Praktik Berbahasa Daerah dan Sekolah Bahasa Hamap
“Kakak, minum saja air kuning kalau
ingin cepat bisa Bahasa Hamap!”
“Benar Kakak, kalau menurut kepercayaan orang sini begitu sudah”
Itulah ungkapan dan keyakinan dua anak
dari percakapan saya dengan mereka pada kegiatan pengabdian kami di masyarakat.
Makin pudarnya bahasa Hamap sebagai bahasa daerah di Indonesia menjadi suatu
permasalahan yang telah digambarkan hasil riset LIPI 2004-2014 (Katubi, Kleden,
Fanny, Frans, 2004, 2005, 2006, dan 2014). Pelemahan bahasa Hamap terjadi
karena terdapatnya bahasa-bahasa lain yang hidup berdampingan di tengah
masyarakat Hamap, seperti bahasa Klon, Kui, dan Abui, termasuk bahasa lingua
franca, yaitu Melayu-Alor dan bahasa antara yang sering digunakan oleh
generasi muda dalam keseharian untuk berkomunikasi dengan komunitas sebayanya dan
orang yang lebih tua (Katubi, 2005). Lingua franca adalah bahasa antara
yang dapat menyampaikan pesan antara pengujar dan penerima pesan (Bella, 2018).
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan upaya pelestarian bahasa Hamap
melalui pendekatan Actor Network Theory (ANT) untuk melacak aktor-aktor
(manusia dan benda-benda) yang terlibat dengan mengasosiasikan berbagai
kejadian dan interaksi antaraktor secara mendetail (Latour, 2005). Pendekatan
etnografi dengan observasi partisipasi yang dilakukan selama tiga bulan pada tahun
2022 digunakan untuk mengungkap praktik-praktik yang tidak terduga di
masyarakat dalam interaksi keseharian (Danusiri, 2019, Ingold 2017, 1997).
Pendekatan ini dapat menjadi alternatif untuk mencari solusi dalam pelestarian bahasa
Hamap karena menekankan aspek emik masyarakat yang mengalami dan menggunakan
bahasa tersebut.
Upaya Pelestarian melalui Sekolah Bahasa Hamap
Pada bagian ini akan
diuraikan kejadian-kejadian yang telah diasosiasikan satu dan lainnya sehingga
membentuk sebuah simpulan jahit tentang upaya pelestarian bahasa Hamap oleh
mereka sendiri. Aktor yang dimaksud adalah manusia dan nonmanusia. Dalam
tulisan ini tidak hanya manusia yang memiliki agency atau kemampuan
individu dalam mengambil keputusan, tetapi juga bahasa (material/benda) dapat
menjadi media yang memungkinkan asosiasi baru dalam upaya pelestarian bahasa.
Awalnya masyarakat Hamap tidak merasa bahwa bahasanya semakin pudar karena
mereka melihat bahasa Hamap masih digunakan dalam interaksi sosial sehari-hari,
seperti ritual, pernikahan, dan doa. Akan tetapi, sebagian anak muda diakui
terbata-bata dan pasif dalam berbahasa. Ditambah lagi dengan adanya
status kepunahan bahasa yang mereka terima dari Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa menguatkan pemahaman mereka bahwa bahasa Hamap akan mengalami
kepunahan.
Setelah program
revitalisasi bahasa Hamap d ari Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timurselesai,
masyarakat kemudian membentuk Sekolah Bahasa Hamap (SBH) secara mandiri. Sekolah
ini didirikan oleh Sanggar Edelweiss yang kemudian diambil alih oleh Sanggar
Iyhingsah Nohomte. Keduanya adalah sanggar yang didirikan oleh pemuda yang peduli
dengan kebudayaan Hamap. Sayangnya, upaya tersebut tidak berjalan baik karena
terjadi konflik internal tentang kepemilikan SBH.
Di luar dinamika
konflik SBH, bagi masyarakat Hamap ada bentuk lain yang menjadi fokus
pelestarian bahasa yang lebih kompleks dan konkret pada kehidupan sehari-hari. Masyarakat
Hamap telah menyusun sendiri kamus bahasa Hamap sebagai bentuk pendokumentasian
bahasa. Namun, kamus itu tidak menjadi sarana utama dalam pelestarian bahasa, tetapi
sebagai media pengajaran di SBH.
Sementara itu, upaya
utama pelestarian bahasa Hamap dilakukan melalui praktik berbahasa itu sendiri.
Praktik berbahasa ini dilakukan dalam rapat-rapat adat yang dihadiri oleh
berbagai generasi. Lebih lanjut, diskusi penggunaan bahasa Hamap dalam
keseharian juga dilakukan di bale-bale SBH. Bahasa Hamap adalah bahasa
wajib yang digunakan dalam pelantikan kepala suku, seorang pimpinan institusi
adat yang memiliki peran penting dalam kehidupan keseharian masyarakat.
Bentuk-bentuk yang mereka pilih dalam upaya pelestarian bahasa ini merupakan
sesuatu yang konkret dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kolaborasi Peneliti dan Komunitas
Bahasa memang menjadi
bagian dari praktik keseharian masyarakat Hamap, tetapi di kalangan anak-anak pergeseran
bahasa telah terjadi. Anak-anak cenderung menggunakan bahasa Melayu-Alor. Pada
kegiatan yang dapat dikatakan uji coba tentang praktik penggunaan bahasa Hamap,
menulis ulang cerita rakyat berbahasa Hamap bukan sesuatu yang mudah. Untuk itu,
peran orang tua dan tetua sangat penting untuk melestarikan dan juga
mendampingi anak-anak dalam belajar bahasa Hamap yang dipraktikkan melalui
pengungkapan pikiran dalam bentuk tulisan yang disebarluaskan di media sosial.
Dengan demikian, keberadaan bahasa Hamap mungkin akan muncul dan menjadikan
generasi muda untuk lebih bangga dalam menampilkan identitas kebahasaannya di
media sosial. Lebih lanjut, anak-anak diharapkan akan terus belajar mengasah
kemampuan berbahasa Hamap dengan menggunakan bahasa tersebut dalam ruang-ruang
yang lebih luas yang mungkin kelestariannya berlanjut hingga mereka dewasa dan
tua. Kami yang terlibat dalam Tim Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia
juga mengunjungi masyarakat Hamap pada bulan September 2022. Tujuan kedatangan
tim pada saat itu adalah untuk berkolaborasi dengan komunitas lokal melalui pembelajaran
menulis cerita rakyat dan mementaskan cerita rakyat tersebut dalam bentuk pembacaan
drama yang diunggah ke YouTube walaupun kegiatan ini bersifat
stimulasi saja.
Pada dasarnya SBH
telah melakukan upaya pembelajaran bahasa, kebudayaan, dan kesenian pada
anak-anak dan remaja. Kolaborasi tim Pengabdian Masyarakat Universitas
Indonesia sebagai fasilitator yang menstimulasi perluasan kreativitas
pembelajaran bahasa Hamap untuk menunjukkan bahwa belajar bahasa tidak hanya
berfokus pada struktur bahasa, tetapi juga pada nilai-nilai budaya. Hal
tersebut dilakukan dengan cara, seperti menulis cerita rakyat dalam bahasa
Hamap yang didengar dari orang tua para peserta. Media menulis cerita ini
dipilih karena belajar bahasa dengan menulis cerita dapat melibatkan imajinasi
yang mungkin memang lebih menyenangkan. Dalam terminologi sastra, kenikmatan
mencipta atau menulis dikatakan oleh seorang penyair bahwa “the joy of
writing, the power of preserving, revenge of mortal hand” (Szymborska,
1923-2012). Setidaknya, gambaran syair tersebut terbukti dalam praktik penulisan
cerita oleh anak-anak yang terlihat sumringah, tertawa, dan menikmati kisah-kisah
yang ditulisnya sendiri.
Di sini dapat terlihat
bahwa pendekatan Actor Network Theory dan etnografi observasi partisipasi
yang dilakukan selama tiga bulan pada tahun 2022 dapat digunakan untuk
mengungkap praktik-praktik yang tidak terduga seperti yang telah dijelaskan di
atas yang mungkin tidak terlihat jika hanya melakukan wawancara mendalam atau
dengan pendekatan statistikal.
Referensi
Bella, Dea R. (2018). “Bahasa Indonesia
dalam Konteks: Lingua Franca di Pasar Barter oleh Orang Puor dan Lamalera di
Lembata, Nusa Tenggara Timur.” Antropologi Indonesia Vol 39. No 1 39-59.
Danusiri, Aryo. (2019).
“Intersubjektivitas dan Gaya Kamera dalam Film Etnografi.” Antropologi
Indonesia 59–74. doi: 10.7454/ai.v39i1.10255.
Ingold, Tim. (2017). “On human
correspondence.” Journal of the Royal Anthropological Institute 23(1):9–27.
doi: https://doi.org/10.1111/1467-9655.12541.
(1997). “Eight Themes in The Anthropology of Technology.” Social
Analysis: The International Journal of Social and Cultural Practice
41(1,):106–38.
Katubi, Ninuk, Frans Asisi. (2004).
Bahasa dan Kebudayaan Hamap; Kelompok Minoritas di Alor. Jakarta: Lipi Press.
(2014). Vitalitas Etnolinguistik dan Agen Pemerintahan Bahasa Kui di
Alor, Nusa Tenggara Timur. Lipi Press
(2014). Sumber Daya Dalam Revitalisasi Bahasa Kui di Alor, Nusa Tenggara
Timur. Lingua Humaniora. Vol 8, Desember 2014.
Latour, Bruno. (2005). Reassembling
the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory. Oxford, New York:
Oxford University Press.
Ninuk, Katubi, Fanny. (2006). Identitas
Etnolinguistik Orang Hamap dalam Perubahan. Jakarta: Lipi Press.
(2005). Identitas
Linguistik Orang Hamap: Kode Etnisitas dan Bahasa Simbol. Jakarta: Lipi
Press.
Dea Rifia Bella dan Dina Amalia Susamto
Penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana Antropologi FISIP, Universitas Indonesia.