Puisi, Sebuah Lukisan yang Tak Pernah Terselesaikan dalam Pendidikan Bahasa
Abstrak
Berpijak
pada Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan Pembinaan
dan Perlindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia,
tersirat bahwa peran bahasa selalu seiring dengan peran sastra. Meski penuh dengan
dinamika pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa selalu menjadi alat
atau perangkat yang sangat dibutuhkan.
Dengan
pijakan itu, tentunya bukan hanya pemerintah yang menjadi pemangku kepentingan
dalam rangka pengembangan dan pelestarian bahasa dan sastra, melainkan juga
semua pihak masyarakat tanpa terkecuali, terutama yang berkecimpung dalam
lingkup pendidikan. Hal ini karena berbahasa bukan hanya mampu membaca dan
menulis, melainkan juga mampu memosisikan bahasa menjadi objek yang sesuai
dengan kaidah, baik melalui Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI), Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan (EYD),
maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Nilai-nilai
yang lebih sistematis dapat diperoleh melalui lembaga pendidikan formal, meski
tidak menutup kemungkinan dapat pula diperoleh melalui pembelajaran mandiri, seperti
pendidikan kemasyarakatan (otodidak). Pemerolehan ini lebih tergantung pada perilaku
sosial yang dihadapi.
Pada
konteks ini, tulisan lebih berorientasi pada sastra, terutama puisi. Sebuah
objek yang selalu dinikmati dengan nuansa keindahan bahasa. Dengan berkaca pada
dinamika sastra saat ini, karya-karya puisi bagai angin segar untuk menumbuhkembangkan
gerakan-gerakan literasi. Hal ini juga tidak terlepas dari makna sakral
peringatan Hari Puisi Indonesia yang diperingati setiap tahun.
Obsesi
terbesar bagi sebagian besar penyair Indonesia adalah menjadi the second man behind Chairil Anwar. Hal ini memunculkan banyak kajian terhadap karya-karya sajak
Chairil Anwar dengan polarisasi sudut pandang. Bagaimana membaca masa yang jauh
ke belakang dalam prosais ketokohan seorang Chairil Anwar, tetapi menjadikannya
tetap hidup pada masa kini. Proses penghidupan ini dapat dilakukan dengan
menjadikannya sebuah kajian dalam penelitian terhadap karya-karya Chairil Anwar
dari waktu ke waktu, khususnya bagi pegiat sastra.
Tulisan
ini merupakan sebuah analisis melalui pendekatan statistik, linguistik korpus,
dan humaniora digital. Tradisi sastra Indonesia tidak terlepas dari kajian
perbandingan antara generasi angkatan masa penyair pendahulu dan masa kini.
Tradisi sastra yang berhubungan antara sastra dalam dan luar negeri serta hubungan
metafisik yang tidak hanya dibaca lewat kajian tekstual.
Bagaimana
penggabungan keseluruhan karakter dengan menelisik situasi artistik serta relevansi
hubungan antara kesenian dan kebudayaan. yang kemudian bermuara pada sosok penyair-penyair
dunia. Meski sampai saat ini terus menjadi polemik dengan pelbagai sudut
pandang berbeda, pendalaman ini mampu menerobos “tembok masa” dengan munculnya
tema baru yang memuat generalisasi pembaruan peradaban.
Meski
secara faktual dan emosional, bagi para penyair kini sulit melepaskan ikatan
sakral–hegemoni—simbolitas Chairil Anwar. Sebagai contoh, peringatan Hari Puisi
Indonesia yang diperingati setiap tanggal 26 Juli (tanggal kelahiran Chairil
Anwar) setiap tahunnya dianggap sebagai sebuah manifestasi kedigdayaan seorang
Chairil Anwar. Akan tetapi, hal ini menjadi sebuah destinasi puisi bahwa bangsa
dan negeri ini telah mencetak sosok penyair yang sangat layak dalam membangun
cakrawala seni sastra, khususnya puisi.
Dalam
sebuah gagasan di suatu media (harus dilihat sebagai subjektivitas) yang
ditulis oleh Ranang Aji SP, yang bertajuk “Bukan Sastra Inferior” tertangkap sedikit makna, meski bukan
sebuah simpulan yang memaknai bahwa sastra hanya mencari jalannya masing-masing.
Sastrawan atau penyair masa kini hidup dalam dimensi bebas yang hanya memerdekakan
pikirannya sendiri. Kita (sastrawan) terkadang alergi dengan kritik sastra yang
telah menjadikan sastrawan sebagai korban dalam pencarian identitas dan
legalitasnya sendiri.
Pendekatan Sastra dan
Antropologi
Jika
kita berbicara dalam proses atau fase kematangan serta kedewasaan karya sastra,
harusnya mampu meminimalisasi imajiner pemikiran yang berstandar subjektif. Namun,
apakah kita mampu melepaskan diri dari sikap-sikap feminisme sastra yang
sedikit condong pada budaya patriarki? Bukankah budaya patriarki seperti
mengadopsi budaya klasik yang terlalu dominan dengan peran laki-laki. Perumusan
sastra sebagai stigma kesenian dan kebudayaan seharusnya menjadi sebuah
egaliter (persamaan derajat) yang selalu dinamis dalam membaca tantangan zaman.
Kembali
pada membaca tradisi puisi di Indonesia, situasi kini seyogianya menjadi pembaruan
terhadap karya-karya puisi lama. Ada sebab dan akibat yang tertumpu pada masa
lalu, tetapi menjadi cakrawala baru dalam perpuisian Indonesia. Pembacaan
sajak-sajak Chairil Anwar dengan menggunakan pendekatan tematik, seperti melalui
aspek gender, nasionalisme, dan budaya menjadi sebuah kelaziman. Tidak sedikit dari
kalangan perempuan yang mampu membaca secara provokatif sajak-sajak Chairil
Anwar. Inilah sebuah pembaruan yang membedakan masa saat ini dengan masa ketika
Chairil Anwar masih hidup.
Proses
pembaruan tematik puisi dapat pula dikaitkan dengan peninggalan artefak sastra.
Sayangnya, disiplin ilmu yang mengarah pada konsep penelitian seperti
antropologi sangat minim peminatnya. Dalam hubungan nilai-nilai sejarah,
seperti artefak sastra sering menjadi anggapan pragmatis karena sangat rentan
dengan polemik budaya. Oleh karena itu, pendekatan perilaku manusia, meski
tidak bersifat absolut (mutlak), seharusnya dapat digunakan sebagai ruang
pendekatan dan pendalaman karya sastra.
Mengapa
disiplin ilmu antropologi juga berperan dalam pengembangan karya sastra? Dalam
rekam jejak sastra, khususnya karya puisi, perekaan makna pada bait-bait sajak
adalah sebuah stimulasi gagasan atau ide dengan situasi lingkungan. Kaitan antara
objek dan subjek membentuk sebuah karakter yang menyublimasi keindahan sajak,
tetapi tidak selalu dengan diksi bahasa indah yang bernuansa fiksi. Hal ini karena
pada situasi tertentu, penyair menghasilkan karya puisinya lewat ungkapan jiwa
(psikologis) dan seakan mendramatisasi lingkungannya.
Menurut
KBBI, antropologi memiliki pengertian ilmu tentang manusia, khususnya tentang
asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pada
masa lampau. Sementara itu, seorang pakar antropolog, Haviland (1985)
mengemukakan bahwa antropologi adalah studi tentang manusia dan perilakunya dalam
melalui proses pengertian lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Dalam
kajian antropologi tentang karakteristik, terdapat hubungan antara kebudayaan
dan ciri-ciri biologis manusia. Hal ini karena antropologi juga memuat ruang
kajian ilmu yang mempelajari karakteristik hidup manusia dengan orientasi
budaya. Sementara itu, sebuah karya sastra merupakan gabungan tekstual yang
menghubungkan ciri-ciri sosiopsikologis atau ciri-ciri biologis manusia melalui
pendekatan holistik (utuh).
Puisi sebagai Lukisan
Cakrawala Modernisme
Dalam
realitas sastra, dapat dilihat bahwa karya-karya sastra yang berorientasi
modernisme sesungguhnya masih mengadopsi pelbagai unsur atau genre sastra masa
lalu, seperti klasik, eksistensialisme, materialisme, realisme, serta absurdisme.
Hal ini menandakan bahwa dalam ikatan emosional, para penyair kini setidaknya
masih berpijak pada unsur atau genre puisi masa lalu yang lebih dikenal sebagai
aliran dalam puisi.
Anggapan
ini menjadi sebuah premis sastra yang menyatakan bahwa masa kepenyairan di
negeri ini belum mampu melepaskan ikatan emosional dalam pemaknaan baru seperti
dalam pembaruan atau modernisasi Chairil Anwar. Akan tetapi, hal ini dapat
ditangkap sebagai sebuah keresahan pada sisi ruang waktu berbeda yang
memunculkan anggapan bahwa penyair kini seakan ingin menuntaskan peran yang
belum diwujudkan oleh seorang Chairil Anwar. Hal semacam ini tidak menutup
kemungkinan juga berlaku pada peran para penyair dunia yang juga meninggalkan
isyarat pesan yang belum tertuntaskan, seperti Arthur Rimbaud, Jose Marti,
Pablo Neruda, dan lain-lain.
Pada
masa Chairil Anwar, kita dapat menangkap catatan jejak yang belum
diwujudkannya, seperti obsesi untuk mendirikan majalah budaya “Air Pasang” dan
“Arena”. Meski ini sangat skeptis, dari obsesi ini kita dapat memaknai puisi
sebagai salah satu ruang kreatif untuk mempertahankan eksistensi budaya. Dalam
perjalanannya, sastra tidak akan mampu melepaskan diri dari pergulatan dan
persoalan-persoalan eksistensial sosial. Hal ini karena dalam fase ini terjadi
perubahan konteks yang meliputi perubahan fisik sosial. Ini seperti sebuah
cermin kegelisahan transformasi lintas sektoral.
Berkaitan
dengan hal itu, kita dapat melihat bagaimana sastra juga mengalami tantangan
perubahan sosial dan menjadi bagian dari era globalisasi. Apakah tantangan ini
menjadi tanggung jawab para pegiat dan komunitas sastra yang dalam
aktualisasinya berhadapan langsung dengan persoalan-persoalan dimensional tersebut?
Karut-marutnya
persoalan dan tantangan yang dihadapi, yang mungkin lebih elok kalau dikatakan
sebagai sebuah proses dinamika sastra. Kondisi ini diibaratkan sebagai sebuah
lukisan yang harus diselesaikan oleh puluhan, bahkan ribuan pelukis pada sebuah
pigura. Kalau dalam tinjauan masa, tentu sangat berbeda nuansa atau tema yang
dilukiskan. Nuansa puisi Chairil Anwar ataupun Bung Karno, sebagai proklamator
kemerdekaan, puisi-puisinya tidak terlepas dari nilai-nilai perjuangan.
Lantas,
bagaimana dengan kondisi saat ini? Apakah puisi tetap menjadi alat perjuangan
untuk memerdekakan pemikiran penyair? Atau apakah karena sebab lain dengan
situasi berbeda, puisi bukan lagi peperangan fisik, melainkan lebih
berorientasi pada peperangan mental? Puisi hadir dalam wujud-wujud abstrak dan
absurd (samar) ataupun sebagai sebuah perlombaan yang manifestasinya untuk jati
diri atau identitas sastra.
Secara
sepintas, perubahan wujud sastra dalam pemaknaan identitas sastra bisa
dikatakan sedikit rancu. Banyak orang menulis karya sastra hanya karena ingin
disebut sebagai sastrawan, tetapi tidak mempunyai tujuan yang jelas. (seperti
terlansir dalam ayat-ayat sastra Budi Darma). Secara tekstual, seyogianya
sebuah penciptaan karya sastra memberikan nilai dan wawasan baru bagi
pembacanya. Namun sayangnya, persoalan dalam dimensi pemaknaan baru atas karya
sastra sering dijadikan “kelinci percobaan” untuk menciptakan genre-genre baru.
Persoalan
skeptisisme sastra sering memunculkan polemik yang tidak berkesudahan. Dalam
sudut pandang (perspektif) berbeda seharusnya dicarikan titik temu. Namun, tentunya
ada beberapa persoalan mendasar yang harus dirumuskan bersama. Kalau kita mau
jujur, sastra kita belum memiliki indikator yang objektif. Sastra dianggap
sebagai sebuah nilai seni yang abstrak sehingga orang akan bebas dengan sudut
pandangnya masing-masing.
Persoalan
lain yang sering dihadapi oleh para pegiat sastra adalah bagaimana menyelamatkan
karya-karya sastra dalam bentuk pendokumentasian atau pengarsipan karya sastra.
Lantas, siapakah yang berwenang dalam pengarsipan ini? Sebagai sebuah simulasi kasus,
ketika 20 atau 30 tahun ke depan muncul generasi-generasi baru sastra, tanpa
pernah membaca sebuah riwayat sastra karena kelangkaan arsiparis karya sastra. Hal
ini dapat dipahami karena sebuah objektivitas karya sastra masih berseteru,
mana yang layak dan mana yang tidak layak.
Jika
kita melihat ke belakang, dalam catatan penyelamatan karya sastra yang
berorientasi pada dokumentasi karya-karya Chairil Anwar, seorang penulis dan
penerjemah berkebangsaan Amerika Serikat, Burton Raffel pada tahun 1970
menerbitkan buku yang berisi karya-karya asli Chairil Anwar dalam bahasa
Inggris yang berjudul The Complete Poetry
and Prose of Chairil Anwar.
Pada
sisi lain dalam penelisikan buku versi terjemahan, apakah tidak menimbulkan
multitafsir, mengingat karya-karya Chairil Anwar banyak menggunakan ejaan Van Ophuijsen (1901-1947) dan Soewandi (1947-1972) yang secara tekstur sangat berbeda dengan EYD.
Namun, pada titik ini perlu digarisbawahi bahwa penggunaan EYD secara resmi
baru berlaku pada tahun 1972.
Sementara
itu, dalam kajian modernisasi, penggunaan literasi dasar mengalami perubahan
penyerapan meski secara substansial tidak meninggalkan kaidah bahasa. Pemahaman
karya sastra, tentu tidak terlepas dari peran literasi. Sebuah wawasan yang
bukan menjadi sebuah simpulan dalam menerjemahkan puisi, melainkan bagaimana
cara kita memandang ruang kreatif puisi. Sebuah ruang yang terus menyeimbangkan
jalan untuk memaknai dinamika zaman meski kecenderungan ini lebih bersifat
tematik.
Seyogianya,
dalam pencapaian puisi sebagai karya-karya kreatif, seni harus mampu melahirkan
wawasan baru dan membuka cakrawala dalam pemahaman keilmuan. Jika tidak ada
keseimbangan antara sastra realitas dan sastra keilmuan, tidak menutup
kemungkinan akan bermunculan egosentris sastra. Penyair akan mencari jalannya masing-masing.
Puisi seakan sebuah cermin yang memuat lukisan dari dimensi berbeda yang terus
tertulis di kanvas tanpa pernah dapat diselesaikan.
Pada cermin berbeda,
puisi serupa bayangan. Pada ruangan gelap tidak akan terlihat, tetapi di ruang
terang tetap menjadi bayangan samar yang memaknai dirinya sendiri. Puisi
menjadi sebuah cakrawala yang hanya berorientasi pada nilai-nilai identitas.
Sebuah kritik sastra dianggap menjadi musuh untuk memasung ide-ide kreatif
pemikiran. Puisi menjadi simbolitas untuk memenangi pertempuran ide kreatif. Hal
ini menjadi sebuah subjektivitas pemikiran yang entah kapan berakhir, di tengah
pemaknaan baru dalam modernisasi sastra. Puisi tetap puisi, selalu menjadi
hebat dalam cakrawala apa pun.
Vito Prasetyo dan Effendi Kadarisman
1. Vito Prasetyo merupakan sastrawan dan peminat budaya . 2. Prof. Effendi Kadarisman, PhD merupakan Guru Besar Linguistik dan Dosen Pasca Sarjana UNISMA Malang.