Nalar Puitis Goenawan Tegangan di Antara Imaji dan Ide

Pembuka       

Goenawan Muhamad (GM) merupakan satu nama yang unik dalam sejarah perpuisian di Indonesia sesudah kemerdekaan. Dia mulai memublikasikan puisi-puisinya sekira tahun 1960-an dan diterbitkan ke dalam buku Pariksit oleh penerbit Litera pada tahun 1971. Dalam situs web badanbahasa.kemdikbud.go.id, laman Ensiklopedia Karya Sastra, terdapat penerimaan atas buku ini. “M.S. Hutagalung berpendapat bahwa sajak Goenawan Mohamad memancarkan kekuatan intelektual, tetapi sajak-sajaknya tidak terasa dingin dan kering. Burton Raffel (1968) menyatakan bahwa sajak-sajak Goenawan memiliki tenaga gaib, keagungan dari sebuah nyanyi murni.” Oleh karena itu, dalam esai ini saya akan membahas puisi GM dan karakteristik teksnya serta bagaimana pengaruhnya pada tekstografi perpuisian Indonesia sesudah kemerdekaan.

            Lebih dari itu, setiap karya sastra tidak hadir dalam entitasnya semata. Teks sastra merupakan respons atas keberjamakan teks yang melatarinya. Begitu pun puisi, ia memiliki kepejalan intertekstual yang dapat dikonkretkan dengan atau tanpa penyertaan catatan kaki, misalnya. Untuk memerikannya, dalam esai ini akan dibahas tiga hal, yakni (1) bagaimana daya imaji dan ide yang tesertakan dalam puisi-puisi GM dapat membakukan peristiwa dan makna sebagai pengalaman dan pengetahuan hidup; (2) bagaimana peristiwa dan makna yang terbakukan dalam teks puisi tersebut  menyertakan sintagma dan paradigma teks yang menyiratkan intertekstual; dan (3) apakah teks puisi yang sarat dengan imaji dan ide dalam langgam lirisisme dapat menandai kekhasan puisi baru Indonesia setelah kemerdekaan. 

A. Imaji dan Ide

Pada mulanya deret huruf disepakati dengan istilah kata. Lalu, citra visual dan akustik menyertainya saat seseorang membubuhkannya dalam puisi atau saat seseorang membacanya. Citraan tersebut membangun imaji yang menimbulkan gejala psikis (perasaan dan emosi) yang dicerap indra. Lalu, cerapan tersebut diteruskan sensor motorik otot tubuh sampai ke otak manusia dalam sepersekian detik.

Namun, tak hanya itu yang diinginkan sebuah puisi. Berbagai citraan visual dan akustik yang tersarang di belahan kanan otak manusia (si Oka) yang membangun imaji dan emosi akan selalu berhubungan dengan berbagai ide, konsep, atau arti yang ada di belahan kiri otak manusia (si Oki) yang membangun logika makna puisi. Mana lebih dahulu berproses, si Oka atau si Oki? Yang pasti, saat kita mengindrai sebuah diksi dalam puisi, lalu kedua belahan otak kita tak mampu berproses menciptakan imaji dan ide, kita telah menemukan sebuah istilah baru atau bahkan asing. 

Pada mulanya deret imaji (seolah-olah) tidak memiliki hubungan antara ide satu dan lainnya. Deret imaji yang berserakan lebih disebabkan pada pemodelan teks puisi yang memenggal sebuah wacana (kalimat) ke dalam larik atau baris. Kita mengenal peristiwa pemenggalan sebuah wacana ke dalam larik-larik dengan istilah enjambemen. Ada kalanya enjambemen berdasar bukan karena motif untuk pemodelan teks saja, melainkan juga karena motif merancang bangun teks atau membuat arsitektur teks yang dikenal dengan istilah tipografi.

Timbangan dan imbangan enjambemen dan tipografi ini telah menempatkan puisi menjadi teks yang menyampaikan sebuah wacana yang berisi peristiwa dan makna dengan menyembunyikan (sebagian besar) imaji dan idenya. Dengan itu, kegiatan memarafrasakan sebuah puisi bertujuan membuat utuh kembali wacana puisi ke dalam pernyataan lugas seperti yang pada umumnya dimiliki prosa.  Sekarang, mari, kita baca sebuah puisi berjudul “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” (“DBIATKL”) dari GM berikut ini. 

 Di Beranda Ini Angin tak Kedengaran Lagi

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita 

Di piano bernyanyi baris dari Rubayat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba 

Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada 

1966
(Sumber: Mohamad, 1971 dan Mohamad, 2001)

Larik 1 dan 2 pada bait I menyusun imaji-imaji yang berhubungan dengan ide-ide yang seolah-olah berserak tak berhubungan satu dengan lainnya. Dari kedua larik tersebut terdapat tiga wacana yang dipaksa dihubungkan dengan tematik judulnya, yakni (1) di beranda ini angin tak kedengaran lagi, (2) langit terlepas, dan (3) ruang menunggu malam hari. Hal yang sama akan terbaca pada semua larik pada bait II dan dua larik terakhir pada bait III.

Selebihnya, penyertaan aku lirik puisi, yakni larik 3 dan 4  pada bait I dan larik 1 dan 2 pada bait III menandai kehadiran (rangkaian) peristiwa melalui tokoh dan konflik. Bahkan, 5 tahun sebelum puisi ini ditulis, GM sudah fasih membuat puisi dengan imaji dan ide berlatar suasana yang kuat. Aku lirik yang lesap berbicara kepada partisipan orang kedua kamu (dalam partikel -mu). Semua larik menjadi senyatanya lirik yang hanya menangkap kesan-kesan yang tesertakan dalam peristiwa dan makna puisi. Yang dimaksud adalah puisi berjudul “Di Muka Jendela” (DMJ). Saya sertakan utuh puisi tersebut.

Di Muka Jendela 

Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: – Datanglah! 

Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang tengadah
tanah padang-padang tekukur
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
Tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?

1961 
(Sumber: Mohamad, 2001)

Tentu saja, pengalaman penyair yang membubuhkan imaji dan ide dalam kedua puisi tersebut tidak akan seidentik dengan pengalaman seseorang saat membacanya karena pembaca potensial memiliki atmosfer pengetahuan dan pengalaman hidup yang berbeda. Bahkan, hal ini akan dialami penyairnya saat membaca ulang puisinya pada kemudian hari.

Hal yang sama pun dilakukan Chairil Anwar (CA) dalam puisi berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” dan “Derai-Derai Cemara”. Imaji dan ide membangun suasana yang menyertakan gejala psikis, bisa emosi, perasaan, dan sebagainya. Sementara itu, kehadiran aku lirik puisi, baik lugas maupun lesap, terbaca menciptakan peristiwa dan makna yang terikat tematik judul. Hal inilah yang membuat kedua puisi CA dan GM kuat dalam membangun wacanaimaji yang menciptakan suasana dan ide yang menciptakan peristiwa dan makna.

B. Sintagma dan Paradigma

Pada bagian pertama, kita telah membahas imaji dan ide yang tesertakan dalam sebuah puisi. Kekuatan imaji dan ide puisi terdapat dalam diksi dan gaya bahasa yang tesertakan pada larik.  Selain itu, yang tidak kalah penting adalah bagaimana enjambemen dan tipografi telah membuat wacana, yakni satuan gramatikal kalimat, tidak identik dengan larik. Berikut ini disertakan contoh bait 1 yang diambil dari puisi DMJ.

(Bait 1) 

Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigila
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: – Datanglah! 

Bait di atas terdiri atas sepuluh larik. Larik-larik tersebut merupakan timbangan dan imbangan enjambemen yang dilakukan GM untuk menghasilkan tipografi bait liris. Namun, penyertaan tanda baca titik (.) menandakan bahwa bait di atas dibangun atas empat kalimat. Dengan demikian, bait tersebut dapat disusun ulang dalam bentuk paragraf naratif sebagai berikut ini.

Di sini cemara pun gugur daun. Dan kembali ombak-ombak hancur terbantun. Di sini kemarau pun menghembus bumi menghembus pasir, dingin dan malam hari ketika kedamaian pun datang memanggil ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil dan sebuah kata merekah diucapkan ke ruang yang jauh: – Datanglah!

Oleh karena itu, jumlah larik dan kalimat dalam bait tidak identik. Kalimat merupakan satuan gramatikal terkecil pembangun wacana. Di dalam kalimat tesertakan diksi dan gaya bahasa sebagai disposisi wacana yang berisi peristiwa dan makna. Kurang lebihnya, disposisi wacana yang menyertakan peristiwa dan makna inilah yang dimaksud dengan sintagma puisi (Machyuzaar, 2021).

Dalam bait tersebut, setiap sintagma berisi diksi dan gaya bahasa dalam tegangan di antara imaji dan ide yang menciptakan suasana. Hal ini dapat diperoleh melalui kehadiran satuan gramatikal klausa dalam sebuah sintagma. Komposisi klausa yang membentuk sintagma menyertakan makna tambah atau makna lebih karena pemanfaatan diksi dan gaya bahasa. Berikut ini disertakan hasil analisis sintagma yang terdapat pada bait 1 puisi “DMJ”.

Tabel 1

Sebaran Sintagma pada Bait 1 Puisi DMJ 

Sintagma

Sederhana

Kompleks

Di sini cemara pun gugur daun.

1 klausa: cemara pun gugur

 

Dan kembali ombak-ombak hancur terbantun.

1 klausa: ombak-ombak hancur

 

Di sini kemarau pun menghembus bumi meng-hembus pasir, dingin dan malam hari ketika kedamaian pun datang memanggil ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil dan sebuah kata merekah diucapkan ke ruang yang jauh:

 

10 klausa: 1) Kemarau menghembus bumi; 2) kemarau menghembus pasi; 3) kemarau menghembus dingin; 4)  kemarau menghembus malam hari; 5) kedamaian pun datang memanggil; 6) angin terputus-putus; 7) hatimu meng-gigil; 8) sebuah kata merekah; 9) sebuah kata merekah diucapkan; 10) ruang jauh.

– Datanglah!

1 klausa: (subjek lesap) -Datanglah

 



Selain itu, tentu saja setiap sintagma puisi dalam sebuah bait dapat dianggap sebagai disposisi wacana dari timbangan dan imbangan atas posisi dan oposisi antarsintagma yang dimungkinkan menyertai dan melingkungi sintagma itu dibuat. Kurang lebihnya, posisi dan oposisi antarsintagma ini dapat diistilahkan dengan paradigma puisi. Dengan ini pula, sintagma puisi diperkaya paradigma puisi dengan acuan-diri yang menyertakan peristiwa dan makna. 

Puisi berjudul “Potret Taman untuk Allen Ginsberg” (“PTUAG”) dapat dijadikan contoh sederhana untuk menemukan paradigma yang melingkungi sebuah teks puisi. Berikut ini disertakan puisi tersebut dan analisis sintagma dan paradigma yang melingkunginya. 

Potret Taman untuk Allen Ginsberg
Ia menebak dari warna kulit saya
dan berkata, “Tuan pasti dari dunia ketiga.”
Lalu ia, dari dunia pertama, mengunyah makan pagi
seraya mengutip Mao Tse-tung
dan sebuah sajak gunung – ramah sekali. 

Bisakah ia tidur
sebelum anggur
lalu mungkin mimpi
di lindungan malaikat masehi? 

Ia telah jalan dalam angin
dan mengucup es-krim
dan membaca berita di halaman pertama
tentang sebuah perang
di Asia Tenggara. 

Ia kini duduk bersila
di bangku taman kotapraja
mungkin semadi
mungkin aku tidak mengerti
karena ia berkata:
“Di Vietnam tak ada orang mati
Tak ada Vietnam dan Orang tak mati.” 

Lalu ia mencari kepak burung
ia mencari merpati
ia mencari lambang
ia mencari makna hari.
Ia mencari seakan ia tahu apa yang ia
ingin temukan dan tiba-tiba ia menuliskan:
“Revolusi, Revolusi, Tak Bisa Dipesan Hari Ini.”
Lalu ia bangkit ia mual ia mencium
bau biasa dari kakus umum;
ia basah oleh tangis dan ia meludah:
“Kencingilah kaum borjuis!”
Adakah ia Nabi? 

Tuhan. Di taman ini orang juga ngelindur
tentang perempuan-perempuan berpupur
dan sebuah mulut berahi kudengar memaki:
“Bangsat, kenapa aku di sini!”
Atau mungkin ia ngelindur tentang sebuah dusun
yang hancur dan sisa infantri dan mayat
dan ulat dan ruh dan matahari?

Aku dengar seorang-orang tua, yang kesal dan
berkata: “Di sekitar hari Natal, pernah terjadi
hal yang tak masuk akal. Misalnya mereka
membom Hanoi sebelum (bukan sesudah) aku minum
kopi.”

1973

 Tabel 2

Sebaran Sintagma dan Paradigma Puisi “PTUAG”

Sintagma

Paradigma

Diksi: Ia menebak dari warna kulit saya dan berkata, “Tuan pasti dari dunia ketiga.”

Gaya bahasa: Ia menebak dari warna kulit saya dan berkata, “Tuan pasti dari dunia ketiga.”

(majas sindiran halus atau ironi).

Peristiwa: Isu global pada era sebelum tahun 2000 dalam pembangunan dan  ekonomi. Terdapat dua klasifikasi negara, yakni negara maju dan negara berkembang (atau terbelakang) secara ekonomi. Tidak hanya itu, tesertakan isu sara dalam perang dingin antara, satu pihak diwakili Amerika dan di pihak lain diwakili Uni Soviet, yakni kulit putih dan nonputih.

Makna: Terjadi polarisasi diskriminatif yang berasal dari motif ekonomi dan politik sehingga menempatkan sebagian negara dikategorikan berkembang, bahkan terbelakang.

Diksi: Lalu ia, dari dunia pertama, mengunyah makan pagi seraya mengutip Mao Tse-tung dan sebuah sajak gunung – ramah sekali.

Gaya bahasa: Lalu ia, dari dunia pertama (majas ironi), mengunyah makan pagi seraya mengutip Mao Tse-tung (majas sinekdoke pars pro toto) dan sebuah sajak gunung – ramah sekali (majas ironi).

Peristiwa: Polarisasi yang menjadi pengklasifikasian negara ini berdasar pada paham bahwa dunia pertama menganut sistem ekonomi liberal-kapitalis dan sosialisme-marksis atau sosialisme-komunis.

Makna: Perang di Vietnam tidak lepas dari pengaruh dua negara adikuasa yang berpaham komunisme-sosialis (Uni Soviet) dan kapitalisme-liberalis (Amerika).

Diksi: Bisakah ia tidur sebelum anggur lalu mungkin mimpi di lindungan malaikat masehi?

Gaya bahasa: Bisakah ia tidur sebelum anggur (majas simbolis) lalu mungkin mimpi di lindungan malaikat masehi (majas ironi dan hiperbola)?

 

Peristiwa: Metafora anggur menghadir-kan surga yang dibangun dunia pertama dengan terdukung sains dan teknologi, sedangkan metafora malaikat masehi menghadirkan kecenderungan surgawi yang terdukung tata dan nilai agama dalam membangun negara pada sebagian besar negara berkembang.

Makna: Pada tingkat berikutnya, polarisasi diskriminatif terjadi antara sains dan agama, negara demokrasi, negara teokrasi, dan negara maju dan negara berkembang.

Diksi: Ia telah jalan dalam angin dan mengucup es-krim dan membaca berita di halaman pertama tentang sebuah perang di Asia Tenggara.

Gaya bahasa: Ia telah jalan dalam angin (majas hiperbola) dan mengucup es-krim dan membaca berita di halaman pertama tentang sebuah perang di Asia Tenggara (majas sinekdoke totem pro parte).

Peristiwa: Pada tahun yang sama dengan saat puisi ini ditulis, negara dunia pertama yang memiliki paham bertentangan berebut pengaruh kepada negara-negara dunia ketiga. Salah satu korban adalah negara Vietnam di Asia Tenggara.

Makna: Peperangan di Vietnam menandai pertemuan dua negara maju dan paham yang mereka anut.

Diksi: Ia kini duduk bersila di bangku taman kotapraja, mungkin semadi, mungkin aku tidak mengerti karena ia berkata: “Di Vietnam tak ada orang mati Tak ada Vietnam dan Orang tak mati.”

Gaya bahasa: Ia kini duduk bersila di bangku taman kotapraja, mungkin semadi, mungkin aku tidak mengerti (majas tautologi) karena ia berkata: “Di Vietnam tak ada orang mati. Tak ada Vietnam dan Orang tak mati.” (majas kontrasikdi internimis, hiperbola, sinisme, dan totem pro parte).

Peristiwa: Perang di Vietnam, yang sebetulnya perang pengaruh dua negara adikuasa, telah menghancurkan sebuah bangsa. Namun, ia sebagai representasi dunia pertama menganggap bahwa di perang Vietnam tidak ada kematian. Justru sebaliknya, yang ada adalah sebuah awal kehidupan, yakni tumbuhnya negara dengan paham liberalisme-kapitalis.

Makna: Nilai-nilai kemanusiaan dapat terabai karena perang pengaruh di antara dua negara adikuasa.

Diksi: Lalu ia mencari kepak burung, ia mencari merpati, ia mencari lambang, ia mencari makna hari.

Gaya bahasa: Lalu ia mencari kepak burung, ia mencari merpati, ia mencari lambang, ia mencari makna hari (majas paralesisme anapora).

Peristiwa: Ia (sebagai wakil dari dunia pertama) masih dapat berpikir kritis atas risiko peperangan yang terjadi di Vietnam.

Makna: Nilai kemanusiaan yang universal dapat memberi sisi kesadaran pada per individu, baik sebagai warga dunia pertama atau dunia ketiga.

Diksi: Ia mencari seakan ia tahu apa yang ia ingin temukan dan tiba-tiba ia menuliskan: “Revolusi, Revolusi, Tak Bisa Dipesan Hari Ini.”

Gaya bahasa: Ia mencari seakan ia tahu apa yang ia ingin temukan dan tiba-tiba ia menuliskan: (majas repetisi)  “Revolusi, Revolusi, Tak Bisa Dipesan Hari Ini.” (majas kontrasikdi internimis, hiperbola, sinisme, dan metafora).

Peristiwa: Ia optimis dengan mengamerikakan Vietnam, peradaban negara tersebut dapat dicapai sebagaimana negara dunia pertama. Ia menganggap bahwa perlu waktu untuk sampai pada tujuan atas perubahan.

Makna: Imajinasi tentang kesejahteraan dan kemakmuran bagi sesama tidak bisa dibentuk dengan instan. Selain itu, hal tersebut akan berhubungan dengan sejarah peradaban suatu bangsa yang berbeda.

Diksi: Lalu ia bangkit, ia mual, ia mencium bau biasa dari kakus umum; ia basah oleh tangis dan ia meludah: “Kencingilah kaum borjuis!”

Gaya bahasa: Lalu ia bangkit, ia mual, ia mencium bau biasa dari kakus umum; ia basah oleh tangis dan ia meludah: (paralelisme anapora) “Kencingilah kaum borjuis!” (majas kontradiksi internimis, hiperbola, dan sarkasme).

Peristiwa: Ia sangat membenci sistem dan tata nilai yang dianut oleh sosialisme-marksis atau sosialisme-komunis yang ada di Vietnam. Metafora kaum borjuis tertuju pada kaum elite di Vietnam. Ia mengekspresikan kebenciannya dengan ungkapan, “Kencingilah kaum borjuis!”

Makna: Ia sebagai tokoh yang mewakili negara adikuasa Amerika dan sekutunya Eropa memberi pandangan atas paham yang dianut negara adikuasa lawannya, yakni Uni Soviet.

Diksi: Adakah ia Nabi?

Gaya bahasa: Adakah ia Nabi? (majas kontradiksi internimis, ironi, eufemisme, dan simbolis).

Peristiwa: Aku lirik mempertanyakan tokoh ia dalam nada retoris: bahwa kaum borjuis bukan penyelamat kehidupan.

Makna: Dalam majas retoris ini aku lirik puisi mendistorsi batasan kata nabi bahwa tokoh ia memberi informasi tentang nilai-nilai keilahian dan kemanusiaan.

Diksi: Tuhan.

Gaya bahasa: Tuhan (majas simbolisme).

Peristiwa: Kata ganti orang pertama, saya, sebagai representasi orang dunia ketiga menyebut kata Tuhan.

Makna: Aku lirik mewakili warga dunia ketiga, negara berkembang yang sarat dengan nilai-nilai religiusitas.

Diksi: Di taman ini orang juga ngelindur tentang perempuan-perempuan berpupur dan sebuah mulut berahi kudengar memaki: “Bangsat, kenapa aku di sini!”

Gaya bahasa: Di taman ini orang juga ngelindur tentang perempuan-perempuan berpupur dan sebuah mulut berahi kudengar memaki: (majas hiperbola) “Bangsat, kenapa aku di sini!” (majas sarkasme, retoris, dan kontradiksi internimis).

Peristiwa: Kesan saya sebagai aku lirik puisi tentang situasi peperangan di Vietnam. Tak jelas, apakah di sebuah tangsi, kamp militer, atau di sebuah dusun. Yang pasti ia dan saya (aku lirik puisi) terlibat perbincangan. Kalimat langsung dengan penyertaan kata ganti orang pertama aku (orang bermulut berahi) berbicara tentang keberadaannya di dalam situasi perang.

Makna: Dalam situasi perang, benar atau salah menuntut orang untuk terlibat, baik berpihak pada salah satu atau justru berada di luar keduanya. Diksi ngelindur dapat dimaknai sebagai orang-orang yang digambarkan dalam perang yang mau tak mau harus menjalani perang tanpa alasan yang rasional.

Diksi: Atau mungkin ia ngelindur tentang sebuah dusun yang hancur dan sisa infantri dan mayat dan ulat dan ruh dan matahari?

Gaya bahasa: Atau mungkin ia ngelindur tentang sebuah dusun yang hancur dan sisa infantri (majas sinekdoke pars pro toto) dan mayat dan ulat dan ruh dan matahari? (majas klimak, repetisi, dan hiperbola).

Peristiwa: Diksi ngelindur dihadirkan kembali untuk mempertegas bahwa tokoh ia  baru menyadari keberadaannya dalam situasi perang di sebuah dusun di Vietnam yang menimbulkan banyak korban.

Makna: Majas klimaks, repetisi (diksi ngelindur) dan hiperbola atas gambaran korban perang di sebuah dusun di Vietnam menggambarkan betapa perang telah menimbulkan bencana kemanusiaan.

Diksi: Aku dengar seorang-orang tua, yang kesal dan berkata: “Di sekitar hari Natal, pernah terjadi hal yang tak masuk akal. Misalnya mereka membom Hanoi sebelum (bukan sesudah) aku minum kopi.”

Gaya bahasa: Aku dengar seorang-orang tua, yang kesal dan berkata: “Di sekitar hari Natal, pernah terjadi hal yang tak masuk akal (majas menyebut ciri fisik). Misalnya mereka membom Hanoi sebelum (bukan sesudah) aku minum kopi.” (majas paradoks, antitesis, dan ironi).

Peristiwa: Melalui aku lirik puisi teridenfikasi tokoh seorang tua. Apakah tokoh ini mengacu pada tokoh ia atau tokoh lain, tidak dapat dipastikan. Ada tiga peristiwa di dalam sintagma ini. Pertama, perbincangan aku lirik puisi (saya) terjadi di sekitar perayaan hari Natal. Kedua, tentara Amerika dan sekutunya mengebom ibu kota Vietnam, yaitu Hanoi. Terakhir, perbincangan tersebut disertai dengan menikmati minum kopi.

Makna: Sikap aku lirik puisi terhadap dunia yang digambarkan, perang Vietnam, dinyatakan dengan lugas dengan diksi, “... pernah terjadi hal yang tak masuk akal. Sikap ini secara keseluruhan disampaikan dengan nada sindiran (ironi, sinisme, dan sarkasme), pertentangan (kontradiksi internimis, paradoks, dan oksimoron), perumpamaan (hiperbola, metafora, simbolis, dan sinekdoke).

 

Pada bagian pertama esai ini kita telah menimbang bagaimana imaji dan ide tesertakan dalam larik. Namun, agar menjadi sebuah keutuhan, imaji dan ide tersebut tidak dibangun melalui larik, tetapi dibangun melalui sintagma dan paradigma puisi. Oleh karena itu, pada bagian kedua esai ini disertakan contoh sintagma dan paradigma yang melingkungi sebuah teks puisi, seperti pada analisis puisi “PTUAG” (tabel 2).  

Dalam sintagma puisi tesertakan diksi dan gaya bahasa. Pemanfaatan keduanya, ditambah dengan enjambemen dan tipografi, mengakibatkan ambiguitas makna pada tingkat sintaksis (semantik kalimat). Sintagma puisi tersebut, yang dijamin oleh ketatabahasaan sebagai kode bahasa dan pemodelan teks yang menyertakan larik dan bait sebagai kode teks (puisi), diresepsi oleh pembaca potensial pada tingkat pragmatik (semantik wacana). Pada tingkat ini sintagma puisi ditempatkan sebagai disposisi wacana dari posisi dan oposisi antarsintagma yang dimungkinkan melingkungi sintagma dibuat sehingga menghasilkan ambivalensi makna.

Dari dua analisis sebelumnya, kita mendapat gambaran bahwa (1) satuan gramatikal larik dan sintagma puisi tidak identik; (2) sintagma puisi sepadan dengan satuan gramatikal kalimat yang menyusun wacana sebuah paragraf; (3) di dalam sintagma tesertakan diksi dan gaya bahasa sebagai tegangan di antara imaji dan ide; (4) sintagma puisi, sebagai disposisi wacana, menyertakan paradigma puisi yang berisi posisi dan oposisi antarperistiwa dan makna yang dimungkinkan melingkungi sintagma dibuat; dan (5) sintagma dan paradigma puisi menandakan karakteristik teks yang ambivalen (makna tambah atau makna lebih) yang disebabkan pemanfaatan diksi dan gaya bahasa. 

C. Nalar Puisi

Pada bagian ketiga esai ini kita akan mencoba menjawab pertanyaan terakhir pada bagian pembuka, yakni apakah teks puisi yang sarat dengan imaji dan ide dalam langgam lirisisme dapat menandai perbedaan dengan teks-teks puisi sezaman dan lintas zaman? Bahkan, apakah puisi GM dapat menandai kekhasan puisi baru Indonesia setelah kemerdekaan. Kemungkinan tersebut dapat ditemukan melalui pemodelan teks puisi yang mendasari karateristik puisi-puisi GM di awal kepenyairannya. Tentu saja, pembahasan atas puisi “DBIATKL” dan “DMJ” hanya mewakili kecenderungan model teks puisi pada periode awal kepenyairan GM. Kita perlu membandingkannya dengan puisi-puisi GM pada periode berikutnya.

Meskipun begitu, analisis sederhana yang kita lakukan pada bagian sebelumnya ini, setidaknya, dapat dijadikan pijakan untuk melihat gambaran teks (tekstografi) perpuisian Indonesia periode 1949—1972. Pada esai terdahalu saya telah menggambarkan bahwa dalam periode tersebut terdapat kekhasan teks puisi yang dibuat oleh Sapardi Djoko Damono dengan diksi dan gaya bahasa yang memaksimalkan imaji daripada ide sehingga kecenderungan suasana lebih kuat. Sementara itu, masih pada periode yang sama juga terdapat kekhasan teks puisi Indonesia lain yang digagas oleh W.S. Rendra dengan puisi (sajak) balada yang lebih mengekspresifkan ide cerita atau kisah di balik tokoh (aku lirik). 

Sementara itu, sebagai perbandingan lintas zaman, di bagian kesatu esai ini kita telah melihat bagaimana puisi GM memiliki sanad dengan puisi CA. Sejak tahun 1960-an GM telah mengukuhkan corak penulisan puisi liris yang sebelumnya diletakkan Chairil Anwar. Yang membedakan keduanya adalah bahwa diksi dalam puisi GM mau lebih banyak membuka horizon harapan pembaca pada intertekstual di luar puisinya. Andaian ini tentu saja didasarkan pada analisis di bagian sebelumnya.

Oleh karena itu, kita mendapat gambaran bahwa sintagma-sintagma yang menyertakan imaji dan ide sekaligus peristiwa dan makna tersebut membangun paradigma puisi GM. Setidaknya, kecenderungan paradigma puisi GM terbangun dari posisi dan oposisi antarwacana yang diakrabi GM, seperti (1) wacana ketimuran (epik Mahabarata dan Ramayana), (2) wacana kebaratan yang membangun mitos, filsafat, dan sains (mitologi Yunani), (3) isu-isu mutakhir yang menjadi perbincangan masyarakat global (seperti kisah perang Vietnam), dan (4) secara khusus, studi-studi budaya kontemporer sebagai kerangka berpikir kritis dengan langgam jurnalistik.

Penutup

Sebagai tambahan, mungkin pemodelan teks puisi yang dilakukan GM juga berpengaruh pada penulisan esai di Catatan Pinggir. Meski model teks esai Catatan Pinggir memakai fitur kalimat dan paragraf, strategi literer yang digunakan masih bergenre lirik, yakni menyertakan keterhubungan sekaligus ketegangan di antara imaji dan ide dengan pemanfaatan diksi dan gaya bahasa khas dan ekspresif. Tentu saja, asumsi ini harus dibuktikan dengan pembahasan komparatif antara puisi dan esai GM dengan pembahasan lebih renik dan menyeluruh. 

Namun, cara berpikir yang digunakan GM dalam strategi literer pemodelan teks puisi dan esai memiliki kecenderungan yang sama, yakni bernalar puitis. Imaji dan ide yang tesertakan dalam sintagma puisi mendapat ekspresivitasnya dalam diksi dan gaya bahasa khas penulis. Sekaligus, dengan hal itu pula tesertakan paradigma puisi yang memendarkan acuan-diri teks berbentuk peristiwa dan makna yang ambivalen. Sampai di sini kita mungkin akan sampai pada teks puisi yang memiliki keterhubungan dengan teks-teks di luar puisinyaatau kita mengenalnya dengan intertekstual.

Terakhir, setiap karya sastra tidak hadir dalam entitasnya semata. Teks sastra merupakan respons atas keberjamakan teks yang melatarinya. Begitu pun puisi, ia memiliki kepejalan intertekstual yang dapat dikonkretkan dengan penyertaan catatan kaki. Jika hal ini mendasari penamaan istilah puisi esai, saya menduga bahwa penyertaan catatan kaki saja tidak cukup mumpuni untuk menyelaraskan dua genre teks tersebut dalam satu teks. Hal ini akan membuat puisi terjebak pada identifikasi artifisial hanya dengan daya tipografi. Menurut hemat saya, inilah relevansi yang didapat dari pembahasan esai ini. Tabik!

Mangkubumi, 27 Agustus 2022

Nizar Machyuzaar

Penulis merupakan pembelajar tektologi, stilistika, dan naratologi. Saat ini penulis sedang menamatkan kuliah di Program Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa