Identifikasi Aspek-Aspek Cinta Diri Sendiri dalam Buku Cerita Anak Rafa, si Raflesia karya Debby Lukito Goeyardi

Fenomena Ketidakamanan

Pada era gempuran media sosial seperti saat ini, fenomena ketidakamanan (insecurity) telah merambah pada hampir seluruh kalangan usia, termasuk remaja. Survei yang dilakukan oleh Yahoo mengenai Body Peace Resolution menyatakan bahwa 94% remaja putri melakukan celaan fisik (body shaming), sementara itu remaja laki-laki berada di angka 64% (Daffa, 2021). Angka tersebut tentu angka yang cukup tinggi, mengingat celaan fisik termasuk salah satu penyebab adanya perasaan tidak aman (insecure) pada seseorang. Oleh karena itu, topik tentang ketidakamanan ini menjadi menarik untuk ditelusuri akar penyebabnya.

Perasaan tidak aman, yakni sebuah perasaan atau emosi yang muncul pada diri seseorang yang ditandai dengan pengukuran diri sendiri dengan orang lain, serta menjadikan diri sendiri seolah lebih rendah daripada orang lain (Mardiana et al., 2021). Perasaan tidak aman juga identik dengan sikap yang selalu membanding-bandingkan diri sendiri dengan standar orang lain. Ketidakamanan yang berkepanjangan akan berakibat fatal dan mengarah pada terganggunnya keadaan mental seseorang. Seseorang yang mengalami perasaan tidak aman juga akan sangat terganggu dalam konteks produktivitas. Hal tersebut disebabkan fokus seseorang bukan lagi tentang menemukan nilai diri sendiri, tetapi cenderung memikirkan standar orang lain.

Salah satu penyebab seseorang merasa tidak aman adalah ketidakmampuan seseorang dalam mencintai diri sendiri (self-love) (Chandra, 2021). Ketika seseorang tidak mampu menerima dirinya sendiri, ia akan mudah tergerus oleh standar orang lain yang sebenarnya tidak perlu diterapkan pada diri sendiri. Dalam hal ini, konsep tentang self-love perlu dikenalkan dan dibiasakan sejak anak usia dini sebagai bekal pada masa mendatang. Anak yang sejak kecil telah mengenal cinta diri sendiri akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri, mampu mengerti kebutuhan diri, dan memiliki kecerdasan dalam berhubungan sosial (Baby, 2021). Setidaknya, anak akan memiliki tameng sejak dini untuk menangkal segala pengaruh buruk yang dapat menyebabkan ketidakamanan dini pada anak melalui pengenalan cinta diri sendiri.

Pentingnya Cinta Diri Sendiri bagi Anak

Anak yang mencintai diri dan memiliki persepsi yang baik terhadap dirinya sendiri juga akan dapat mengatasi konflik dengan tenang dan tidak mudah terpengaruh standar orang lain (Hastuti, 2016). Hal tersebut disebabkan anak sudah mengenali siapa dirinya, apa nilai dan karakteristik dirinya. Selain itu, anak juga telah memahami bahwa setiap orang memiliki keunikan yang berbeda sehingga anak akan memandang kekurangan diri adalah hal yang wajar serta kelebihan sebagai hal yang patut dimaksimalkan. Hal penting lainnya terkait pengenalan konsep cinta diri sendiri pada anak adalah mencegah terjadinya gangguan kondisi mental dan emosional pada anak usia dini yang seringkali tidak terdeteksi. Salah satu faktor yang memyebabkan gangguan mental dan emosional pada anak adalah lingkungan buruk yang selalu menekankan standar-standarnya (Choresyo et al., 2015). Selain itu, terdapat pula faktor psikogenik berupa hubungan anak dengan teman sebaya dan lingkungan masyarakat yang tidak sehat yang menyebabkan mental dan emosional anak terganggu (Putri et al., 2015). Berdasarkan hal tersebut, cinta diri sendiri menjadi amat penting bagi anak usia dini untuk membantu mencegah adanya ancaman tersebut.

Buku Cerita Anak sebagai Media Pengenalan Cinta diri Sendiri

Seperti yang telah umum diketahui, anak merupakan penyerap segala hal di sekitarnya, yang berarti kemampuan otak anak sangat luar biasa dalam menyerap informasi (Kirana, 2021). Masa perkembangan anak usia dini akan memengaruhi kepribadian anak ketika ia dewasa (Khairi, 2018). Dalam hal ini, buku cerita dapat dijadikan sebagai media dalam mengenalkan cinta diri sendiri pada masa perkembangan anak dan membantu pembentukan kepribadian anak. Anak usia dini dekat dengan cerita fiksi yang penuh imajinasi seperti yang ada dalam buku cerita karena hal tersebut mampu meningkatkan minat dan ketertarikan anak tentang suatu hal (Farisy, 2016). Oleh sebab itu, buku cerita sangat berguna dalam upaya pengenalan karakteristik kepribadian, termasuk cinta diri sendiri pada anak.

Melalui buku cerita, aspek-aspek perkembangan anak juga dapat terlatih, mulai dari aspek agama-moral, fisik-motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, hingga seni (Kamilah, 2021). Isi cerita yang menceritakan tentang cinta diri sendiri akan memberikan stimulus berupa gambaran tentang cinta diri sendiri tersebut kepada anak. Selain itu, anak juga akan lebih cepat memahami konsep cinta diri sendiri melalui penggambaran watak tokoh dalam suatu cerita alih-alih hanya dijelaskan secara teoretis oleh orang lain. Dari situlah, anak akan belajar memahami konsep cinta diri sendiri dan mengaitkannya dengan pengalaman nyata pribadinya, mengolah imajinasi, memberikan kesenangan, dan melatih kemampuan anak dalam berhubungan di lingkungan sosial tanpa harus terbawa oleh standar yang dibuat oleh masyarakat (Munthe & Halim, 2019).

Beberapa penelitian terdahulu yang juga meneliti buku cerita anak, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Annisa Srimaryanti, dkk. Dalam penelitiannya yang berjudul ”Analisis Self-love dalam Kumpulan Cerita Anak Majalah Bobo” disimpulkan bahwa cerita anak dalam majalah Bobo mengandung aspek-aspek cinta diri sendiri yang tersirat yang dapat mengembangkan sikap cinta diri sendiri pada anak melalui cara yang menyenangkan yakni berupa cerita. Berikutnya, penelitian Susana Kamilah yang berjudul ”Analisis Konten Buku Cerita Aku Sayang Tubuhku sebagai Media Pendidikan Seksual untuk Anak Usia Dini”, Dalam penenelitian tersebut dikemukakan bahwa buku cerita merupakan media yang sangat tepat untuk digunakan sebagai sarana pengenalan pendidikan seksual anak sejak usia dini. Kemudian, penelitian Vivi Sufiati dan Nur Hasanah berjudul ”Pengembangan Sosial Emosi Melalui Cerita untuk Anak Usia Dini” yang mendapatkan hasil akhir bahwa cerita mampu menstimulasi kemampuan aspek sosial dan emosional anak melalui kesesuaian bahasa anak dengan bahasa yang digunakan dalam cerita yang mencukupi asupan kebutuhan anak dalam berekspresi.

Buku Rafa, si Raflesia merupakan buku cerita anak yang diterbitkan oleh Penerbit Bestari bekerja sama dengan Room to Read Accelerator, dan cetakan pertama terbit pada tahun 2019. Penulis buku ini adalah Debby Lukito Goeyardi dan diilustrasikan oleh Vannia Rizky Santoso. Ilustrasi yang digunakan dalam buku ini memiliki gaya berupa ilustrasi gunting kertas berpola yang sangat menarik untuk anak-anak. Buku ini memiliki jumlah halaman sebanyak 24 halaman dan dicetak dalam ukuran A4 sehingga nyaman untuk dibaca oleh anak-anak.

Identifikasi Aspek Cinta Diri Sendiri dalam Buku Cerita Rafa, si Raflesia

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti menemukan bahwa dalam buku cerita anak berjudul Rafa, si Raflesia mengandung makna tersirat mengenai konsep cinta diri. Seperti yang telah dijelaskan di awal, bahwa cinta diri sendiri adalah suatu kemampuan atau perasaan cinta terhadap diri sendiri, yang diaktualisasikan melalui sikap penerimaan dan pemahaman akan diri sendiri serta tidak terpengaruh oleh tuntutan-tuntutan atau standar-standar orang lain. Cinta diri sendiri dapat dicapai ketika seorang individu telah memiliki aspek-aspek berikut,  1) kesadaran diri (self-awareness); 2) harga diri (self-esteem); 3) kepercayaan diri (self-worth); dan 4) perawat diri (self-care). Berikut analisis dan penjabaran hasil penelitian mengenai empat aspek cinta diri sendiri yang tersirat dalam buku cerita Rafa, si Raflesia.

1. Kesadaran Diri

Kesadaran diri merupakan suatu sikap atau kecakapan yang dimiliki seseorang dalam memahami potensi dirinya sebagai upaya pengembangan diri (Zahra & Hayati, 2022). Hal uniknya, terdapat keterkaitan yang erat antara kebahagiaan seseorang dan kemampuannya dalam memahami diri sendiri, yakni semakin seseorang mampu mengenal dan memahami diri, semakin mudah pula seseorang untuk mendapat kebahagiaan dalam hidup (Shoshana, 2020). Itu artinya, kebahagiaan seseorang berbanding lurus dengan sejauh mana seseorang mengenal dirinya sendiri. Dalam konteks selanjutnya, kesadaran diri menjadikan seseorang mampu mengendalikan diri terkait motivasi, keadaan emosional, kepercayaan diri, dan persepsi mengenai dirinya sendiri (Ningtyas & Risina, 2018). Hal tersebut juga akan membantu seseorang dalam kehidupan bersosial. Terdapat sebuah ungkapan klise, ”tak kenal maka tak sayang”. Ungkapan tersebut dapat disandingkan dengan konsep kesadaran diri yang dalam hal ini merupakan salah satu aspek dari cinta diri sendiri. Sebelum seseorang mencintai diri sendiri, hendaknya orang tersebut mengenali dirinya sendiri.

Tahap pengenalan dan pemahaman terhadap diri sendiri ini dapat dilakukan dengan menjawab beberapa pertanyaan penting, yakni 1) siapa diri saya?; 2) apa yang saya suka dan tidak suka?;  3) emosi seperti apa yang sedang saya rasakan?; 4) apa yang saya dapat dan tidak dapat lakukan?; dan 5) apa hal unik dari diri saya? Dengan menjawab kelima pertanyaan tersebut, setidaknya seseorang akan mendapatkan gambaran besar mengenai dirinya, yang nantinya berdampak baik pada cara seseorang menghadapi segala kondisi di sekitarnya.

Kesadaran diri sangat penting untuk dikenalkan pada anak sejak usia dini. Sebab, dengan memiliki kemampuan kesadaran diri, anak akan mampu mengerti kapan dirinya membutuhkan pertolongan atau hendak menolong orang lain sesuai dengan kapasitasnya (Handayani, 2021). Terkadang, ada anak yang tidak mampu mengungkapkan keinginannya atau sungkan untuk meminta tolong. Kondisi tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan anak dalam memahami dirinya sendiri tentang apa yang disuka dan dibutuhkan. Ada pula anak yang tidak mampu mengontrol dan mengekspresikan emosi dalam dirinya. Hal ini terjadi akibat ketidakpahaman anak terhadap perasaan dan emosinya. Maka dari itu, anak usia dini penting untuk dikenalkan kesadaran diri sejak dini agar segi sosial dan emosionalnya dapat berkembang.

Dalam buku Rafa, si Raflesia, terdapat aspek kesadaran diri secara tersirat, yakni tokoh Rafa  yang digambarkan sebagai tokoh yang telah memahami hakikat dirinya sendiri sebagai bunga yang ”berbeda” dari bunga yang lain. Hal tersebut, terlihat dalam narasi berikut.

Rafa senang, dia terlihat berbeda di taman ini (halaman 2 dan 3).

Dalam cerita selanjutnya, Rafa mampu mendeskripsikan perbedaan-perbedaan yang ada pada dirinya, seperti dalam narasi berikut.

Rafa tidak punya daun, tetapi punya kelopak yang besar (halaman 4 dan 5).

Kedua narasi tersebut membuktikan bahwa tokoh Rafa mampu mengenali dirinya sendiri sebagai bunga Raflesia dengan karakteristik-karakteristiknya. Ungkapan senang juga mengindikasikan bahwa tokoh Rafa mampu mengenali emosi yang dirasakannya, yakni perasaan senang. Maka dari itu, kesadaran diri telah tersisip dalam narasi cerita ini.

Pentingnya kesadaran diri bagi anak adalah melatih anak dalam mengenali karakteristik dirinya sendiri, baik karakteristik secara fisik maupun psikis (emosi). Anak perlu mengetahui bentuk fisik dirinya, apakah berambut panjang atau pendek, berkulit sawo matang atau putih, bermata bulat atau sipit, dan lain-lain. Anak juga perlu mengetahui bahwa perbedaan fisik antara dirinya dan orang lain pasti ada dan wajar. Selain karakteristik fisik, penting pula bagi anak untuk dapat merasakan emosinya, misalkan senang, sedih, marah, ataupun kecewa. Sebab, dengan merasakan emosi, anak akan mendapat pengalaman dan pengetahuan baru tentang perbedaan emosi. Setelah memahaminya, anak juga akan mudah berekspresi dan terbuka mengutarakan perasaannya. Ini selaras dengan penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa kesadaran diri akan membantu anak dalam mengenali dirinya serta memengaruhi anak dalam merespons kondisi di sekitarnya (Srimaryanti et al., 2022). Dengan demikian, kesadaran diri menjadi hal pertama yang penting untuk dikenalkan kepada anak usia dini.

2. Harga Diri

Harga diri merupakan nilai diri yang dimiliki oleh seseorang. Menurut Mahendra dan Sari (2017) Harga diri mengarah pada kemampuan evaluasi seseorang terhadap kualitas diri sendiri. Setiap orang tentu memiliki kriteria ideal tentang dirinya. Oleh karena itu, harga diri dapat berfungsi sebagai alat untuk menilai dan mengevaluasi sejauh mana seseorang telah mendekati versi paling ideal menurut dirinya sendiri (Dewi, 2015). Harga diri membantu seseorang dalam memperoleh keyakinan bahwa dirinya memiliki kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten dalam suatu hal. Hal ini berkaitan dengan kesadaran diri  yang menjadikan seseorang memahami diri, dan selanjutnya meyakinkan seseorang bahwa dirinya ”berharga”.

Tahap dalam memaknai harga diri dapat dimulai dari meyakinkan diri bahwa diri ini merupakan versi terbaik yang telah diciptakan. Selain itu, seseorang juga perlu menemukan nilai dari diri sendiri dan itulah yang akan memunculkan harga diri. Seseorang yang memiliki harga diri yang baik tidak akan mudah ”dikendalikan” oleh orang lain karena harga diri juga melatih seseorang untuk memiliki nilai diri yang tinggi dan memahami tingkat kepercayaan diri (Kamaruddin et al., 2022).

Dalam buku cerita Rafa, si Raflesia, terdapat narasi sebagai berikut.

Rafa tetap senang, dia memiliki teman yang setia.

Tokoh Rafa digambarkan sebagai tokoh yang memiliki perbedaan mencolok dengan temannya yang lain sehingga Rafa kerap mendapat penolakan dan kebencian. Namun, Rafa tetap senang sebab ada teman lain yang setia dan membuat dirinya merasa berharga dan istimewa, yakni sekumpulan lalat. Hal ini membuktikan bahwa Rafa memiliki harga diri yang tinggi.

Anak usia dini yang memiliki harga diri yang tinggi akan terbiasa berpikir positif mengenai dirinya sendiri dan orang lain (Hastuti, 2016). Harga diri sangat berguna bagi anak dalam mengolah pikiran untuk tetap bersikap dan berpendirian teguh karena anak mengerti nilai dirinya yang membuatnya tidak mempermasalahkan standar orang lain. Dari sikap yang teguh pendirian itulah, anak juga terlatih untuk membuat keputusan sendiri dengan bijak tanpa khawatir dengan standar yang ada.

Pengenalan harga diri terhadap anak dapat dipengaruhi oleh jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua. Pola asuh demokratis terbukti menjadi pola asuh yang paling baik dalam pembentukan harga diri anak (Hastuti, 2016). Hal tersebut dikarenakan dalam pola asuh demokratis terdapat diskusi antara anak dan orang tua, kemudian apresiasi tinggi terhadap hal-hal yang telah anak selesaikan, serta tidak adanya penilaian yang buruk ketika anak melakukan suatu kesalahan (Dewi, 2015). Hal ini tentu akan sangat memengaruhi harga diri anak usia dini. Sebaliknya, ketika pola asuh orang tua diterapkan secara otoriter dan tidak memberikan ruang bagi anak untuk berdiskusi, harga diri anak akan turun. Maka dari itu, penting untuk mulai mengenalkan anak terhadap konsep harga diri untuk menuju cinta diri sendiri seutuhnya.

3. Kepercayaan Diri

Terdapat keterkaitan yang erat antara harga diri dan kepercayaan diri, yakni semakin tinggi harga diri seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan dirinya (Kusuma, 2020b). Kepercayaan diri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi setelah kebutuhan fisiologis, afektif, dan rasa aman. Kebutuhan tersebut, yakni berupa aktualisasi diri, yang menjadi kebutuhan tertinggi manusia (Aini, 2018). Seseorang akan butuh untuk mengaktualisasikan dirinya jika ia memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang baik. Adapun tingkat kepercayaan diri dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni jenis kelamin, kelas sosial, dan pola asuh dalam lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan keluarga.

Perbedaan jenis kelamin dapat memengaruhi tingkat kepercayaan diri seseorang. Misalnya, perempuan cenderung lebih sensitif dan memperhatikan penilaian atau pengakuan dari orang lain. Perempuan juga lebih peduli dengan kepercayaan diri dalam upayanya agar diterima oleh lingkungan sekitarnya (Aini, 2018). Adapun faktor kelas sosial juga memengaruhi tingkat kepercayaan diri seseorang. Kelas sosial tersebut antara lain berupa tingkat ekonomi, keadaan keluarga, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan seseorang (Kamaruddin et al., 2022). Ada beberapa orang yang jauh lebih percaya diri ketika dirinya memiliki tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan yang tinggi, sedangkan yang tingkatnya rendah seringkali rentan terkena perundungan.

Dalam buku Rafa, si Raflesia, terdapat narasi seperti berkut.

Rafa bangga. Ketika kelopaknya mulai membuka, baunya sangat kuat.

Perasaan bangga Rafa ketika membuka kelopaknya mengindikasikan bahwa Rafa percaya diri dengan dirinya. Ia mampu mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan yang ada dalam dirinya, seperti dalam narasi berikut.

Rafa juga berwarna merah, tetapi penuh bintik seperti kutil.

Narasi tersebut menjelaskan persamaan Rafa dengan bunga mawar, yakni sama-sama berwarna merah, tetapi perbedaannya terletak pada adanya bintik seperti kutik pada kelopak Rafa. Hal ini tentu dapat dikatakan bahwa tokoh Rafa memahami kekurangan dirinya, tetapi dia tetap tidak masalah dengan kekurangannya, terlihat dari penggambaran ekspresi pada ilustrasi tokoh Rafa yang tersenyum senang alih-alih sedih.

Dalam upaya pengenalan kepercayaan diri kepada anak, terdapat pengaruh lingkungan, baik lingkungan sosial maupun keluarga (Aini, 2018). Lingkungan sosial bisa berupa lingkungan masyarakat atau sekolah. Anak yang mendapat perlakuan baik dari masyarakat, teman-teman, dan guru akan memiliki kepercayaan diri yang baik pula. Sementara itu, lingkungan keluarga berperan penting melalui pola asuh yang diterapkan, misalnya pada cara orang tua dalam memperlakukan anak, cara mengapresiasi anak, dan cara meyakinkan anak tentang keberhargaan diri anak. Jika anak mendapat asupan yang baik dari keluarga, persepsi anak terhadap dirinya sendiri akan selalu positif dan meningkatkan kepercayaan diri anak dalam kehidupan sosial (Kamaruddin et al., 2022).

4. Peawatan Diri

Perawatan diri artinya kegiatan merawat jiwa, maksudnya adalah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menambah dan meningkatkan energi dengan hal-hal yang menyenangkan dan menyehatkan kondisi tubuh, baik secara fisik maupun mental (Kusuma, 2020). Perawatan diri juga mampu meningkatkan kebahagiaan dan produktivitas diri. Sebab,  perawatan diri mengesampingkan hal-hal yang tidak dapat dikendalikan dan mengutamakan hal-hal yang dapat dikendalikan. Dengan begitu, seseorang dapat menjaga dan merawat dirinya sendiri.

 Perawatan diriterbagi menjadi lima cabang, yakni 1) perawatan spiritual, 2)  perawatan sosial, 3)  perawatan fisik, 4)  perawatan mental, dan 5)  perawatan emosional (Kusuma, 2020).  Perawatan spiritual, yakni merawat diri melalui kegiatan yang berkaitan dengan spiritual atau berhubungan dengan Pencipta. Perawatan sosial ialah upaya perawatan diri yang dilakukan dengan cara menjaga hubungan baik dengan sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Perawatan fisik, yaitu perawatan pada tubuh, misalnya dengan mengonsumsi makanan sehat, berolahraga secara teratur, dan mengatur waktu istirahat. Perawatan mental, yakni menghindari hal-hal yang dapat mengganggu esehatan mental dan selalu berusaha berpikir jernih/positif/sehat. Perawatan emosional, yakni merawat diri dengan cara memahami emosi dalam diri dan berusaha mengendalikannya. Dengan melakukan kelima  Perawatan diri ini, seseorang akan dekat dengan sikap cinta diri sendiri sendiri.

Adapun dalam buku cerita Rafa, si Raflesia, terdapat narasi yang menceritakan bahwa tokoh Rafa senang bermain bersama para lalat. Penggambaran ekspresi yang sangat senang menunjukkan bahwa Rafa tengah merawat dirinya, yakni melalui kegiatan bermain dengan teman yang setia. Walaupun teman yang lain membencinya, Rafa tetap menjaga hubungan baik dengan mereka. Terlihat dari cara Rafa menyapa kupu-kupu dan lebah dalam narasi berikut:

Rafa menyapa kupu-kupu dan lbah. Akan tetapi mereka hanya mendatangi bunga-bunga yang berbau harum. Namun, Rafa tetap senang. Ia memiliki teman yang setia.

Dalam kehidupan nyata, anak sangat perlu dilatih bagaimana cara merawat diri sendiri, baik secara spiritual, sosial, fisik, mental, maupun emosional. Pada dasarnya, anak ialah individu yang masih bergantung pada lingkungan sekitarnya, yang dapat mencukupi kebutuhan dasar serta melatih kecakapan hidup (kemandirian) anak  (Laksmi et al., 2020). Oleh sebab itu, bimbingan dari lingkungan sekitarnya sangat dibutuhkan dalam mengenalkan perawatan diri kepada anak. Tahapan pengenalan perawatan diri kepada anak dapat dimulai dari mengajarkan ibadah, berkomunikasi dengan orang lain, berolahraga secara rutin, memberikan asupan yang sehat, serta mengarahkan segala bentuk emosi yang anak tunjukkan.

Hal penting lainnya mengenai pengenalan perawatan diri kepada anak ialah menjaga keadaan mental anak sejak dini. Banyak anak yang sejak kecil mengalami masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan akibat kurangnya upaya perawatan jiwa sejak dini sehingga ketika anak dewasa, ia tidak mampu membahagiakan diri sendiri, menerima diri sendiri, bahkan tidak mampu mengendalikan emosinya (Srimaryanti et al., 2022). Oleh karena itu, pengenalan perawatan diri sangat perlu diterapkan sejak anak usia dini untuk membentuk anak yang sehat secara fisik dan mental. Dari situlah, anak mampu mencapai kondisi sempurna di mana mereka mampu mencintai dirinya sendiri dan tetap cerdas dalam mempelajari dan menghadapi hal-hal di masa depan.

Simpulan

Rafa merupakan tokoh dalam cerita yang memiliki karakter “cinta pada diri sendiri”. Walaupun Rafa seakan mendapat tuntutan dari teman-teman di sekitarnya, ia tidak terpengaruh dan hanya fokus pada diri sendiri serta mampu memahami empat aspek dalam cinta diri sendiri. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa dalam buku cerita anak berjudul Rafa, si Raflesia terdapat empat aspek-aspek cinta diri sendiri sendiri yakni: 1)  kesadaran diri; 2) harga diri; 3) kepercayaan diri); dan 4) perawatan diri. Keempat aspek tersebut yang akan dilalui oleh seorang anak dalam proses mencapai cinta diri sendiri.

Daftar Bacaan

Aini, D. F. N. (2018). Self Esteem pada Anak Usia Sekolah Dasar untuk Pencegahan Kasus Bullying. Jurnal Pemikiran Dan Pengembangan SD, 6(1), 36–46.

Baby, C. (2021). Mengajak si Kecil Belajar Self-love Sejak Dini. https://www.cussonsbaby.co.id

Chandra, A. (2021). Mengenal Apa itu Insecure dan Cara Efektif untuk Mengatasinya. Satupersen.Net. https://satupersen.net/blog/insecure-mengenal-can-cara-mengatasinya

Choresyo, B., Nulhaqim, S. A., & Wibowo, H. (2015). Kesadaran Masyarakat Terhadap Penyakit Mental. Prosiding KS: Riset Dan PKM, 381–387.

Daffa, M. F. B. (2021). Maraknya Kasus Insecurities di Indonesia. Kompasiana. https://www.kompasiana.com/buyangdaffa9331/5f4b3fe0d541df1d22571f72/maraknya-kasus-insecurities-di-indonesia

Dewi, N. C. (2015). Pengembangan Harga Diri Anak Usia Dini. Jurnal Studi Islam, 2(2), 151–163.

Farisy, M. S. (2016). CHILDREN’S GRAPHIC STORY BOOK FOR COOKING INTRODUCTION TO KIDS. E-Proceeding of Art & Design, 3(3), 704–713.

Handayani, P. (2021). PROGRAM PENINGKATAN SELF-AWARENESS PADA ANAK ASUH DI LEMBAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK RHS. Prosiding the 3rd Seminar Nasional ADPI Mengabdi Untuk Negeri, 3(1), 62–69.

Hastuti, D. (2016). STRATEGI PENGEMBANGAN HARGA DIRI ANAK USIA DINI. Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar, 2(2), 38–50.

Suci Wulandari

Mahasiswa S1 di UIN Prof. KH. Saifuddin Zuhri Purwokerto program studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini. Suci memiliki minat di banyak hal antara lain sketsa, kesehatan mental, kepenulisan puisi, artikel ilmiah, editing naskah, hingga videografi. Suci tergabung dalam komunitas Rumah Kreatif Wadas Kelir dan Wadas Kelir Publisher.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa