Para Pembuat Mitos
A. Dramayana: Raib ke Alam Gaib
Bagaimana kabar Akidi Tio sekarang? Mungkin dia akan angkat
topi pada Yana Supriatna karena bukan hanya bangsa manusia yang terkena
prank, melainkan juga bangsa jin,
dedemit, dan siluman ular. Pembedanya adalah Akidi yang dermawan dengan sumbangan 2 triliun boleh jadi berhasil membuat prank warga sampai ke orang nomor satu di
Indonesia. Akidi pun tampaknya melakukannya dengan kesadaran.
Sementara itu, Yana
hanya gegara belum piawai mengatur ritme, dia berniat membuat prank
kepada istrinya dengan berpura-pura hilang. Sewaktu pulang dari tempat kerja, di tengah jalan, tepatnya di
Jalan Cadas Pangeran, motor yang dikendarainya mogok.
Lalu, timbullah niat membuat prank. Dia memberikan pesan terakhir yang
seolah-olah kenestapaan sedang melandanya. Dia berakting menangis, lalu memutuskan kontak. Sang istri khawatir. Pesan terakhir
disebar di media sosial dan akhirnya menjadi perhatian warganet.
Tak lama berselang, berita-berita di media cetak dan daring
mengabarkan bahwa
seonggok sepeda motor dan helm tanpa
pengendara ditemukan di Cadas Pangeran. Singkatnya, dengan mengidentifikasi
ciri motor dan helm, dipastikan bahwa yang hilang adalah Yana.
Pencarian pun dilakukan oleh pihak berwajib dan masyarakat.
Tak tanggung-tanggung, Kapolres Kabupaten Sumedang dengan pasukan dan anjing
pelacak langsung memimpin pencarian di sekitar tempat kejadian perkara (TKP).
Drama pun dimulai. Sang tokoh,
Yana, dicari,
bahkan dengan melibatkan para sesepuh agama dan paranormal alias Kuncen Cadas Pangeran, selain warga
sekitar yang peduli.
Terhitung sejak Selasa, 16 November sampai dengan Kamis, 18 November Dramayana berlangsung. Berbagai timbangan
reka kejadian bermunculan di masyarakat. Petugas keamanan tidak menemukan jejak
apa pun selain alat bukti kejadian yang berupa motor dan helm. Spekulasi di
masyarakat berkembang bahwa Yana dibawa makhluk halus penguasa Cadas Pangeran
karena daerah TKP dipercaya memiliki rekam riwayat yang angker.
Dramayana makin seru manakala Kuncen Cadas Pangeran membuat
analisis hasil teropong gaib. Katanya, “Yana
leungit dicandak ku oray koneng. Upami tilu dinten teu
kapendak, wayahna ikhlaskeun.” (‘Yana menghilang dibawa siluman ular kuning.
Kalau dalam waktu 3
hari belum ditemukan,
ikhlaskan saja’).
Sampai di sini, dramayana telah mencapai puncak kisah.
Warganet dan warga Se-Sumedang,
Jawa Barat, bahkan Indonesia terpana dan merasa iba dengan tokoh Yana yang raib
dibawa ke alam gaib. Konten-konten berita cetak dan daring dan unggahan pesan warganet di media sosial
merekam drama tragedi ini.
Namun, karena hakikat cerita mesti menemukan akhir, sebuah
peristiwa yang menandai antiklimaks muncul. Dramayana berubah 180 derajat
menjadi komedi. Sang tokoh telah ditemukan sedang menikmati segelas kopi di
daerah lain, tepatnya di Cirebon.
Sebuah teknik kilas balik melengkapi drama ini. Syahdan,
menurut pengakuan sang
tokoh utama,
Yana merasa rikuh karena prank yang ditujukan untuk istrinya
membuatnya terkenal kepalang alang sealam nyata, maya, dan gaib. Dia akhirnya
menyerahkan diri ke kantor polsek terdekat.
Kilas balik itu
juga menandai
peleraian kisah. Sang tokoh
mengaku kepada aparat keamanan bahwa dia pergi menghilang untuk menemui
istrinya yang lain di Cirebon. Peristiwa itu sekaligus mengonkretkan logika kisah dari
berbagai spekulasi reka peristiwa hilang, baik yang rasional maupun irasional,
yang berkembang di masyarakat. Akhirnya, tentu saja sang tokoh terkena jerat
pasal penipuan alias kebohongan publik.
Yang tersisa dari kita sebagai penikmat cerita adalah betapa
kisah memilih jalannya sendiri tanpa kuasa sang tokoh utama untuk
menghentikannya atau sekadar membelokkannya. Betapa daya dukung teknologi
informasi dengan karakter konten yang serba cepat, luas, dan masif mampu
mengonstruksi sebuah kenyataan.
Jagat nyata, maya, bahkan gaib pun terkena prank. Kita dapat melihat respons para pemirsa
kisah ini di berbagai layanan media sosial dan aplikasi berbagi video di
internet. Ada yang geram, ada yang tertawa bahagia sambil berurai air mata
karena merasa bahwa kisah ini begitu pilu plus tragis, tetapi sangat manusiawi.
Mungkin, ada juga yang iri karena mengapa Yana bukan saya yang menjadi tokoh
utamanya.
Kisah Dramayana bukan kisah Ramayana yang lahir dari alam
mitologi. Kisah Dramayana lahir dari alam sains yang menemukan sisi
kepraktisannya dalam teknologi untuk melengkapi tujuan hidup manusia. Namun,
ada kemiripan antara kisah Dramayana dengan logika cerita mitos, yakni
keniscayaan kita atas kisah itu sendiri tanpa mesti menghubungkannya dengan
kenyataan.
Dalam mitos terdapat ambivalensi kepercayaan, yakni
kepercayaan berdasarkan keyakinan adikodrati dan kepercayaan berdasarkan cerita
fiksi atau bohong. Para pelaku cerita, mulai dari tokoh Yana, istri Yana,
polisi, anjing pelacak, warga sekitar TKP, kuncen, sampai dengan siluman oray koneng telah berhasil memerankan
lakon masing-masing dalam laras drama tragika alias tragedi-komedi. Mereka
telah membuat mitos baru pada era digital.
B. Mitos Baru
Bahasa dapat
merepresentasikan sebuah dunia. Di dalamnya terdapat peristiwa dan makna.
Realitas simbolik ini diperkenalkan Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1961).
Penemuan mesin cetak (1860) telah mengukuhkan kuasa manusia atas rasionalisasi
pesona magis alam. Hasilnya, ilmu pengetahuan dan teknologi mendasari peradaban
modern.
Kala itu tradisi
tulis-cetak telah berhasil memantapkan modernitas dalam pembangunan kota-kota
pencakar langit. Televisi dan telepon
dapat dikatakan menjadi ikon puncak peradaban. Pertukaran barang dan jasa
terdukung dua benda itu.
Namun, ketika kita
memasuki abad XX, informasi telah mengambil bentuk transmisi digital hasil
pemaduan kedua benda tersebut. Kita mengenalnya dengan istilah internet.
Segala informasi dalam
media internet sering diistilahkan konten. Bahasa verbal dan nonverbal telah
membakukan pesan informasi ke dalam dokumen berbentuk rekam gambar, suara, dan
kombinasi keduanya. Dengannya, konten dapat dianggap sebagai teks—segala produksi bahasa yang terpatri
dalam dokumen rekam transmisi digital.
Penerimaan atas teks
membutuhkan pembingkaian ulang atas aspek-aspek yang melingkungi teks
diproduksi. Setidaknya, aspek pemroduksi, teks, pengonsumsi, dan acuan
peristiwa yang melingkungi ketiga aspek itu menciptakan makna
subjektif pemroduksi, makna objektif teks, dan makna relatif pengonsumsi.
Dengan kata lain,
ketiga makna tersebut sejajar dengan peristiwa saat teks diproduksi, peristiwa
yang direpresentasikan teks, dan peristiwa yang dipahami pengonsumsi.
Pembingkaian teks melalui ketiga konteks telah menciptakan peristiwa dan makna
yang tidak identik lagi. Syahdan, hal inilah yang menjadi lokus sekaligus fokus
investigasi akademik Paul Riceour (1976) dalam buku Interpretation Theory, Discourse and The Surplus of Meaning.
C. Narasi Subversif
Keberlimpahan konten
yang memiliki relevansi sosial dan budaya menandakan tindakan nyata manusia
dengan ekspresi bahasa yang bersifat simbolis. Idealnya, tujuan pemroduksi
melalui konten sampai pada pengonsumsi. Begitu pun sebaliknya, tujuan
pengonsumsi konten tercapai manakala konten yang diproduksi
menyediakannya. Namun, kesalahpahaman dimungkinkan terjadi karena konteks
peristiwa bahasa terjadi dalam dunia maya.
Namun, konten sebagai teks dapat
kita pahami dengan menempatkannya sebagai sebuah wacana yang dinarasikan.
Referensi diri dan makna otonom konten dijamin oleh kegramatikalan kalimat dan keikonisan gambar transmisi digital. Siapa pun, kapan pun, dan di
mana pun, konten dapat dikonsumsi asalkan memiliki akses internet.
Pada dasarnya ragam narasi
menyertakan peristiwa yang berhubungan langsung dengan kenyataan (narasi
faktual) dan peristiwa yang berhubungan tidak langsung dengan kenyataan (narasi
fiksional). Namun, dalam proses penafsiran, sering ditemukan bahwa ragam narasi
faktual pun diperlakukan seperti ragam narasi fiksional.
Mungkin kita masih ingat pernyataan, “Wiwi adalah
presiden boneka yang dipasang oleh Sembilan Naga untuk mengamankan kepentingan
ekonominya", atau
pernyataan, “Wowo adalah seorang jenderal purnawirawan yang gagal menjadi presiden
karena tersandung kasus HAM di era Orde Baru.” Kedua pernyataan itu dikonstruksi
sedemikian rupa melalui kecanggihan teknologi informasi dalam berbagai bentuk
konten di media sosial, seperti dalam berita, caption, meme, video,
dsb.
Akhirnya, kita bisa mengatakan bahwa
internet telah memproduksi konten-konten sebagai ekspresi simbolik para
penggunanya (pemroduksi-pengonsumsi) dalam narasi yang mirip fiksi, yang tidak
menuntut perjumpaan atau kontak langsung dengan narasumber, bersifat simbolik
dan tidak perlu pembuktian faktual, dan menuntut kebenaran dalam realitas
simbolik (citraan digital).
Selain itu, kita dengan sadar atau taksadar meyakini bahwa realitas itu ada. Model interpretasi narasi fiksional yang diterapkan pada narasi faktual dalam konten-konten internet pun terjadi karena sifat internet yang serbacepat, luas, dan masif dalam menyebarkan informasi. Hal itu telah membuat fakta dan fiksi menjadi bias dan cenderung subversif. Sementara itu, di pihak lain, keberlimpahan konten telah memosisikan pengonsumsi konten untuk mendapat informasi dengan serbacepat, tepat, dan praktis.
D. Pandemi
Kleptoteks
Konten dibuat dengan
referensi peristiwa nyata yang dituliskan, dilisankan, dan divideokan, seperti
pada teks berita. Namun, konten juga dapat dibuat dengan referensi jejaring
konten yang melingkunginya tanpa harus mengacu pada peristiwa nyata.
Singkatnya, konten hadir dari keberjamakan konten yang telah ada.
Dengan perilaku unggah dan unggah
ulang konten oleh warganet, konten mendapatkan energi replikasi yang tidak
terbantahkan. Sebagai contoh, konten yang kemudian mendapat banyak apresiasi
warganet (viral) dapat merangsang warganet lainnya untuk mereplikasinya dalam
bentuk utuh, dalam bentuk pengurangan atau penambahan, atau dalam bentuk baru, seperti pada aplikasi Tiktok.
Hal itu sangat mungkin terjadi. Namun, saya akan mengulasnya bukan dari peniruan
kontennya, melainkan dari kebiasaan mereplikasi konten dalam peristiwa
mengunggah dan mengunggah ulang konten yang dikonsumsi. Dalam hal ini saya
menduga bahwa dalam perilaku berkomunikasi di dunia maya, boleh jadi,
kita telah mewajarkan replikasi dan kreasi ulang konten.
Boleh jadi, semesta teks yang
terentri di dunia maya memang memosisikan kita memiliki kebiasaan untuk unggah
dan unggah ulang konten. Itu terjadi karena konten yang
dimaui pasar adalah konten yang viral, yang banyak dikunjungi warganet. Dari
sini kalkulasi kapital muncul. Siapa yang bergegas masuk ke aras ini, dia
mendapat imbalan finansial.
Gejala psikis tersebut dapat menimpa siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Gejala psikis yang didukung oleh budaya populisme ini memang menjanjikan untuk ditekuni dengan serius sebagai profesi atau sekadar iseng dengan tujuan tertentu. Bolehlah kita katakan bahwa gejala psikis yang sadar atau taksadar seperti virus ini menjadi pandemi kita bersama. Virus baru ini mungkin kita katakan kleptoteks.
E. Mitos
Baru
Kodifikasi masif
melalui serangkaian signifikasi atas ekspresi simbolik konten dalam penerimaan
penanggap terjadi setiap kita mengakses media internet. Tentu penerima di sini
adalah pengonsumsi konten yang dengan sadar
menggunakan internet, terutama media sosial. Namun, dalam proses penafsiran
konten, pengonsumsi teks sering terjebak dalam prosedur penafsiran fiksi
sehingga menghasilkan narasi subversif.
Peristiwa interpretasi seperti itu mirip dengan peristiwa penafsiran atas narasi ambivalen yang dikenal di
masyarakat dengan istilah mitos. Ambivalensi mitos terjadi karena ketegangan istilah mitos, yakni (1) narasi yang berhubungan dengan sistem keyakinan atau
agama dan (2) narasi yang direduksi sebagai fiksi atau cerita bohong.
Kedua istilah mitos itu menuntut
kerelaan kita untuk memperlakukannya sebagai narasi tanpa pembuktian faktual.
Namun, tidak semua narasi yang ada dalam media sosial dapat menjadi
mitos. Setidaknya, kredibilitas pemroduksi, baik individu maupun organisasi, dapat menjamin realitas simbolik konten
sebagai informasi yang referensi dan maknanya mengacu pada realitas faktual.
Akhirnya, diperlukan kajian lebih
mendalam dan spesifik atas narasi dalam relasi horizontal antarnarasi (relasi
sintagmatik) dan relasi vertikal antarkekuatan sosial dalam struktur
kemasyarakatan (relasi paradigmatik). Sebabnya, narasi subversif yang
hampir seperti mitos ini adalah konsumsi sehari-hari masyarakat pada era digital.
Mungkin kita dapat menyebut dalam
deretan panjang narasi yang hampir menjadi mitos, seperti narasi komunis versus
khilafah, narasi cebong versus kadrun, dsb. Narasi-narasi dikodifikasi secara masif oleh para pembuat mitos, terutama di media sosial.
Mangkubumi, 22 Oktober
2021
Nizar Machyuzaar
Penulis merupakan narateks dan ketua Mata Pelajar Indonesia. Karya tulisnya dimuat di halaman Artikel laman Badan Bahasa Kemdikbud, Koran Tempo dan majalah Tempo, harian Kompas, harian umum Pikiran Rakyat, Koran Sindo, Bandung Pos, Kabar Priangan, dan beberapa portal berita digital.