Bahasa Daerah dalam Impitan Zaman

Data terbaru yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Long Form Sensus Penduduk 2020 (LF SP2020) menunjukkan bahwa 73,87% keluarga Indonesia masih menggunakan bahasa daerah saat berkomunikasi   di tengah keluarganya. Sementara itu, di lingkungan kerabat atau tetangga, bahasa daerah hanya digunakan oleh 71,93%. Angka lebih kecil ditemukan di kalangan generasi Z dan generasi Alfa. Mereka hanya menggunakan bahasa daerah di tengah keluarga di kisaran angka 61—62% saja. Dengan merujuk angka-angka itu, apakah kita kemudian dapat menyimpulkan bahwa bahasa daerah akan segera punah dan upaya melestarikannya hanya menjadi sia-sia?

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, bahasa daerah adalah bahasa ibu mereka yang diperoleh sejak dari buaian atau pengasuhan ibunya, kemudian digunakan saat berkomunikasi di dalam keluarga. Demikian pula sebaliknya, bahasa ibu kebanyakan masyarakat kita memang merupakan bahasa daerah yang dipakai secara luas di kalangan masyarakat tempat mereka bergaul. Pada perkembangannya, ada bahasa ibu atau bahasa daerah yang tetap dipertahankan kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya, baik melalui ranah keluarga, masyarakat, maupun sekolah, tetapi tidak sedikit bahasa daerah itu yang mengalami kemunduran daya hidup dan akhirnya punah.

Selama ini kita percaya bahwa bahasa daerah merupakan salah satu warisan dan sekaligus menjadi identitas sebuah warga bangsa. Sayangnya, pengakuan yang kadang-kadang terdengar sangat heroik dan patriotik itu sering tidak mewujud dalam praktik pemertahanannya. Faktanya, begitu banyak kalangan penutur bahasa daerah yang sudah mengabaikan atau melupakan pengakuan heroik-patriotik tesebut. Begitu banyak penutur yang telah beralih menjadi penutur bahasa lainnya sembari meninggalkan bahasa daerahnya. Mereka telah berubah menjadi penutur aktif bahasa asing atau hanya mampu berbicara dalam bahasa Indonesia.

Para peneliti bahasa daerah telah menemukan begitu banyak penyebab kemunduran jumlah dan mutu penutur bahasa daerah. Dua di antara faktor penyebab tersebut ialah sikap bahasa para penuturnya dan dampak globalisasi. Dahulu, sikap bahasa penutur selalu dianggap sebagai faktor yang hakiki dan tidak akan berubah, sebab sikap bahasa merupakan nilai inti dari sebuah budaya masyarakat tutur. Pergeseran nilai inti budaya ini bisa dimaknai sebagai berubahnya atau, dalam kondisi yang sangat ekstrem, bahkan hilangnya jati diri budaya masyarakat tersebut dari dalam dirinya. Sebagai nilai inti sebuah budaya, sikap bahasa sejatinya tidak akan berubah. Namun, fakta terkini ternyata menunjukkan hal sebaliknya. Sikap bahasa pun ternyata bisa berubah-ubah sejalan dengan pragmatisme para penutur bahasa apalagi ketika mereka dihadapkan pada pilihan penggunaan bahasa dalam situasi multibahasa (multilingual) yang kompleks. Pilihan pasti akan tertuju pada bahasa yang paling mudah dan dimengerti oleh lebih banyak mitra tutur saat berkomunikasi. Bagaimanapun, itu adalah sebuah pilihan yang sangat logis sehingga komunikasi yang terjadi pada akhirnya akan mengarah pada situasi komunikasi ekabahasa (monolingual). Keadaan ini bisa berdampak pada terpinggirkannya bahasa daerah. Situasi seperti itu kini tengah terjadi, sejalan dengan munculnya globalisasi.

Pelestarian bahasa daerah sejatinya didasarkan pada tiga pertimbangan utama. Pertama, pentingnya ditanamkan peringatan untuk menyadarkan para penutur bahasa daerah bahwa ancaman kepunahan bahasa daerah makin hari makin kuat. Sudah begitu banyak data sahih yang menunjukkan bahwa kepunahan bahasa daerah adalah gejala global yang mengancam bukan hanya bahasa dengan jumlah penutur sedikit, melainkan juga bahasa yang berpenutur banyak. Persaingan bahasa-bahasa makin ketat, bukan hanya di kota-kota besar, melainkan juga sudah merangkak masuk ke wilayah-wilayah perkampungan. Akibatnya, muncul gejala peluruhan bahasa.

Kedua, praktik pelestarian bahasa daerah tidak bisa menerapkan pola yang seragam. Kondisi 718 bahasa daerah di masing-masing wilayah tuturnya sangat unik dari berbagai aspeknya. Oleh karena itu, konsep dan praktik pelestariannya pun harus secara cermat dan tepat dengan mempertimbangkan keunikan-keunikan tersebut. Penyeragaman hanya akan membuahkan kegagalan. Ketiga, keinginan untuk melestarikan bahasa daerah harus menjadi sebuah gerakan bersama, baik dari masyarakat tutur, pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah. Kesamaan niat ini menjadi prasyarat agar tercipta kesamaan langkah dan tujuan. Tidak boleh ada pihak yang diberi tanggung jawab eksklusif, kemudian akhirnya menjadi tersandera.  Sementara itu, pihak lainnya hanya menjadi “penonton” atau tim sorak. Bagaimanapun, pelestarian identitas bangsa ini adalah tanggung jawab bersama yang harus dilakukan bersama-sama dengan gerak langkah yang sama.

Program pelestarian bahasa daerah selama ini tampaknya tidak terlalu memperhatikan ketiga pertimbangan tadi. Tidak adanya kesadaran intrinsik, nirkonsep yang adaptif-kontekstual, dan hilangnya kebersamaan menjadikan program pelestarian bahasa daerah tidak berlanjut menjadi sebuah gerakan bersama. Akibatnya, keluaran dan dampak program itu tidak terlalu signifikan. Program pun hilang bagai ditelan dahsyatnya gelombang di lautan lepas. Yang tersisa adalah fakta tentang makin derasnya peluruhan bahasa pada penutur muda bahasa daerah. Padahal, mereka adalah sasaran utama yang bahasanya harus dipelihara. Fakta inilah yang kini dihadapi dan diusahakan untuk diperbaiki oleh Badan Bahasa, Kemendikbudristek melalui platform Merdeka Belajar Episode Ke-17: Revitalisasi Bahasa Daerah, yang sudah mulai menggema di seantero nusantara. Secara bertahap, revitalisasi bahasa daerah ini diterapkan terhadap 39 bahasa daerah di 13 provinsi pada tahun 2022 yang kemudian dilanjutkan pada tahun 2023 dengan melibatkan 59 bahasa daerah di 22 provinsi.

Inisiatif pelestarian bahasa daerah ini merupakan langkah awal untuk menumbuhkan kembali rasa bangga para penutur bahasa daerah akan bahasanya. Perasaan minder, apalagi menganggap kampungan kepada pengguna bahasa daerah diharapkan tidak bersemayam lagi di benak para penutur muda. Alih-alih merasa minder dan kampungan, mereka akan berbalik menjadi tunas-tunas yang akan memberi semangat dan harapan untuk tumbuh kembangnya bahasa daerah mereka. Pesimisme bahwa bahasa daerah tidak memberikan peluang atau jaminan “kehidupan” dan karier profesional di masa depan juga bisa hilang. Bagaimanapun, sesungguhnya kompetensi dan kreativitas dalam memanfaatkan pernak-pernik dan keunikan bahasa daerah pun bisa “diuangkan”. Lihat saja misalnya para sastrawan, sineas, atau seniman yang konsisten berkiprah dalam kariernya dengan tetap memanfaatkan keunikan bahasa daerah. Dengan sentuhan teknologi kekinian, karya mereka memiliki nilai jual yang tinggi. Hal ini merupakan sebuah lahan profesi yang belum banyak digarap atau bahkan terlupakan oleh masyarakat pada umumnya. Sekali lahan ini terbuka, impitan yang selama ini diterima oleh bahasa daerah akan terangkat dan memberikan bahasa daerah napas yang lebih melegakan. Kini kembali kepada kita sebagai penutur bahasa daerah, apakah kita berniat untuk melestarikannya atau tidak? Akhirnya, selamat memperingati hari bahasa ibu internasional 21 Februari 2023—bahasa ibu yang juga menjadi bahasa daerah dan bahasa daerah yang juga merupakan bahasa ibu.


*Artikel dipublikasikan di Media indonesia pada tanggal 21 Februari 2023.


E. Aminudin Aziz

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa