Budaya Mimikri, Sistem Pendidikan, Sistem Pemerintahan, dan Humanisme Cerpen “Kita Gendong Bergantian” Karya Budi Darma: Kajian Postkolonial
Hingga kini sastra
tetap mampu menggambarkan peradaban secara realistis yang hampir sempurna.
Dalam banyak hal, sastra sebagai seni terbilang medium yang sangat mudah dan
paling banyak digunakan untuk menunjukkan
kepada awam suatu kejadian. Hal tersebut terjadi sebab sastra acapkali
dikatakan sebagai sebuah fiksi sehingga
mendorong tidak adanya
indikasi yang kuat bahwa sebuah karya sastra memiliki tindak pelanggaran hukum. Sastra
terlahir dari sebuah kedinamisan dan keberagaman konflik kehidupan yang berada
di masyarakat, lukisan menarik dalam perjuangan hidup manusia (Arifin, 2019).
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi
pengarang serta bayangan dari gejala-gejala dinamika sosial yang ada di
sekitarnya.
Nurgiyantoro (2010)
menjelaskan bahwa karya sastra menurut ragamnya dibagi menjadi tiga jenis, yaitu prosa, puisi, dan drama. Karya
sastra jenis prosa biasanya diungkapkan
melalui fiksi atau cerita rekaan. Prosa, menurut Zainuddin
(dalam Felta 2021), adalah pengungkapan peristiwa secara jelas dengan menguraikan seluruh
pikiran dan juga seluruh perasaan yang tidak terikat
syarat-syarat tertentu dalam sebuah karya sastra. Prosa juga dibagi dalam dua
bagian, yaitu prosa lama dan prosa baru. Prosa lama adalah prosa
bahasa Indonesia yang belum terpengaruhi budaya Barat, sedangkan prosa
baru ialah prosa yang dikarang bebas tanpa aturan apa pun.
Cerpen adalah bentuk prosa baru yang
menceritakan sebagian kecil dari kehidupan pelakunya yang terpenting dan paling
menarik. Di dalam cerpen boleh ada konflik atau pertikaian, tetapi hal itu
tidak menyebabkan perubahan nasib pelakunya. Cerpen memiliki beberapa daya
tarik yang sangat memukau para penggemarnya (dalam Felta, 2021). Nurgiantoro (2013) mengungkapkan bahwa
cerpen adalah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk. Struktur
cerpen secara umum meliputi bagian pengenalan, penanjakan menuju
konflik, puncak konflik, penurunan,
dan penyelesaian.
Pada hakikatnya, cerpen adalah cerita fiksi atau cerita rekaan. Secara etimologis, fiksi atau rekaan berasal dari bahasa inggris, yakni fiction (Nuryatin dan Irawati,
2016). Cerpen sendiri merupakan singkatan dari cerita pendek dan karena itu, cerpen digolongkan
sebagai karangan naratif. Adapun narasi bisa dikatakan sebagai
karangan berupa rangkaian peristiwa yang terjadi dalam satu waktu, layaknya
cerpen Kita Gendong Bergantian karya
Budi Darma.
Cerpen Kita Gendong
Bergantian karya Budi Darma ditulis dengan penceritaan pada masa kolonial.
Akibat dari adanya masa kolonial, terciptalah hegemoni terhadap pengkajian yang
lebih mendalam untuk melihat kembali suatu peristiwa terkait sebab-akibat dari
sebuah kolonial, yang kemudian disebut sebagai poskolonial.
Pada umumnya, kolonialisme
dipicu oleh faktor penguasaan ekonomi dengan tidak menutup kemungkinan adanya
faktor lain, seperti politik, agama, dan petualangan (Kartodirjo, 1990). Berbeda dengan Inggris
yang menggunakan tanah jajahan sebagai tempat berdagang ataupun Belanda yang memungut upeti, Jepang melakukan kolonialismenya dengan
cara kerja paksa yang semata bertujuan mengeruk sebanyak mungkin sumber daya
alam Nusantara untuk menjadi keperluan peperangan.
Pada mulanya, poskolonialisme lahir pada akhir abad ke-20 sebagai salah satu
varian posmodernisme. Secara epidermis dalam
bahasa, poskolonialisme
berasal dari bentuk pos, kolonial, dan -isme. Ketiga bentuk tersebut dapat dipahami
sebagai teori yang lahir sesudah zaman kolonial. Dalam pengkajiannya, objek
penelitian poskolonial mencakup aspek-aspek kebudayaan yang
pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal terjadinya kolonisasi hingga
sekarang, hingga pada efek yang ditimbulkannya.
Shelly Walia (dalam Yassin, 2021) berpendapat
bahwa proyek
poskolonialisme pertama kali dikemukakan oleh Frantz Fanon dalam bukunya yang
berjudul Black Skin, White Mask, dan The Wrechend of the earth (NewYork, 1967), Terjemahan Peau Noire, Masques Blans (Paris, 1952). Fanon adalah seorang
psikiater yang mengembangkan analisis sangat cermat mengenai dampak psikologis
dan sosiologis
yang timbulkan oleh kolonisasi (Ratna, 2008).
Lebih jauh,
menurut Ratna, prefiks post- tidak semata-mata mengacu pada makna
sesudah kolonial. Seturut dengan itu, Keith Foulcher dan Tony Day berpendapat bahwa poskolonial
mengacu pada kehidupan masyarakat pascakolonial, tetapi dalam pengertian
lebih luas. Sasaran
poskolonialisme adalah masyarakat yang dibayang-bayangi oleh pengalaman
kolonialisme (Ratna, 2008).
Teori
poskolonial dapat didefinisikan sebagai teori kritis yang mencoba mengungkapkan
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme (Ratna, 2008).
Dengan penjelasan tersebut, cukup
menarik agaknya kita melihat bagaimana kolonialisme Jepang di Indonesia yang
singkat itu bekerja. Adapun pengambilan cerpen Kita Gendong Bergantian karya Budi Darma
dilakukan lantaran penciptaan atas cerpen-cerpen kolonial Jepang sangat sedikit
ditemukan.
Budaya
Mimikri dalam Cerpen Kita Gendong Bergantian
Karya Budi Darma
Mimikri dalam pandangan Bhaba (2007) adalah reproduksi dalam
lingkungan kolonial dari suatu subjektivitas Eropa yang tidak murni, yang
dibangun dari tempat asalnya dan direkonfigurasikan dari sudut pandang sensibilitas dan kecemasan
kolonialisme. Akibat adanya
mimikri, timbullah efek-efek yang kontradiktif. Sifat-sifat sebuah bangsa
terjajah biasanya cenderung lebih rendah dibandingkan dengan negara penjajah. Selain
itu, ada sebuah kekaguman yang kelewat batas dalam sebuah kolonialisme sehingga
di dalam mimikri, muncul utang budi kepada kaum kolonialis.
Mimikri atau peniruan yang dilakukan
oleh kaum Timur ini juga merupakan sebuah ejekan atau mockery terhadap kaum Barat karena tidak melakukan peniruan yang
utuh terhadap
penawaran
kaum Barat (Faruk, 2008).
Tindakan
mimikri merupakan salah satu bentuk resistensi dari pihak terjajah yang berasal
dari dalam, yaitu potensi subversif yang ditempatkan dalam wilayah antara
peniruan dan pengejekan (mimicry and mockery) yang datang dari proses
kolonial ganda (Child and William dalam Haryati, 2007).
Dalam cerpen Kita Gendong Bergantian karya Budi Darma,
ditemukan sedikitnya dua praktik budaya mimikri yang dilakukan atas masyarakat
terjajah.
Dengan gaya digagah-gagahkan sambil membawa tongkat komando, Peket berjalan mondar-mandir sambil sesekali membongkok, menggaruk-garuk kakinya (Kita Gendong Bergantian, Kompas, 29 November 2022).
Berdasarkan kutipan tersebut, tokoh Peket melakukan
sebuah budaya mimikri. Hal itu dijelaskan dengan paradoksial antara simbolis
dunia pendidikan dan militer yang ditunjukkan melalui tongkat komando. Pada dasarnya,
tongkat komando bukanlah simbol yang mewakili dunia pendidikan Indonesia pada
waktu itu. Sejalan dengan itu, Faruk (2001) berpendapat bahwa yang lebih mudah
dan lebih cepat dilakukan oleh masyarakat setempat adalah peniruan gaya hidup
orang Eropa yang menurut Heather Sutherland dan Ahmad Adam merupakan
manifestasi dari hasrat masyarakat terjajah untuk menyesuaikan diri dengan
kehendak zaman, mencapai kemajuan, dan menempatkan diri sama dengan bangsa
penjajah.
Setelah usai,
semua orang harus membongkok-bongkok ke arah Tokyo, kiblat semua makhluk
jajahan Jepang (Kita Gendong Bergantian, Kompas,
29 November 2022).
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa sikap seusai baris-berbaris dan kemudian membongkok-bongkok ke arah Tokyo bukanlah suatu budaya murni dari masyarakat Indonesia. Yang dapat dikatakan mimikri adalah arahan membongkok-bongkok ke arah Tokyo diterapkan tanpa protes sedikit pun.
Sistem
Pemerintahan dan Pendidikan dalam
Cerpen Kita Gendong Bergantian Karya Budi Darma
Selain perilaku budaya mimikri, dampak dari kolonialisme juga menyasar sistem
pemerintahan dan pendidikan. Menurut Kluckohn (dalam Hartono, 2005), budaya Eropa atau dalam hal ini Belanda yang biasanya
ditiru oleh golongan pribumi meliputi tujuh unsur budaya universal, yaitu (1) bahasa lisan
dan tulisan, (2) peralatan perlengkapan hidup manusia (pakaian, rumah, senjata, alat transpotasi, alat
produksi, dan lain-lain), (3) sistem mata pencaharian hidup (pertanian,
pertenakan, sistem produksi,
dan sebagainya), (4) sistem kemasyarakatan (organisasi politik, sistem ukum,
sistem perkawinan, dan
sebagainya), (5) kesenian (seni rupa, seni sastra, seni suara, seni gerak, dan
sebagainya), (6) ilmu pengetahuan, dan (7) sistem religi.
Dalam cerpen
Kita Gendong Bergantian karya Budi
Darma terdapat empat temuan yang mencirikan sistem pemerintahan dan pendidikan
pada zaman kolonial Jepang. Tiap-tiap aspek itu mewakili dua temuan data dari cerpen Kita Gendong Bergantian karya Budi Darma.
Di sekolah dia melihat peristiwa yang sering terjadi semenjak Peket diangkat oleh Jepang untuk menjadi kepala sekolah (Kita Gendong Bergantian, Kompas, 29 November 2022).
Dari kutipan tersebut dapat dilihat tatanan sistem
pendidikan tidak lagi jelas. Dalam masa kolonialisme, bangsa penjajah mampu
membuat orang-orang mendapatkan jabatan tinggi tanpa memperhatikan kredibilitas atau lebih tepatnya
melihat keberpihakan terhadap negara jajahan semata.
Hari itu, Peket menutup pidatonya dengan perintah, untuk membantu para pahlawan Jepang dalam pertempuran melawan Sekutu keparat (Kita Gendong Bergantian, Kompas, 29 November 2022).
Dari kutipan
tersebut dapat terlihat sistem pendidikan carut-marut. Pendidikan dalam bangsa
yang terjajah tidak memiliki bentuk utuh dalam mencerdaskan anak-anak bangsa
Indonesia. Sebaliknya, sistem pendidikan dijadikan propaganda bangsa penjajah
dalam memperkuat kedudukannya di tanah jajahan.
Sejak
Jepang datang tujuh bulan yang lalu, udara selalu dipenuhi oleh bau kelaparan,
kesengsaraan, dan kematian (Kita Gendong Bergantian, Kompas,
29 November 2022).
Dari kutipan tersebut dapat dilihat adanya kekacauan
dalam pengelolaan pemerintahan yang dilakukan Jepang sebagai bangsa penjajah
terhadap bangsa terjajah. Dengan menetapkan diri sebagai penjajah, secara tak
langsung Jepang ditetapkan sebagai pihak yang mengelola pemerintahan dalam
bangsa jajahannya. Namun, nyatanya pemerintahan yang tercipta justru
mengesampingkan kelayakan terhadap masyarakat terjajah.
Jepang
punya kekuasaan untuk merampas apa pun milik penduduk. Kalau tahu, Jepang pasti
akan merampas kuda Badrul, lalu menghukum Badrul dan anaknya dengan
siksaan-siksaan berat (Kita
Gendong Bergantian, Kompas, 29 November 2022).
Dengan merujuk pada kutipan tersebut, sistem pemerintahan yang diciptakan bangsa penjajah tidak lagi berorientasi dengan jelas. Pola yang diciptakan dalam kolonialisme adalah tirani yang menyebabkan masyarakat bangsa terjajah tertindas dan bangsa penjajah makin makmur atas penyelewengan yang berdasar atas budaya sistem pemerintahan yang sepatutnya.
Humanisme dalam Cerpen Kita
Gendong Bergantian Karya Budi Darma
Menurut Riyadi (2012), hak asasi manusia
muncul dari kesadaran, yaitu kesadaran dalam ide yang terkait dan tidak
terputus. Hak asasi manusia itulah yang menjadi dasar perjuangan humanisme. Salah satu prinsip
humanisme dalam penegakan hak asasi manusia adalah hak yang sama berlaku pada
semua orang tanpa memandang ras, etnis, keyakinan, ideologi, bangsa, status,
agama, jenis kelamin, dan golongan (Riyadi, 2012).
Perlakuan yang berbeda menimbulkan
kesenjangan. Kesenjangan inilah yang terjadi pada masa kolonialisme dan
dianggap sebagai hal yang wajar terjadi di sebuah pemerintahan kolonial. Tidak
ada kedudukan yang sama antara penjajah dan bangsa terjajah pada masa
penjajahan Belanda di Indonesia sehingga muncul benih kesadaran pihak terjajah
untuk memperjuangkan kesetaraan hak asasi manusia (Oktaviantina, 2015). Kesadaran humanisme muncul sebagai salah
satu kunci munculnya benih-benih kebangsaan pada saat itu. Kesadaran bahwa
manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dan tidak ada penjajahan terhadap
manusia lain.
Dalam cerpen Kita Gendong
Bergantian karya Budi Darma terdapat tiga data yang dapat kita lihat bahwa
masyarakat terjajah tetap memiliki semangat humanisme yang sangat tinggi
sekaligus humanisme yang tergoncang akibat corak kekerasan.
Karena itu, ketika melihat dua mayat tergeletak di pinggir jalan, dia tidak heran (Kita Gendong Bergantian, Kompas, 29 November 2022).
Menurut Riyadi (2012), hak asasi manusia muncul dari
kesadaran, yaitu kesadaran dalam ide yang terkait dan tidak terputus. Hak asasi
manusia itulah yang menjadi dasar perjuangan
humanisme. Dengan berangkat dari penuturan Riyadi (2021) dan kutipan di
atas,
terlihat bahwa terjadi sebuah pergeseran
kesadaran. Hal tersebut menjadi bukti
bahwa humanisme makin menurun dalam masyarakat terjajah.
Dia lari, dan melihat tetangga-tetangganya memukuli ayahnya. Dekat ayahya ada orang berkelejatan, sekarat. Ayahnya tumbang. Serdadu Jepang memerintahkan tetangga-tetangganya untuk menginjak-injak tubuh ayah Misbahul. Tidak ada yang mau (Kita Gendong Bergantian, Kompas, 29 November 2022).
Salah satu prinsip humanisme dalam penegakan hak asasi
manusia adalah hak yang sama berlaku pada semua orang tanpa memandang ras,
etnis, keyakinan, ideologi, bangsa, status, agama, jenis kelamin, dan golongan
(Riyadi, 2012). Sejalan dengan kata ahli sebelumnya dan kutipan di atas bahwa
dapat dilihat penegakan hak asasi manusia dalam hal ini merupakan bagian dari humanisme
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pengeroyokan terhadap tokoh Ayah Misbahul—yang di bawah tekanan tentara
Jepang—tidak sesuai dengan nilai humanisme sebab hal itu melanggar hak yang berlaku. Hak yang
berlaku dalam hal ini dapat didasarkan pada keputusan
akibat perlakuan Ayah Misbahul diselesaikan atas dasar hukum yang berimbang.
”Mari kita antarkan Pak Peket ke rumahnya.” (Kita Gendong Bergantian, Kompas, 29 November 2022).
Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa meskipun adanya penyelewengan hak asasi manusia yang di dalamnya terkandung humanisme, pada dasarnya hal itu tidak seutuhnya menghapus kesadaran atas penerapan hak tiap manusia tanpa memandang ras, etnis, keyakinan, ideologi, bangsa, status, agama, jenis kelamin, dan golongan. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa sebelumnya tokoh Peket merupakan masyarakat terjajah yang memihak bangsa kolonial. Namun, humanisme menyadarkan bahwa tokoh Peket tetap mendapatkan perlakuan yang humanisme dengan mengantarkannya ke rumahnya.
Simpulan
Dalam cerpen Kita Gendong
Bergantian karya Budi Darma akhirnya dapat kita lihat bahwa budaya mimikri yang dilakukan bangsa
terjajah meliputi perilaku-perilaku bangsa penjajah dengan berbagai pola yang
memang berdasarkan paksaan
ataupun
inisiatif dari masyarakat bangsa
terjajah.
Selain
itu, gambaran sistem pendidikan yang terdapat dalam cerpen Kita Gendong Bergantian tergambar dari aturan-aturan yang diciptakan bangsa penjajah. Situasi sistem
pemerintahan yang diciptakan bangsa penjajah terlihat tidak
berjalan baik dengan berbagai perilaku terhadap masyarakat bangsa terjajah.
Terdapat pula kecenderungan
humanisme dalam Kita Gendong Bergantian
yang mengalami dilema karena faktor tekanan bangsa
penjajah yang semena-mena. Namun, kesadaran atas humanisme di luar tekanan bangsa penjajah tidak surut begitu
saja bagi bangsa terjajah.
Radja Sinaga
Radja Sinaga lahir pada 20 Januari. Ia adalah alumni Kelas Menulis Prosa yang diadakan oleh Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara pada 2019. Menulis esai, cerpen, dan puisi adalah hobinya. Ia merupakan pegiat di Komunitas Lantai Dua. Ia juga aktif mengelola situs sastra dan budaya Modepesawat.id. Kumpulan cerpen perdananya yang tak lama lagi terbit Pearaja Sembilan Ratus Sembilan Puluh (Jejak Pustaka).