Absurditas Puisi dalam Pembelajaran di Media Sosial
Saat kita membaca sajak-sajak penyair
beraliran absurd atau tidak
masuk akal, ada beberapa diksi yang membuat pembaca berpikir untuk memahami
maknanya. Mengapa harus ada kata menggantung yang akhirnya menggiring
pikiran pembaca pada subjektivitas pikiran? Perabaan dilakukan untuk mencerna
makna yang terbaca secara realis meski itu bisa menimbulkan pemahaman dari
sudut pandang berbeda.
Hal semacam itu tentunya tidak hanya dilakukan
seorang penyair yang menulis sajak dalam bentuk absurd. Ada banyak penyair yang melakukan hal yang serupa.
Artinya, sublimasi pikiran yang dituangkan ke dalam sajak atau puisi adalah
sebuah dimensi untuk memerdekakan pikiran penyair. Sebut saja Albert Camus dan
Iwan Simatupang.
Lantas, jika kita melihat ratusan bahkan
ribuan karya sastra pada masa kini, terutama puisi, seakan yang diketengahkan adalah
perpaduan diksi yang hanya dapat dinikmati dengan waktu relatif singkat.
Setelah dibaca, mungkin esok akan muncul karya fiksi berupa puisi yang lebih kuat
diksinya. Akhirnya, karya yang telah lewat hanya sebatas menjadi pemenuhan
apresiasi di lingkup pegiat atau peminat sastra.
Apakah karena dimensi sastra masa kini
mendorong seseorang untuk berpikir instan agar mendapat gelar atau
status sebagai penyair? Sementara itu, kalau kita menyimak, seorang sastrawan
yang juga seorang kolumnis, Goenawan Mohammad, dalam sebuah acara apresiasi
sastra, mengatakan bahwa status penyair itu tidak jelas atau samar. Sastra merupakan
sebuah dedikasi dalam menghasilkan karya seni.
Karena makin pesatnya perkembangan serta
kemajuan dunia teknologi digital, hal itu membuka peluang bagi siapa saja untuk
menulis puisi secara instan. Namun, seorang Chairil Anwar, misalnya, telah
melalui fase dan proses itu. Rekam jejak yang ditinggalkannya seakan menjadi
arca puisi sehingga pegiat sastra, terutama penyair, ingin menjadi seperti
Chairil Anwar.
Ini seperti sebuah dilema dalam ruang kaca tempat
sebuah karya tidak hanya menjadi pendingin, tetapi juga membutuhkan kehangatan.
Arus pertumbuhan untuk menghasilkan sebuah karya fiksi, terutama puisi, tidak
berbanding lurus dengan objektivitas pemikiran. Yang dimaksud di sini adalah
sudut pandang dalam pembedahan karya-karya sastra yang berkualitas. Dengan
demikian, sastra menjadi momentum perjalanan fase panjang dari seorang penulis
untuk menghasilkan sebuah karya abadi.
Sebuah paradigma yang kadang menjadi opini
liar dalam masyarakat adalah bahwa puisi seolah merupakan identitas penulis
dalam merangkum isyarat zaman. Terkadang, orang menjadi heroik dengan hasil
karya puisi. Tentu hal ini tetap sah-sah saja, selagi karya sastra tersebut
dapat dijadikan komoditas seni sastra karena perjalanan zaman banyak dituangkan
dalam karya-karya puisi.
Di sisi lain, karya puisi menjadi tempat
untuk mengejawantahkan nilai-nilai moral dan estetika sehingga dalam perjalanan
semarak kehidupan sastra, hal itu menjadi isyarat atau pertanda bagi lahirnya
karya-karya sastra, seperti puisi, cerpen, novel, dan juga esai. Ini yang
kemudian dengan munculnya persaingan di kalangan sastrawan (baca: seleksi
alam), akan memunculkan gaya dan aliran-aliran baru dalam dunia sastra yang
sering lebih populer disebut dengan genre.
Pada judul di atas, mengapa penulis lebih berfokus
pada konsep absurd? Itu karena aliran absurd lebih memancing pembaca dalam
dunia nyata dan maya. Jika kita mengacu pada referensi kata absurddalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata tersebut dapat diartikan sebagai ‘tidak
masuk akal; mustahil’. Namun, mengapa saat ini banyak penulis yang
merefleksikan karyanya dengan karya sastra absurd?
Pada awal paragraf, pembaca mungkin terkejut
dengan penempatan kata menggantung yang tentunya harus dibaca dengan pendalaman
yang lebih matang. Ada kalanya seorang penyair menempatkan sebuah kata yang
kalau dilihat, tidak memiliki relevansi dengan kata-kata lainnya dalam bait
tersebut. Seperti halnya ketika kita membaca sajak Chairil Anwar yang bertajuk
“Malam”. Mengapa harus disisipkan kata thermopylae?
Tinjauan masa yang dilalui oleh penyair
paling tidak memiliki konsep lokalitas lingkungan sebagai media pembelajaran
untuk menghasilkan ide dan gagasan. Tentu masa puluhan tahun atau berabad silam
sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Dengan banyaknya konten di media
sosial, ruang publikasi untuk mengenalkan puisi kepada pembaca akan lebih
praktis. Persoalannya adalah siapakah yang berhak menilai sebuah puisi—bagus
atau tidak bagus, layak atau tidak layak—tampil dalam segmen media sosial? Ini
tentu tidak mudah.
Jika ditelisik lebih dalam tentang
absurdisme sastra yang terserap dari kata dasar absurd, hal itu dapat
diartikan sebagai sebuah aliran yang didasarkan pada kepercayaan bahwa usaha
manusia dapat disajikan dalam bentuk tidak memiliki rasionalitas antara satu
peristiwa dan peristiwa lainnya. Kemudian, dalam perkembangan sastra, itu dijadikan
sebuah aliran yang menggabungkan prinsip eksistensialisme dan nihilisme, yakni
peristiwa imajinatif di luar logika manusia.
Pertanyaannya adalah apakah sajak-sajak yang
ditulis oleh penyair bergenre absurditas menjangkau ruang dimensi ini? Sebagai
catatan, tentunya kita harus melihat sejauh mana objektivitas kita dalam
mengupas sebuah gagasan dalam karya puisi. Sejauh ini ada sikap skeptisisme
(keraguan) untuk menetapkan indikator jelas yang menjadi dasar dalam menentukan
aliran seorang penyair. Relativitas zaman dengan perubahan-perubahan sosial
yang begitu drastis tentunya sangat memengaruhi karakter puisi yang dihasilkan.
Perjalanan sebuah karya sajak dalam
pencarian identitas bagi penyair juga tidak terlepas dari fase pembelajaran seseorang
hingga menjadi penyair mahir. Munculnya beberapa polemik, terutama dari
kritikus sastra, meninggalkan jejak panjang untuk melakukan penelitian lebih
mendalam. Secara teorema analitik, karya sastra, termasuk puisi, memiliki batasan-batasan
yang harus dihindari, yaitu semacam pencomotan kata-kata atau kalimat dari
karya orang lain sehingga tidak dikatakan sebagai plagiasi.
Bagi para sastrawan atau penyair, ada kalanya
untuk mengatasi kebuntuan dari sumber-sumber ide pikiran, ada kecenderungan
untuk mencari referensi lain, misalnya dengan membaca buku dari karya-karya
sastrawan atau penyair lainnya. Tanpa disadari, apa yang dibaca seakan
memancing pikiran penyair untuk melakukan hal yang sama (tetapi dengan gaya
bahasa yang berbeda). Sangat mungkin hal seperti itu juga dialami oleh penyair
yang tergolong sudah mapan dalam berkarya.
Jika kita mengamati substansi dari pembelajaran,
puisi yang menjadi bagian dari ruang sastra juga dapat dianggap sebagai bagian
edukasi dalam sistem pendidikan nasional. Orientasi dari kurikulum pendidikan
seyogianya telah memberikan peluang atau ruang bagi peserta didik dalam
berkreasi dan berinovasi sesuai dengan bakat yang dimilikinya di bidang sastra.
Dengan demikian, pembelajaran melalui media sosial telah membuka konstelasi dan
cakrawala menuju modernitas puisi.
Di sini kita tidak berandai-andai bahwa
dalam perjalanan kekaryaan, terutama sajak, tentu ada ide-ide yang lahir di
luar logika. Kemudian, seorang penyair menghadirkan bentuk-bentuk kalimat puisi
di luar logikanya, seperti menggabungkan aliran surealisme dengan simbolisme.
Dalam pengertian absurdisme, ada penyimpangan antara realitas dan logika yang
kemudian dituangkan dalam tulisan sastra, seperti sajak.
Tentu tidak elok jika kita hanya melihat dari
satu sisi sudut pandang ketika karya sajak seorang pemula dibandingkan dengan
penyair yang telah memiliki reputasi sebagai penyair besar. Bukankah seorang
penyair dalam berproses dan melewati fase-fase tertentu akan menemukan cara dan
jalannya masing-masing?
Dalam pengamatan dan penelahan sebuah puisi
oleh Prof. Dr. Effendi Kadarisman, Ph.D., (dosen pascasarjana program Bahasa dan
Sastra Inggris, Universitas Islam Malang) terhadap puisi Vito Prasetyo bertajuk
“Simphoni Kematian”, dikatakan bahwa sebuah puisi yang memiliki nilai
absurditas tidak hanya terlihat dari diksinya, tetapi juga narasi subtil dengan
pemotretan sebuah peristiwa pemakaman yang dideskripsikan dengan liris.
Lebih lanjut, pembaca seakan digiring pada sebuah reportase meski tentunya tiap-tiap pembaca mempunyai sudut pandang dan perekayasaan makna yang berbeda.
Simphoni Kematian
setajam angin, mengiris tulang
liang tanah menanti
aroma pemakaman pun mendengus
di tubuh rerumputan
di atas sana,
gemintang berjalan
serupa penyiksaan aib
hujan hanya teduh letih
yang ucapkan: amin
malam kian rapuh
terpasung ingatan
sepasang jagal menghampiri
bagaikan malaikat tanpa jubah
sorot mata ini pasrah
sunyi dan sepi, terpaku bisu
tak bergeming
hanya terbaca: kematian
adakah cara bijak untuk tidur
berjalan teratur seperti sinar
membungkuk, menelusup
dan mengendap
atau berlari serupa mimpi
: menunda ajal
awal malam, juga akhir
episode yang ternoda
cangkul dan linggis, mendera keras
daging terkuliti, api menjulur
tungku membara, perapian cinta
tulang makin memutih
seperti sinar dalam salju
melintasi tanah: liang lahat
itu jalan terindah, tak ada kabut
kubaca sekali lagi
di penggalan bait
anyir dan amis membungkus
hidupkan doa, meracik
pengadilan akhir
setumpuk dosa, kibarkan rasa sesal
tak ada lagi tempat
kepala bersujud
bukankah kematian itu indah
air mata pun sirna
mengering di tungku membara
langit bersorak, senandungkan simphoni kematian
karena itulah keabadian
musang dan serigala
datang berziarah
kalungkan sajak, di atas pusara
rerimbun ilalang memainkan
kecapi dan seruling
suara-suara memekak
jalan telah buntu
(2021)
Narasi puisi di atas hanyalah sebuah contoh
untuk pembaca dalam menafsirkan kata-kata semiotik dan absurd meski pembaca
juga mempunyai sudut pandang dalam mendalami sebuah puisi. Terlepas dari
penulis puisi di atas, peran media sosial saat ini sangat penting untuk
memublikasikan karya sastra, terutama puisi. Di sisi lain, ruang pembelajaran
melalui konten-konten media sosial sangat mudah dijangkau pada era teknologi
digital saat ini. Hal itu juga harus melibatkan lembaga pendidikan sebagai
medium dalam penyerapan ilmu
Vito Prasetyo
sastrawan dan peminat pendidikan