Penyambang yang Eksoterik dan Esoteris dalam Pada Suatu Musim Karya Bayu Suta Wardianto

Ketika kita menyambut Pada Suatu Musim, kumpulan sajak yang ditulis oleh Bayu Suta Wardianto (Penerbit Rumah Kreatif Wadas Kelir, 2022), tentu saja musim yang disambut dalam kumpulan sajak tersebut sangat berbeda dengan suatu musim yang hanya membicarakan identifikasi dari suatu musim atau waktu yang berorientasi pada hal-hal yang berkaitan dengan perpindahan waktu. Suatu musim yang disajikan bukan hanya tentang perpindahan waktu dan fisik, melainkan juga perpindahan jiwa dengan pengalaman spiritual (spiritual experience) yang dilakukan oleh seorang Bayu Suta Wardianto dalam setiap sajaknya. Musim dalam kumpulan sajak tersebut menggambarkan perpindahan dan penguatan rohaniah dari penyair yang melakukan refleksi terhadap realitas kehidupannya.

Pada Suatu Musim mengidentifikasi bagaimana seorang penyair mencermati peristiwa kehidupan, melalui metafora dan pilihan kata, di dalam puisinya. Sebagai sarjana sastra sekaligus magister pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, seperangkat penulisan puisi tentu saja mudah baginya. Hal itu mewujud di setiap diksi yang digunakan oleh Bayu Suta Wardianto di dalam sajak-sajaknya.

Musim yang digambarkan oleh Bayu Suta Wardianto dalam perpuisiannya bukan sekadar eksis dalam harapan-harapan akan perubahan, melainkan lebih dari itu. Kumpulan sajak tersebut mencitrakan beragam realitas sosial dan berbagai kondisi realitas sosial yang berserakan di mana-mana dalam kumpulan sajak ini. Akan tetapi, ada pertanyaan mendasar, yaitu mengapa Pada suatu Musim? Apakah Pada Suatu Musim mewakili persepsi dan posisi kepenyairan Bayu Suta Wardianto dalam memberi warna atau sekadar secara konvensional meneruskan tradisi kepenyairan yang sudah eksis di Indonesia.

Bayu Suta Wardianto merupakan alumnus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang di dalamnya terdapat mentor-mentor sastrawan, seperti Herwan FR dan Arip Senjaya. Proses kreatifnya menjadikan perpuisian Bayu Suta Wardianto menjadi khas, termasuk proses kreatif Pada Suatu Musim ini.

Dalam kumpulan sajak ini terlihat bagaimana aku-lirik mengatasi realitasnya. Dari 60 sajak, mayoritas aku-lirik masuk ke dalam situasi yang sangat serius tentang bagaimana peristiwa perubahan musim itu terjadi, dari masa anak-anak ke remaja, dari remaja ke dewasa, dan seterusnya. Tentu sajak-sajaknya bukan hanya merupakan perpindahan dari masa ke masa dengan latar sosial, melainkan juga mengabarkan bagaimana pencarian spiritual itu berlangsung, baik terhadap Tuhan, sesama manusia, maupun diri sendiri.

Sebagai Penyaksi

Realitas sosial yang saya baca di dalam sajaknya merupakan peristiwa hidup yang harus dihadapi sekaligus disikapi secara nyata dan utuh seolah sebagai seorang penyaksi yang hadir di dalam ruang-ruang realitas sosialnya itu. Sajak kesaksian semacam itu dapat kita jumpai sebagaimana sajak berikut ini.

DI STASIUN KERETA
segala rasa terserak di antara kursi-kursi penumpang
yang menunggu kedatangan dan menemani kepergian
segala pelukan, jabat tangan, dan tangisan
menguap di sela-sela alunan sirine keberangkatan
dan kedatangan yang berlalu-lalang 
Stasiun Purwokerto, November 2020

Pilihan kata kereta sebagai sajak pertama dalam buku ini dipilih bukannya tanpa maksud. Kereta ini konteksnya adalah perjalanan hidup. Aspek pertama adalah bagaimana Bayu Suta Wardianto sebagai penyaksi beriteraksi dengan pengalaman kerohanian. Aspek kedua adalah adalah aspek eksoterik, yaitu dalam memersepsi dan memosisikan realitas dalam puisi, segala sesuatunya dapat dipahami dengan akal sehat dan hati nurani. Sajak yang berdimensi eksoterik tersebut, pada pandangan pertama akan terlihat sudut pandang keagamaannya sebagaimana sajak “Agama” di bawah ini.

AGAMA
Islam di dalam diriku mengelak
kepada segala bentuk pengkultusan yang ada
namun, kemanusiaan dalam jiwaku memberontak
tak kala enam orang insan ditembak mati di jalan tol
dengan dalih keamanan negara tanpa bukti yang nyata 

makin hari orang-orang itu
semakin gila dan seolah sangat berkuasa
Izrail, Yama, atau siapa-siapa
yang ditugaskan Tuhan untuk mencabut nyawa
mereka tikung di perempatan jalan
demi mengakhiri hidup sesama manusia 

Sleman, Desember 2020

Kemudian, disusun sajak yang lain, yaitu Pria Tua di Perempatan Jalan Kota Yogyakarta, Peziarah dan Pejalan, Mencari Tuhan di Suatu Malam, dan “Seorang Lelaki Muda di Persimpangan Jalan. Di dalam sajak-sajak tersebut, aku-lirik itu menjadi seorang pelancong yang menjadi bagian eksternal dari peristiwa yang dibangun oleh penyair. Dalam perspektif ini, sebuah kepergian tidak bersifat rohani belaka, tetapi kepergian secara fisik.

Aku-lirik sebagai penyaksi juga dapat kita baca dalam sajak-sajak W.S. Rendra. Lalu, ada juga puisi perlawanan pada tahun 1960-an oleh Taufiq Ismail yang kemudian melahirkan kumpulan sajak Benteng dan Tirani. Gaya yang mirip-mirip tersebut bisa saja terjadi, tetapi ada perbedaan-perbedaannya, tanpa bermaksud menyejajarkan antara puisi Bayu Suta Wardianto dan puisi W.S. Rendra, Taufiq Ismail, ataupun Emha Ainun Najib. Akan tetapi, fenomena sosial yang hadir di dalam sajak-sajak Bayu Suta Wardianto mempunyai sudut pandang lain, yakni kesadaran ekologi, yaitu harmoni antara lingkungan alam dan pembangunan. Perbedaan ungkapan yang tertuang dalam puisi Bayu Suta Wardianto dan penyair kondang tersebut dapat kita temukan, yaitu perbedaan semantik, perbedaan etimologis, yang secara substansial menggambarkan bagaimana realitas sosial itu diracik di dalam teks puisi.

Sebagai penyair, Bayu Suta Wardianto tidak mempunyai pretensi sebagaimana Taufiq Ismail melalui sajak-sajak Benteng dan Tirani atau W.S. Rendra melalui Potret Pembangunan dalam Puisi yang realitas-realitas sosialnya dipotret dalam persepsi dan posisi Rendra sebagai seorang saksi. Selain itu, tak ada maksud untuk menyamakannya dengan kesaksian Emha Ainun Najib melalui buku puisi 99 untuk Tuhanku. Perbedaan tersebut baik-baik saja sekalipun ada spirit yang sama bahwa Bayu Suta Wardianto tentulah mempelajari perpuisian W.S. Rendra, Taufiq Ismail, dan Emha Ainun Najib sebab puisinya sama-sama berangkat dari pengalaman sosial, dengan sudut pandang kerohanian.

Sekalipun puisi Bayu Suta Wardianto berbicara dari dimensi sosial, sebagaimana seorang wartawan yang memotret sana-sini, dia mereportase realitas yang bermuatan sosial, politik, dan pembangunan, kemudia dia muat dalam buletin puisinya.

Namun, perbedaannya ialah identifikasi aku-lirik dalam sajak-sajak Bayu Suta Wardianto tidak dimaksudkan untuk mencari solusi atas problematika sosial di dalam puisinya. Tidak ada maksud untuk melakukan pemilihan dan pemilahan tindakan karena Bayu Suta Wardianto memosisikan diri sebagai seorang wartawan. Dia melakukan pelaporan atas apa yang dia lihat sebagai peristiwa sosial. Seperti halnya ketika dia pergi ke Yogyakarta, dia menulis puisi berlatar Yogyakarta. Seperti halnya “Mencari Tuhan di Suatu Malam, boleh jadi, dia memang berjalan betul atau setidaknya itu merupakan perlambangan dari pencarian Tuhan pada malam hari. Puisi kesaksian serupa itu merajalela dan banyak sekali ditemukan di dalam buku Pada Suatu Musim ini.

Sajak-sajak Bayu Suta Wardianto yang bersudut pandang eksoterik itu, sebagaimana perpuisian Indonesia pada periode 1980 s.d. 1990-an: puisi berisi keberanian untuk menyuarakan kondisi sosial masyarakat dan dilandasi dengan nada seperti orang marah.

Namun, bedanya, di dalam sajak-sajak Bayu Suta Wardianto, penyair melakukan eksplorasi, tetapi dalam posisi yang tenang. Dia mampu menyampaikan gagasan di antara substansi dan memetik hikmah dari fenomena-fenomena sosial, kemudian mentransformasikannya ke dalam sajak-sajaknya.

Afrizal Malna, dalam artikelnya yang dimuat di Kompas, mengidentifikasi respons atas tekanan sosial di dalam puisi Indonesia sehingga mengalami alienasi. Persepsi dan posisi penyair kala itu dapat diidentifikasi menjadi dua pilihan: berteriak lantang melakukan penggemparan imaji di dalam puisi dan sebaliknya melakukan peredaman imaji di dalam puisinya.

Bagaimana dengan sajak-sajak Bayu Suta Wardianto? Dia melakukan pilihan yang pertama, yaitu penggemparan imaji di dalam puisi. Namun, sejak tahun 1980-an hingga masanya pada tahun 2022, ada dua dekade yang jauh membentang. Mengapa Bayu Suta Wardianto masih juga mentransformasikan penggemparan imaji dalam perpuisiannya?

Inner Beauty dalam Perpuisian

Ada juga hal yang menarik dari Pada Suatu Musim ini, yakni terdapat inner beauty di dalam perpuisian. Realitas sosial dipandang dari dimensi esoteris sebagaimana terdapat di dalam sajak ini.

BERHALA KATA
Jangan-jangan manusia hanya
menyembah kata-kata
mereka tidak tahu, bahkan enggan tahu
tempat di mana tuhan bersua
orang-orang terlalu sibuk
menyembah kata tuhan
memberhalakan kata-kata
melupakan dzat tunggal
yang penuh kasih sayang. 
Prupuk, Februari 2022

Sajak tersebut menghadirkan keindahan yang tarik-menarik. Penyair mengagumi Tuhan di satu sisi sekaligus menyudutkan manusia sebagai makhluk ciptaan termulia. Hal tersebut terlihat sebagai paradoks yang indah.

Puisi berlatar benda dan tempat dapat juga menghadirkan keindahan tersendiri sebagaimana terdapat pada bait kedua sajak “Ada Rindu di Kereta” ini.

kereta melaju tanpa penghormatan yang sempurna
orang-orang menarik kain buram
yang terpasang di jendela-jendela
mereka menutup jendela dengan sengaja
seakan-akan pesawahan, hutan-hutan,
sungai-sungai, dan gunung gemunung
menjadi pemandangan yang tak menyegarkan mata

 

Kereta dan stasiun sebagai tanda-tanda kedatangan dan kepergian merupakan gaya kepuisian yang memadukan kerohanian dan alam. Jiwa bepergian Bayu Suta Wardianto tergambar dalam sajak “Belantara Kota”.

Di belantara kota
Orang-orang saling membunuh
Mereka saling memburu atau diburu
Sisanya saling menyayat urat tangan mereka sendiri

...

Di belantara kota
Jarum penunjuk waktu mati
Cerita-cerita mati
Gadis-gadis mati
Buku-buku mati
Keadilan mati 

Di belantara kota
Tak ada yang lebih indah dari kegelisahan
Tak ada yang lebih syahdu dari keterasingan
Tak ada yang lebih pasti dari kesepian 
Cengkareng, Desember 2021

“Di Belantara Kota” ini mewujud penggemparan imaji sajak Bayu Suta Wardianto terhadap suasana kota yang asing yang di dalamnya tidak ada keharmonasian antara manusia dan lingkungannya. Pengindraan dapat dirasakan di dalam sajak ini karena penyair berhasil melakukan sublimasi, refleksi, dan relaksasi terhadap realitas kehidupannya.

Sebagian besar sajak Bayu Suta Wardianto dalam buku Pada Suatu Musim ini berhasil menyublimasikan, merefleksikan, dan merelaksasikan realitas kehidupannya. Itulah sebabnya kumpulan sajak ini menyertakan hal-hal yang berhubungan dengan perjalanan: jalan raya, stasiun, gunung, laut, hutan, desa-desa yang teduh, dan banyak hal lainnya yang demikian.

Puisi yang baik dan indah tercipta ketika mampu menjadi refleksi kehidupan dari penyair sekaligus pembacanya.***

Abdul Wachid B.S.

...

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa