Moralitas dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

Karya sastra, baik yang berbentuk puisi maupun prosa (cerpen, novel, dll.) merupakan hasil imajinatif pikiran manusia yang juga mendapatkan pengaruh dari peristiwa ataupun bacaan yang diterima oleh penulisnya. Novel yang juga merupakan salah satu karya sastra tidak dapat lepas dari fenomena-fenomena faktual yang realistik karena sastra itu sendiri adalah produk masyarakat untuk menggambarkan kehidupaan yang ada dalam kenyataan sosial (Nurgiyantoro, 2007)

Dalam perkembangan karya sastra, ada seorang penulis bernama Umar Kayam beserta novelnya yang berjudul Para Priyayi. Menurutnya, novel merupakan sarana untuk memaparkan dilema kebudayaan Jawa dan alat untuk mengemukakan visi, opini, dan reaksi. Dari sini Umar Kayam mencoba untuk berinteraksi dengan masyarakat melalui karyanya yang berjudul Para Priyayi dengan menghilangkan batas kalangan sosial. Novel yang menyajikan permasalahan seputar kehidupan zaman foedalisme ini disinari dengan nilai-nilai yang pada masanya itu dijunjung tinggi sebagai identitas diri masyarakat Jawa. Konflik yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel ini kebanyakan memiliki kemiripan atau kedekatan dengan adanya nilai moral ataupun nilai budaya yang ditetapkan di masyarakat sosial. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih banyak mengenai kebenaran dan kesamaan yang ada dengan nilai-nilai di kehidupan nyata, pada kali ini akan dibahas moralitas yang terkandung dalam karya sastra Indonesia, lebih khusus lagi dalam novel Para Priyayi.

Novel ini bercerita tentang Atmokasan yang merupakan petani kecil dari wilayah Wanagalih, sebuah wilayah di Madiun yang letaknya ada di antara Sungai Bengawan Solo dan Sungai Ketangga. Anaknya yang bernama Soedarsono ia titipkan kepada seorang priyayi bernama Ndoro Seten dengan harapan kelak Soedarsono akan menjadi pemula priyayi dalam keluarganya. Setelah Soedarsono menjadi guru bantu dan menjadi priyayi kecil, namanya diubah menjadi Sastrodarsono yang kemudian oleh orang tuanya dinikahkan dengan seorang gadis bernama Siti Aisyah atau biasa dipanggil Ngaisyah. Aisyah ini merupakan anak dari mantri penjual candu asal Jogorogo. Dari pernikahannya, Sastrodarsono dikaruniai tiga orang anak. Yang pertama bernama Noegroho, yang kedua Hardjo, dan yang terakhir Soemini.

Selain memiliki anak kandung, Sastrodarsono juga mengangkat beberapa anak dari keluarganya, seperti Soenandar, Ngadiman, Sri, dan Darmin. Dari keempat anak yang diasuhnya, Soenandar adalah anak yang paling nakal dan susah diatur. Ketika masih bersekolah, Soenandar sering membuat ulah, bahkan sering mengambil uang saku temannya. Hingga pada suatu saat Soenandar dikeluarkan dari sekolah dan diminta oleh Sastrodarsono untuk mengawasi sekolah yang didirikan Sastrodarsono di Wanalawas dengan harapan agar perilaku Soenandar berubah menjadi lebih baik. Namun, semua itu tidak membuat perilaku Soenandar berubah. Soenandar menghamili seorang gadis bernama Ngadiyem, anak seorang janda bernama Mbok Soemo, dan fatalnya lagi Soenandar tidak bertanggung jawab. Soenandar kabur dari Wanalawas dan bergabung dengan gerombolan perampok yang dipimpin oleh Semin Genjik. Ketika dicari oleh keluarga, Soenandar diketahui telah meninggal terbakar bersama gerombolan perampok itu.

Setelah mengetahui hal itu, Ngadiyem sedih memikirkan siapa yang akan bertanggung jawab terhadap nasib anaknya. Namun, semua kesedihannya hilang setelah Sastrodarsono mengatakan bahwa ia akan menanggung semua biaya untuk anaknya. Hingga pada suatu hari, Ngadiyem melahirkan seorang anak laki-laki bernama Wage. Setelah berusia 6 tahun, Wage diangkat menjadi anak Sastrodarsono dan namanya diganti menjadi Lantip. Lantip tumbuh menjadi anak yang cerdas, penurut, dan sangat peduli terhadap sesama. Pada usia dewasanya, Lantip dapat menjadi anak yang selalu membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh keluarga Sastrodarsono. Dari perjalanan kehidupan keluarga besar Sastrodarsono itu, banyak sekali pelajaran moral yang dapat dipelajari. Hal itu tergambarkan melalui tindakan dan perkataan tokoh yang ada di dalamnya.

Dari sejumlah cerita singkat yang sudah dijelaskan di dalam novel Para Priyayi, dibahas pula moral secara mendalam. Secara etimologis, moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mos (jamak: mores) yang berarti ‘kebiasaan, adat’. Kata mos (mores) dalam bahasa Latin sama artinya dengan etos dalam bahasa Yunani. Di dalam bahasa Indonesia, kata moral diterjemahkan dengan ‘aturan kesusilaan’ ataupun istilah lain yang masih berkaitan dengan hal tersebut. Berdasarkan KBBI, moral bisa diartikan sebagai ‘ajaran tentang baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak budi pekerti, susila, dan sebagainya’. Sementara itu, beberapa ahli juga berpendapat mengenai moral, di antaranya, adalah W.J.S. Poerdarminta. Ia menyatakan bahwa moral merupakan ajaran tentang baik-buruknya perbuatan dan kelakuan. Kemudian, ada Dewey yang menjelaskan bahwa moral merupakan hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila. Barok juga berpendapat tentang moral bahwasanya moral ini berisi tentang larangan dan tindakan tentang salah atau benar. Terakhir, ada Magnis-Susino yang berpendapat bahwa moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia yang memandang segi kebaikannya sebagai manusia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa moral merupakan suatu ajaran mengenai hal-hal yang baik dan buruk yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan manusia.

1. Moralitas dalam Novel Para Priyayi

a. Moralitas Seorang Kepala Keluarga

Kepala keluarga merupakan pemimpin dalam rumah tangga, entah itu ayah atau ibu. Kepala rumah tangga memiliki tanggung jawab mendidik, mengasuh, dan membimbing anak-anak untuk mencapai tahapan tertentu yang mengantarkan mereka untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat.

Moralitas kepala keluarga dalam novel Para Priyayi ditunjukkan melalui perilaku Sastrodarsono dalam mendidik anak-anaknya. Sebagai kepala keluarga, Sastrodarsono menerapkan prinsip menjunjung nilai moral yang dilakukannya dengan mendidik, mengasuh, dan membimbing anak-anaknya. Salah satu didikan yang diberikan Sastrodarsono adalah menerapkan perilaku baik dalam bekerja. Hardojo, anaknya, berprofesi sebagai guru yang baik dan memiliki beragam prestasi. Hal itu ditunjukkan pada kutipan berikut.

“Lho, Dimas Hardojo, Anda selalu kami amati. Menurut penglihatan saya, Anda mempunyai bakat organisasi dan mendidik yang baik sekali. Anda suka berolahraga, bertamasya, dan berkemah dengan murid-murid. Anda juga suka kesenian dan mampu juga menarik muda-mudi untuk ikut tertarik pada kesenian.” (Kayam, 1990: 55)

Sastrodarsono juga menanamkan kerukunan pada keluarganya agar menjadikan anak-anaknya saling menyayangi. Hal itu ditunjukkan dengan seringnya anak-anak Sastrodarsono mengunjungi orang tuanya meskipun di sela-sela kesibukan. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

“Saya memenuhi janji saya untuk sowan ke Wanagalih sesudah menjalani latihan di Bogor. Saya datang dengan seluruh keluarga saya. Demikian juga dengan adik-adik saya yang juga datang bersama keluarga mereka. Alangkah rukun dan guyub keluarga besar kami sesungguhnya. Pada saat-saat yang kami anggap penting, apalagi yang kami anggap peka, kami selalu berkumpul di Wanagalih. Sudah tentu pusat dari itu semua adalah Bapak dan Ibu. Betapa pun kami sudah menjadi orang, sudah beranak pinak dan memiliki kedudukan di masyarakat ....” (Kayam, 1990: 180)

b. Moralitas Seorang Guru

Dalam masyarakat, guru merupakan profesi yang terhormat dan memiliki tanggung jawab moral. Oleh karena itu, banyak yang menilai bahwa kesuksesan dan kegagalan siswa dikaitkan dengan peranan seorang guru.

Moralitas guru dalam novel Para Priyayi dilukiskan melalui tokoh utama, Sastrodarsono, yang berprofesi sebagai guru. Dasar pilihan Sastrodarsono menjadi guru adalah karena ia ingin memajukan anak-anak di desanya. Dengan demikian, apabila mencari pekerjaan, mereka tidak mengalami kesulitan.

Selain itu, ia menjunjung moral guru yang merupakan bentuk tanggung jawabnya sebagai pendidik. Hal itu ditunjukkan dengan keseriusannya dalam mengajar dengan menanamkan disiplin yang tinggi. Hasilnya pun sangat baik. Hal itu ditunjukkan dengan prestasi siswanya yang melebihi prestasi siswa HIS, seperti dilukiskan pada kutipan berikut.

"Di sekolah desa kami diperintahkan untuk sangat menekankan pengajaran kami di bidang-bidang berhitung, menulis, dan bahasa Jawa. Kami diperintahkan untuk sangat keras dan tertib dalam mengajar bidang-bidang tersebut. Maka hasilnya pun kelihatan pada anak-anak desa yang tamat dari sekolah desa. Mereka, pada umumnya, sangat bagus tulisan tangangannya dan pintar berhitung serta baik penguasaan bahasa Jawanya. Sering kali saya bertanya kepada anak-anak tamatan sekolah priayi seperti HIS mengapa tulisannya tidak sebagus anak-anak desa." (Kayam, 1990: 53)

Selain itu, Sastrodarsono berprinsip bahwa mengajarnya itu didasari oleh pengabdiannya kepada bangsanya. Dengan demikian, tuntutan pemerintah Jepang agar ia dan siswanya setiap pagi menghormat pada Kaisar Jepang dengan membungkukkan badan ke arah utara pun ditolaknya. Permintaan pemerintah Jepang tidak sesuai dengan moralitasnya sebagai warga negara yang mencintai negaranya. Sikap Sastrodarsono yang tetap mempertahankan moralitasnya dilakukan dengan memilih pensiun sebagai guru daripada harus memenuhi perintah Jepang. Sebagai risiko penolakannya itu, ia ditempeleng Tuan Sato (Nippon). Bagi Satrodarsono, sikap Nippon itu dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap harga dirinya sehingga ia marah sekali. Namun, sebagai guru yang harus bersikap sabar dalam menyikapi masalah kehidupan, hal itu dapat diatasinya dengan dukungan istrinya, seperti dilukiskan pada kutipan berikut ini.

"“Oh, Allah, Bu. Belum pernah saya dihina orang seperti sekarang ini. Dia memukul kepala saya, Bune. Kapala!”

....

Ndoro Guru Putri cepat menghibur suaminya dan memberi tanda kepada saya untuk mendekat ke kursi goyang." (Kayam, 1990: 129—130)

Selain diajarkan kepada siswanya, nilai kesetiaan kepada negara yang telah mengakar dalam diri Sastrodarsono diajarkan kepada anak-anaknya yang sudah bekerja dengan mengambil contoh tembang “Tripama” karena filosofi tentang kesetiaan kepada negara tepat sekali untuk menasihati anaknya, Noegroho yang menjadi prajurit dan Hardojo yang menjadi guru di Mangkunegaran. Sastrodarsono berharap agar filosofi kesetiaan dalam pewayangan itu dapat menjadi contoh bagi anak-anaknya dalam mengabdi kepada negara melalui pekerjaan masing-masing, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini.

"Meskipun “Tripama” ini kelihatannya hanya ditujukan untuk para prajurit, sesungguhnya juga dimaksudkan untuk para priyayi semua. Inti dari wejangan itu adalah kesetiaan kepada raja dan negara. Kita semua diingatkan untuk meniru sikap setia dari tokoh dalam wayang, yaitu Sumantri, Karna, dan Kumbakarna. Meskipun sifat kesetiaan mereka berbeda, namun intinya sama, yaitu kesetiaan sebagai tanda tahu membalas budi kepada raja dan negara." (Kayam, 1990: 185)

c. Moralitas Seorang Murid

Pendidikan bertujuan bukan hanya untuk membentuk manusia yang cerdas dan terampil dalam melaksanakan tugas, melainkan diharapkan menghasilkan manusia yang memiliki moral sehingga menghasilkan warga negara yang baik. Oleh karena itu, pendidikan tidak semata-mata mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga mentransfer nilai-nilai moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Moralitas anak dan pelajar dalam novel Para Priyayi digambarkan melalui Lantip yang merupakan anak angkat dari keluarga Sastrodarsono. Keluarga Sastrodarsono mampu mendidik Lantip sehingga ia dapat tumbuh besar menjadi anak yang sesuai dengan harapan keluarga. Lantip tumbuh sebagai anak yang mampu bersyukur dan tahu membalas budi. Hal itu ditunjukkan pada kutipan berikut.

"Saya sudah merasa bersyukur mendapat kesempatan bersekolah, diongkosi mendapat tempat berteduh lagi di Setenan. saya akan lebih bersyukur lagi kalau saya mendapat kesempatan berkerja dengan gaji sekadarnya agar saya dapat membalas budi Embok dan eh, siapa tahu juga Ndoro Guru Kakung dan Putri” halaman (25).

Kutipan tersebut menguraikan bahwa Lantip adalah orang yang bersyukur. Lantip bersyukur karena mendapat kesempatan bersekolah. Tidak hanya itu, Lantip akan lebih bersyukur kalau dia bisa membalas budi Embok, Ndoro Guru Kakung, dan Putri karena mereka sudah berjasa banyak terhadapnya.

Selain, itu lantip menjadi anak yang bertanggung jawab terhadap tugasnya dan berbakti kepada orang tuanya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut. 

“Dan saya baru pulang waktu perut mulai keroncongan atau mulai bosan bermain dengan teman. Saya akan mengambil piring-piring dengan hidangan atau lebih tepat sisa-sisa hidangan makanan Embah dan mencuci di sumur. Sisa makanan itu saya sebar di halaman, di mana segera ayam- ayam akan membersihkannya pula.” (12)

Kutipan tersebut mendeskripsikan bahwa Lantip mempunyai rasa tanggung jawab untuk menolong orang tuanya dalam membersihkan sisa hidangan makanan Embah. Lantip juga selalu ingat kapan waktu untuk bermain dan kapan waktu untuk berkerja menolong orang tuanya. Ia selalu berusaha menjadi anak yang berbakti.

Sebagai pelajar, Lantip adalah orang yang sabar saat menghadapi ujian. Saat berada di sekolah dan teman-teman barunya berbisik terang-terangan dengan sengaja menyinggungnya, Lantip tidak marah dan melawan mereka. Sabar seperti itu termasuk sabar karena musuh. Artinya, ia bersabar ketika ditimpa kemalangan dan ujian serta cobaan dari Allah. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

“Anak-anak di dalam kelas, beberapa perempuan, selebihnya laki-laki, pada memandangi saya. Cah anyar, cah anyar, anak baru, anak baru, kata mereka. Segera saja mereka tahu bahwa saya adalah budak pembantu Ndoro Guru. Oh, bature, budak pembantu Romo Mantri Guru, bisik-bisik mereka. Saya mendengar bisik-bisik mereka itu dengan jelas karena agaknya memang dimaksudkan agar kedengaran dengan jelas. Saya diam saja karena memang demikian adanya. Untuk apa menyangkalnya. Lagi pula embok sudah wanti-wanti berpesan agar saya sabar, jangan gampang tersinggung dengan omongan bahkan ejekan teman.” (22)

2. Simpulan

Karya sastra ditulis oleh pengarang karena ia ingin menyampaikan sebuah nilai yang ada di lingkungan sekitarnya. Nilai itu adalah nilai moralitas. Nilai moralitas digambarkan oleh penulis melalui peristiwa yang melibatkan tokoh atau percakapan antartokohnya.

Novel Para Priyayi yang dituliskan oleh Umar Kayam mengandung berbagai nilai moralitas di dalamnya. Fokus pada nilai moralitas di dalam novel digambarkan oleh tokoh Sastrodarsono. Tokoh Sastrodarsono menonjolkan nilai moralitas sebagai kepala keluarga, guru atau pendidik, pemangku budaya, dan seorang yang sukses.

Nilai moralitas sebagai kepala keluarga ditunjukkan pada saat Sastrodarsono memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak-anaknya untuk melanjutkan kepriyayiannya. Nilai moralitas sebagai guru atau pendidik ditunjukkan Sastrodarsono melalui pengadian sebagai guru yang baik, penerapan sikap disiplin terhadap muridnya, serta upaya menjaga wibawanya. Nilai moralitas pemangku budaya ditunjukkan pada perilaku Sastrodarsono yang mendasar yang menggambarkan budaya Jawa. Kemudian, moralitas sebagai seorang yang sukses ditunjukkan oleh sikap Sastrodarsono yang tidak sombong dan tidak melupakan asal-usulnya yang dulunya merupakan seorang petani.

Daftar Pustaka

Kayam, Umar. 1990. Para Priyayi. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Nurgiyantoro. 2007. Penilaian Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Chaplin. 2006. Dasar-Dasar Pendidikan Moral. Yogyakarta: Angkasa.

Wiyatmi. 2005. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Rafli Adi Nugroho

Pegiat Literasi dan Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Jenderal Soedirman, . Penulis merupakan mahasiswa program studi Sastra Indonesia, Universitas Jenderal Soedirman dan Relawan relawan Pustaka pustaka di Rumah Kreatif Wadas Kelir. Karya berupa artikel dan puisi telah publish dipublikasikan di media cetak dan onlinedaring.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa