“MENGIKLANKAN” Buku di Ruang Kelas

Saya masih ingat saat saya duduk di bangku sekolah dasar. Waktu itu jam pelajaran olahraga. Setelah mengikuti berbagai kegiatan di halaman belakang sekolah, guru olahraga mengumpulkan saya dan teman-teman lainnya. Kami berkumpul. Lalu, guru olahraga saya mendongengkan kancil dengan sangat memikat. Kalimat penutup dongengnya, “Besok cari buku Kancil!” Saya dan teman-teman saling pandang: Kami kebingungan mencari buku Kancil di mana? Di sekolah kami belum ada perpustakaan.

Namun, teman saya berbisik, “Di almari guru kelas kita ada buku berjudul Kancil. Aku pernah melihatnya.” Mata kami pun berbinar. Keesokan harinya kami berlomba untuk berangkat lebih pagi ke sekolah agar bisa mendapatkan buku itu lebih dahulu meskipun cara kami itu tidak dibenarkan. Kami pun dapat memperoleh buku itu. Kami membacanya bergiliran dengan penuh antusias.

Saya juga masih ingat saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Guru bahasa Indonesia saya suka sekali menceritakan novel-novel karya sastrawan Indonesia. Salah satu novel yang ceritanya begitu berkesan bagi saya ialah novel Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisjahbana. Novel itu masih saya ingat ceritanya sampai sekarang dan begitu membekas di ingatan saya.

Novel itu berisi perjalanan cinta Yasin, seorang pemuda dari keluarga miskin, yang mencintai Molek, anak bangsawan. Ceritanya berakhir tragis karena cinta mereka tidak dipertemukan dan tidak disetujui. Cinta mereka berakhir dengan kematian Molek yang hidup menderita dengan Sayid, saudagar tua keturunan Arab, suami yang tidak ia cintai. Lalu, Yasin pun memilih hidup menyepi dan menyendiri di lereng gunung hingga ia meninggal dunia

Setelah guru bahasa Indonesia menceritakan novel tersebut, saya jadi tertarik dan penasaran. Saya pun langsung mencari novel tersebut dan mendapatkannya di perpustakaan sekolah. Saya pun membaca novel itu sampai selesai dalam beberapa hari. Saya pun tertarik untuk membaca novel-novel karya Sutan Takdir Alisjahbana lainnya. Saya pun tancap gas langsung membaca novel Tak Putus Dirundung Malang, Layar Terkembang, dan Kalah dan Menang. Bahkan, akhirnya, saya membaca novel-novel karya sastrawan Indonesia lainnya.

Sungguh, setiap novel yang diceritakan guru di depan kelas selalu membuat saya penasaran dan saya pun mencarinya di perpustakaan dan bersegera membacanya. Jadi, saya membaca novel karya sastrawan Indonesia karena novel itu “diiklankan” oleh guru saat pelajaran di kelas. Pengalaman saya pada waktu itu sungguh mengesankan.

Tidak sampai di situ. Saat duduk di bangku sekolah menengah atas saya tak bisa melupakan pengalaman tentang buku dengan guru Sejarah dan Sosiologi saya. Guru Sejarah yang banyak bercerita tentang perjuangan kemerdekaan, sejarah manusia, dan sejarah peradaban membuat saya terobsesi untuk mencari buku-buku sejarah dan membacanya.

Sementara itu, guru Sosiologi saya banyak bercerita tentang tokoh-tokoh pemikir, mulai dari Socrates, Aristoletes, Plato, hingga Marx. Tokoh-tokoh itu membuat saya tertarik dengan buku-buku biografi dan membacanya. Itu juga menjadi masa terbaik saya di SMA. Saya dikenalkan dengan buku-buku yang “diiklankan” oleh guru saat jam pelajaran dan mendapat banyak pengalaman dari buku-buku itu.

Pengalaman saya mencapai puncaknya di bangku kuliah. Setiap kali dosen menyebutkan buku referensi dan sastra, lalu menerangkan isinya, saya langsung mencari dan membeli buku tersebut. Saya merasa malu jika buku yang dibahas dosen tidak saya baca. Tidaklah mengherankan bahwa berkat kebiasaan itu saya selalu aktif berdiskusi dengan dosen semasa duduk di perkuliahan. Semuanya berasal dari rasa ketertarikan dan penasaran atas buku yang dibahas oleh dosen.

Dari pengalaman itulah saya kemudian menemukan ungkapan yang sering saya katakan di mana-mana, “Buku terbaik adalah buku yang diceritakan isinya oleh guru kita di ruang kelas.” Karena itu buku terbaik, selayaknyalah kita sebagai peserta didik harus memburu dan mendapatkan buku itu, lalu membacanya dengan sungguh-sungguh.

Dari situ pula saya menyadari bahwa budaya membaca peserta didik sesungguhnya terbentuk dari kebiasaan guru yang “mengiklankan” isi buku di ruang kelas. Jim Trelease (2022) mengungkapkan pengalamannya bahwa kelas yang diajar oleh guru yang sering “mengiklankan” buku ternyata mampu menjadikan siswa-siswanya untuk suka membaca buku. Sebaliknya, jika guru tidak pernah “mengiklankan” buku di ruang kelas, siswa-siswanya tidak suka membaca buku.

Finlandia, sebagai negara yang minat membaca siswanya tertinggi di dunia, memberikan pelajaran kepada kita bahwa guru di sekolah perlu selalu aktif membacakan dan “mengiklankan” buku. Bahkan, sebelum diajari membaca, siswa di Finlandia terlebih dahulu dibacakan buku. Hasilnya, minat membaca siswa-siswa sekolah di Finlandia berada pada tingkat terbaik di dunia. Tidaklah mengherankan jika riset-riset yang dilakukan Warwick Elley (1992) untuk International Association for the Evaluation Achievement (IEA) menemukan bahwa keahlian dan prestasi membaca siswa sangat dipengaruhi oleh frekuensi guru dalam membacakan dan “mengiklankan” buku kepada siswa-siswanya. Dengan kebiasaan guru membacakan dan mengiklankan buku di ruang kelas itulah, siswa akan memiliki kegemaran membaca buku.

Berdasarkan fakta itu, pertanyaan yang perlu didiskusikan dalam tulisan ini adalah mengapa “mengiklankan” buku di ruang kelas dapat meningkatkan kegemaran anak untuk membaca buku?

Membuat Penasaran

Ya, pengalaman pribadi saya saat duduk di bangku sekolah menegaskan bahwa buku yang diceritakan dan “diiklankan” oleh guru menyebabkan saya sangat penasaran. Apalagi, jika guru “mengiklankan” atau menceritakannya dengan menarik, rasa penasaran siswa makin kuat. Rasa penasaran itu akan membangkitkan perasaan ingin tahu yang kuat untuk segera ke perpustakaan untuk mencari, menemukan, dan membaca bukunya secara langsung. Hal itu tentu hampir sama dengan iklan suatu produk. Makin menarik iklannya, maka makin tertarik orang untuk membeli produk.

Rasa penasaran itulah yang membangkitkan rasa ingin tahu (Muchlas Samani, 2012). Rasa itu menjadi ciri mendasar pada masa anak-anak dan remaja dalam konteks sekolah. Rasa penasaran itu membentuk sikap berkeras hati untuk berbuat sesuatu karena siswa sangat menghendaki dan sangat ingin mengetahui isi buku. Mau tidak mau, jika siswa sudah ingin mengetahui isi buku,  membaca menjadi jalan yang ditempuh dengan penuh penasaran dan antusias.

Rasa penasaran siswa atas “iklan” buku itu terbentuk karena ada cerita atau informasi dari guru yang direspons oleh siswa. Kita pun tahu bahwa mengiklankan buku dengan bercerita merupakan hal yang disukai siswa (anak) di ruang kelas. Di tengah kepenatan siswa dalam menerima materi belajar di kelas dan melalui jam pelajaran yang panjang (Jim Trelease, 2006), cerita dari guru merupakan atmosfer segar buat siswa. Apalagi, cerita dari buku itu bagus dan cara menceritakannya bagus pula, maka siswa pasti suka. Rasa suka kemudian akan membangkitkan rasa penasaran siswa untuk mencari buku dan membacanya secara langsung (Sarah Mackenzie, 2021).

Itulah hal menakjubkan yang terjadi saat guru “mengiklankan” buku di ruang kelas. Hal itu pasti akan melambungkan rasa penasaran dan ingin tahu siswa pada buku. Rasa penasaran itu akan dipuaskan dengan mencari, menemukan, dan membaca buku dengan penuh antusias. 

Membangun Kebiasaan

Bisa jadi pada mulanya anak-anak tidak suka dengan “iklan” buku yang disampaikan guru di ruang kelas. Tentu saja, dominasi rasa tidak suka itu disebabkan oleh keadaan psikologis siswa yang tidak sedang siap menerima “iklan” buku. Mungkin siswa sedang capai dengan tugas sekolah atau sedang berada dalam keadaan psikologis yang kurang baik atau, bisa jadi, cara guru dalam “mengiklankan” buku tidak menarik.

Namun, jika buku diiklankan berkali-kali, pasti akan ada suatu momentum saat kondisi psikologis siswa baik. Mungkin pula, karena guru selalu “mengiklankan” buku di kelas, cara dan gaya guru dalam mengiklankan buku pun akan makin menarik. Saat hal itu terjadi, momentum ketertarikan siswa terhadap  iklan buku dari gurunya pasti terjadi.

Itulah hukum kebiasaan. Segala sesuatu yang dilakukan dengan berulang kali pada gilirannya akan diikuti (Hurlock B. Hurlock, 2000). Pribadi siswa lahir dari bentukan kebiasaan yang dilakukan terus-menerus. Kebiasaan guru dalam “mengiklankan” buku di kelas dengan sendirinya akan membangun pribadi siswa untuk menyukai buku. Inilah jawaban penting dan mendasar dalam konteks psikologis atas pertanyaan mengapa guru yang selalu “mengiklankan” buku akan mampu meningkatkan kegemaran membaca siswanya.

Menguatkan Peran Keteladanan

Penasaran akan menciptakan keingintahuan dan sikap mencoba, sedangkan kebiasaan akan membentuk kepribadian. Sikap mencoba yang dilakukan secara berulang akan membentuk kebiasaan, sedangkan kebiasaan itu pada gilirannya membentuk pribadi. Di sinilah iklan buku di ruang kelas secara terus-menerus pada gilirannya membentuk sikap dan pribadi siswa yang suka membaca.

Namun, sikap dan pribadi gemar membaca selalu membutuhkan figur atau sosok. Di sinilah guru menjadi sosok gemar membaca bagi murid-muridnya. Itu berarti kegiatan “mengiklankan” buku harus dikuatkan dengan keteladanan guru dalam membaca. Keteladanan itulah yang akan menguatkan pribadi gemar membaca. Makin kuat keteladanan membaca yang diperankan guru, pribadi siswa yang gemar membaca pun makin kuat.  

Keteladanan membaca itu ditampilkan oleh guru dengan menjadi anutan bagi siswa dalam hal membaca. Itu berarti bahwa peran guru, setelah “mengiklankan” buku di ruang kelas, adalah “mengiklankan” buku dalam kehidupannya sehari-hari. Saat siswa makin mengetahui bahwa gurunya adalah sosok pembaca yang hebat, ia akan makin kagum terhadap gurunya itu. Kekaguman itu akan menguatkannya sebagai pribadi yang gemar membaca. Dengan demikian, ekosistem sekolah dalam konteks relasi guru dan siswa dengan pribadi yang gemar membaca terbentuk di sekolah.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana keadaan guru-guru kita saat ini? Apakah guru-guru kita sudah dapat memerankan dirinya sebagai pengiklan buku yang baik di kelas? Ini pertanyaan yang perlu dijawab dengan pengkajian yang mendalam.

SUMBER BACAAN:

Jim Trelease. 2006. Read-Aloud Handbook. Londong: Penguin Book.

Warwick B. Elley. 1992. How in the World do Student Read? Hamburg: International Association for the Evaluation of Educational Achievement.

Muchlas Samani. 2012. Pendidikan Karakter: Konsep dan Model. Bandung: Rosda Karya.

Sarah Mackenzie. 2021. Read-Aloud Family. USA: Harper Collins Christian Publishing.

Elizabeth B. Hurlock. 2000. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Heru Kurniawan

Peneliti Sastra Anak Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto Pendiri Rumah Kreatif Wadas Kelir

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa