Revitalisasi Bahasa Daerah dan Konstruksi Indentitas Kewarganegaraan Global melalui Pemanfaatan Linguistik Lanskap sebagai Alat Pedagogis

Latar Belakang

Bahasa daerah, yang biasanya merupakan bahasa pertama atau bahasa ibu masyarakat Indonesia, masih menjadi bahasa yang paling sering digunakan dalam berbagai kegiatan sehari-hari, baik di rumah maupun dalam pergaulan. Akan tetapi, sayangnya, seperti dilansir  Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 [1], penggunaan bahasa daerah makin rendah seiring dengan generasi berusia muda dalam masyarakat Indonesia. 

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa yang paling banyak menggunakan bahasa daerah di rumah ialah penduduk berusia 60 tahun ke atas, yaitu sebesar 83,27%. Persentase pengguna bahasa daerah di rumah menurun sebesar 68,04% di kalangan penduduk berusia 5—17 tahun. Sebaliknya, untuk penggunaan bahasa Indonesia di rumah, persentase tertinggi, sebesar 31,81%, adalah penduduk berusia 5—17 tahun, sementara persentase terendah adalah penduduk berusia 60 tahun ke atas, yaitu sebesar 16,42% . 

Selanjutnya, untuk penggunaan bahasa daerah dalam pergaulan, trennya masih sama. Penduduk berusia 60 tahun ke atas memiliki persentase tertinggi, yaitu  76,78%, sementara penduduk berusia 5—17 tahun memiliki persentase terendah, yaitu  50,21%. Sebaliknya, untuk penggunaan bahasa Indonesia, persentase tertinggi pertama dan kedua adalah penduduk berusia 7—18 tahun (50,25%) dan penduduk berusia 5—17 tahun (50,21%). Data tersebut menunjukkan minat anak muda makin menurun untuk menggunakan bahasa daerah, baik di rumah maupun dalam pergaulan. Mereka lebih memilih bahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Sebagai informasi tambahan, pengguna bahasa asing masih sangat minim karena persentasenya tidak lebih dari 1% di seluruh kelompok umur, baik di rumah maupun dalam pergaulan. Fenomena minat anak muda yang rendah terhadap penggunaan bahasa daerah di rumah dan dalam pergaulan sebaiknya segera diantisipasi sejak sekarang agar hal tersebut  dapat lebih cepat diatasi.

Situasi Bahasa Daerah Terkini

UNESCO (2003) mengategorikan status bahasa daerah menjadi enam, yaitu 1) aman, 2) stabil tetapi terancam punah, 3) mengalami kemunduran, 4) terancam punah, 5) kritis, dan 6) punah. Status bahasa daerah aman apabila bahasanya masih dipakai oleh semua generasi, termasuk generasi muda dalam etnik tersebut. Status bahasa daerah stabil tetapi terancam punah apabila semua generasi, baik tua maupun  muda, merupakan penutur bahasa tersebut tetapi jumlahnya sedikit. Status bahasa daerah mengalami kemunduran apabila hanya generasi tua dan sebagian generasi muda yang menjadi penutur bahasa tersebut. Status bahasa terancam punah apabila semua penutur berusia 20 tahun ke atas berjumlah sedikit dan generasi tua tidak berbicara kepada generasi muda dan tidak berbicara di antara mereka dengan menggunakan bahasa tersebut. Status bahasa daerah kritis apabila semua penutur berusia 40 tahun ke atas  berjumlah sangat sedikit. Status bahasa daerah punah apabila sudah sama sekali tidak ada penutur bahasa tersebut.

Situasi bahasa daerah tergolong mengkhawatirkan karena dari 718 bahasa daerah yang ada di Indonesia, lebih dari 10% bahasa daerah tidak memiliki status aman. Berdasarkan data terkini dari Badan Bahasa[2], sudah ada 11 bahasa daerah yang berstatus punah, yaitu bahasa Tandia dari Papua Barat, bahasa Mawes dari Papua, bahasa Ternateno dari Maluku Utara, serta 8 bahasa dari Maluku, yaitu bahasa Kajeli/Kayeli, bahasa Piru, bahasa Moksela, bahasa Palumata, bahasa Hukumina, bahasa Hoti, bahasa Serua, dan bahasa Nila. Selain itu, ada 5 bahasa yang berstatus kritis, yaitu bahasa Reta dari  Nusa Tenggara Timur, bahasa Saponi dari Papua, bahasa Ibo dari Maluku, bahasa Meher dari Maluku Tenggara Barat, dan bahasa Letti dari Maluku. Sementara itu,  untuk empat status lainnya, jumlahnya adalah sebagai berikut: 25 bahasa daerah berstatus terancam punah, 3 bahasa daerah berstatus mengalami kemunduran, 19 bahasa daerah berstatus stabil tetapi terancam punah, dan 25 bahasa daerah berstatus aman.

Upaya Revitalisasi Bahasa Daerah

Upaya revitalisasi bahasa daerah telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014. UU Nomor 24 Tahun 2009 ini merupakan penjabaran dari Pasal 36 UUD 1945 yang mengamanatkan  bahasa negara. Dalam undang-undang itu juga disebutkan bahwa  kebijakan penanganan bahasa dan sastra daerah diarahkan pada tiga tindakan, yakni pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra daerah. Sementara itu, karena melihat situasi bahasa daerah yang sudah mengkhawatirkan, pemerintah daerah sudah memfasilitasi dengan merealisasikan peraturan-peraturan pelindungan bahasa melalui peraturan daerah (perda) tentang pengutamaan bahasa negara dan pelestarian bahasa daerah di wilayah masing-masing atau melalui penguatan muatan lokal (mulok) di sekolah yang berupa mata pelajaran bahasa daerah (sesuai dengan daerahnya masing-masing). Mulok pelajaran bahasa daerah didukung oleh beberapa landasan hukum yang kuat, yaitu sebagai berikut:

a. UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;

b. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (2), dan

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Berkaitan dengan hal di atas, Anindyatri dan Mufidah (2020) meneliti hubungan antara jumlah sekolah penyelenggara mulok mata pelajaran bahasa daerah per provinsi dan jumlah bahasa daerah yang berstatus aman. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode evaluasi bedasarkan data histori, yaitu data persebaran bahasa daerah per provinsi, data vitalitas bahasa daerah tahun 2018—2019, dan data sekolah penyelenggara muatan lokal bahasa daerah. Data sekunder ini kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dan inferensi berupa regresi sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makin banyak sekolah yang menyelenggarakan muatan lokal pelajaran bahasa daerah, maka makin banyak pula bagian wilayah tersebut yang memiliki bahasa daerah dengan tingkat vitalitas berstatus aman. Penelitian ini menjadi salah satu bukti pendukung bahwa mulok pelajaran bahasa daerah merupakan faktor penting dalam upaya revitalisasi bahasa daerah.

Pemanfaatan Linguistik Lanskap sebagai Alat Pedagogis

Pengajaran mulok bahasa daerah dapat dibuat lebih menarik dan bermakna dengan memanfaatkan linguistik lanskap (LL) sebagai alat pedagogis. Istilah LL digunakan pertama kali pada studi Landry dan Bourhis (1997) yang merujuk pada penggunaan bahasa, baik bilingual maupun multilingual, yang ditemukan pada papan penanda (signage) yang berupa papan penunjuk jalan, iklan, reklame, nama jalan, nama tempat, usaha komersial, dan papan umum yang terdapat pada gedung-gedung pemerintah di ruang publik. LL tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk penelitian linguistik teoretis, tetapi dapat pula digunakan untuk penelitian linguistik terapan, khususnya dalam bidang pengajaran bahasa. Dalam konteks pengajaran bahasa Inggris (English Language Teaching (ELT)), LL telah umum dimanfaatkan sebagai alat pedagogis. Bahkan, telah terpublikasi sebuah buku panduan berjudul Linguistic Landscapes in English Language Teaching: A Pedagogical Guidebook yang diedit oleh Solmaz, O. dan Przymus, S. (2021). Buku ini merupakan produk dari proyek antarbenua (Linguistic Landscapes in English Language Teaching (LLinELT)) yang dilaksanakan pada tahun 2019 sampai dengan 2020 dalam banyak konteks pengajaran dan pemelajaran bahasa Inggris di ruang tatap muka dan daring. Proyek ini dikoordinasikan oleh Universitas Dicle di Turki dan Universitas Kristen Texas di Amerika Serikat serta didanai oleh Program Hibah Urusan Publik Kedutaan Besar AS-Turki.

Sementara itu, sudah ada banyak penelitian, di antaranya Algryani dan Syahrin (2021), Gorter, et.al. (2021), serta Dumanig dan David (2019), yang telah menggunakan LL sebagai alat pedagogis untuk mengajarkan bahasa kedua atau bahasa asing kepada para peserta didik. Penelitian Algryani dan Syahrin (2021) menunjukkan bahwa penggunaan LL dalam pengajaran bahasa Inggris di bidang penerjemahan dapat meningkatkan kemampuan literasi dan bahasa serta mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas peserta didik. Hasil penelitian Dumanig dan David (2019) menunjukkan bahwa LL sebagai media ajar dalam pemelajaran bahasa Inggris dapat membantu peserta didik untuk meningkatkan penguasaan kosakata, ejaan, dan struktur tata bahasa. Secara lebih spesifik, Gorter, et.al. (2021) menggunakan LL di area publik di negara Basque yang memiliki konteks pendidikan multilingual, yaitu penggunaan bahasa Basque dan Spanyol sebagai bahasa instruksi di sekolah. Bahasa Basque awalnya merupakan bahasa minoritas, tetapi sejak ditetapkan sebagai bahasa resmi bersama bahasa Spanyol sesuai dengan Ley 10/1982, de 24 de noviembre, básica de normalización del uso del Euskera (Hukum Dasar tentang Normalisasi Penggunaan Bahasa Basque; Hukum Dasar 1982) dan direvitalisasi, termasuk diberlakukan sebagai bahasa di sekolah, bahasa Basque mengalami peningkatan penutur bahasa secara signifikan. Studi tersebut meneliti penggunaan LL sebagai bahan ajar bahasa Basque dan bahasa Spanyol di ruang kelas dan menyimpulkan bahwa penggunaan LL dapat meningkatkan kesadaran berbahasa (language awareness) para peserta didik, yaitu kemampuan pembelajar untuk mengungkapkan pengetahuan terpendam (dalam hal ini bahasa) yang mungkin tidak mereka sadari sebelumnya. Penelitian ini memiliki relevansi yang lebih erat dengan kondisi pendidikan di Indonesia yang juga multilingual, yaitu peserta didik biasanya minimal menguasai dua bahasa (bilingual), yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia.

Konstruksi Identitas Kewarganegaraan Global

Pemelajaran mulok bahasa daerah dengan pemanfaatan media ajar sebaiknya dilakukan dengan menggunakan pendekatan global citizenship education (GCED) yang dapat mengonstruksi identitas peserta didik menjadi warga negara global. GCED adalah paradigma pendidikan yang bertujuan untuk membina para peserta didik agar mereka memiliki rasa menghargai keberagaman, rasa solidaritas, dan rasa memiliki terhadap komunitas yang lebih luas dan kemanusiaan sehingga dapat berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, berkelanjutan, dan damai (APCEIU (2021); UNESCO (2018); UNESCO (2019); UNESCO (2020); UNESCO (2022)). GCED disebutkan secara eksplisit pada target (capaian) 4.7 [3] , yaitu pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan dan kewarganegaraan global, dan pada tujuan pembangunan berkelanjutan [4]  (sustainable development goals (SDG)), khususnya tujuan nomor 4[5].

Dengan mengimplementasikan pendekatan GCED dalam mulok bahasa daerah, guru dapat mengonstruksi identitas para peserta didik sebagai warga negara global yang lintas nasional, agama, dan politik serta memunculkan rasa tanggung jawab kepada tidak hanya komunitas, kota, wilayah, dan negara, tetapi juga benua dan dunia (Pashby, K., 2018). GCED sejalan dengan Merdeka Belajar karena GCED memiliki tiga nilai dasar yang sama dengan nilai Pancasila, yaitu menghargai keberagaman, solidaritas, dan kemanusiaan. Dalam profil Pelajar Pancasila ada enam dimensi yang dikembangkan, yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, mandiri, bergotong royong, berkebinekaan global, bernalar kritis, dan kreatif. GCED dapat mendukung semua dimensi itu, khususnya berkebinekaan global dan bergotong royong.

Penutup

Linguistik lanskap sebagai alat pedagogis patut dipertimbangkan agar pemelajaran muatan lokal bahasa daerah dapat menjadi lebih efektif dan lebih menarik bagi para peserta didik. Selain itu, pembelajaran dengan LL sebaiknya menggunakan pendekatan GCED karena pendekatan ini sejalan dengan Merdeka Belajar, khususnya terkait dengan nilai-nilai Pancasila.  


[1] https://dataindonesia.id/ragam/detail/bahasa-daerah-makin-ditinggalkan-anak-muda. Diakses pada 1 Februari 2023.

[2] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220629134646-20-814988/data-kemdikbud-11-bahasa-daerah-di-indonesia-punah-maluku-terbanyak. Diakses pada 5 Februari 2023.

[3] Target 4.7 adalah “pada tahun 2030, memastikan bahwa semua peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan, termasuk antara lain melalui pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan dan gaya hidup berkelanjutan, hak asasi manusia, kesetaraan gender, promosi budaya perdamaian dan antikekerasankewarganegaraan global dan apresiasi keragaman budaya dan kontribusi budaya untuk pembangunan berkelanjutan”.

[4] SDG merupakan rencana aksi yang terdiri atas 17 tujuan global yang telah disepakati oleh 193 negara anggota PBB di selutruh dunia sebagai agenda pembangunan berkelanjutan hingga 2030 yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia, pelestarian planet, kemakmuran, serta perdamaian dan kemitraan.   

[5] SDG nomor 4 adalah “memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil serta mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup untuk semua.

DAFTAR PUSTAKA 

Algryani, A., & Syahrin, S. (2021). Utilizing Learners’ Linguistic Landscape as a Pedagogical Resource in the Translation Classroom: A case study in the Sultanate of Oman. https://doi.org/10.24093/awej/vol12no1.24

Anindyatri & Mufidah. (2020). Gambaran Kondisi Vitalitas Bahasa Daerah di Indonesia: Berdasarkan Data Tahun 2018—2019. Tangerang Selatan: Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

APCEIU. (2021). Global citizenship education: a policymaking awareness and advocacy handbook.

Dumanig, Francisco & David, Maya. (2019).Linguistic Landscape as a Pedagogical Tool in Teaching and Learning English in Oman. Modern Journal of Studies in English Language Teaching and Literature, 1(1), 1–13. https://doi.org/10.56498/11201988

Durk Gorter, Jasone Cenoz & Karin van der Worp. (2021). The Linguistic Landscape as A Resource for Language Learning and Raising Language Awareness”. Journal of Spanish Language Teaching, 8:2, 161-181, DOI: 10.1080/23247797.2021.2014029.

Landry, R., & Bourhis, R. Y. (1997). Linguistic Landscape and Ethnolinguistic Vitality: An Empirical Study. Journal of Language and Social Psychology, 16(1), 23–49. https://doi.org/10.1177/0261927X970161002

Pashby, K. (2018). Identity, Belonging and Diversity in Education for Global Citizenship: Multiplying, Intersecting, Transforming, and Engaging Lived Realities. The Palgrave Handbook of Global Citizenship and Education. London: Palgrave Macmillan. https://doi.org/10.1057/978-1-137-59733-5_18

Solmaz, O., & Przymus, S. (Eds.) (2021). Linguistic Landscapes in English Language Teaching:   A Pedagogical Guidebook. 

https://www.academia.edu/48947528/Linguistic_Landscapes_in_English_Language_Teaching_A_Pedagogical_Guidebook

UNESCO. (2003). Language Vitality and Endangerment. Document adopted by the International Expert Meeting on UNESCO Programme Safeguarding of Endangered Languages. Paris, 10–12 March 2003.

UNESCO. (2018). Preparing Teachers for Global Citizenship: A Template. Paris: UNESCO.

UNESCO. (2019). GCED: Taking it local in Asia-Pacific A regional study on GCED localization and challenges. Bangkok: UNESCO.

UNESCO. (2020). Understanding GCED in Asia-Pacific: A How-to Guide for ‘Taking It Local’. Seoul: APCEIU.

UNESCO. (2022). Promoting Global Citizenship Education in Arab Universities: A Regional Outlook. Beirut: UNESCO.

https://dataindonesia.id/ragam/detail/bahasa-daerah-makin-ditinggalkan-anak-muda.

Diakses pada 1 Februari 2023.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220629134646-20-814988/data-kemdikbud-11-bahasa-daerah-di-indonesia-punah-maluku-terbanyak. Diakses pada 5 Februari 2023.



Susi Fauziah

SEAMEO QITEP in Language

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa