Polemik Bahasa Indonesia: Kebutuhan Akademik dalam Komunikasi Sehari-Hari
Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi antarsesama dalam rangka mencapai maksud atau tujuan. Proses interaksi sosial manusia dengan pihak lainnya diwujudkan dalam bentuk komunikasi-komunikasi yang biasanya berbentuk sekumpulan rumus atau kode-kode yang disepakati oleh kedua belah pihak. Interaksi sosial manusia dengan manusia lainnya dapat berwujud dalam bentuk komunikasi verbal maupun nonverbal (A. Supratiknya, 2014). Pada tataran praktiknya, komunikasi verbal cenderung lebih banyak digunakan manusia untuk menyampaikan hasrat, gagasan dan maksud keinginan mereka kepada pihak lain. Komunikasi verbal ini dikenal dalam peradaban manusia sebagai bahasa. Sekumpulan rumusan yang disebut bahasa mampu mempertemukan maksud-maksud para manusia. Melalui bahasa, mereka berinteraksi, bernegosiasi, saling menyampaikan pendapat, dan saling memengaruhi sekaligus dipengaruhi.
Makna bahasa secara luas adalah milik semua kalangan dari seluruh bangsa di dunia, termasuk ras melayu di Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi bangsa pada mulanya berfungsi sebagai salah satu alat pemersatu bangsa saat penjajahan masih berlangsung. Para pejuang dengan sengaja menerapkannya di berbagai momen penting dalam rangka menuju kemerdekaan, baik bersifat resmi maupun tidak (Minto Rahayu, 2012). Hingga saat ini, bahasa Indonesia menjadi alat komunikasi utama dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara meski dengan berbagai dinamika, baik perubahan maupun penyesuaian tertentu melalui tangan para ahli.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya serta sebagai sebuah produk budaya, bahasa mengalami perkembangan yang dinamis. Pola interaksi dan kebutuhan komunikasi yang beragam melahirkan tata bahasa yang kompleks sehingga menuntut adanya penerapan maksimal bahasa Indonesia yang baku sebagai sarana interaksi dan komunikasi formal. Namun di sisi lain, masyarakat telah mentradisikan berbahasa Indonesia yang sederhana dan mudah dipahami tanpa harus menerapkan aturan kebahasaan formal sebagaimana dirancang oleh para pakar bahasa.
Diskusi mengenai penerapan bahasa Indonesia baku hingga saat ini masih menjadi sorotan berbagai kalangan pemerhati bahasa. Pendidikan tinggi sebagai institusi penting dalam penggalian pengetahuan memiliki peran yang penting dalam mendiskusikan permasalahan ini. Bahasa Indonesia dengan berbagai fenomena komunikasi di dalam dan di luar akademik juga menjadi salah satu pembahasan yang menarik. Artikel ini berupaya menghadirkan diskusi terkait dengan polemik penggunaan bahasa Indonesia, dimulai dari penerapan bahasa baku yang tepat dan asertif dalam keseharian, ruang akademik, hingga peranannya dalam pembentukan karakter.
Kedudukan
dan Fungsi Dasar Bahasa Indonesia
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung tinggi selain bendera nasional, dan lagu kebangsaan (Yustinah dan Ahmad Iskak, 2008). Dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentu harus memiliki identitasnya sendiri sehingga serasi dengan lambang kebangsaan lainnya. Bahasa Indonesia dapat mewakili identitasnya sendiri apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain yang memang benar-benar tidak diperlukan. Misalnya, pengadopsian istilah/kata asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Kedudukan pertama dari bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dibuktikan dengan digunakannya bahasa Indonesia dalam bulir-bulir Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mulai dikenal sejak 17 Agustus 1945, ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional atau lambang kebangsaan (Minto Rahayu, 2006). Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pegangan hidup. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia.
Kedua, bahasa Indonesia sebagai kebanggaan bangsa. Kedudukan ini dibuktikan dengan digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional hingga saat ini. Hal ini membuktikan betapa besarnya kebanggaan dan rasa cinta bangsa Indonesia terhadap bahasanya sendiri. Tidak seperti negara lain yang harus menggunakan bahasa negara persemakmurannya dalam berkomunikasi. Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula menjalankan fungsinya sebagai alat pengungkap perasaan. Jika beberapa tahun yang lalu masih ada orang yang berpandangan bahwa bahasa Indonesia belum sanggup mengungkapkan nuansa perasaan yang halus, sekarang dapat dilihat kenyataannya bahwa seni sastra dan seni drama, baik yang dituliskan maupun yang dilisankan telah berkembang demikian pesatnya (Yudiono KS, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa nuansa perasaan sehalus apa pun dapat diungkapkan secara jelas dan sempurna dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan ini tentu mampu meningkatkan rasa kesetiaan dan kebanggaan pada bahasa Indonesia.
Ketiga, bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dan pemersatu bangsa yang berbeda suku, agama, ras, adat, dan budaya. Kedudukan ini dibuktikan dengan digunakannya bahasa Indonesia dalam kegiatan sehari-hari, seperti pada media-media komunikasi ataupun acara lainnya. Bahasa Indonesia dikenal secara luas sejak Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pada saat itu, para pemuda melihat bahwa bahasa Indonesialah yang berpotensi mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku bangsa atau etnik. Upaya ini pada akhirnya membuahkan hasil positif, kehadiran bahasa Indonesia di tengah-tengah ratusan bahasa daerah sama sekali tidak menimbulkan sentimen negatif bagi berbagai etnis yang menggunakannya. Sebaliknya, kehadiran bahasa Indonesia justru dianggap sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan penengah ego kesukuan.
Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang mempunyai latar belakang budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meinggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan pada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Bahkan lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan daerah dan golongan.
Keempat, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara bersumber dari Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 yang berbunyi, “Bahasa Negara ialah bahasa Indonesia.” Landasan konstitusional ini memberikan kedudukan yang kuat bagi bahasa Indonesia untuk digunakan dalam berbagai kegiatan formal atau resmi, baik dalam forum akademik, kenegaraan, maupun lainnya.
Kelima, bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Kedudukan ini dibuktikan dengan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Karya-karya ilmiah di perguruan tinggi (baik buku rujukan, karya akhir mahasiswa –skripsi, tesis, disertasi– dan hasil atau laporan penelitian) yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah mampu diterapkan sebagai alat penyampaian ilmu pengetahuan dan teknolgi (iptek). Dengan adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, berarti ia harus digunakan sesuai dengan kaidah, tertib, cermat, dan masuk akal. Bahasa Indonesia yang digunakan harus resmi dan baku. Tingkat kebakuannya diukur oleh aturan kebahasaan dan logika pemakaian. Dari dua tugas itu, posisi bahasa Indonesia perlu mendapatkan perhatian khusus, terutama bagi pembelajaran bahasa Indonesia.
Keenam, bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan serta penghubung pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan. Kedudukan ini dibuktikan dengan digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Mulai saat itu, bahasa Indonesia digunakan dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik dalam bentuk lisan maupun tulis. Dokumen-dokumen, undang-undang, peraturan-peraturan, dan surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan instansi kenegaraan lainnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato kenegaraan ditulis dan dibacakan menggunakan bahasa Indonesia. Hanya dalam kondisi tertentu, demi komunikasi internasional (antarbangsa dan antarnegara), kadang-kadang pidato kenegaraan ditulis dan dibacakan menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Warga masyarakat pun dalam kegiatan yang berhubungan dengan upacara dan peristiwa kenegaraan harus menggunakan bahasa Indonesia.
Hingga saat ini, bahasa Indonesia juga telah digunakan dalam hubungan antarbadan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Misalnya, surat-menyurat antarinstansi pemerintahan, penataran para pegawai pemerintahan, lokakarya masalah pembangunan nasional, dan surat dari karyawan atau pegawai ke instansi pemerintah (Ismail Kusmayadi dkk, 2008). Dengan kata lain, apabila pokok persoalan yang dibicarakan menyangkut masalah nasional dan dalam situasi formal, berkecenderungan menggunakan bahasa Indonesia.
Ketujuh, bahasa Indonesia sebagai pengembangan kebudayaan nasional, ilmu dan teknologi. Kedudukan ini dibuktikan dengan penyebaran iptek, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lainnya. Akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam, UUD 1945, Bab XV, Pasal 36, bahasa Indonesia pun kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya dan ilmu. Dalam hubungannya sebagai bahasa budaya, bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri yang membedakannya dengan kebudayaan daerah.
Saat ini, bahasa Indonesia dipergunakan sebagai alat untuk menyatakan semua nilai sosial budaya nasional. Pada situasi inilah, bahasa Indonesia telah menjalankan kedudukannya sebagai bahasa budaya. Di samping itu, dalam kedudukannya sebagai bahasa ilmu, bahasa Indonesia pun berfungsi sebagai bahasa pendukung iptek untuk kepentingan pembangunan nasional. Penyebarluasan iptek dan pemanfaatannya pada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan negara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penulisan dan penerjemahan buku-buku teks serta penyajian pelajaran atau perkuliahan di lembaga-lembaga pendidikan untuk masyarakat umum dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak lagi bergantung sepenuhnya pada bahasa-bahasa asing (bahasa sumber) dalam usaha mengikuti perkembangan dan penerapan iptek. Pada tahap ini, bahasa Indonesia bertambah perannya sebagai bahasa ilmu. Selain itu, bahasa Indonesia juga digunakan bangsa Indonesia sebagai alat untuk mengantar dan menyampaikan ilmu pengetahuan kepada berbagai kalangan dan tingkat pendidikan.
Polemik
Penggunaan Bahasa Indonesia
Bahasa Baku sebagai Kebutuhan Komunikasi Akademik
Istilah bahasa baku telah dikenal oleh masyarakat secara luas. Namun, pengenalan istilah tidak menjamin bahwa mereka memahami secara komprehensif konsep dan makna istilah bahasa baku itu. Hal ini terbukti bahwa masih banyak orang atau masyarakat berpendapat bahwa bahasa baku sama dengan bahasa yang baik dan benar. Mereka tidak mampu membedakan antara bahasa yang baku dan tidak baku.
Bahasa baku adalah ragam bahasa yang cara pengucapan dan penulisannya sesuai dengan kaidah-kaidah standar. Kaidah standar dapat berupa pedoman ejaan, tata bahasa baku, dan kamus umum (Ernawati Waridah, 2015). Sebaliknya, bahasa tidak baku adalah ragam bahasa yang cara pengucapan atau penulisannya tidak memenuhi kaidah-kaidah standar tersebut. Bahasa Indonesia tidak baku merupakan salah satu ragam bahasa Indonesia yang tidak dikodifikasi, tidak diterima, dan tidak difungsikan sebagai model masyarakat Indonesia secara luas, tetapi digunakan oleh masyarakat secara khusus. Penggunaan ragam bahasa baku dan tidak baku berkaitan dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Ragam bahasa baku biasanya digunakan dalam situasi resmi, seperti acara seminar, pidato, karya ilmiah, dan lain-lain. Adapun ragam bahasa tidak baku umumnya digunakan dalam komunikasi sehari-hari yang tidak bersifat resmi.
Ragam bahasa baku menggunakan kaidah bahasa yang lebih lengkap dibandingkan dengan ragam tidak baku. Adapun karakter ragam baku adalah
a. memiliki sifat kemantapan dinamis, yaitu bahasa baku harus memiliki kaidah dan aturan yang relatif tetap dan luwes:
b. kecendekiaan, yaitu bahasa baku sanggup mengungkapkan proses pemikiran yang rumit di pelbagai ilmu dan teknologi serta bahasa baku dapat mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur dan logis; dan
c. keseragaman kaidah, yaitu keseragaman aturan atau norma. Namun, keseragaman bukan berarti penyamaan ragam bahasa atau penyeragaman variasi bahasa (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997).
Proses pembakuan bahasa terjadi karena keperluan komunikasi. Dalam proses pembakuan atau standardisasi, salah satu variasi pemakaian bahasa dibakukan untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu yang disebut bahasa baku atau bahasa standar. Namun perlu diingat, dengan adanya pembakuan bahasa atau bahasa Indonesia yang baku, bahasa Indonesia yang tidak baku tetap hidup dan berkembang sesuai dengan fungsinya dalam komunikasi. Dengan demikian, pembakuan tidak bermaksud untuk mematikan variasi-variasi bahasa tidak baku.
Ragam tidak baku banyak mengandung
unsur-unsur dialek dan bahasa daerah sehingga ragam bahasa tidak baku banyak
sekali variasinya. Selain dialek, ragam bahasa tidak baku juga bervariasi dalam
pelafalan atau
pengucapan, kosakata, struktur kalimat, dan sebagainya. Untuk mengatasi keanekaragaman pemakaian
bahasa yang merupakan variasi dari bahasa tidak baku, diperlukan
bahasa baku atau bahasa standar. Hal ini karena bahasa baku tidak
hanya ditandai oleh keseragaman dan
ketunggalan ciri-cirinya, tetapi
juga ditandai oleh keseragaman dan ketunggalan fungsi-fungsinya. Kridalaksana
mengatakan bahwa bahasa Indonesia baku adalah ragam bahasa yang dipergunakan
dalam situasi tertentu, yaitu
a. komunikasi resmi,
yakni surat-menyurat resmi, pengumuman-pengumuman yang dikeluarkan oleh
instansi resmi, penamaan dan peristilahan resmi, perundang-undangan, dan
sebagainya (ingat kembali fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi);
b. wacana teknis,
yakni dalam laporan resmi dan karangan ilmiah;
c. pembicaraan di
depan umum, yakni
dalam ceramah, kuliah, khotbah; dan
d. pembicaraan dengan orang yang dihormati, yakni orang yang lebih tua, lebih tinggi status sosialnya, dan orang yang baru dikenal (Abdul Jalil Faisal, 2016).
Bahasa baku juga mempunyai empat fungsi, tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif.
Pertama, bahasa
Indonesia baku merupakan pemersatu. Bahasa Indonesia baku mempersatukan bangsa
menjadi satu masyarakat bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia baku mengikat kebinekaan
rumpun dan bahasa yang ada di Indonesia dengan melampaui batas-batas
kedaerahan. Fungsi pemersatu ini ditingkatkan melalui usaha memberlakukannya sebagai
salah satu syarat atau ciri manusia Indonesia modern.
Kedua, bahasa Indonesia baku merupakan ciri khas yang membedakannya dengan bahasa-bahasa lainnya. Bahasa Indonesia baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat Indonesia. Dengan bahasa Indonesia baku, kita menyatakan identitas yang berbeda dengan bahasa Malaysia atau bahasa Melayu, Singapura, dan Brunei Darussalam. Bahasa Indonesia baku dianggap sudah berbeda dengan bahasa Melayu Riau yang menjadi induknya.
Ketiga, bahasa Indonesia baku merupakan penambah wibawa. Kepemilikan bahasa Indonesia baku akan menambah wibawa bagi penuturnya. Fungsi penambah wibawa berkaitan dengan usaha mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi melalui penggunaan bahasa baku. Fungsi yang menyangkut kewibawaan juga terlaksana jika bahasa Indonesia baku dapat dipautkan dengan hasil teknologi dan unsur kebudayaan baru. Warga masyarakat secara psikologis akan mengidentifikasi bahasa Indonesia baku dengan masyarakat dan kebudayaan modern dan maju sebagai pengganti pranata, lembaga, bangunan indah, dan jalan raya yang besar.
Keempat, bahasa Indonesia baku sebagai kerangka acuan. Bahasa Indonesia baku sebagai kerangka acuan bagi pemakainya dengan adanya norma atau kaidah yang disusun secara jelas. Norma atau kaidah bahasa Indonesia baku menjadi tolok ukur pemakaian bahasa Indonesia baku secara benar. Norma atau kaidah bahasa Indonesia baku juga menjadi acuan umum bagi segala jenis pemakaian bahasa yang menarik perhatian karena kekhasan bentuknya, seperti bahasa ekonomi, hukum, sastra, iklan, media massa, surat-menyurat resmi, surat keputusan, undangan, pengumuman, sambutan, ceramah, dan pidato.
Dalam peranannya di dunia akademik, penguasaan bahasa Indonesia menjadi sangat penting, salah satunya dalam penulisan karya ilmiah. Hal ini dikarenakan dalam penulisan ilmiah membutuhkan penggunaan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penggunaan tata bahasa Indonesia dalam konteks ilmiah ialah penggunaan tata bahasa yang telah mengikuti aturan ejaan yang benar, khususnya dalam penggunaan tata bahasa, pemilihan kata, dan penggunaan tanda baca. Karya tulis ilmiah atau akademik menuntut kecermatan dalam penalaran dan bahasa. Dalam hal bahasa, karya tulis semacam itu (termasuk laporan penelitian) harus memenuhi ragam bahasa standar (formal) atau bukan bahasa informal/pergaulan. Ragam bahasa karya tulis ilmiah atau akademik hendaknya mengikuti ragam bahasa yang penuturnya adalah terpelajar dalam bidang ilmu tertentu. Ragam bahasa ini mengikuti kaidah bahasa baku untuk menghindari ketaksaan atau ambiguitas makna karena karya tulis ilmiah tidak terikat oleh waktu.
Dengan demikian, ragam bahasa karya ilmiah sekurang-kurangnya tidak mengandung bahasa yang sifatnya kontekstual, seperti ragam bahasa jurnalistik. Hal ini bertujuan agar karya tersebut dapat tetap dipahami oleh pembaca yang tidak berada dalam situasi atau konteks saat karya tersebut diterbitkan. Problem ilmiah biasanya menyangkut hal yang bersifat abstrak atau konseptual yang sulit dicari alat peraga atau analoginya dengan keadaan nyata. Untuk mengungkapkan hal semacam itu, diperlukan struktur bahasa keilmuan untuk membedakan gagasan atau pengertian yang memang berbeda. Melalui karakteristik ini, suatu gagasan dapat terungkap dengan cermat tanpa kesalahan makna bagi penerimanya.
Oleh karena itu, pengajar perlu memperhatikan kaidah yang berkaitan dengan pembentukan istilah, Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI) yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi merupakan sumber yang baik sebagai pedoman dalam memperhatikan hal-hal tersebut. Selain itu, terdapat pula Ejaan Yang Disempurnakan V (EYD V) yang dapat dijadikan pedoman dalam penggunaan tata bahasa, pemilihan kata, dan penggunaan tanda baca dalam setiap kalimat.
Bahasa Tidak Baku dan Bahasa Gaul
Salah satu ciri atau sifat bahasa
yang hidup dan digunakan di dalam
masyarakat adalah selalu mengalami perubahan, baik dalam kurun waktu yang
singkat maupun lama. Bahasa akan terus berkembang dan memiliki aneka ragam atau
variasi, baik berdasarkan kondisi sosiologis maupun psikologis dari
penggunanya. Oleh karena itu, dikenal ada variasi atau ragam bahasa pedagang, pejabat/politisi, anak-anak,
termasuk bahasa gaul. Terdapat
dua klasifikasi situasi pemakaian bahasa di dalam suatu
masyarakat,
yaitu
a. situasi resmi atau
formal, pada situasi ini seseorang dituntut untuk menggunakan bahasa baku, yang
disebabkan oleh situasi resmi. Misalnya dalam acara
seminar, pidato kenegaraan bagi kepala negara, rapat, dan
lain sebagainya;
b. situasi tidak resmi atau informal, pemakaian bahasa tidak resmi dipengaruhi oleh situasi tidak resmi. Kuantitas pemakaian bahasa ini banyak bergantung pada tingkat keakraban pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Pada bahasa tidak resmi, bahasa baku dikesampingkan dan tidak lagi memperhatikan kaidah-kaidah bahasa, akan tetapi yang diprioritaskan adalah antara pemakai bahasa dan lawan bicaranya bisa saling mengerti. Situasi pemakaian bahasa ini digunakan, misalnya pada komunikasi remaja di sebuah mal, interaksi penjual dan pembeli, dan lain-lain. Dari ragam tidak resmi tersebut, selanjutnya memunculkan istilah yang disebut dengan istilah bahasa gaul.
Bahasa gaul remaja merupakan bentuk bahasa yang tidak resmi. Bahasa gaul remaja berkembang seiring dengan perkembangan zaman sehingga bahasa gaul pun berbeda-beda dari masa ke masa. Bahasa gaul hanya digunakan dalam kelompok sosial tertentu yang menciptakannya, kebanyakan dari mereka adalah remaja. Anggota di luar kelompok sosial tersebut sulit untuk memahami makna bahasa tersebut.
Saat ini, bahasa gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum. Bahasa gaul sering digunakan sebagai bentuk percakapan sehari-hari dalam pergaulan di lingkungan sosial, bahkan dalam media-media populer, serperti TV, radio, film nasional, dan digunakan sebagai publikasi yang ditujukan untuk kalangan remaja oleh majalah-majalah remaja populer (Yusuf dan Toet, 2012). Oleh sebab itu, bahasa gaul dapat disimpulkan sebagai bahasa utama yang digunakan untuk komunikasi verbal oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari.
Semaknin merebaknya bahasa gaul menimbulkan kekhawatiran tersendiri akan terkikisnya bahasa Indonesia yang baik dan benar di tengah arus globalisasi. Kecenderungan masyarakat ataupun para pelajar menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari semakin tinggi. Kurangnya kesadaran untuk mencintai bahasa Indonesia di negeri sendiri berdampak pada tergilasnya atau lunturnya penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat (Ruskhan, 2007).
Peran penting bahasa Indonesia adalah sebagai alat untuk membentuk kepribadian dan karakter. Pada awal pertumbuhan bahasa Indonesia, setiap warga pengguna bahasa Indonesia sangat berhati-hati “berbicara” karena bahasa (yang digunakan pemakainya) adalah sebagai refleksi kepribadian. Istilah budi bahasa merujuk pada pentingnya bahasa digunakan untuk mengekspresikan sikap dan kepribadian terpuji (Asmah Haji Omar, 1991). Jika dikatakan “pelihara budi bahasa,” nasihat itu bertujuan untuk menjaga perilaku yang sopan dan bahasa yang santun. Sopan dapat dirujuk pada perilaku atau perbuatan dan santun dapat dirujuk pada pembicaraan yang terpelihara dan hal ini membuktikan bahwa misi pertama menggunakan bahasa Indonesia adalah untuk membentuk perilaku atau karakter. Harapan yang ditumpukan kepada pengguna bahasa Indonesia adalah agar selalu menjaga kesantunan dalam berperilaku dan berbahasa hingga dimunculkan suatu istilah “bahasa menunjukkan bangsa.” Dengan mengadopsi istilah itu dapat juga dielaborasi menjadi “bahasa menunjukkan karakter” atau “bahasa menunjukkan kepribadian.” Dengan demikian, tidak terlalu salah jika kita ingin mengemas bahasa Indonesia menjadi salah satu aspek untuk membentuk karakter kepribadian bangsa pada masyarakat Indonesia masa kini, terutama masyarakatnya yang terdidik.
Dewasa ini, peran bahasa telah tereliminasi oleh kehidupan modern. Sekian banyak tokoh menggambarkan bagaimana terjadinya krisis identitas bangsa sebagai akibat melemahnya peran bahasa. Penggunaan bahasa asing secara tidak proporsional, musnahnya bahasa daerah, dan leluasanya pengambilan aset budaya Indonesia oleh negara tetangga merupakan fakta bahwa bangsa Indonesia sedang menghadapi atau mengalami krisis jati diri yang dahsyat sebagai bangsa dan suku bangsa. Hal ini terjadi akibat ketidaktahuan terhadap peran bahasa dalam kehidupan dan kualitas hidup yang rendah (Josef P. Widyatmadja, 2009).
David Brooks dan Mark Kann dalam Arthur menuturkan bahwa terdapat elemen-elemen yang mereka klaim sangat penting untuk pendidikan karakter. Mereka percaya bahwa harus ada instruksi langsung dalam pendidikan watak, untuk anak-anak harus terbiasa dengan kebajikan. Mereka harus mendengar dan melihat kata-kata, belajar maknanya, mengidentifikasi perilaku yang tepat, dan menerapkannya dalam praktik. Anak-anak harus didorong untuk menggunakan bahasa kebajikan dan guru harus menghindari bahasa negatif, seperti jangan terlambat atau jangan lupa, dan menggantinya dengan tepat waktu atau bersiaplah. Mereka merekomendasikan tampilan visual untuk mengilustrasikan kebajikan dengan panji-panji berwarna, misalnya, kata respek atau menghormati terpampang di koridor sekolah dan mereka menempatkan penekanan besar pada iklim sekolah yang positif, layanan program-program yang melayani masyarakat sekolah dan lingkungan, serta keterlibatan orang tua dan anak-anak dalam tata kelola sekolah. David Brooks dan Mark Kann menyimpulkan:
“Jika seluruh masyarakat sekolah menumbuhkan budaya bahasa dan iklim berkelakuan baik, mahasiswa akan menggunakan sebagian besar waktunya untuk mendapatkan kata-kata, konsep, perilaku, dan keterampilan yang berkontribusi terhadap perilaku baik, pengambilan keputusan yang etis, dan lingkungan belajar yang subur. Pendekatan ini sangat sederhana, tetapi bergema dengan saran bahwa saat ini sedang dianjurkan pendidikan kewarganegaraan.”
Berdasarkan hal itu, maka pendidikan bahasa Indonesia paling dekat dengan pendidikan karakter dibandingkan dengan pengajaran bahasa Indonesia. Tujuan pendidikan bahasa Indonesia adalah agar siswa memiliki kompetensi bahasa Indonesia.
