Perbaiki Pelajaran Membaca untuk Meningkatkan Kompetensi Literasi Siswa

 

Dari Asesmen Nasional (AN) 2021 kita dapat mengetahui bahwa capaian kompetensi literasi siswa sekolah dasar (SD) masih rendah. Di tingkat SD, satu dari dua perserta didik belum mencapai kompetensi minimum literasi. Artinya, tidak sedikit anak didik kita yang jauh dari tuntutan kompetensi literasi masa kini dan masih belum memahami informasi, baik yang tersurat maupun tersirat. Miris, bukan? Ini berarti harus ada perbaikan pelajaran membaca secara holistis.

Kini makna literasi berkembang. Literasi tidak hanya hanya dimaknai sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi literasi juga berarti melek teknologi dan politik serta berpikir kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar. Kirsch & Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America’s Young Adult mendefinisikan literasi sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Jadi, kecakapan literasi sangat dibutuhkan bila bangsa ini ingin maju. Dengan kata lain, Indonesia dapat bangkit dari keterpurukan, bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain bila masyarakatnya punya budaya literasi tinggi. Hal ini sejalan dengan sebuah tulisan di surat kabar Kompas edisi 1 Juni 2016 yang menyinggung literasi termasuk dalam kemampuan strategis yang harus dimiliki bila ingin menjadi bangsa yang maju.

Literasi merupakan kecakapan hidup yang menjadikan manusia berfungsi maksimal dalam masyarakat. Kecakapan hidup bersumber dari kemampuan memecahkan masalah melalui kegiatan berpikir kritis. Selain itu, literasi juga menjadi refleksi penguasaan dan apresiasi budaya. Masyarakat yang berbudaya adalah masyarakat yang menanamkan nilai-nilai positif sebagai upaya aktualisasi dirinya. Aktualisasi diri terbentuk melalui interpretasi, yaitu kegiatan mencari dan membangun makna kehidupan. Hal tersebut dapat dicapai melalui penguasaan literasi yang baik.

Wells (2010: 46) mengatakan bahwa literasi terbagi dalam empat tingkatan, yaitu performative, functional, informational, dan epistemic. Literasi tingkatan pertama atau performative adalah mampu membaca dan menulis, sedangkan tingkatan kedua atau functional menunjukkan kemampuan menggunakan bahasa untuk keperluan hidup atau skill for survival, seperti membaca, mengisi formulir, dan sebagainya. Literasi tingkatan ketiga atau yang disebut informational menunjukkan kemampuan untuk mengakses pengetahuan dan tingkat terakhir, yaitu epistemic adalah kemampuan mentransformasikan pengetahuan dalam bahasa tertentu.

 

Penyebab Rendahnya Kemampuan Literasi Siswa

Dari empat tingkatan tersebut, kemampuan literasi siswa SD kita masih belum beranjak dari tingkatan pertama. Bahkan, setelah di tes melalui Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) 2021, tidak sedikit siswa yang kemampuannya berada pada kategori perlu intervensi khusus (medcom.id, 1/4/2022). Artinya, anak didik kita belum mampu menemukan dan mengambil informasi eksplisit yang ada dalam teks ataupun membuat interpretasi sederhana. Rendahnya kemampuan literasi siswa kita memang disebabkan banyak hal. Pembelajaran membaca tidak berorientasi pada proses dan penguasaan kompetensi, tetapi untuk menguasai konten materi pembelajaran semata dengan orientasi pada nilai akhir. Apalagi jika bacaan yang dipelajari siswa tidak terkait dengan konteks kehidupan nyata. Alhasil, siswa dapat membaca, tetapi tidak cakap menggunakan bahan bacaan untuk mengembangkan kemampuan bernalarnya dalam memecahkan masalah. Ketahanan membaca anak-anak juga rendah. Bila diminta membaca buku sebanyak satu halaman saja sudah ogah-ogahan. Ini lantaran anak-anak kurang suka membaca. Sekolah memang mendorong anak untuk mampu membaca, tetapi tidak mengondisikan anak membudayakan membaca. Dia hanya menjadi bagian pengajaran, tanpa tindak lanjut untuk membiasakannya. Siswa membaca hanya pada saat pelajaran dan menjelang ujian. Anak lebih asyik menghabiskan waktu untuk bermain, nonton tv, dan sebagainya. Kondisi itu terjadi pada anak-anak sejak kecil. Mereka tidak diajari memiliki kesadaran menyisihkan sebagian waktunya untuk membaca.

Budaya membaca yang tidak terbentuk membuat siswa kita miskin jenis teks. Siswa menganggap semua teks yang dibacanya termasuk jenis teks informasi. Padahal ada bacaan cerita atau teks fiksi. Ketidakkayaan dalam membaca berbagai jenis teks membuat siswa kita hanya terbiasa memahami teks tunggal, yaitu teks yang hanya berisi rangkaian paragraf saja. Padahal, saat ini tuntutannya adalah pemahaman multiteks. Artinya, isi dan struktur teksnya terdiri atas beragam genre wacana dengan memadukan kata, kalimat, grafik, dan peta yang dibentuk dalam tautan lintas-teks dengan siasat rujuk silang (cross-reference).

Apabila siswa kita tidak menjadikan membaca sebagai aktivitas harian di sekolah ataupun di rumah, kepayahan akan menghadang saat menghadapi rumitnya struktur fisik dan kedalaman makna multiteks dalam kemasan multimedia. Apalagi jika siswa membaca hanya saat ada tugas sekolah dan pembelajaran di kelas yang tidak mendorong strategi membaca yang variatif dan eksploratif serta inovasi model membaca yang mengenalkan keragaman genre teks. Tentu siswa akan gagal paham atas ”rimba” semantik multiteks yang sebenarnya bersumber dari persoalan yang sederhana, tetapi hal dasar dalam belajar, yaitu ihwal ”kebiasaan” dan ”kebisaan”.

Kalau saja belajar didefinsikan secara sederhana sebagai aktivitas psikokognitif, yaitu siswa ”membiasakan” tindakan pemerolehan pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan, kepandaian atau kesuksesan menukik ke kedalaman teks-teks multigenre atau multimedia dan menangkap spektrum makna yang hanya dapat dibentuk melalui ”pembiasaan” mengenali dan membaca teks-teks tersebut. Jika kelas di sekolah hanya dapat dan biasa membelajarkan membaca teks-teks tunggal dan sederhana yang nir-inovasi, siswa hanya akan mencapai kepandaian setingkat itu.

 

Sinergisitas Pendidikan

Kita perlu memperbaiki pelajaran membaca untuk meningkatkan kemampuan literasi anak-anak melalui sekolah, orang tua, dan masyarakat. Ketiganya turut andil dalam meningkatkan minat baca dan kemampuan literasi anak-anak. Di sekolah, pelajaran membaca seharusnya tak hanya dibebankan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi harus dikembangkan lintas mata pelajaran. Para guru perlu mengembangkan kompetensi literasi membaca di semua mata pelajaran, baik itu pelajaran Agama, Matematika, IPA, IPS, maupun pelajaran lainnya. Misalnya, guru mengembangkan kemampuan siswa dalam membaca grafik, tabel, dan diagram pada pelajaran Matematika atau guru meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca denah atau peta pada mata pelajaaran IPS. Begitu pun pada mata pelajaran IPA, guru dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam membaca prosedur. Dengan demikian, target literasi dapat tercapai karena anak menggunakan dan mengevaluasi pengetahuan yang diperoleh dari beragam materi kurikulum tersebut sehingga mampu merumuskan serta menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, semua guru di SD, baik itu guru kelas maupun guru mata pelajaran, harus dilatih untuk dapat mengembangkan model dan strategi membaca melalui model pembelajaran andragogi dengan tiga siasat penting, yaitu (1) pencanggihan cara membaca, (2) peragaman jenis-jenis teks dari teks berbasis kertas (paper base) yang sederhana hingga teks kompleks, dan (3) pengenalan teks-teks multimedia berbasis komputer atau nirkertas (paperless) (Ibrahim, 2017). Untuk itu, perbaikan kualitas pembelajaran membaca, bahan ajar, kualitas latihan, dan evaluasi soal-soal perlu segera dilakukan dengan pelibatan pihak terkait. Dengan demikian, pelaksanaan pelajaran membaca benar-benar dibangun untuk membentuk daya baca dan yang tidak kalah penting adalah menjadikan siswa kita mulai terbiasa dengan teks bacaan yang mendorong kemampuan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skill (HOTS).

 

Peningkatan Minat Baca di Keluarga

Ayah dan ibu harus berperan aktif untuk meningkatkan minat baca anak di lingkungan keluarga dengan melibatkan anak dalam aktivitas membaca nyaring. Orang tua dapat membaca buku dengan nyaring di dekat anaknya. Setiap hari orang tua membacakan sebuah buku sejak bayi karena ruh ilmu buku tersebut muncul ketika dibacakan. Hal itu sesuai dengan rekomendasi para dokter di Cleveland Clinic, Ohio, Amerika Serikat bahwa orang tua yang membaca buku bersama anak-anak mereka sejak masa bayi dan berlanjut hingga tahun-tahun sekolah dasar akan membangun asosiasi yang hangat dan bahagia. Anak akan beranggapan bahwa membaca itu menyenangkan dan dapat meningkatkan kinerja anak di sekolah. Selain itu, anak dapat meningkatkan kosakata dan kepercayaan diri, membangun keterampilan komunikasi yang baik, dan memperkuat otaknya (Tirto.id, 21/04/2021).

Selain itu, Maxim Gorky (Rusia) pernah mengatakan bahwa dua kekuatan yang berhasil mempengaruhi pendidikan manusia adalah seni dan sains. Keduanya bertemu dalam buku. Jadi, tidaklah merugi apabila orang tua menyenangi kegiatan membaca buku dan membacakan buku dengan nyaring untuk anak karena dua kekuatan besar yang mempengaruhi pendidikan manusia (seni dan sains) bertemu dalam sebuah buku. Oleh karena itu, orang tua sebaiknya merelakan waktu untuk membacakan buku dengan nyaring untuk buah hatinya. Bila rutin dilakukan, kegiatan ini akan menjadi sebuah kebiasaan. Pada akhirnya terwujudlah keluarga yang mempunyai budaya membaca.

 

Peningkatan Minat Baca di Masyarakat

Peningkatan minat baca di masyarakat memerlukan kondisi yang masif agar masyarakat punya budaya baca tinggi. Bila anak-anak tumbuh di lingkungan masyarakat yang gemar membaca, mereka senantiasa punya naluri untuk suka membaca sejak kecil. Agar masyarakat memiliki budaya baca, harus ada akses ketersediaan buku bagi masyarakat. Dengan kata lain, perbanyak peredaran buku di masyarakat.

Hal itu dapat dilakukan pemerintah desa dengan membangun perpustakaan desa. Namun, sebagian besar pemerintah desa nampaknya tidak memiliki ketertarikan dalam mengalokasikan dana desa untuk pembangunan perpustakaan. Hal ini dapat dilacak dari data mutakhir dalam Rakornas Perpustakaan Nasional tahun 2020 yang mengungkapkan bahwa Perpustakaan Desa secara nasional berjumlah 33.929 dari 83.441 desa/kelurahan di seluruh Indonesia. Artinya, sekitar 60 persen desa di Indonesia belum membangun perpustakaan desa.

Sebenarnya tidak perlu bangunan yang megah untuk gedung perpustakaan desa bila dana desa tak mencukupinya. Yang terpenting adalah niat serius dari pemerintah desa untuk mempunyai perpustakaan yang menjadikan masyarakat gemar membaca. Apabila terdapat balai RW, balai RW tersebut dapat difungsikan sebagai perpustakaan untuk membangkitkan budaya baca masyarakat. Di tempat itu dapat disediakan berbagai macam jenis buku. Penyediaan buku dapat bersumber dari dana desa, iuran dari warga, atau dapat pula diperoleh dari kerja sama dengan perpustakaan daerah. Lalu, pemerintah desa membuat program gerakan membaca di tiap RW sebagai lanjutan dari gerakan literasi nasional. Jika hanya menunggu kesadaran masyarakat, sampai kapan pun gerakan membaca tak akan terlaksana. Jadi, program gerakan membaca harus tertuang dalam peraturan desa yang dibuat bersama oleh pemerintah desa dan masyarakat.

Pemerintah desa harus gencar melakukan sosialiasi gerakan membaca pada warga. Ini bertujuan untuk membuka wawasan masyarakat agar mengetahui manfaat gerakan literasi. Bila manfaat gerakan ini telah dipahami, diharapkan pola pikir masyarakat tentang budaya membaca dapat berubah. Pemerintah desa dapat menggandeng para pegiat literasi agar sosialisasi lebih efektif. Dengan begitu, masyarakat akan memandang kegiatan membaca buku sebagai sesuatu yang menarik untuk dilakukan.

Ketika membaca sebagai kebutuhan telah disadari, dengan sendirinya akan terbentuk budaya membaca yang tinggi di tengah masyarakat. Dengan begitu, anak-anak akan terpengaruh untuk gemar membaca sehingga kemampuan literasinya makin meningkat, yaitu mampu memanfaatkan pengetahuan, teknologi, aturan hukum, serta mampu memanfaatkan kekayaan budaya secara tepat guna bagi kemakmuran bangsa ini.

 

Daftar Pustaka

Heryati, Y., dkk. 2010. Model Inovatif Pembelajaran Bahasa  Indonesia.  Jakarta:  Multi  Kreasi Satudelapan.

http://www.perpustakaandesa.com/ diakses pada tanggal 18 September 2022.

Kirsch & Jungeblut. 1993. Literacy: Profile of America’s Young Adult. US: Natl Assessment of Educational.

Kompas.  Rabu,  1  Juni  2016.  Budayakan  Literasi. Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 12

Ramadhani, Yulaika. 2021. Hari Buku Sedunia 23 April: World Book Day & Kematian Para Penulis. Diakses pada 16 Sepetember 2022 dari https://tirto.id/hari-buku-sedunia-23-april-world-book-day-kematian-para-penulis-gddG

Swasty, Renatha. 2022. Hasil Asesmen Nasional 2021: Literasi Numerasi SD Butuh Perhatian Serius. Diakses pada 16 Sepetember 2022 dari https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/ybJr79Ab-hasil-asesmen-nasional-2021-literasi-numerasi-sd-butuh-perhatian-serius.

Tahmidaten, Lilik. & Krismanto, Wawan. 2019. Permasalahan Budaya Membaca di Indonesia (Studi Pustaka Tentang Problematika & Solusinya). Salatiga: Jurnal Elektronik Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Diambil dari

https://core.ac.uk/display/287170379?utm_source=pdf&utm_medium=banner&utm_campaign=pdf-decoration-v1

 

Kurniawan Adi Santoso

Guru SDN Sidorejo Kab. Sidoarjo, Jawa Timur.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa