Perpustakaan Sekolah, Rumahnya Literasi
Perpustakaan
sekolah bisa menyelamatkan anak didik kita dari keterpurukan kemampuan berliterasi,
asalkan dikelola secara kreatif dan inovatif oleh guru. Perpustakaan bukan sekadar
merupakan sarana untuk mengantarkan anak didik agar mampu membaca dengan lancar,
melainkan juga untuk meningkatkan literasi. Artinya, diperlukan komitmen dari guru
untuk menghadirkan perpustakaan sebagai rumah bagi anak didik dalam
berliterasi.
Jika dilihat dari data Perpustakaan
Nasional pada tahun 2021, Indonesia memiliki 113.541 perpustakaan sekolah. Jumlah
tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pemilik perpustakaan sekolah
terbanyak kedua di dunia setelah India. Dengan jumlah perpustakaan sekolah
tersebut, seharusnya tingkat literasi siswa Indonesia tidak melulu rendah,
bukan?
Akan tetapi, belum ada korelasi
antara keberadaan perpustakaan sekolah dan peningkatan literasi anak didik. Buktinya,
hasil tes PISA 2018 menyatakan bahwa sebanyak 70 persen siswa Indonesia belum
menguasai kemampuan membaca level dua atau di bawah kompetensi minimum. Data itu
juga selaras dengan hasil Asesmen Nasional (AN) 2021, yakni bahwa satu dari dua
peserta didik kita belum mencapai kompetensi minimum literasi. Lantas perlu
dipertanyakan apakah selama ini guru sudah memperlakukan perpustakaan sekolah
sebagaimana fungsinya? Apa hanya sebagai gudang buku?
Ya, memang kenyataannya perpustakaan
sekolah masih belum dianggap sebagai bagian penting untuk mendukung mutu
pendidikan. Perpustakaan sekolah belum menjadi jantung untuk mengintegrasikan
aktivitas literasi di sekolah dengan kurikulum dan pembelajaran. Di samping buruknya
infrastruktur perpustakaan, pengelolaan perpustakaan juga tak memadai karena
dikelola guru yang tak terlatih sebagai pustakawan dan dilakukan hanya demi
memenuhi kekurangan jam mengajar di sekolah.
Di banyak sekolah, perpustakaan tak
ubahnya pelengkap kemewahan saja. Kadang itu hanya menjadi fasilitas untuk
menunjang akreditasi. Nasib perpustakaan sekolah hanya menjadi gudang buku yang
hanya difungsikan sebagai tempat penyimpanan dan tidak dikelola dengan baik.
Maklum, banyak sekolah tak memiliki
pustakawan andal. Petugas perpustakaan hanya guru biasa yang mempunyai jam
pelajaran di bawah jatah standar. Wajar apabila pengelolaan perpustakaan pun
menjadi tidak optimal.
Kita tentu tidak menginginkan tingkat
literasi siswa Indonesia secara terus-menerus berada di posisi rendah. Kita menginginkan
siswa Indonesia memiliki daya saing tinggi di tingkat global. Kuncinya adalah
meningkatkan kemampuan literasinya. Dengan kemampuan literasi, anak didik
nantinya akan produktif dan mempunyai daya saing tinggi. Itu terjadi karena literasi
tidak hanya soal kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan berpikir kritis.
Oleh karena itu, perpustakaan sekolah
diharapkan dapat berperan dalam meningkatkan literasi siswa Indonesia. Guna
mencapai tujuan itu, perpustakaan sekolah tidak boleh lagi hanya menjadi gudang
penyimpanan buku. Perpustakaan sekolah perlu dan wajib dihidupkan sebagai rumah
literasi.
Perpustakaan sekolah sesungguhnya mempunyai
peran untuk meningkatkan literasi membaca siswa Indonesia yang rendah. Oleh
karena itu, perpustakaan sekolah tak boleh lagi sekadar ada dan dikelola
seadanya oleh guru untuk mendapat tambahan jam mengajar yang kurang.
Perpustakaan sekolah harus menjadi investasi penting untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional dalam mendukung budaya literasi warga sekolah.
Perpustakaan sekolah harus menjadi learning
centered. Hal itu sesuai dengan arah visi pendidikan di banyak negara maju di
dunia, yakni membentuk knowledge based society. Masyarakat berbasis
pengetahuan memiliki ciri kreatif, inovatif, solutif, demokratis, beretika,
pembelajar mandiri, dan pembelajar sepanjang hayat.
Dengan demikian, pembenahan perpustakaan sekolah mutlak dilakukan, mulai dari desain tata ruangnya yang dibuat ramah anak, layanannya yang diperbaiki, serta koleksi buku dan perlengkapannya yang ditambah. Selain itu, dilakukan penambahan program literasi, seperti mendirikan komunitas membaca, komunitas menulis, dan komunitas penelitian serta memperkenalkan layanan kecakapan hidup.
Kemudahan Akses
Pihak sekolah harus mampu menjadikan perpustakaan
sekolah sebagai penghubung antara kurikulum, materi pelajaran, proses
pembelajaran, siswa, guru, dan teknologi. Agar keterhubungan itu makin efektif,
diperlukan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technologies [ICT]). Dengan demikian,
akses ke perpustakaan sekolah tak lagi dibatasi geografi dan domisili. Perpustakaan
sekolah bisa diakses kapan saja dan dari mana saja tanpa batasan ruang dan
waktu. Dengan kata lain, sudah saatnya perpustakaan
berbasis digital dikembangkan di banyak sekolah.
Perpustakaan sekolah berbasis digital
makin memudahkan anak didik yang akan mengunjungi perpustakaan. Konsep layanan hibrida
(hybrid) yang memadukan layanan fisik dan digital menjadi pendorong
untuk meningkatkan kunjungan perpustakaan. Dengan begitu, diharapkan akan
terjadi peningkatan minat membaca oleh peserta didik.
Perpustakaan sekolah berbasis digital
sesungguhnya akan mempermudah proses distribusi pengetahuan. Dalam perpustakaan
digital disediakan banyak sumber yang dapat diakses oleh siapa saja dengan
cepat dan mudah, asalkan terhubung dengan jaringan internet.
Perpustakaan digital pada dasarnya
dijamin oleh adanya koneksi internet. Proses mencari (searching) dan meramban (browsing) buku-buku
hanya bisa dilakukan jika koneksi memadai. Namun, hal itu tidak menjadi masalah
krusial karena buku-buku yang dicari bisa diunduh dan dibaca pada saat luring (offline).
Yang terpenting adalah bagaimana guru
mengondisikan muridnya untuk selalu mengunjungi perpustakaan sekolah. Itu bisa
dilakukan jika guru memandang perpustakaan sekolah sebagai bagian takterpisahkan
dari proses belajar mengajar. Guru harus mengubah metode mengajarnya ke arah berpikir
kritis yang menjadikan siswa bergairah mencari sumber bacaan di perpustakaan
sekolah.
Selain itu, pembuatan jadwal kunjungan rutin yang
akan membantu mengondisikan siswa yang berkunjung ke perpustakaan menjadi
sebuah kebutuhan. Dengan demikian, siswa tidak kehilangan minat untuk terus
membaca sehingga membaca menjadi sebuah budaya di kalangan siswa kita. Semoga.
Kurniawan Adi Santoso
Guru SDN Sidorejo, Kab. Sidoarjo