Bahasa dan Era Pencitraan
Penyebutan era pencitraan sebetulnya
bukan hal yang tepat. Namun, saat ini hampir setiap hari bermunculan istilah
baru yang mungkin hanya satire terhadap pemikiran orang. Pada umumnya, hal itu
dilakukan agar istilah yang disampaikan menarik bagi pembaca atau pendengar.
Dalam konteks sosial, sebuah istilah dapat memengaruhi interaksi sosial.
Istilah yang menghubungkan satu dengan
lainnya dianggap pas untuk diucapkan meskipun tanpa pertimbangan untuk menjaga
tata bahasa. Persoalan etimologi kata (asal-usul kata) adalah serapan
bahasa yang tidak harus dicari dalam kaidah bahasa. Nah, jika istilah itu
mengalami pro dan kontra dalam masyarakat, sebuah alibi pembenaran ada pada
logika, bukan pada teorema analitis. Apakah ini bagian dari revolusi bahasa
atau karena logika pemikiran kita yang belum mampu menerjemahkan esensi
modernisasi?
Kata atau frasa yang dalam keseharian
dihubungkan dengan pengamatan kondisi sosial dianggap sah-sah saja untuk
diucapkan. Itu karena memang dalam ukuran masyarakat tidak ada indikator jelas
untuk runutan penyusunan dalam berliterasi secara benar. Tugas ini dianggap
bagian dari kerangka edukasi secara umum di lembaga pendidikan. Integrasi
pedoman literasi, linguistik, dan pedagogik sering dianggap sebagai transisi
dari cara-cara manual ke digital.
Sebagaimana referensi dalam berbahasa, tanpa
kita sadari ada banyak penalaran yang salah. Apa yang dikatakan sebagai logical fallacy ialah kekeliruan
penalaran dalam aktivitas berpikir dan penyalahgunaan bahasa dan/atau relevansi
materi, baik secara disengaja maupun tidak. Salah satu penyebab terjadinya
kekeliruan dalam penyalahgunaan bahasa adalah pemilihan terminologi (istilah).
Jika ditelisik lebih dalam, apa yang
diistilahkan sebagai era pencitraan adalah sebuah materi pemilihan
premis dari proporsi yang salah atau penyimpulan premis yang tidak tepat
sehingga penggabungan kata di atas hanyalah berdasarkan rekaan analogi
pemikiran yang mencari pembenaran dengan simpulan pas dalam pengucapannya.
Di sini penulis pun bertanya-tanya,
sebetulnya istilah ini dipopulerkan oleh siapa? Kemudian, bagi masyarakat yang
menghubungkannya dengan kondisi kekinian, hal itu dianggap sah-sah saja dan
terasa pas di pendengaran. Tentu banyak sekali istilah yang sering digunakan
tanpa kita ketahui dari mana asalnya. Jika ini dianggap sebagai pengembangan bahasa
dalam konteks modernisasi, tentunya ada sisi positif bagi pengayaan kosakata
bahasa Indonesia.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
(Badan Bahasa), Kemendikbudristek mengadakan Sidang Komisi Istilah setiap tahun
untuk menetapkan padanan kata berbahasa asing dalam bahasa Indonesia. Tujuannya
adalah untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia melalui pengindonesiaan
istilah asing dalam bidang ilmu tertentu. Contohnya adalah virtual dan daring.
Lebih lanjut, virtual memiliki sinonim, yaitu maya. Sementara itu, daring adalah akronim dari dalam jaringan. Jika kita melihat
istilah yang merupakan penyingkatan dan diucapkan dalam pelbagai konteks,
seperti gabut (gaji buta) dan baper (bawa perasaan), hal itu menunjukkan betapa
kita masih miskin dengan perbendaharaan kata baku yang sesuai dengan penggunaan
kata (baca: literasi) secara benar.
Alih teknologi, yang sering menjadi salah
satu alasan pembenaran dalam pengembangan bahasa, seharusnya lebih selektif
dalam memperkaya khazanah literasi kita. Dampak yang sangat drastis terjadi
pada pemertahanan bahasa ibu (daerah) yang makin kritis, bahkan di beberapa
daerah nyaris mengalami kepunahan. Itu karena penyerapan bahasa lebih bersifat
praktis dan berbasis kecepatan dalam informasi. Akhirnya, dalam lingkup sosial, hal itu menjadi pilihan
untuk digunakan.
Bisa jadi pengertian serta pemahaman
modernisasi menjadi sebuah kondisi yang mengesampingkan unsur-unsur tradisi
bermuatan lokal. Oleh karena itu, dengan makin banyaknya istilah asing yang
digunakan seolah-olah tingkat intelektual seseorang makin tampak. Hal itu dianggap
pencerminan arus modernisasi.
Konsep awal bahasa sangat jelas, yakni
sebagai alat ukur dalam berkomunikasi bagi masyarakat. Namun, jika kita mengacu
pada terminologi bahasa Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Perpres Nomor 63
Tahun 2019, bahasa Indonesia yang digunakan harus sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Indonesia harus memenuhi kriteria bahasa Indonesia yang baik
dan benar. Konteks itu juga termaktub bahwa bahasa Indonesia yang digunakan
sesuai dengan konteks berbahasa dan selaras dengan nilai sosial masyarakat.
Perpres Nomor 63 Tahun 2019 merupakan
implementasi dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jadi, persoalan bahasa dan
pengembangannya seyogianya harus memperhatikan aspek-aspek regulasi dan aturan
(landasan hukum). Namun, bukan berarti hal itu menolak pengembangan bahasa
sesuai dengan era yang dihadapi. Di sini, dalam kacamata kebutuhan, apakah
penggunaan alih teknologi harus sebanding dengan penyerapan istilah asing?
Bahasa, yang dikatakan sebagai identitas
sebuah bangsa, adalah kerangka sistem yang sangat penting dalam pembangunan
bangsa. Artinya, nilai dan unsur kedaerahan juga harus terpelihara. Kita tidak
akan mungkin menghapus riwayat sejarah bangsa sehingga memiliki konsep
semata-mata hanya melihat tantangan ke depan yang dihadapi. Riwayat ini telah
mencatat bahwa menyepakati bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Nusantara
merupakan tonggak sejarah yang tetap kokoh berdiri.
Hal yang juga penting adalah bagaimana agar dalam
pengembangan bahasa juga dilakukan upaya-upaya perlindungan dan pelestarian
bahasa, termasuk bahasa daerah (lokal). Itu mengacu pada Peraturan Pemerintah
Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan
Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia.
Kondisi masa kini memang menjadi sebuah dinamika yang begitu pesat,
terutama pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Kita
menghadapi perubahan-perubahan, baik sosial maupun budaya, transformasi
pemikiran, serta tantangan ekonomi. Kondisi itu juga memengaruhi perubahan
tekstur bahasa meski bukan sebuah alasan pembenaran karena tidak memiliki
indikator jelas (subjektif).
Yang jelas, pola dan tata cara kehidupan
sehari-hari juga akan mengalami perubahan atau pergeseran, termasuk di dalamnya
penggunaan bahasa sehari-hari. Konsep modernisasi atau juga modernitas
pemikiran memiliki pola grafik yang cukup sulit digambarkan karena
penjabarannya menjadi lebih mudah melalui bantuan teknologi digital. Perubahan
konsep dan pola ini menjadi alat pencerminan manusia sebagai makhluk sosial
untuk bertransisi dan bertransformasi. Namun, cara edukasinya sering
meninggalkan prinsip ke-bahasa-an yang baik dan benar.
Konsep era modern sering diaktualisasikan
memiliki analogi dengan budaya pencitraan, meski dalam konteks utuh budaya,
tidak mengenal apa yang dikatakan sebagai pencitraan. Budaya yang selalu
dibangun dan dilestarikan dengan nilai-nilai sakral tentunya tidak harus dibaca
secara subjektif. Kelenturan budaya terjadi salah satunya melalui pengembangan
bahasa dan seni daerah dengan pendekatan dan pemikiran humanis.
Dengan merujuk pada konsep pemikiran
Soedjatmoko, seorang intelektual dan antropolog (1922—1989) yang
melihat kedudukan bahasa tidak terlepas dari dimensi sosial dan kemanusiaan, realitas
sosial yang dihadapi bisa menjadi gesekan dari perubahan-perubahan sosial,
terutama karena adanya iklim dinamika politik. Salah satu cara edukasi dalam
konteks ini adalah sosialisasi yang di dalamnya juga memuat
kepentingan-kepentingan secara pribadi. Bentuk ini dimaknai sebagai sebuah
pencitraan meski klausul yang didasarkan teorema analitik bukan sebagai indikatornya.
Sebuah pencitraan, yang sudah menjadi
relaksasi zaman, tidak lagi mempertimbangkan apakah akan terjadi kerusakan
bahasa (termasuk bahasa daerah) atau bahkan bahasa tergerus dan punah, seakan
membiarkan zaman yang menjawabnya. Teknologi yang berkembang, terutama digital,
akan menjadi sangat efektif digunakan untuk mencapai tujuan pencitraan.
Penggiringan opini publik bahkan sampai pembodohan publik menjadi cara praktis
dengan menggunakan trik bahasa yang mengindahkan kaidah bahasa.
Keterbatasan pemikiran seseorang dalam
penggunaan bahasa bisa menimbulkan kerancuan bahasa. Kata-kata yang menimbulkan
provokasi sektarian dapat membuat penangkapan pembaca atau pemirsa menjadi
sesat. Kekeliruan ini sering diistilahkan sebagai paralogisme. Secara sepintas
penggunaan istilah bahasa seolah-olah benar, tetapi sesungguhnya keliru. Oleh
karena itu, pengkajian disiplin ilmu tentang bahasa harus melihat objek yang
tepat, tidak hanya mengandalkan nalar logika manusia tanpa mengerti
terminologinya.
Objek di sini dapat berupa disiplin ilmu
yang mencakup logika, dialektika, hingga proseduralnya. Seyogianya, bahasa
dalam konteks era pencitraan hanya menjadi alat karena adanya logical fallacy (kekeliruan penalaran).
Bukanlah objek dari sebab-akibat terjadinya disfungsi bahasa. Kita hanya bisa
berharap bahwa kedudukan bahasa, terutama dalam penggunaan istilah, tidak berdampak
negatif dalam penjagaan dan pelindungan bahasa Indonesia.
Vito Prasetyo
sastrawan dan peminat bahasa