khususnya saya, saya bersyukur memiliki Islam. Dalam hal ini, semuanya boleh, kecuali yang dilarang oleh Allah melalui Al-Qur’an dan suri teladan, yakni Rasulullah, Muhammad saw. Mengapa demikian? Itu karena ekspresi cinta pun tidak lepas dari kebiasaan-kebiasaan yang kemudian dinamakan budaya. Agama, dalam hal ini, tidak lepas dari akar-akar kebudayaan itu karena pada tingkat wacana, ketika agama atau firman itu kemudian dipahami dan dilaksanakan, bukan hanya pada tingkat kebudayaan pemikiran, melainkan menjadi kebudayaan perilaku, bahkan sampai dengan produk budaya.

Cinta sebagai Dimensi Kemanusiaan

Ketika saya disandingkan dengan pertanyaan apa itu cinta tanpa embel-embel, representasi kepribadian seseorang berkaitan dengan perilaku sehingga kedudukan agama di sini sangat menentukan. Saya memaknai cinta sebagai dimensi kemanusiaan sebab berdasarkan cinta, kemudian ada keterhubungan-keterhubungan. Sebagaimana ketika kita memberangkatkan pemahaman ini melalui filosofi tasawuf. Misalnya saja, bahwa sebelum alam ini diciptakan langsung oleh Allah, hal pertama yang diciptakan Allah adalah cinta, yakni cinta diri-Nya karena untuk mengenal-Nya, kemudian diciptakan-Nya cahaya karena Allah Maha Cahaya sebagaimana Al-Qur’an menyatakannya di dalam Surah An-Nur ayat 35.  Kemudian, cahaya yang pertama diciptakan-Nya ialah Nur Muhammad.

Oleh karena itu, ekspresi kemanusiaan kita sangatlah ditentukan oleh seberapa kita sebagai manusia itu memiliki rasa memanusiakan manusia dalam rangka keterhubungannya dengan alam dan dengan Sang Maha Pencipta alam semesta, yaitu memanusiakan manusia, mengalamkan alam, dan menuhankan Allah. Dalam rangka manuhankan Allah, output-nya adalah memanusiakan manusia. Dalam rangka memanusiakan manusia yang tidak ada keterkaitannya dengan Allah Swt., hal itu tidak mempunyai nilai ibadah. Akan tetapi, sebaliknya, jika hanya memaknai agama dalam konteks ibadah ritual tanpa ekspresi ibadah sosial, hal itu tidak sesuai dengan tujuan hakiki dari agama itu sendiri karena beragama itu output-nya adalah akhlak yang mulia (akhlakul karimah). Oleh karena itu, harus ada keseimbangan antara hablun minallah dalam rangka modalitas untuk pijakan hablun minannas. Hablun minannas memiliki pijakan hablun minallah, tetapi disertai keharmonian dengan hal yang lain, yaitu hablun minalalam.

Dengan demikian, ekspresi cinta itu menjadi sangat penting karena semua agama pasti mengajarkan bagaimana kita mencintai dengan cinta yang benar, tetapi dengan cara-cara yang indah. Bukan hanya benar, tetapi tidak indah. Bukan benar saja, tetapi mengekspresikan kekerasan. Hal itu dalam ungkapan bahasa Banyumasan disebut sekarepe dhewek.

 Puisi Cinta Penyair Cinta

Dengan menghayati cinta dalam kehidupan, hal itu secara bersamaan melahirkan cara pandang, yakni bagaimana kemudian cara pandang cinta itu diekspresikan dalam wujud puisi? Pertanyaan semacam ini, boleh jadi, memiliki jawaban yang sama, misalnya saja bertema rindu. Mengapa saya mengatakan demikian? Hal tersebut sesungguhnya kembali pada cara pandang seseorang terhadap realitas. Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan adalah cara pandang kita terhadap cinta sehingga berpengaruh pada cara pandang kita terhadap puisi cinta.

Ketika cinta itu berembel-embel puisi, hal itu hanya sebagai ekspresi. Pada mulanya, saya menulis puisi dengan membuat-buat ekspresi, mengondisikannya, menunggu, dan mencari ilham. Ketika memperoleh ilham dalam menulis, kita tidak cukup hanya menunggu, tetapi harus mencarinya melalui satu-dua kata, kemudian menuliskannya. Demikianlah yang dinamakan proses belajar. Saya sungguh melakukannya. Saya mencorat-coretnya. Bahkan, ketika puisi tersebut sudah dimuat pun, ada yang masih saya buang.

Pada akhirnya, saya menempatkan puisi cinta di antara usaha dan takdir boleh jadi sebab berjalannya usia. Sebagai seseorang yang hidup dalam lingkungan akademik bahasa dan sastra, menulis 10 atau 30 puisi dalam 1 hari bukan hal yang sulit, bisa saja secara teknis. Namun, hal itu tidak saya lakukan sebab bagi saya, puisi cinta ataupun tema lainnya bukanlah hanya perkara teknis, kerajinan (craft), sekalipun di dalamnya juga terdapat seni yang mengarah pada hal teknis. Akan tetapi, teknik seni mencipta itu sudah menjadi bagian dari kita yang mengalami internalisasi bertahun-tahun.

Dalam memersepsikan dan memosisikan puisi cinta, saya pun demikian. Dalam menulis puisi cinta, saya mempertimbangkan dimensi kemanfaatan, bahkan bukan hanya itu. Dalam konteks sastrawi, hal itu memiliki dimensi kebaruan. Menurut saya, menulis puisi cinta sama halnya dengan orang yang memaknai kehidupan. Seperti apa? Dia mencari hikmah. Demikian bukan sekadar knowledge. Hikmah diperoleh sebab kita menjalani kehidupan berdasarkan pada cinta. Dapat dikatakan bahwa sifatnya tidak memaksa sama sekali, yakni natural.

Sebagaimana Rasulullah dhawuh bahwa sebagian puisi mengandung hikmah. Artinya banyak juga puisi yang tidak mengandung hikmah. Pemaknaan tersebut dapat dianalogikan bahwa hikmah adalah onta orang beriman, bukan onta orang yang tidak beriman. Onta yang beriman hilang di tengah padang pasir. Ketika hilang di tengah padang pasir, sebetulnya ia masih terlihat, tetapi tidak terjangkau. Ia diketahui, tetapi tidak tertangkap. Hikmah itu mengitari kehidupan kita, tetapi orang tidak dapat menangkapnya. Analogi onta tersebut dapat diterapkan di sini. Rasulullah dhawuh, “Barang siapa menemukan hikmah itu, dia menemukan kebenaran terbaik-Nya.” Dalam konteks ini, sebab saya orang sastra, saya teringat dulce et utile, yakni indah dan bermanfaat.

Dalam Al-Qur’an, Allah dhawuh, “Sampaikanlah dengan baik berdasarkan pada contoh yang baik.” Ketika saya menulis puisi cinta, puisi cinta itu justru minta dituliskan. Jika demikian, bukan kita yang mencari-cari, melainkan ada satu keyakinan bahwa jika sesuatu itu memang memiliki dimensi kemanfaatan, itu akan berhubungan dengan keimanan kita terhadap sesuatu, yaitu cara pandang kita terhadap realitas. Perspektif yang lahir selanjutnya adalah jika sesuatu bermanfaat, itu akan diberikan oleh Allah. Akan tetapi, hal demikian tidak lantas menganjurkan kita untuk diam dan menunggu, tidak. Setiap hari, kita bertugas membaca dan menulis, tetapi tidak harus dipaksakan.

Sebagaimana halnya dengan Chairil Anwar yang tidak suka menunggu ilham, pemaknaan akan ilham, dalam hal ini, memiliki spesifikasi khusus dalam perspektif saya. Ilham tidak untuk ditunggu secara pasif, tetapi ilham juga tidak untuk dicari secara paksa. Hal itu mengembalikan kita pada perspektif realitas, yang termasuk di dalamnya persoalan mengenai cinta, bahasa, dan puisi. Ikhtiar kita menulis tentu saja harus bersamaan dengan kepercayaan bahwa Tuhan itu Maha Ada. Secara sederhana, Dia memberikan firasat kebaikan dan memberi ilham kepada kita. Oleh karena itu, dalam banyak puisi saya, saya mengatakan, “Puisi minta ditulis.”

 Penyair Cinta sebagai Predikat

Sebagai suatu predikat, yaitu “penyair cinta”, saya menuliskan puisi dengan perspektif cinta, kemudian saya kumpulkan dalam buku berjudul Penyair Cinta yang diterbitkan oleh Jejak Pustaka pada Juni 2022. Predikat penyair cinta ini jika dianalogikan selayaknya kiai, yang menyebutnya kiai itu justru harus orang lain, masyarakat, bukan kiai itu sendiri. Perspektif saya dalam menulis puisi tersebut kemudian diidentifikasi oleh teman-teman kritikus sastra bahwa saya banyak berbicara tentang cinta. Begitu pula secara akademik, perspektif saya dalam menulis puisi ini dikritisi menjadi skripsi, tesis, dan rancangan disertasi.

Saya menemukan tesis yang cukup menarik yang ditulis oleh mahasiswa asal Patani di Universitas Negeri Yogyakarta dan di bawah bimbingan Prof. Dr. Drs. Anwar Efendi, M.Si. Sedemikian saya sangat peduli dengan apa yang saya tulis, dan jika kemudian dibaca oleh masyarakat luas, itu hal yang sangat saya syukuri. Termasuk ketika predikat Penyair Cinta itu dilekatkan kepada saya, saya pun mensyukurinya.

Saya menjadi teringat, pada tahun 1989, mulanya saya menulis puisi dengan tema cinta. Ada satu rubrik puisi berhonor di Suara Merdeka yang seingat saya memiliki tajuk “Puisi Cinta”. Saya yang pada waktu itu hidup dari dan hanya dengan menulis puisi, saya menulis di rubrik tersebut dengan tanpa gengsi dan tidak lantas merasa prestise berkurang sebagai seorang penyair. Sewaktu saya menerbitkan buku kumpulan sajak Ijinkan Aku Mencintaimu, saya mendapat banyak komentar semacam olok-olok, Kok menulis begitu, sih?” Apresiasi majalah Horison yang pada waktu itu cukup menarik adalah ketika saya diminta mengisi halaman tengah di rubrik Kaki Langit dengan tajuk “Puisi-puisi Cinta dalam Dimensi Sosial”.

Sampai di sini, ketika perspektif itu dikembalikan kepada pemaknaan atas cinta, kita dapat memulainya dari yang kita cintai. Kita mencintai seseorang, dan orang itu mencintai kita sepenuh hati. Kita mencintai orang tua, keluarga, kerabat, bahkan tetangga. Dalam hal ini, saya pribadi mengembalikannya kepada pribadi agung, Rasulullah Muhammad saw. Kanjeng Nabi Muhammad saw. memperkenalkan kita pada hati yang dipenuhi oleh cinta dan kasih sayang kepada sesama manusia. Kita pun dapat memulainya dari yang terdekat dan bukan yang terjauh! ***

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah penyair, lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS), dan menjadi dosen tetap di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa