Tentang Partitur Bahasa Pemersatu Kita
Sangat mudah membayangkan apa yang terjadi
pada peristiwa yang kemudian kita peringati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Pada saat
itu banyak identitas bertemu. Mereka berasal dari beragam etnis, beragam agama,
beragam pendidikan, bahkan jangan-jangan juga beragam tujuan. Uniknya lagi,
mereka belum dipersatukan bahasa. Oleh karena itu, mereka pasti kesulitan untuk
melafalkan keinginan masing-masing sebab mereka belum mandiri dari segi bahasa persatuan. Bahkan,
Suwardi Suryaningrat masih menuliskan bahasa perlawanannya dengan bahasa
Belanda, yaitu Als ik eens Nederlancer
was.
Namun, sejarah sudah
menuturkan bahwa hari itu menjadi hari yang sangat penting bagi kelahiran
Indonesia. Dari sinilah ditarik simpul-simpul bahasa kesatuan: keinginan hidup
bersama dan merdeka. Untuk menindaklanjuti bahasa kesatuan itu, mereka kemudian
beranjak lebih jauh dan maju: membentuk partitur pemersatu. Partitur pemersatu
itu ada tiga, yaitu tumpah darah yang satu, bangsa yang satu, kemudian
dilengkapi dengan bahasa yang satu. Partitur ketiga saja, yaitu bahasa
Indonesia, sangat menarik untuk diimajinasikan dan direnungkan.
Pasalnya, bahasa
Indonesia (dari Melayu) bukan bahasa milik mayoritas. Di sinilah kita mafhum
bahwa ada bahasa pemersatu yang lebih dahsyat daripada sebatas partitur
sehingga kita bisa melampaui arus tarik-menarik mayoritas-minoritas, yaitu
kehendak untuk hidup bersama. Namun, bahasa Indonesia saat itu masih seperti
bayi. Bahasa itu belum dituturkan dengan fasih. Itu terekam dengan sangat baik di
media-media saat itu. Di koran Daulat
Ra’jat (20 September 1931) besutan Moh. Hatta dan S. Sjahrir, misalnya, terbit iklan kursus bahasa
Inggris.
Mulai
Goyah
Di koran yang sama, pada
awal 1932, juga terbit iklan “Bahasa
Inggris dengan Tidak Bergoeroe” karya
Z. Arifin. Di iklan itu, tokoh pendidikan kita, Mohd. Sjafe’i sekaligus
Directeur dari Indonesisch, memberikan semacam dukungan (endorsement). “Menoeroet pendapatan saja, boekoe bahasa Inggeris
ini sangat berpaedah bagi bangsa kita yang hendak mempeladjari sendiri bahasa
itoe. Sampai sekarang, beloem ada boekoe peladjaran bahasa modern (Fransch,
Duittsch, dan Inggeris) jang dikarang dalam bahasa Indonesia.”
Di endorsement itu, Mohd. Sjafe’i jelas-jelas menyebut bahasa asing
sebagai bahasa modern. Dengan kata lain, bahasa kita saat itu adalah bahasa
kuno yang tak menarik. Uniknya lagi, iklan itu justru muncul bersamaan dengan
buku Moh. Hatta cetakan kedua: Toedjoean
dan Politik Pergerakan Nasional di Indonesia. Kita tak meragukan lagi
nasionalisme Moh. Hatta, tentu saja. Walau begitu, kita tak bisa menolak fakta
bahwa tokoh-tokoh pergerakan justru membincangkan Indonesia, di luar atau di
dalam negeri, dengan berbahasa asing, terutama bahasa Belanda.
Dengan fakta itu, kita
bisa memastikan bahwa pembentukan negara Indonesia dengan bahasa Indonesia
sebagai partitur pemersatunya justru dilahirkan dari bahasa asing, bukan bahasa
Indonesia yang baru disepakati itu. Walau demikian, mereka tetap mempunyai
bahasa yang satu: kehendak untuk hidup bersama. Minoritas menghargai mayoritas.
Mayoritas lebih hebat lagi, yaitu mengorbankan kemayoritasannya demi hidup
bersama. Yang lebih heroik, para pendiri bangsa kita, terutama kaum mayoritas,
tidak hanya mengalah pada kasus bahasa, tetapi juga pada hal-hal yang lebih
mendasar: ideologi.
Semula, seperti kita
ketahui bersama, memang ada tarik-ulur terkait dengan duplikasi langsung Piagam
Jakarta. Namun, lagi-lagi, ada bahasa pemersatu yang lebih hebat sehingga
lahirlah Pancasila. Selekas itu, kita bahu-membahu membangun Indonesia.
Berbagai pemerintahan berhasil dibentuk. Berbagai serangan dan pemberontakan
memang terjadi. Namun, berbagai serangan dan pemberontakan itu, selain Timor Timur,
berhasil diredam. Kita tetap setia pada bahasa kesatuan. Kita tetap setia pada
nasihat leluhur: bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Sayangnya, belakangan
ini, bahasa kesatuan itu mulai goyah, tidak hanya pada level partitur, tetapi
juga pada level yang lebih mendalam, yaitu hasrat dan niat, terutama ideologi.
Kita menjadi saksi betapa belakangan ini kita menjadi bangsa yang saling
curiga. Kita saling mengafirkan. Akibatnya, bahasa pemersatu kita menciut. Jika
dulu bahasa pemersatu adalah bahasa Indonesia, kini bahasa pemersatu jatuh ke
level yang lebih sempit, seperti sesama daerah, terutama sesama agama. Negara
Indonesia sebagai bangsa mulai ditinggalkan.
Periksalah berbagai
penelitian. Tidak hanya masyarakat awam, bahkan guru dan siswa kita mulai
terasuki sindrom-sindrom kebencian. Karena politik, pernah salah seorang dosen
di USU diamankan Poldasu terkait dengan terorisme di Surabaya. Betapa tidak,
dari berderet nyawa yang jatuh, alih-alih menumbuhkan bahasa persatuan, dosen
itu justru mengatakan bahwa pengeboman berderet itu hanya alih isu. Seorang
kepala sekolah dari Kabupaten Kayong Utara, Kalbar juga mengatakan bahwa
pengeboman itu hanya rekayasa belaka. Seketika kita tersentak. Mengapa kaum
terdidik yang bekerja di ranah pendidikan justru berpikiran demikian?
Namun, setelah kita lihat
secara saksama, apa yang dilakukan dosen dan guru itu hanya fenomena gunung es.
Pasalnya, sejak jauh-jauh hari, sudah banyak survei yang
menyebutkan betapa dunia pendidikan rentan menjadi dunia kebencian. Menurut
survei LIPI yang dirilis pada 2016, ada 25% siswa dan 21% guru yang menyatakan bahwa
Pancasila tidak lagi relevan. Kemudian, 84,8% siswa dan 76,2% guru menyatakan
setuju dengan penerapan syariat Islam. Yang cukup mengejutkan ialah dalam
survei ini ditemukan 4% orang Indonesia yang menyatakan setuju terhadap
kelompok militan ISIS.
Lebih Gawat
Masih banyak penelitian yang menghasilkan simpulan
identik. Wahid Institute, misalnya, mencatat bahwa 37 persen anak muda
(termasuk siswa) mendukung praktik radikalisme; 15 persen menyetujui pelarangan
ibadah minoritas atau yang dianggap sesat; 12,5 persen menyetujui ideologi
Pancasila ditukar; bahkan 7,9 persen setuju dengan tindakan kekerasan atas nama
agama. Hal yang sama juga pernah
terungkap pada studi Pusat Pengembangan Islam dan Masyarakat, UIN Jakarta, yaitu
sebanyak 67,78 persen siswa/mahasiswa menolak kepala daerah yang berbeda.
Kalau makin dirunut, kita
akan sampai pada sebuah simpulan betapa rumah pendidikan kita menjadi salah
satu penghancur bahasa pemersatu, dari level partitur hingga level ideologi.
Dari level partitur, bahasa Indonesia makin ditinggalkan. Kita tampak ingin
membedakan generasi kita dengan generasi sebelumnya sehingga timbul istilah
zaman now. Di sekolah-sekolah, bahasa
Indonesia sudah tak diminati. Di pusat kota, bahasa Indonesia bahkan mulai
usang. Banyak sudah penelitian yang mengatakan bahwa di perkotaan, anak
kecil sudah tak berbahasa Indonesia.
Di level ideologis lebih gawat lagi.
Contoh-contoh di atas hanya kasus kecil. Sehubungan dengan itu, saya sebagai
guru meyakini bahwa keindonesiaan kita mulai goyah. Kebencian tiba-tiba
mengular dari dunia maya ke dunia nyata; dari dunia keluarga ke dunia sekolah;
dari dunia agama ke dunia keluarga. Demikian sebaliknya. Di sini, dengan mengingat
peristiwa heroik mulai dari Hari Kebangkitan Nasional, Hari Sumpah Pemuda,
hingga Proklamasi Kemerdekaan RI, entah mengapa, saya tak mudah
mengimajinasikan mengapa bisa-bisanya pertengkaran sangat mudah membakar kita
hanya karena politik elektoral? Semoga esai ini menjadi renungan bagi kita bersama!
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional, Pengurus PGRI Humbang Hasundutan, Ketua P2G Humbang Hasundutan