Katakan kepada Angin: Puisi sebagai “Catatan” Eksistensi Kepenyairan, Kemanusiaan, dan Tuhan

Sebuah Potret Pembangunan dalam Puisi oleh Rendra dikatakan sebagai bentuk “seni pamflet” pun akhirnya diakui sebagai puisi. Sebelumnya, sajak-sajak Taufiq Ismail yang dari kalangannya dikatakan sebagai “sajak perjuangan”, “sajak perlawanan”, dan “puisi demonstrasi”, tetapi oleh Rachmat Djoko Pradopo dikatakan sebagai “puisi slogan” yang itu pun akhirnya diterima sebagai puisi.

Rendra akhirnya menyebut estetika sajaknya yang merupakan “penyajian dari penghayatan akan fakta-fakta dalam bentuk yang grafis sekaligus plastis” ini sebagai “pamplet penyair”. Estetika sajak Rendra yang berangkat dari kesadaran sosial semacam ini kemudian menginspirasi perpuisian kritik sosial yang hadir pada periode berikutnya sebagaimana perpuisian Emha Ainun Nadjib yang dia sebut sebagai “puisi protes” dan perpuisian A. Mustofa Bisri yang dia sebut sebagai “puisi balsem”.

Sajak-sajak di dalam Katakan kepada Angin karya Budi Maryono yang diterbitkan pada tahun 2021 oleh Penerbit Gigih Pustaka Mandiri, Semarang ini memang tidaklah berada dalam perspektif ideologis kritik sosial sebagaimana kategori-kategori perpuisian Taufiq Ismail, Rendra, Emha Ainun Nadjib dan K.H. A. Mustofa Misri tersebut. Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Rendra sebagai “penyajian dari penghayatan akan fakta-fakta dalam bentuk yang grafis sekaligus plastis” meng-Ada di dalam sajak-sajak Budi Maryono. Namun, sebagaimana ungkapan di dalam sajak Budi Maryono sendiri bahwa puisi adalah “catatan”. Setidaknya perspektif puisi sebagai “catatan” itu dinyatakan oleh penyairnya di beberapa sajaknya karena dalam keyakinan penyair “…usia hanya sederet angka sia-sia/selama kaubiarkan/matahari terbit-tenggelam/tanpa sedikit pun/catatan”. Sebagaimana puisi sebagai “catatan” itu diungkapkan oleh penyairnya dalam sajak: “Catatan Awal Tahun”, “Sajak Berita Pagi”, “Sungguh Tak Layak”, “Sajak Putus Asa”, “Episode Peringatan”, “Episode Tak Berdaya”, “Monumen Kegagalan”, “Episode Bebal”, “Tapi Maaf”, dan sajak “Langgam Kenangan”.

 

Bukanlah Sekadar “Catatan”

Sekali pun di dalam beberapa sajaknya Budi Maryono mengatakan bahwa puisinya sebagai “catatan”, tetapi puisinya bukanlah sekadar “catatan” yang biasa-biasa saja. Puisi Budi Maryono sebagai “catatan” yang khas dan unik karena mampu memotret peristiwa ke dalam puisi itu dengan minimalis. Puisinya tidak hanya memotret peristiwa, tetapi juga membuka kesadaran pembacanya lebih dari sekadar peristiwa yang dipotret di dalam puisi tersebut. Justru di sinilah yang membedakan estetika puisi kritik sosial kini dengan yang sebelumnya. Kritik sosial di dalam sajak-sajak bagian pertama buku puisinya, “Tidurlah…”, penyair tidak berpretensi untuk membuat “pernyataan-pernyataan” besar yang sloganistik, tetapi mengajak pembaca untuk merenungi “catatan” yang berupa protret suatu peristiwa yang memungkinkan pengalaman estetik dan etik hadir di dalam kemanusian pembacanya.

Dalam keadaan itulah puisi “catatan” Budi Maryono memungkinkan untuk menciptakan sebuah kebersamaan, seperti yang dibuahkan oleh peristiwa yang puitik, baik dari sudut-pandang aku-lirik maupun aku-publik.

Bocah-Bocah

Bolos Sekolah

 

bocah-bocah bolos sekolah

ketika hujan deras

hancurkan jalan setapak

di teras rumah

mereka duduk beralas buku

sambil menghitung tik-tik air di pelimbahan

menghitung jarak masa depan

 

bocah-bocah bolos sekolah

ketika daun tembakau

harus digulung-ikat

agar buku bisa dibeli

dan seragam lusuh

segera diganti

mereka bekerja sambal bernyanyi

menghibur diri sendiri

 

bocah-bocah bolos sekolah

ketika tiang rumah nyaris patah

mereka turun ke persimpangan jalan

ditempa matahari dan dingin malam

tak ada rintihan

hanya risau bersitatap dengan bulan

 

bocah-bocah bolos sekolah

ketika jalanan, halte, dan emper swalayan

menjanjikan kesenangan

mereka liar membawa luma rumah mewah

 

bocah-bocah bolos sekolah

ketika Indonesia mencoba tampil gagah

 

Kendal, 3 Oktober 1990

 

Pada konteks perpuisian Budi Maryono, demikian pun pada bagian kedua “Jangan…” yang mencatat tentang hubungan dan suasana hati aku-lirik berperistiwa dengan “kekasihnya”. Demikian pun pada bagian ketiga “Berikan…” yang mencatat tentang eksistensi kepenyairan dan kemanusiaan sebagai pribadi yang berhadapan dengan Tuhannya, yaitu mencitrakan secara visual, auditif, dan gerak hidup bahwa yang dinamakan manusia itu bukanlah semata-mata kekuatan fisiknya dengan sifat sementara, melainkan membutuhkan ruang puisi sebagai pertemuan hati dengan hati.

Abdul Wachid B.S.

Penulis adalah penyair, lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS), dan menjadi dosen tetap di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa