Apokalipsa Kata Dedet Setiadi: Alegori yang Indah sebagai Penyingkap Makrifat Cinta-Nya
“Puisi” bagi seorang Dedet
Setiadi merupakan “mata” untuk melihat, mencermati, dan merenungi realitas alam
atau realitas budaya. Semua realitas itu dipersepsi dan diposisikan secara
berhubungan, baik dipandang oleh mata wadag maupun mata keruhanian.
Realitas itu tidak hanya dipandang oleh mata wadag yang memiliki
kategori dan fungsi, tetapi dipandang juga oleh orang yang memiliki mata keruhanian
atau dalam hal ini adalah hikmah. Ia tidak saja sebagai kategori dan fungsi, tetapi
pengetahuan yang mengandung cinta dan kasih sayang Tuhan. Bagaimana perspektif
demikian digunakan untuk membaca dan menilai perpuisian dari penyair yang
dilahirkan di Magelang dan bertempat tinggal di pelosok dusun Ngluwar yang juga
selain menulis puisi, dia bekerja sebagai penyuplai batu dan pasir?
Penyingkap Cadar Makna yang
Unik
Di dalam sajak-sajaknya yang
terhimpun dalam Apokalipsa Kata, Dedet Setiadi selalu mengartikan dan
memaknai kata yang berkaitan dengan realitas itu dengan hikmah. Keterkaitan
antara realitas dengan segala pernik alam, budaya, dan bahasa sajak disikapi
secara alamiah, tidak terkesan dipaksakan.
Realitas dan bahasa di dalam
kumpulan sajak Apokalipsa Kata bukan saja disikapi sebagai peristiwa
semantik oleh penyairnya, melainkan puisi menjadi ruang sublimasi, refleksi,
bahkan relaksasi. Puisi sebagai penyingkapan kain penutup atau cadar merupakan penyingkapan
kepada orang-orang tertentu yang mendapatkan hak istimewa tentang sesuatu yang
tersembunyi dari umat manusia pada umumnya.
Cadar
malam yang ditenun fajar
ini hari sudah jadi cadar
dipakainya pada siang
agar tak silau gebyar kehidupan
yang mengepung
mulut melafal
dan tubuh sontak menerjemahkan
sekarang tinggal senja
berdiri tegak sebagai tukang eja
2015
Itulah “Apokalipsa Kata”,
suatu kesadaran penuh bahwa seorang penyair berperan sebagai “ketika mata
membaca/mulut melafal/dan tubuh sontak menerjemahkan”,
seorang yang menyingkap cadar makna realitas, hidup, dan kehidupan. Dedet
Setiadi melalui sajak-sajaknya mengamanahi penyingkap cadar makna itu
dengan baik, bahkan unik. Keunikannya itu karena pengetahuan dan pengalamannya
di tengah kehidupan desa agraris yang pernik-perniknya hadir di dalam sajaknya
dengan pandangan dan sikap hidup yang berkelindan, kesantrian dan kejawaan
sebagaimana dalam sajak “Rumah Ibu”.
Rumah Ibu
tiangnya tak pernah kropos
tegak menyangga kenangan
centong kayu, centhing bambu
tabah menunggu matang beras di tungku
teko dan cangkir di meja kayu
menatapku setajam aroma teh pahit ibu
dari jendela separuh pintu
ke sumur belakang aku mencari-cari wajahku
ada ketepel dan tiga kelereng peluru
yang membutakan burung derkuku
juga sarung berdebu yang kulempar
saat mangkir ke surau
milih berburu jangkrik
atau sembunyi di bilik
di pohon jambu masih tersimpan jejak kaki
agar terbebas dari tatapan pak kyai
2014
Kesantrian, Kejawaan, dan
Sikap Kritis
Sikap kesantrian dan kejawaan
ini pula yang membuat banyak sajaknya bersikap kritis terhadap kisah-kisah yang
hidup dalam budaya masyarakat Jawa sebagaimana Ramayana yang mengalami
alternatif di dalam sajak “Rama Bersihir”. Sikap kritis yang sama sebagaimana
dalam sajak “Gong”, “Mudik Jiwa”, “Di Puncak Samadi”, “Narsisus”, “Bulak
Jomblang”, “Situs Batu”, “Gobak Sodor”, “Sirih”, “Lumbung”, “Pulung Setan”, dan
banyak lagi lainnya sehingga sudut pandang penyair tidaklah menjadi klise.
Sikap kesantrian dan kejawaan
ini dapat diidentifikasi dan berpijak kepada suatu nilai keruhanian tasawuf
dari hadis, “Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu” yang berarti “Barangsiapa
mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya.” Hadis tersebut diubah dalam “Gurindam
I” oleh Raja Ali Haji menjadi “Barangsiapa mengenal diri, maka telah mengenal akan
Tuhan yang bahari.” Sudut-pandang kesejatian hidup ini menjadikan sikap penyair
yang hadir melalui aku-lirik dalam sajak selalu mengaitkan setiap pemaknaan
terhadap realitas eksistensinya yang disandingkan dengan realitas ruhani hingga
berpuncak kepada Tuhan Yang Maha Transenden. Keterhubungan
demikian itu juga disandingkan ketika menyikapi antara realitas dan bahasa
sajak, yaitu bersandingnya antara realitas empirik dan realitas simbolik,
mirip dengan adanya “sampiran” dan “isi”, tetapi tidak diwujudkan sebagai
metafora biasa, tetapi sebagai metonimia dengan menghilangkan kata
pembandingnya. Bahkan, beberapa benda, baik semasih menjadi realitas alam
maupun realitas budaya, dimaknai secara inkulturatif, yaitu sudut pandang
keruhanian tasawuf yang mengisi realitas budaya Jawa di dalam perpuisian Dedet
Setiadi. Tubuh memperoleh jiwa Jawa semasih harmoni dengan nilai keruhanian
Islam, iman, dan ihsan sebagai akhir dari membaca dan menilai Apokalipsa
Kata karya Dedet Setiadi ini.
Sungai Tubuh
berhulu air mata ibu
bermuara di telapak tanganku
zikir itu jadi perahu
mengangkutku
melintasi deras waktu
tatap mataku
mencipta ombak
di tikungan tebing makrifat
runtuh bebatuan
jatuh bintang-bintang
hilang di arus dalam
jarak tempuh air mata dan muara
lebih jauh
dari puasa 40 hari 40 malam
butir-butir air mata ibu
gemerincing
menjelma tasbih di tangan
mengepung tubuh
di sepanjang malam
air yang tak pernah diam
sungai tubuh pun terus berjalan
tak sempurna menjawab pertanyaan
2014
Kematangan Puisi
Keterhubungan menyikapi
realitas dan bahasa dengan mata puisi yang tidak lain ialah mata hikmah menjadikan
kematangan-kematangan pada sajak-sajak Dedet Setiadi. Metafora merupakan
miniatur dari puisi. Metafora yang matang di dalam puisi dimatangkan oleh
pandangan hidup penyair. Seringkali metafora yang matang itu berwujud metafora
yang implisit (metonimia), bahkan diteruskan menjadi kisah hingga akhir puisi. Itulah
alegori. Dedet Setiadi berhasil membangun alegori-alegori yang indah sekaligus sebagai
apokalipsa atau penyingkap makrifat sekaligus mahabah cinta-Nya.
Abdul Wachid B.S.
...