Nalar Puitis Goenawan Tegangan di Antara Imaji dan Ide
Pembuka
Goenawan Muhamad (GM) merupakan satu nama yang unik dalam sejarah perpuisian di Indonesia sesudah kemerdekaan. Dia mulai memublikasikan puisi-puisinya sekira tahun 1960-an dan diterbitkan ke dalam buku Pariksit oleh penerbit Litera pada tahun 1971. Dalam situs web badanbahasa.kemdikbud.go.id, laman Ensiklopedia Karya Sastra, terdapat penerimaan atas buku ini. “M.S. Hutagalung berpendapat bahwa sajak Goenawan Mohamad memancarkan kekuatan intelektual, tetapi sajak-sajaknya tidak terasa dingin dan kering. Burton Raffel (1968) menyatakan bahwa sajak-sajak Goenawan memiliki tenaga gaib, keagungan dari sebuah nyanyi murni.” Oleh karena itu, dalam esai ini saya akan membahas puisi GM dan karakteristik teksnya serta bagaimana pengaruhnya pada tekstografi perpuisian Indonesia sesudah kemerdekaan.
Lebih dari itu, setiap karya sastra tidak hadir dalam entitasnya semata. Teks sastra merupakan respons atas keberjamakan teks yang melatarinya. Begitu pun puisi, ia memiliki kepejalan intertekstual yang dapat dikonkretkan dengan atau tanpa penyertaan catatan kaki, misalnya. Untuk memerikannya, dalam esai ini akan dibahas tiga hal, yakni (1) bagaimana daya imaji dan ide yang tesertakan dalam puisi-puisi GM dapat membakukan peristiwa dan makna sebagai pengalaman dan pengetahuan hidup; (2) bagaimana peristiwa dan makna yang terbakukan dalam teks puisi tersebut menyertakan sintagma dan paradigma teks yang menyiratkan intertekstual; dan (3) apakah teks puisi yang sarat dengan imaji dan ide dalam langgam lirisisme dapat menandai kekhasan puisi baru Indonesia setelah kemerdekaan.
A. Imaji dan Ide
Pada mulanya deret
huruf disepakati dengan istilah kata. Lalu, citra visual dan akustik
menyertainya saat seseorang membubuhkannya dalam puisi atau saat seseorang
membacanya. Citraan tersebut membangun imaji yang menimbulkan gejala psikis
(perasaan dan emosi) yang dicerap indra. Lalu, cerapan tersebut diteruskan
sensor motorik otot tubuh sampai ke otak manusia dalam sepersekian detik.
Namun, tak hanya itu yang diinginkan sebuah puisi. Berbagai citraan visual dan akustik yang tersarang di belahan kanan otak manusia (si Oka) yang membangun imaji dan emosi akan selalu berhubungan dengan berbagai ide, konsep, atau arti yang ada di belahan kiri otak manusia (si Oki) yang membangun logika makna puisi. Mana lebih dahulu berproses, si Oka atau si Oki? Yang pasti, saat kita mengindrai sebuah diksi dalam puisi, lalu kedua belahan otak kita tak mampu berproses menciptakan imaji dan ide, kita telah menemukan sebuah istilah baru atau bahkan asing.
Pada mulanya deret
imaji (seolah-olah) tidak memiliki hubungan antara ide
satu dan lainnya. Deret imaji yang berserakan lebih disebabkan pada pemodelan teks puisi yang memenggal sebuah
wacana (kalimat) ke dalam larik atau baris. Kita mengenal peristiwa pemenggalan
sebuah wacana ke dalam larik-larik dengan istilah enjambemen. Ada
kalanya enjambemen berdasar bukan karena motif untuk pemodelan teks saja,
melainkan juga karena motif merancang bangun teks atau membuat arsitektur teks
yang dikenal dengan istilah tipografi.
Timbangan dan imbangan enjambemen dan tipografi ini telah menempatkan puisi menjadi teks yang menyampaikan sebuah wacana yang berisi peristiwa dan makna dengan menyembunyikan (sebagian besar) imaji dan idenya. Dengan itu, kegiatan memarafrasakan sebuah puisi bertujuan membuat utuh kembali wacana puisi ke dalam pernyataan lugas seperti yang pada umumnya dimiliki prosa. Sekarang, mari, kita baca sebuah puisi berjudul “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” (“DBIATKL”) dari GM berikut ini.
Di beranda ini angin
tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang
menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah
sebelum malam tiba
Kudengar angin
mendesak ke arah kita
Di piano bernyanyi
baris dari Rubayat
Di luar detik dan
kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama.
Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke
mana lagi akan tiba
Aku pun tahu: sepi
kita semula
bersiap kecewa,
bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun
berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok
mungkin tak ada
1966
(Sumber: Mohamad,
1971 dan Mohamad, 2001)
Larik
1 dan 2 pada bait I menyusun imaji-imaji yang berhubungan dengan ide-ide yang
seolah-olah berserak tak berhubungan
satu dengan lainnya. Dari kedua larik tersebut terdapat tiga wacana yang
dipaksa dihubungkan dengan tematik judulnya, yakni (1) di beranda ini angin tak kedengaran
lagi, (2) langit terlepas, dan (3) ruang menunggu malam hari. Hal yang sama akan terbaca pada semua larik pada bait II dan dua larik
terakhir pada bait III.
Selebihnya, penyertaan aku lirik puisi, yakni larik 3 dan 4 pada bait I dan larik 1 dan 2 pada bait III menandai kehadiran (rangkaian) peristiwa melalui tokoh dan konflik. Bahkan, 5 tahun sebelum puisi ini ditulis, GM sudah fasih membuat puisi dengan imaji dan ide berlatar suasana yang kuat. Aku lirik yang lesap berbicara kepada partisipan orang kedua kamu (dalam partikel -mu). Semua larik menjadi senyatanya lirik yang hanya menangkap kesan-kesan yang tesertakan dalam peristiwa dan makna puisi. Yang dimaksud adalah puisi berjudul “Di Muka Jendela” (DMJ). Saya sertakan utuh puisi tersebut.
Di Muka Jendela
Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: – Datanglah!
Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang tengadah
tanah padang-padang tekukur
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
Tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?
1961
(Sumber: Mohamad, 2001)
Tentu saja,
pengalaman penyair yang membubuhkan imaji dan ide dalam kedua puisi tersebut
tidak akan seidentik dengan pengalaman seseorang saat membacanya karena pembaca
potensial memiliki atmosfer pengetahuan dan pengalaman hidup yang berbeda.
Bahkan, hal ini akan dialami penyairnya saat membaca ulang puisinya pada kemudian hari.
Hal yang sama pun dilakukan Chairil Anwar (CA) dalam puisi berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” dan “Derai-Derai Cemara”. Imaji dan ide membangun suasana yang menyertakan gejala psikis, bisa emosi, perasaan, dan sebagainya. Sementara itu, kehadiran aku lirik puisi, baik lugas maupun lesap, terbaca menciptakan peristiwa dan makna yang terikat tematik judul. Hal inilah yang membuat kedua puisi CA dan GM kuat dalam membangun wacana—imaji yang menciptakan suasana dan ide yang menciptakan peristiwa dan makna.
B. Sintagma
dan Paradigma
Pada bagian pertama, kita telah membahas imaji dan ide yang tesertakan dalam sebuah puisi. Kekuatan imaji dan ide puisi terdapat dalam diksi dan gaya bahasa yang tesertakan pada larik. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah bagaimana enjambemen dan tipografi telah membuat wacana, yakni satuan gramatikal kalimat, tidak identik dengan larik. Berikut ini disertakan contoh bait 1 yang diambil dari puisi DMJ.
(Bait 1)
Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigila
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: – Datanglah!
Bait di atas terdiri atas sepuluh larik. Larik-larik tersebut merupakan timbangan dan imbangan enjambemen yang dilakukan GM untuk menghasilkan tipografi bait liris. Namun, penyertaan tanda baca titik (.) menandakan bahwa bait di atas dibangun atas empat kalimat. Dengan demikian, bait tersebut dapat disusun ulang dalam bentuk paragraf naratif sebagai berikut ini.
Di sini cemara pun gugur daun. Dan kembali ombak-ombak hancur terbantun. Di sini kemarau pun menghembus bumi menghembus pasir, dingin dan malam hari ketika kedamaian pun datang memanggil ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil dan sebuah kata merekah diucapkan ke ruang yang jauh: – Datanglah!
Oleh karena itu, jumlah larik dan kalimat dalam bait
tidak identik. Kalimat merupakan satuan gramatikal terkecil pembangun wacana.
Di dalam kalimat tesertakan diksi dan gaya bahasa sebagai disposisi wacana yang
berisi peristiwa dan makna. Kurang lebihnya, disposisi wacana yang menyertakan
peristiwa dan makna inilah yang dimaksud dengan sintagma puisi (Machyuzaar, 2021).
Dalam bait tersebut, setiap sintagma berisi diksi dan gaya bahasa dalam tegangan di antara imaji dan ide yang menciptakan suasana. Hal ini dapat diperoleh melalui kehadiran satuan gramatikal klausa dalam sebuah sintagma. Komposisi klausa yang membentuk sintagma menyertakan makna tambah atau makna lebih karena pemanfaatan diksi dan gaya bahasa. Berikut ini disertakan hasil analisis sintagma yang terdapat pada bait 1 puisi “DMJ”.
Tabel 1
Sebaran Sintagma pada Bait 1 Puisi DMJ
Sintagma |
Sederhana |
Kompleks |
Di sini cemara pun gugur daun. |
1 klausa: cemara
pun gugur |
|
Dan kembali ombak-ombak hancur terbantun. |
1 klausa:
ombak-ombak hancur |
|
Di sini kemarau pun menghembus bumi meng-hembus pasir, dingin dan malam hari ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil dan sebuah kata merekah diucapkan
ke ruang yang jauh: |
|
10 klausa: 1)
Kemarau menghembus bumi; 2) kemarau menghembus pasi; 3) kemarau menghembus
dingin; 4) kemarau menghembus malam
hari; 5) kedamaian pun datang memanggil; 6) angin terputus-putus; 7) hatimu
meng-gigil; 8) sebuah kata merekah; 9) sebuah kata merekah diucapkan; 10)
ruang jauh. |
– Datanglah! |
1 klausa:
(subjek lesap) -Datanglah |
|
Selain itu, tentu
saja setiap sintagma puisi dalam sebuah bait dapat dianggap sebagai disposisi
wacana dari timbangan dan imbangan atas posisi dan oposisi antarsintagma yang
dimungkinkan menyertai dan melingkungi sintagma itu dibuat. Kurang lebihnya,
posisi dan oposisi antarsintagma ini dapat diistilahkan dengan paradigma puisi.
Dengan ini pula, sintagma puisi diperkaya paradigma puisi dengan acuan-diri
yang menyertakan peristiwa dan makna.
Puisi berjudul “Potret Taman untuk Allen Ginsberg” (“PTUAG”) dapat dijadikan contoh sederhana untuk menemukan paradigma yang melingkungi sebuah teks puisi. Berikut ini disertakan puisi tersebut dan analisis sintagma dan paradigma yang melingkunginya.
1973
Tabel 2
Sebaran Sintagma dan Paradigma
Puisi “PTUAG”
Sintagma |
Paradigma |
Diksi: Ia menebak dari warna kulit saya dan berkata, “Tuan pasti dari dunia ketiga.” Gaya bahasa: Ia menebak dari warna kulit saya dan berkata, “Tuan pasti dari dunia ketiga.” (majas
sindiran halus atau ironi). |
Peristiwa:
Isu
global pada era sebelum tahun 2000 dalam pembangunan dan ekonomi. Terdapat dua klasifikasi negara,
yakni negara maju dan negara berkembang (atau terbelakang) secara ekonomi. Tidak
hanya itu, tesertakan isu sara dalam perang dingin antara, satu pihak
diwakili Amerika dan di pihak lain diwakili Uni Soviet, yakni kulit putih dan
nonputih. Makna:
Terjadi polarisasi diskriminatif yang
berasal dari motif ekonomi dan politik sehingga menempatkan sebagian negara
dikategorikan berkembang, bahkan terbelakang. |
Diksi: Lalu ia, dari dunia pertama, mengunyah makan pagi seraya mengutip Mao Tse-tung dan sebuah sajak gunung – ramah sekali. Gaya bahasa: Lalu ia, dari dunia pertama (majas ironi), mengunyah makan pagi seraya mengutip Mao Tse-tung (majas
sinekdoke pars pro toto) dan sebuah sajak
gunung – ramah sekali (majas ironi). |
Peristiwa:
Polarisasi yang menjadi pengklasifikasian negara ini berdasar
pada paham bahwa dunia pertama menganut sistem ekonomi liberal-kapitalis dan
sosialisme-marksis atau sosialisme-komunis. Makna:
Perang di Vietnam tidak lepas dari
pengaruh dua negara adikuasa yang berpaham komunisme-sosialis (Uni Soviet)
dan kapitalisme-liberalis (Amerika). |
Diksi: Bisakah ia tidur sebelum anggur lalu mungkin mimpi di lindungan malaikat masehi? Gaya bahasa: Bisakah ia tidur sebelum anggur (majas
simbolis) lalu mungkin mimpi di lindungan malaikat masehi (majas ironi
dan hiperbola)?
|
Peristiwa:
Metafora
anggur menghadir-kan surga yang
dibangun dunia pertama dengan terdukung sains dan teknologi, sedangkan metafora malaikat masehi menghadirkan
kecenderungan surgawi yang terdukung tata dan nilai agama dalam membangun
negara pada sebagian besar negara berkembang. Makna:
Pada tingkat berikutnya, polarisasi
diskriminatif terjadi antara sains
dan agama, negara demokrasi, negara teokrasi, dan negara maju dan negara
berkembang. |
Diksi: Ia telah jalan dalam angin dan mengucup es-krim dan membaca berita di halaman pertama tentang sebuah perang di Asia Tenggara. Gaya bahasa: Ia telah jalan dalam angin (majas
hiperbola) dan mengucup es-krim dan membaca berita di halaman pertama tentang sebuah perang di Asia Tenggara (majas
sinekdoke totem pro parte). |
Peristiwa:
Pada
tahun yang sama dengan saat puisi ini ditulis, negara dunia pertama yang
memiliki paham bertentangan berebut pengaruh kepada negara-negara dunia
ketiga. Salah
satu korban adalah negara Vietnam di Asia Tenggara. Makna:
Peperangan
di Vietnam menandai pertemuan dua negara maju dan paham yang mereka anut. |
Diksi: Ia kini duduk bersila di bangku taman kotapraja, mungkin semadi, mungkin aku tidak mengerti karena ia berkata: “Di Vietnam tak ada orang mati Tak ada Vietnam dan Orang tak mati.” Gaya bahasa: Ia kini duduk bersila di bangku taman kotapraja, mungkin semadi, mungkin aku tidak mengerti (majas tautologi) karena ia berkata: “Di Vietnam tak ada orang mati. Tak ada Vietnam dan Orang tak mati.” (majas kontrasikdi
internimis, hiperbola, sinisme, dan totem pro parte). |
Peristiwa:
Perang
di Vietnam, yang sebetulnya perang pengaruh dua negara adikuasa, telah
menghancurkan sebuah bangsa. Namun, ia sebagai
representasi dunia pertama menganggap bahwa di perang Vietnam tidak ada kematian.
Justru sebaliknya, yang ada adalah sebuah awal kehidupan, yakni tumbuhnya
negara dengan paham liberalisme-kapitalis. Makna:
Nilai-nilai
kemanusiaan dapat terabai karena perang pengaruh di antara dua negara
adikuasa. |
Diksi: Lalu ia mencari kepak burung, ia mencari merpati, ia mencari lambang, ia mencari makna hari. Gaya bahasa: Lalu ia mencari kepak burung, ia mencari merpati, ia mencari lambang, ia mencari makna hari (majas
paralesisme anapora). |
Peristiwa:
Ia (sebagai
wakil dari dunia pertama) masih dapat berpikir kritis atas risiko peperangan
yang terjadi di Vietnam. Makna:
Nilai
kemanusiaan yang universal dapat memberi sisi kesadaran pada per individu,
baik sebagai warga dunia pertama atau dunia ketiga. |
Diksi: Ia mencari seakan ia tahu apa yang ia ingin temukan dan tiba-tiba ia menuliskan: “Revolusi, Revolusi, Tak Bisa Dipesan Hari Ini.” Gaya bahasa: Ia mencari seakan ia tahu apa yang ia ingin temukan dan tiba-tiba ia menuliskan: (majas repetisi) “Revolusi, Revolusi, Tak Bisa Dipesan Hari Ini.” (majas
kontrasikdi internimis, hiperbola, sinisme, dan metafora). |
Peristiwa:
Ia optimis
dengan mengamerikakan Vietnam, peradaban negara
tersebut dapat dicapai sebagaimana negara dunia pertama. Ia menganggap bahwa perlu waktu untuk sampai pada tujuan atas
perubahan. Makna:
Imajinasi
tentang kesejahteraan dan kemakmuran bagi sesama tidak bisa dibentuk dengan
instan. Selain itu, hal tersebut akan berhubungan dengan sejarah peradaban
suatu bangsa yang berbeda. |
Diksi: Lalu ia bangkit, ia mual, ia mencium bau biasa dari
kakus umum;
ia basah oleh tangis dan ia meludah: “Kencingilah
kaum borjuis!” Gaya bahasa: Lalu ia bangkit, ia mual, ia mencium bau biasa dari
kakus umum;
ia basah oleh tangis dan ia meludah: (paralelisme
anapora) “Kencingilah kaum borjuis!” (majas
kontradiksi internimis, hiperbola, dan sarkasme). |
Peristiwa:
Ia sangat
membenci sistem dan tata nilai yang dianut oleh sosialisme-marksis atau
sosialisme-komunis yang ada di Vietnam. Metafora kaum borjuis tertuju pada kaum elite di Vietnam. Ia mengekspresikan kebenciannya dengan
ungkapan, “Kencingilah kaum borjuis!” Makna:
Ia
sebagai tokoh yang mewakili negara adikuasa Amerika dan sekutunya Eropa
memberi pandangan atas paham yang dianut negara adikuasa lawannya, yakni Uni
Soviet. |
Diksi: Adakah ia Nabi? Gaya bahasa: Adakah ia Nabi? (majas
kontradiksi internimis, ironi, eufemisme, dan simbolis). |
Peristiwa:
Aku
lirik mempertanyakan tokoh ia dalam
nada retoris: bahwa kaum borjuis bukan penyelamat kehidupan. Makna:
Dalam
majas retoris ini aku lirik puisi mendistorsi batasan kata nabi bahwa tokoh ia memberi informasi
tentang nilai-nilai keilahian dan kemanusiaan. |
Diksi: Tuhan. Gaya bahasa: Tuhan
(majas simbolisme). |
Peristiwa:
Kata
ganti orang pertama, saya, sebagai representasi orang dunia
ketiga menyebut kata Tuhan. Makna:
Aku
lirik mewakili warga dunia ketiga, negara berkembang yang sarat dengan
nilai-nilai religiusitas. |
Diksi: Di taman ini orang juga ngelindur tentang perempuan-perempuan berpupur dan sebuah mulut berahi kudengar memaki: “Bangsat,
kenapa aku di sini!” Gaya bahasa: Di taman ini orang juga ngelindur tentang perempuan-perempuan berpupur dan sebuah mulut berahi kudengar memaki: (majas
hiperbola) “Bangsat, kenapa aku di sini!” (majas
sarkasme, retoris, dan kontradiksi internimis). |
Peristiwa:
Kesan
saya sebagai aku lirik puisi
tentang situasi peperangan di Vietnam. Tak jelas, apakah di sebuah tangsi,
kamp militer, atau di sebuah dusun. Yang pasti ia dan saya (aku lirik
puisi) terlibat perbincangan. Kalimat langsung dengan penyertaan kata ganti
orang pertama aku (orang bermulut
berahi) berbicara tentang keberadaannya di dalam situasi perang. Makna:
Dalam
situasi perang, benar atau salah menuntut orang untuk terlibat, baik berpihak
pada salah satu atau justru berada di luar keduanya. Diksi ngelindur dapat dimaknai sebagai
orang-orang yang digambarkan dalam perang yang mau tak mau harus menjalani
perang tanpa alasan yang rasional. |
Diksi: Atau mungkin ia ngelindur tentang sebuah dusun yang hancur dan sisa infantri dan mayat dan ulat dan ruh dan matahari? Gaya bahasa: Atau mungkin ia ngelindur tentang sebuah dusun yang hancur dan sisa infantri (majas sinekdoke
pars pro toto) dan mayat dan ulat dan ruh dan matahari? (majas klimak,
repetisi, dan hiperbola). |
Peristiwa:
Diksi
ngelindur dihadirkan kembali untuk
mempertegas bahwa tokoh ia baru
menyadari keberadaannya dalam situasi perang di sebuah dusun di Vietnam yang
menimbulkan banyak korban. Makna:
Majas
klimaks, repetisi (diksi ngelindur)
dan hiperbola atas gambaran korban perang di sebuah dusun di Vietnam
menggambarkan betapa perang telah menimbulkan bencana kemanusiaan. |
Diksi: Aku dengar seorang-orang tua, yang kesal dan berkata: “Di sekitar hari Natal, pernah terjadi hal yang tak masuk akal. Misalnya mereka membom Hanoi sebelum (bukan sesudah) aku minum kopi.” Gaya bahasa: Aku dengar seorang-orang tua, yang kesal dan berkata: “Di sekitar hari Natal, pernah terjadi hal yang tak masuk akal (majas menyebut
ciri fisik). Misalnya mereka membom Hanoi sebelum (bukan sesudah) aku minum kopi.” (majas paradoks, antitesis, dan ironi). |
Peristiwa:
Melalui
aku lirik puisi teridenfikasi tokoh seorang
tua. Apakah tokoh ini mengacu pada tokoh ia atau tokoh lain, tidak dapat
dipastikan. Ada tiga peristiwa di dalam sintagma ini. Pertama, perbincangan
aku lirik puisi (saya) terjadi di
sekitar perayaan hari Natal. Kedua, tentara Amerika dan sekutunya mengebom
ibu kota Vietnam, yaitu Hanoi. Terakhir, perbincangan tersebut disertai
dengan menikmati minum kopi. Makna:
Sikap
aku lirik puisi terhadap dunia yang digambarkan, perang Vietnam, dinyatakan
dengan lugas dengan diksi, “... pernah terjadi hal yang tak masuk akal. Sikap
ini secara keseluruhan disampaikan dengan nada sindiran (ironi, sinisme, dan
sarkasme), pertentangan (kontradiksi internimis, paradoks, dan oksimoron),
perumpamaan (hiperbola, metafora, simbolis, dan sinekdoke). |
Pada bagian
pertama esai ini kita telah menimbang bagaimana imaji dan ide tesertakan dalam
larik. Namun, agar menjadi sebuah keutuhan, imaji dan ide tersebut tidak
dibangun melalui larik, tetapi dibangun melalui sintagma dan paradigma puisi. Oleh karena itu,
pada bagian kedua esai ini disertakan contoh sintagma dan paradigma yang melingkungi
sebuah teks puisi, seperti pada analisis
puisi “PTUAG” (tabel 2).
Dalam sintagma
puisi tesertakan diksi dan gaya bahasa. Pemanfaatan keduanya, ditambah dengan
enjambemen dan tipografi, mengakibatkan ambiguitas makna pada tingkat sintaksis
(semantik kalimat). Sintagma puisi tersebut, yang dijamin oleh ketatabahasaan
sebagai kode bahasa dan pemodelan teks yang menyertakan larik dan bait sebagai
kode teks (puisi), diresepsi oleh
pembaca potensial pada tingkat pragmatik (semantik
wacana). Pada tingkat ini sintagma puisi ditempatkan sebagai disposisi wacana
dari posisi dan oposisi antarsintagma yang dimungkinkan melingkungi sintagma
dibuat sehingga menghasilkan ambivalensi makna.
Dari dua analisis sebelumnya, kita mendapat gambaran bahwa
(1) satuan gramatikal larik dan sintagma puisi
tidak identik; (2) sintagma puisi
sepadan dengan satuan gramatikal kalimat yang menyusun wacana sebuah paragraf; (3) di dalam sintagma tesertakan diksi dan
gaya bahasa sebagai tegangan di antara imaji dan ide; (4)
sintagma puisi, sebagai disposisi wacana, menyertakan paradigma puisi yang
berisi posisi dan oposisi antarperistiwa dan makna yang dimungkinkan
melingkungi sintagma dibuat; dan (5)
sintagma dan paradigma puisi menandakan karakteristik teks yang ambivalen (makna tambah atau makna lebih) yang disebabkan pemanfaatan diksi dan gaya
bahasa.
C. Nalar Puisi
Pada bagian ketiga esai ini kita akan mencoba menjawab
pertanyaan terakhir pada bagian pembuka, yakni apakah teks puisi yang sarat
dengan imaji dan ide dalam langgam lirisisme dapat menandai perbedaan dengan
teks-teks puisi sezaman dan lintas zaman? Bahkan, apakah puisi GM dapat
menandai kekhasan puisi baru Indonesia setelah kemerdekaan. Kemungkinan
tersebut dapat ditemukan melalui pemodelan teks puisi yang mendasari
karateristik puisi-puisi GM di awal kepenyairannya. Tentu saja, pembahasan atas
puisi “DBIATKL” dan “DMJ” hanya mewakili kecenderungan model teks puisi pada periode
awal kepenyairan GM. Kita perlu membandingkannya dengan puisi-puisi GM pada
periode berikutnya.
Meskipun begitu, analisis sederhana yang kita lakukan pada
bagian sebelumnya ini, setidaknya, dapat dijadikan pijakan untuk melihat
gambaran teks (tekstografi) perpuisian Indonesia periode 1949—1972. Pada esai
terdahalu saya telah menggambarkan bahwa dalam periode tersebut terdapat
kekhasan teks puisi yang dibuat oleh Sapardi Djoko Damono dengan diksi dan gaya
bahasa yang memaksimalkan imaji daripada ide sehingga kecenderungan suasana
lebih kuat. Sementara itu, masih pada periode yang sama juga terdapat kekhasan
teks puisi Indonesia lain yang digagas oleh W.S. Rendra dengan puisi (sajak)
balada yang lebih mengekspresifkan ide cerita atau kisah di balik
tokoh (aku lirik).
Sementara itu, sebagai perbandingan lintas zaman, di
bagian kesatu esai ini kita telah melihat bagaimana puisi GM memiliki sanad dengan
puisi CA. Sejak tahun 1960-an GM telah mengukuhkan corak penulisan puisi liris
yang sebelumnya diletakkan Chairil Anwar. Yang membedakan keduanya adalah bahwa diksi dalam puisi GM mau lebih
banyak membuka horizon harapan pembaca pada intertekstual di luar puisinya.
Andaian ini tentu saja didasarkan pada analisis di bagian sebelumnya.
Oleh karena itu, kita mendapat gambaran bahwa sintagma-sintagma yang menyertakan imaji dan ide sekaligus peristiwa dan makna tersebut membangun paradigma puisi GM. Setidaknya, kecenderungan paradigma puisi GM terbangun dari posisi dan oposisi antarwacana yang diakrabi GM, seperti (1) wacana ketimuran (epik Mahabarata dan Ramayana), (2) wacana kebaratan yang membangun mitos, filsafat, dan sains (mitologi Yunani), (3) isu-isu mutakhir yang menjadi perbincangan masyarakat global (seperti kisah perang Vietnam), dan (4) secara khusus, studi-studi budaya kontemporer sebagai kerangka berpikir kritis dengan langgam jurnalistik.
Penutup
Sebagai tambahan, mungkin pemodelan teks puisi yang dilakukan GM juga berpengaruh pada penulisan esai di Catatan Pinggir. Meski model teks esai Catatan Pinggir memakai fitur kalimat dan paragraf, strategi literer yang digunakan masih bergenre lirik, yakni menyertakan keterhubungan sekaligus ketegangan di antara imaji dan ide dengan pemanfaatan diksi dan gaya bahasa khas dan ekspresif. Tentu saja, asumsi ini harus dibuktikan dengan pembahasan komparatif antara puisi dan esai GM dengan pembahasan lebih renik dan menyeluruh.
Namun, cara berpikir yang digunakan GM dalam strategi
literer pemodelan teks puisi dan esai memiliki kecenderungan yang sama, yakni
bernalar puitis. Imaji dan ide yang tesertakan dalam sintagma puisi mendapat
ekspresivitasnya dalam diksi dan gaya bahasa khas penulis. Sekaligus, dengan
hal itu pula tesertakan paradigma puisi yang memendarkan acuan-diri teks
berbentuk peristiwa dan makna yang ambivalen. Sampai di sini kita mungkin akan
sampai pada teks puisi yang memiliki keterhubungan dengan teks-teks di luar
puisinya—atau kita mengenalnya dengan intertekstual.
Terakhir, setiap karya sastra tidak hadir dalam entitasnya semata. Teks sastra merupakan respons atas keberjamakan teks yang melatarinya. Begitu pun puisi, ia memiliki kepejalan intertekstual yang dapat dikonkretkan dengan penyertaan catatan kaki. Jika hal ini mendasari penamaan istilah puisi esai, saya menduga bahwa penyertaan catatan kaki saja tidak cukup mumpuni untuk menyelaraskan dua genre teks tersebut dalam satu teks. Hal ini akan membuat puisi terjebak pada identifikasi artifisial hanya dengan daya tipografi. Menurut hemat saya, inilah relevansi yang didapat dari pembahasan esai ini. Tabik!
Mangkubumi,
27 Agustus 2022
Nizar Machyuzaar
Penulis merupakan pembelajar tektologi, stilistika, dan naratologi. Saat ini penulis sedang menamatkan kuliah di Program Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran