Perundungan dan Gerakan Literasi
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merilis tiga dosa besar pendidikan, yakni perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual. Pemecahan masalah atas tiga dosa tersebut konon masuk dalam salah satu daftar dari sembilan program prioritas pemerintah. Dalam surat bertajuk "Evaluasi 9 Program Prioritas Kemendikbudristek Tahun 2022" pada Komisi X DPR RI, Kemendikbudristek (2022) mengungkapkan bahwa telah melakukan langkah preventif untuk perundungan, yakni melakukan bimtek fasilitator kepada 10.201 fasilitator guru antiperundungan dari 5.556 satuan pendidikan. Kemendikbudristek juga memproduksi enam video dengan total tayangan sebanyak 35.715.
Namun, yang jadi pertanyaan, sejauh mana langkah preventif itu akan berdampak? Saya sesungguhnya cukup ragu. Saat ini, jumlah satuan pendidikan di Indonesia sebanyak 29.897 unit. Artinya, hanya 18% dari satuan pendidikan kita yang mempunyai fasilitator antiperundungan, selebihnya sebanyak 82% satuan pendidikan belum punya. Kasus perundungan di negara kita sudah sangat mengkhawatirkan. Dalam studi Programme for International Student Assessment (PISA) (2018), setidaknya 41,1% siswa Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan. Angka ini jauh di atas rata-rata negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang hanya berada pada angka 22,7%.
Angka ini jika ditelisik lebih dalam akan menjadi lebih menyeramkan. Betapa
tidak? Selain mengalami perundungan, murid di Indonesia pun sebanyak 15%
diintimidasi, 19% dikucilkan, serta 22% dihina dan dicuri barangnya.
Selanjutnya, sebanyak 14% murid di Indonesia mengaku diancam, 18% didorong oleh
temannya, dan 20% terdapat murid yang kabar buruknya disebarkan (Jayani, 2019).
Data tersebut semakin meneguhkan bahwa perundungan dalam dunia pendidikan kita
ibarat benang kusut. Pasalnya, siswa
kita suka sekali mengejek dan mencibir.
Kuatkan Pundak
Ejekan dan cibiran itu menjadi luka yang dalam.
Tidak sedikit siswa yang berpikir untuk bunuh diri. Nah, apa yang harus kita lakukan
guna meminimalkan perundungan dalam dunia pendidikan? Salah satu pilihan bijak
adalah dengan memaksimalkan peran para fasilitator dan guru Bimbingan Konseling,
bahkan sampai melibatkan orang tua. Namun, hal itu dirasa tidak cukup untuk
meminimalkan perundungan. Oleh karena itu, kita perlu mencari solusi alternatif
lainnya. Salah satu solusi alternatif itu adalah melalui gerakan literasi. Kita
tidak boleh menganggap sepele peran literasi dalam meminimalkan perundungan di
dunia pendidikan sebab gerakan literasi sangat potensial untuk menguatkan
mental anak didik. Hal ini ibarat bibliotheraphy ala Samuel
Crothers (1916). Pilihan literasi menjadi potensial karena dapat berfungsi
sebagai alat kontrol. Penggunaan literasi sebagai alat kontrol dapat
disandingkan dengan pepatah bijak yang berbunyi “Bukan beban yang berkurang,
melainkan pundak yang makin kuat.” Pada masa kontemporer ini, sulit sekali
untuk menghilangkan perundungan. Perundungan sudah seperti budaya urban. Tanpa
sadar, atas nama kekompakan, siswa sering merundung dan dirundung. Oleh karena
itu, fokus kita tidak lagi bagaimana menghilangkan perundungan, melainkan
bagaimana agar siswa bermental baja.
Betapa tidak? Generasi muda kita
sangat rapuh. Pembunuh keempat paling banyak untuk generasi muda adalah mental.
Di Jakarta, dalam studi Noriyu pada SMA/SMK berakreditasi A, setidaknya lima persen
siswa mempunyai ide untuk melakukan bunuh diri. Artinya, yang dibutuhkan bukan
lagi sebatas menghilangkan perundungan, melainkan juga penguatan mental,. Menariknya,
penguatan mental itu dapat dilakukan dengan literasi. Leoni Segal dalam
studinya menyebutkan bahwa dengan membaca lantang, anak-anak mengalami
peningkatan kekuatan mental sebanyak tiga kali lipat dan mampu bertahan
mengatasi masalah di sekolah.
Saya berpikir, gerakan literasi
ternyata tidak sekadar baca-tulis, tetapi lebih penting dari itu adalah menjadi
imun tersendiri. Faktanya, sejauh ini, kita masih kurang peduli dengan gerakan
literasi. Tidak hanya itu, dalam studi yang saya presentasikan dalam semiloka yang
diadakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek,
gerakan literasi kita masih cenderung diartikan sebagai gerakan pengisi
kekosongan jam pelajaran sehingga gerakan literasi menjadi tidak berarah. Seharusnya,
pemerintah gesit mengintegrasikan gerakan literasi dengan sekolah. Gesit
artinya melaksanakan gerakan literasi dengan benar dan militan.
Salah satu cara pengintegrasian yang dapat dilakukan adalah dengan membacakan lantang naskah di depan siswa. Hal itu bertujuan supaya siswa tidak sibuk masing-masing. Pasalnya, dengan membacakan naskah secara lantang dan bergantian, setidaknya kita sudah memastikan dua hal, yakni siswa tidak sibuk sendiri dan kekuatan mentalnya bertambah tiga kali lipat. Hal yang menjadi tantangan saat ini adalah gerakan literasi kita masih berhenti sebatas kosmetik, seperti pembuatan mading mewah, pohon, hingga gerobak literasi.
Jangan Sepele!
Gerakan literasi akhirnya tidak
saja sudah lari dari konsep, tetapi juga dari pengertian mendasarnya. Pada
awalnya, siswa sangat antusias dengan gerakan literasi. Mereka menduga hal ini
akan menjadi asupan baru setelah budaya bercerita dari rumah hilang tenggelam.
Namun, gerakan literasi itu kering. Siswa hanya diberi kesempatan untuk membaca
buku apa pun tanpa komando. Hal ini karena tidak adanya fasilitasi dari
sekolah, seperti gerakan bercerita, berpikir, dan berdialektika yang berdenyut
di ruang-ruang kelas. Sebagai dampaknya, semakin lama, gerakan membaca perlahan
menguap dan menghilang.
Saat ini, gerakan literasi hanya menjadi bisnis baru berupa webinar para cendekiawan di ruang-ruang digital. Rohnya yang paling sejati mendadak hilang, padahal manfaat literasi untuk meminimalisasi dampak buruk dari tiga dosa besar pendidikan sangat mumpuni. Oleh karena itu, melalui esai ini, saya sangat berharap agar gerakan literasi dikembalikan pada rohnya, seperti membacakan cerita kepada siswa. Percayalah, gerakan membacakan cerita atau mendongeng ini bukan pekerjaan sia-sia. Pekerjaan sia-sia justru ketika Kemendikbudristek melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa hanya memproduksi dan mendistribusikan buku tanpa memedulikan buku itu dibaca atau tidak.
Kita tidak menampik, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah melampaui targetnya untuk memproduksi buku (123, 2%) dan mendistribusikannya (191, 8%). Namun, untuk apa buku ini dicetak dan disebarkan jika tidak ada yang membaca dan membacakan? Maksud saya, ayo perkuat lagi gerakan literasi demi menguatkan generasi muda dari serangan perundungan. Kita jangan sepele dengan gerakan literasi. Tolehlah negara-negara maju. Sejarah kemakmurannya pasti selalu diawali dengan gerakan literasi. Lantas, mengapa kita tidak mencontoh mereka?
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional, Guru Penggerak Humbang Hasundutan, Pengurus PGRI Humbang Hasundutan, Koordinator P2G Humbang Hasundutan