“ ... tanpa kompetensi bahasa, maka kita tidak mempunyai kecerdasan yang manusiawi. Ilmu pengetahuan tidak mungkin disebarluaskan, dinikmati, dan dipahami secara bersama-sama. Bisa dibayangkan seandainya manusia itu tidak berbahasa, maka semua pemahaman dan penghayatan atas realitas kehidupan itu murni bersifat intuitif dan subjektif. Antara pengalaman dan pengetahuan hampir-hampir tidak ada bedanya. Jadi begitu fundamentalnya permasalahan bahasa itu."
Pendidikan bahasa Indonesia mewujudkan pembelajaran bahasa Indonesia. Prof. Dr. Fuad Hassan pernah mengatakan bahwa pendidikan terdiri atas pembiasaan, pembelajaran, dan pembudayaan. Tiga istilah ini berkaitan dengan pendidikan bahasa Indonesia sehingga kita dapat mengatakan bahwa pendidikan bahasa Indonesia berarti pembiasaan berbahasa Indonesia (terutama yang baik dan benar), pembelajaran berbahasa Indonesia (untuk menerima [reseptif]) dan (menghasilkan karya [produktif]) dan pembudayaan berbahasa Indonesia (memasyarakatkan karakter seperti kejujuran, disiplin, kerja sama, suka menolong, dan sebagainya).
Dari sinilah, bahasa tidak baku dan/atau bahasa gaul telah menjadi momok bagi banyak pengguna bahasa hingga dalam pertemuan-pertemuan formal, seperti proses kegiatan belajar mengajar di ruang kelas dan kampus. Keberadaannya seakan telah dibenarkan secara kultural, mengingat kebutuhan setiap pengguna berbeda-beda dalam memberikan pemahaman kepada lawan bicara. Selain itu, bahasa gaul juga dalam kondisi tertentu diyakini lebih pantas untuk digunakan karena relatif lebih mengakrabkan antarkomunikan dibandingkan dengan bahasa baku yang kaku. Meskipun pembenaran-pembenaran tersebut dipandang melampaui batas, sedikit orang yang sadar untuk mengindahkannya.
Oleh karena itu, fenomena ini menjadi dilema dan ironi bagi masyarakat bahasa, terutama para pegiat dan pemerhati bahasa Indonesia, mengingat keberadaan bahasa Indonesia tidak hanya sebagai alat komunikasi, namun juga sebagai cermin jati diri dan karakter bangsa. Bangsa yang beradab dan berperadaban baik dapat terwujud melalui penggunaan bahasa nasionalnya yang konsisten, asertif, dan proporsional, bukan yang bangga dengan bahasa asing, mahir mengucapkan bahasa gaul, dan sebagainya. Dengan adanya penerapan bahasa Indonesia secara baik dan benar, kepribadian bangsa akan terbangun dengan sendirinya.
Daftar Bacaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Perum Balai Pustaka, 1997
Ernawati Waridah, Pedoman Kata Baku dan Tidak Baku. Bandung:
Penerbit Ruang Kata, 2014.
Faisal, Abdul Jalil. Penggunaan Bahasa Indonesia Baku dalam Tesis
Mahasiswa S2 Universitas Hasanuddin dalam “Linguistik Indonesia;
Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia” Edisi Februari 2008.
Kusmayadi, Ismail dkk., Be Smart Bahasa Indonesia. Jakarta: Grafindo
Media Pratama, 2008.
Rahayu, Minto. Bhasa Indonesia di Perguruan Tinggi; Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian. Jakarta: Grasindo, 2012.
Ruskhan, Abdul Gaffar. Kompas Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo,
2007.
Supratiknya, A. Komunikasi Antara Pribadi; Tinjauan Psikologis. Yogyakarta:
Kanisius, 2012
Widyatmadja, Josef P. Kebangsaan dan Globalisasi dalam
Diplomasi. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Yudiono KS, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo,
2010.
Yustinah dan Iskak, Ahmad. Bahasa
Indonesia Tataran Madya untu SMK dan MAK Kelas XI. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008.
Yusuf dan Toet, Indonesia Punya Cerita. Jakarta: Cerdas Interaktif,
2012.
Siti Zubaedah, Nur Hafidz
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dosen UNU Purwokerto