Sebuah Tiket: Membaca Perempuan dalam Puisi Abdul Wachid B.S

Setiap kali kita berbicara mengenai perempuan dalam sastra, boleh jadi kita akan digandrungi narasi mengenai cinta, rindu, ataupun ekspresi spiritual. Kemudian, boleh jadi setiap itu juga kita berkeinginan meninjau kembali gerak perkembangan khazanah perpuisian kita. Pada kenyataannya, perempuan dan cinta, seperti pada puisi Sapardi Djoko Damono, dibaca oleh ingatan kita secara terus-menerus. Manakala syair cinta dibaca kanan dan kiri, seperti itu juga narasi keromantisan memengaruhi lanskap berpikir kita yang jelas mempertautkan hubungan-hubungan.

Supaya latar tengah pembahasan perempuan dan cinta ini terus berpusat satu, marilah, kita buka bersama-sama gambaran mengenai perspektif berpikir ini. Hal itu bertujuan agar kita tidak membuat lingkaran yang terlalu luas dan melelahkan. Dengan mengutamakan pembicaraan mengenai perempuan dan penyair, posisi diri-penyair menjadi sumber penting. Jika kita melihat bahwa kumpulan sajak merupakan entitas dari penyair, barangkali kita memang perlu memiliki tiket untuk memasuki dunia ketiga kepenyairan seseorang.

Siapa yang menyangka bahwa kajian sastra atau kumpulan sajak yang saya baca akan berlanjut dengan mengenal, bahkan berbincang dengan tokoh-tokoh sastrawan Indonesia. Sering kali saya menebak-nebak bagaimana seorang penyair melakukan analisis dan merumuskannya menjadi sebuah puisi. Namun, dalam beberapa momen dan kesempatan, saya diberi tiket untuk diam-diam mengintip atau sesekali secara terang-terangan membaca Abdul Wachid B.S.

Sejak Abdul Wachid B.S. memulai kepenyairannya, ia tidak hanya mengandalkan datangnya ilham, tetapi juga mencarinya. Pernah suatu waktu saya membaca sajak “Wanita Pengumpul Kayu Bakar” dalam buku Penyair Cinta (Jejak Pustaka, 2022) karya Abdul Wachid B.S. dan menerka-nerka bagaimana gerak berpikir penyairnya. Ketika sajak tersebut diletakkan pada komposisi dan bangunannya, keterlibatan perempuan atau yang oleh Abdul Wachid B.S. disebut sebagai wanita jelas terlihat.

WANITA PENGUMPUL KAYU BAKAR
ketika manusia berpuasa
wanita itu mengumpulkan kayu bakar
saat manusia bertapa diri
wanita itu memantik api 

hingga nyala berkobar
membakar rumah suami dan anaknya
tidak dengan api
tetapi kata-kata belati

dia biarkan pakaian
berkobaran sampaisampai
terlihat betapa wanita itu berlemak
bagai ular mematuk dalam semak 

dia biarkan kakikakinya gemerincing
dia urai rambutnya yang gelisah
dia angankan beberapa pria
inginkan tarian perut yang gendut 

kendangkendang berdendang
malam tambah larut dalam gelas fantasi
wanita pengumpul kayu bakar itu
terus saja menari menyalakan birahi 

hingga nyala berkobar
membakar rumahrumah
membakar tanggatangga

atas segala panorama itu
dia tertawatawa
hingga gila 
Yogyakarta, 2014

Melalui sajak “Wanita Pengumpul Kayu Bakar”, saya membuka kesadaran mengenai perempuan, kondisi, dan segelintir kepentingan lainnya. Namun, apakah hanya dengan membaca sajak “Wanita Pengumpul Kayu Bakar” tersebut saya dapat mengambil simpulan atas kehidupan perempuan? Tentulah tidak demikian. Oleh karena itu, mari, kita memosisikan diri dengan nyaman dan mulai menyelami sajak “Wanita Pengumpul Kayu Bakar” dengan pelan-pelan.

Munculnya ungkapan cinta, rindu, perempuan, dan narasi berbau religiositas melekat dan tampaknya tidak dapat dilepaskan dari Abdul Wachid B.S. Dengan demikian, perempuan hanyalah salah satu ikon bahasa dalam perpuisiannya. Dalam usaha mendapatkan ekspresi bahasa tersebut diperlukan penghayatan atas lingkungan hidup Abdul Wachid B.S. tentang bagaimana kemudian perempuan diuraikan melalui berbagai eksplorasi.

Saya akan menunjukkan hal paling mendasar, yakni memecah makna kayu bakar. Seperti yang telah kita ketahui bahwa kayu bakar digunakan oleh masyarakat sebagai bahan membuat api. Namun, sekarang masyarakat telah banyak beralih ke pembakaran berbahan gas sebab dinilai lebih praktis. Kemudian, mengapa Abdul Wachid B.S. justru memilih ungkapan kayu bakar, bukan gas? Tentulah hal tersebut tidak semata-mata dipilih lantaran iseng atau sembarangan.

Untuk menjawab hal itu, bait pertama dan kedua sajak “Wanita Pengumpul Kayu Bakar” berbunyi sebagai berikut.

ketika manusia berpuasa
wanita itu mengumpulkan kayu bakar
saat manusia bertapa diri
wanita itu memantik api 

hingga nyala berkobar
membakar rumah suami dan anaknya
tidak dengan api
tetapi kata-kata belati

Pertanyaan mengenai kayu bakar dalam sajak tersebut mulai terlihat terang bahwa Abdul Wachid B.S. menyebutkan tidak dengan api, tetapi kata-kata belati. Dengan demikian, boleh jadi kayu bakar tersebut bermakna kecemasan, keriuhan, kekhawatiran, atau kecemburuan. Kayu bakar tersebut bermunculan sebagai kata-kata belati, yaitu kata-kata yang menyakitkan.

Ketika konsep itu dikaitkan dengan hubungan percintaan laki-laki dan perempuan, pada masa puber, momen dan kondisi semacam itu justru dilakukan oleh perempuan ketika dia rindu kepada kekasihnya. Dia dengan sengaja memancing keributan yang kemudian dipakai sebagai interaksi aktif antara dirinya dan kekasihnya. Perspektif itu didukung pernyataan berikut.

ketika manusia berpuasa
wanita itu mengumpulkan kayu bakar
saat manusia bertapa diri
wanita itu memantik api

hingga nyala berkobar

Cobalah perhatikan. Terdapat dua sikap yang berseberangan seperti sebuah permainan petak umpet karena ada yang bersembunyi agar aman  dan tidak terlihat. Di samping itu, ada yang terus mencari di segala sudut dan ruang untuk menemukan sesuatu. Ada yang bersikap sabar dan menahan diri, tetapi di pihak lain ada yang ingin terus berinteraksi.

Bagian berikutnya berbunyi sebagai berikut.
dia biarkan kakikakinya gemericing
dia urai rambutnya yang gelisah
dia angankan beberapa pria
inginkan tarian perut yang gendut 

kendangkendang berdendang
malam tambah larut dalam gelas fantasi
wanita pengumpul kayu bakar itu
terus saja menari menyalakan birahi

Selain membuat pembaca bertanya-tanya, gaya naratif yang disuguhkan Abdul Wachid B.S. pada sajak itu belum cukup hanya dengan memecah satu kata kunci, yaitu kayu bakar.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa di dalam diri manusia terdapat empat jiwa, yakni jiwa yang tenang (nafs mutma’innah), jiwa yang diilhami (nafs mulhamah), jiwa yang berbuat buruk (nafs ammarah), dan jiwa yang menyesal (nafs lawwamah). Jika dipadukan dengan pandangan psikologis, kegelisahan seseorang tentulah berkaitan dengan perilaku terhadap orang lain. Saya membaca buku Kesehatan Mental (STAIN Press, 2013). Di dalamnya disebutkan bahwa kesulitan yang timbul lantaran perbedaan corak harapan antara suami dan istri menjadi problematika yang cukup serius sehingga menyebabkan kesulitan mewujudkan hubungan yang harmonis dan memunculkan pertengkaran. (Rochman, 2013: 40). Hal itu dapat dijadikan perbandingan agar perspektif yang lahir kemudian kedudukannya dekat dengan makna penyair.

Bait ketiga dan keempat sajak “Wanita Pengumpul Kayu Bakar” ini kemudian membawa pemahaman pada jiwa manusia yang ketika diberatkan dengan nafs ammarah itu tadi, itu akan melahirkan sesuatu yang tidak baik. Boleh jadi, peristiwa itu digambarkan dalam sajak “Wanita Pengumpul Kayu Bakar” sebagai bentuk peringatan. Namun, peringatan seperti apa? Kita lihat dua bait terakhir dalam sajak ini.

hingga nyala berkobar
membakar rumahrumah
membakar tanggatangga 

atas segala panorama itu
dia tertawatawa
hingga gila

Koherensi dan logika dalam menulis sebuah puisi diperlukan sehingga hal itu merupakan sesuatu yang penting. Selain itu, kemanfaatan dan hikmah menjadi atribut yang wajib dikenakan dalam menampilkan sebuah puisi. Tak terkecuali, Abdul Wachid B.S. dalam sajak “Wanita Pengumpul Kayu Bakar” ini. Abdul Wachid B.S. menggunakan kata pengumpul, bukan pembuat sehingga dapat diartikan bahwa wanita ini hanya mengumpulkan. Ia mencari, kemudian mengumpulkan, bukan memproduksi atau aktif membuatnya. Oleh karena itu, perempuan dalam hal ini tidak lantas dipandang sebagai sumber dari suatu hal yang negatif. Saya pun tetap tidak sepakat ketika dimaknai demikian. Dalam Al-Qur’an pun disebutkan bahwa hanya ada satu wanita yang negatif, yakni istri Abu Lahab yang merupakan musuh utama Nabi (Schimmel, 1998: 92).

Pada konteks sajak ini, sikap yang digila-gilakan adalah memantik api hingga berkobar. Api dalam sajak ini digambarkan sebagai kata-kata belati. Oleh karena itu, konsep itu hanya bekerja pada ranah bahasa, seperti kata dan pengucapan, bukan secara fisik. Mengapa Abdul Wachid B.S. menyebutkan rumah dan tangga dalam membakar rumahrumah, membakar tanggatangga secara terpisah? Menurut saya, rumah tangga dalam Islam tidaklah melahirkan sesuatu yang sifatnya negatif. Rumah tangga merupakan bangunan hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan. Melalui hubungan-hubungan itulah, kita dapat memaknai kehidupan secara nyata dan lebih dekat. Sebagaimana halnya Abdul Wachid B.S. yang memaknai hubungan suami-istri sebagai berahi spiritual, yaitu tidak hanya ada keterlibatan secara fisik, tetapi juga rohani.

Agar perspektif itu dapat diterima, mari, kita sandingkan sajak “Wanita Pengumpul Kayu Bakar” ini dengan sajak “Perempuan Itu Tidak Bersayap” karya Abdul Wachid B.S.

PEREMPUAN ITU TIDAK BERSAYAP

perempuan itu tidak bersayap
tetapi ia mampu terbang
dari dapur ke sumur
dari tempat tidur kepada syukur 

getargetar perasaannya yang
bernama wanita sehingga ia
begitu berani menata atau ditata
oleh lelaki yang ia 

cinta, mengepakkan sepasang sayapnya
peristiwa demi peristiwa
teaterteater kecil di dalam keluarga
segelas teh di pagi hari hingga ke senja 

perempuan itu memang tidak bersayap
tetapi kepaknya menyebarkan wangi
keluar masuk rumah, keluar masuk ramah
dari pagi sampai kepada hati

hanya lelaki yang tidak berhati
yang berkata ia tidak bekerja
untuk surga
dunia
Yogyakarta, 2014

Berbeda dari sajak “Wanita Pengumpul Kayu Bakar”, sajak “Perempuan Itu Tidak Bersayap” cenderung mendeskripsikan peran dan kedudukan perempuan, baik secara domestik maupun spiritual.

getargetar perasaannya yang
bernama wanita sehingga ia
begitu berani menata atau ditata
oleh lelaki yang ia cinta

Wanita yang berasal dari kata bahasa jawa wanito dapat diposisikan sebagai akronim dari wani noto lan wani ditoto yang berarti ‘berani menata dan berani ditata’. Citraan wanita lebih masuk pada citraan kedalaman, yang banyak tersubordinasi oleh partikel Jawa.

Frasa tidak bersayap menggambarkan kedudukannya sebagai gambaran dari malaikat sehingga ungkapan tersebut dimaknai sebagai sebuah ketulusan dan kemuliaan. Pada perspektif ini, perempuan memiliki kedudukan untuk mengenyam peran yang mulia, baik sebagai istri, ibu, maupun perempuan.

perempuan itu memang tidak bersayap
tetapi kepaknya menyebarkan wangi
keluar masuk rumah, keluar masuk ramah
dari pagi sampai kepada istri

Dalam kutipan puisi tersebut, posisi perempuan, dalam hal ini, menempati sikap pasrah yang diidentifikasi melalui perbuatan-perbuatannya, yakni mengabdi kepada suami.

Tipikal pemaknaan itu menempatkan perempuan di dunianya (dunia keibuan) sebagaimana dikatakan oleh Sugihastuti bahwa perkembangan wanita sebagai makhluk individu secara khas memiliki konsep diri. Pernyataan ini juga didukung dengan pernyataan Abdul Wachid B.S. pada bait pertama sajak “Perempuan Itu Tidak Bersayap”.

perempuan itu tidak bersayap
tetapi ia mampu terbang
dari dapur ke sumur
dari tempat tidur kepada syukur

Seperti yang kita tahu, perempuan memiliki banyak peran dalam kehidupan. Perempuan dipandang memiliki sifat memelihara sekalipun jelas sifat memelihara tersebut berbeda dengan sikap memelihara Tuhan. Ibn Arabi juga mengatakan bahwa perempuan menghimpun energi spiritual yang kuat untuk menjadi pencinta sejati. Energi tersebut diperoleh tidak lain dari fungsi reproduksinya. Demikian pula halnya dalam sajak “Perempuan Itu Tidak Bersayap”. Gambaran perempuan mengarah pada kekuatannya dalam menghimpun energi spiritual. Dengan kata lain, Abdul Wachid B.S. seolah hendak mengatakan bahwa kaum perempuan merupakan komponen yang kuat dalam mengekpresikan kemuliaan.

Agar uraian itu dapat disepakati dan diterima, saya hendak menarik pembicaraan kita pada dua sajak tentang perempuan dalam buku Penyair Cinta karya Abdul Wachid B.S. ini. Tidak dapat dimungkiri bahwa keterlibatan perempuan dalam kehidupan Abdul Wachid B.S. memberi kontribusi dalam membentuk ke-diri-an penyair. Perempuan dalam buku Penyair Cinta ditempatkan sebagai energi yang kemudian dikelola menjadi energi spiritual. Koherensi dan logika yang dibangun dalam kehidupan perempuan di dalam buku Penyair Cinta dicitrakan melalui kesadaran peran perempuan sebagaimana Abdul Wachid B.S. mengekplorasi peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya, baik yang bersumber dari dalam maupun luar dirinya.

Mengamati bagaimana perempuan digambarkan secara konkret melalui bahasa alam dan bahasa bumi sekaligus memberi gambaran hubungan religiositas. Melalui baris-baris puisi Abdul Wachid B.S., saya melihat hubungan dengan Tuhan itu bermula dari perilaku, bagaimana perilaku perempuan diolah oleh perspektif dan teknik untuk menunjuk kehidupan yang lebih segar.

Sebagaimana dalam Tuhan sebagai Kekasih, Abdul Wachid B.S. sepakat dengan pandangan Ibn Arabi tentang perempuan, yakni perempuan merupakan penyaksian citra Tuhan yang paling lengkap. Dengan demikian, pembicaraan mengenai perempuan ini diakhiri. Pada kesempatan yang lain, semoga saja saya diberi tiket lain agar kita dapat menikmati pembicaraan dalam perspektif lain. Amin. 

 



Efen Nurfiana

Efen Nurfiana b. Bergiat di Komunitas Pondok Pena, Pesantren Mahasiswa An-Najah Purwokerto dan Komunitas Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP), Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Ia telah menamatkan pendidikan mMagisternya di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Karya-karyanya termuat dalam beberapa antologi, media daring (online) dan koran. Selama menjadi mahasiswa, ia turut aktif dalam kegiatan redaksi di galeri seni rupa Sksp-literary.com.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa