Membaca Trigatra Bangun Bahasa
Baru-baru ini, seorang rekan sejawat bertanya—dengan sangat serius—di sela rapat perancangan peraturan mengenai bahasa daerah. Dari manakah gatra pengutamaan bahasa Indonesia diperoleh? Rupanya, bacaan Trigatra Bangun Bahasa masih dipersoalkan meskipun telah cukup lama beredar di tengah masyarakat luas.
Utamakan bahasa Indonesia; lestarikan bahasa daerah; kuasai bahasa asing. Rumusan Trigatra Bangun Bahasa dibuat tak lama setelah terbit Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Rumusan perencanaan (pembangunan) tiga bahasa yang terangkai ini perlu dibaca dalam satu tarikan napas bagi kehidupan bernegara oleh bangsa Indonesia.
Kewajiban berbahasa Indonesia dalam perintah UU tersebut tidak memperikutkan larangan penggunaan hak berbahasa daerah/asing. Misalnya, pada Pasal 35 mengenai penulisan dan publikasi karya ilmiah di Indonesia, ilmuwan Indonesia wajib berbahasa Indonesia dan masih dapat berbahasa daerah/asing. Hubungan antara bahasa yang disebut pertama (tentu yang utama) dan yang disebut terakhir itu bermakna keberadaan yang saling memerlukan dan melengkapi karena kedudukan masing-masing.
Kedudukan Bahasa Negara
Perlu disebutkan terlebih dahulu bahwa cita-cita NKRI bukanlah merupakan impian belaka. Memang, kesatuan warga bangsa Indonesia tampak muskil terwujud tanpa bahasa persatuan yang diikrarkan sebagai kebulatan tekad (istilah khas dari Sanusi Pane, 1926) dalam teks Sumpah Pemuda 1928. Bahasa persatuan ini kemudian didudukkan sangat tinggi menjadi bahasa negara. “Dengan menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara[,] kita akan mengekalkan persatuan seluruh rakyat Indonesia,” kata Soepomo selaku perumus pasal demi pasal dalam UUD 1945 (Yudi Latif, 2020: 179).
Bahasa persatuan Indonesia merupakan anugerah yang tak ternilai dari Tuhan YME (Allah SWT) atas ciptaan yang bermaujud umat manusia di muka bumi Indonesia. Dalam hal memandang manusia Indonesia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, keberadaannya tentu dilihat tidak berdiri sendiri dan terpisah serta terkucil dari yang lain-lain. Semua makhluk ciptaan Tuhan ini pada prinsipnya dapat diyakini bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiap-tiap manusia diciptakan dengan kemuliaan yang sama: secara khusus—seturut dengan bacaan kitab suci dalam agama Islam—tidak untuk membuat kerusakan bumi.
Tuhan berkehendak menghadirkan manusia yang sangat mulia. Kemuliaan manusia yang dimaksud adalah kehadirannya sebagai penguasa dan pengelola bumi, sebagaimana dicatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Edisi V pada halaman 827): manusia diciptakan Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi. Catatan KBBI itu tampak diambil dari bacaan Surah Al-Baqarah pada Ayat 30 dalam kitab suci Al-Qur’an. Selain itu, yang penting untuk diketahui dari bacaan tersebut ialah bahwa kehadiran manusia yang amat mulia ini sempat diragukan oleh para malaikat.
“Mengapa Engkau [Tuhan] hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?” Demikian malaikat bertanya untuk mengungkap keraguan terhadap kemampuan manusia guna menjalankan tugas kekhalifahan. Atas keraguan malaikat, Tuhan berfirman, “Sesungguhnya, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Kisah ini berisi cerita penciptaan seorang manusia pertama di muka bumi—Nabi Adam a.s.—dan ceritanya tentu berlaku bagi seluruh umat manusia yang meyakini diri masing-masing sebagai keturunan Adam.
Lebih lanjut, keberadaan bahasa merupakan simbol/lambang keberadaan manusia. Dalam kisah penciptaan Adam sebagai khalifah di muka bumi, disebutkan bahwa anugerah pertama yang diperoleh berupa kemampuan berbahasa untuk mengenali benda-benda alam dunia. Secara langsung, Tuhan mengajarkan bahasa untuk itu kepada Adam dan memperlihatkan kemampuannya kepada para malaikat, seraya berfirman, "Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini jika kamu yang benar!" Perintah Tuhan pun ditunaikan dan Adam terbukti lebih unggul daripada makhluk ciptaan sebelumnya.
Begitu melihat kebenaran apa yang telah diajarkan Tuhan, para malaikat bersujud hormat kepada Adam, kecuali makhluk syaitan—yang tidak sudi bersujud—karena kesombongannya. Begitulah kisah penciptaan manusia pertama dan betapa pentingnya bahasa itu untuk meninggikan derajat kemanusiaan di muka bumi. Penciptaan manusia diyakini berlanjut dan keturunan Adam beranak pinak: berkelamin laki-laki dan perempuan; bahkan, menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (periksa bacaan Al-Qur’an dalam Surah Al-Hujurat, tepatnya pada Ayat 13). Dalam hal penciptaan manusia ini, begitu bermaknanya bahasa yang dihadirkan supaya setiap anak keturunan Adam dapat saling mengenal dalam rangka tugas kekhalifahan masing-masing.
“Bangsa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bangsa Indonesia itu! Bahasa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia itu!” Demikian M. Tabrani menuliskan gagasannya dalam tajuk rencana “Bahasa Indonesia” pada tanggal 11 Februari 1926 di koran Hindia Baru. Seruan berbangsa yang satu itu tentu tidak muncul dari ruang kosong (vakum). Akan tetapi, seruan Tabrani tersebut dibuat di ruang kekhalifahan yang telah memungkinkan terjadinya penangkaran anak keturunan Adam, sekaligus pembibitan anak manusia yang berkeindonesiaan.
Ruang berkeindonesiaan yang dimaksud—dengan beralaskan asas Ketuhanan YME—diyakini telah berisi
makhluk ciptaan yang berkemanusiaan secara adil dan beradab. Di ruang ini diketahui ada jejak peradaban manusia yang mampu
telusur (traceable) melalui bahasa Indonesia yang juga mesti diyakini tidak
lahir/terbit dari kekosongan. Di sinilah bibit-bibit kebahasaan unggul membentuk
bahasa persatuan sehingga bahasa ini memiliki kedudukan utama secara resmi/sah sebagai
bahasa negara sebangsa (NKRI).
Bahasa Daerah dan Asing
Demi kedudukan utama bahasa Indonesia, bahasa daerah dilestarikan dan bahasa asing pun dikuasai. Seturut dengan amanat UU No. 24 Tahun 2009, Pemerintah boleh diminta untuk memfasilitasi penguasaan bahasa asing (Pasal 43) dan bahasa asing dikuasai guna menunjukkan keutamaan bahasa Indonesia di ruang publik (baca Pasal 26 s.d. Pasal 39). Di sinilah bahasa Indonesia harus mampu duduk lebih berkuasa atas bahasa asing. Bukan hal sebaliknya seperti ini: bahasa asing yang didudukkan lebih tinggi di ruang publik!
Sementara bahasa asing dikuasai,—sekali lagi, demi kedudukan bahasa Indonesia—bahasa daerah perlu dilestarikan untuk menopang/menyangga bahasa resmi kenegaraan dan simbol kebangsaan Indonesia. Gatra kedua—lestarikan bahasa daerah—dibuat dengan merujuk ketentuan UU No. 24 Tahun 2009 (Pasal 1) yang menyatakan bahwa bahasa daerah merupakan bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia. Ketentuan UU itu membatasi hanya daerah-daerah di dalam wilayah NKRI.
Di luar wilayah Indonesia—walaupun berdekatan/berimpitan batas kewilayahan negaranya—bahasa yang diturun-temurunkan oleh warga negara lain dimasukkan ke dalam gatra ketiga: kuasai bahasa asing! Penguasaan bahasa asing oleh warga negara Indonesia merupakan upaya strategis untuk mengembangkan wawasan kebinekaan bahasa pada tataran global (baca ketentuan Pasal 19 pada ayat (8) dalam Permendikbud RI No. 42 Tahun 2018 tentang Kebijakan Nasional Kebahasaan dan Kesastraan). Bahasa asing strategis itu juga perlu dikuasai dalam rangka penanggulangan secara kebahasaan terhadap ancaman, gangguan, dan hambatan atas terwujudnya jati diri bangsa Indonesia.
Bahasa jati diri bangsa Indonesia tentu terangkai; terikat atau terkait erat juga dengan bahasa daerah yang amat perlu dilestarikan karena bahasa daerah memang merupakan bibit-bibit kebahasaan yang membekali bahasa persatuan Indonesia. Bibit-bibit kebahasaan unggul tersebut adalah apa yang oleh para pakar disebut “bahasa-bahasa Indonesia” (Keraf, 1996 dalam Rizqi dan Widayati, 2021). Jauh sebelumnya, Renward Brandstetter (1916) telah menerbitkan karya ilmiah dengan tajuk An Introduction to Indonesian Linguistics. Perspektif keindonesiaan atas dasar ilmu kebahasaan itu memperlihatkan kesatuan muasal bahasa-bahasa daerah (di) Indonesia.
Dalam hal bahasa daerah yang setakat ini ditemukan berjumlah 718 bahasa di Indonesia, lebih dari separuh (>50%) memberikan petunjuk adanya pusat-pusat keunggulan manusia Indonesia di wilayah timur. Di wilayah inilah jumlah bahasa berbanding terbalik dengan jumlah manusia pemilik/penuturnya. Bahkan, sejumlah bahasa daerah dituturkan masing-masing hanya oleh sekitar seribu orang, misalnya bahasa (daerah) Hamap di Alor, NTT. Sekecil apa pun jumlah penuturnya, bahasa seperti itu telah menunjukkan keunggulan penutur sebagai bagian manusia yang berperadaban di muka bumi Indonesia.
Wilayah Provinsi NTT merupakan contoh permukaan bumi Indonesia yang berwajah menarik secara kebahasaan. Wajah kebahasaan NTT memang tidak terlepas dari kontroversi kebijakan daerah yang menerapkan kewajiban berbahasa asing. Pergub NTT No. 56 Tahun 2018 tentang Hari Berbahasa Inggris perlu dibaca sebagai wujud keinginan kuat untuk menguasai bahasa asing demi keunggulan sumber daya manusia (SDM) di wilayah ini, pada satu sisi.
Pada sisi lain, keunggulan manusia Indonesia di NTT perlu ditopang pengembangannya dengan melestarikan bahasa daerah. Dari perspektif kebahasaan ini, yang amat menarik ialah bahwa keunggulan penutur bahasa daerah tersebut berpusat pada peradaban Austronesia dan Melanesia (simak Seminar Internasional Linguistik dan Sastra Austronesia-Melanesia pada tanggal 22—23 Oktober 2019). Pusat-pusat peradaban manusia sebagaimana diperlihatkan di NTT dan wilayah timur lainnya memberikan petunjuk kekerabatan yang berkeindonesiaan secara kebahasaan dari timur ke barat.
Sebagai anugerah Tuhan YME, bahasa (persatuan) Indonesia diyakini mampu menjalin kekerabatan yang berkeindonesiaan dari ujung timur (kemelanesiaan) hingga ujung barat kewilayahan bahasa-bahasa (daerah) Austronesia. Jalinan kebahasaan ini secara empiris dipertunjukkan, antara lain, dengan adanya satu pola bunyi /a-a/ seperti pelafalan kata ada; mata; apa. Berdasarkan bukti sejarah kebahasaan, pola bunyi itu diketahui berasal dari sumber bahasa tua (bahasa purba). Sumbernya terbukti lebih tua di wilayah timur. Pola bunyi itulah yang dikenal sebagai lafal baku (resmi) berbahasa Indonesia.
Selain pola bunyi, pola kalimat juga memberikan petunjuk empiris mengenai perkembangan bahasa(-bahasa) Indonesia dari timur ke barat. Struktur kalimat aktif seperti Pria punya selera (sebuah tulisan pada iklan produk rokok) sangat produktif dalam penuturan bahasa (daerah) Indonesia di timur. Begitu dituturkan di barat, kalimat aktif itu cenderung berubah bentuk menjadi pasif (objektif): Selera (punya) pria. Wujud kalimat aktif itu merupakan bibit atau bentuk awal kalimat pasif: bukan sebaliknya!
Nah, bagaimana dengan soal bahasa Indonesia yang disebut-sebut berasal dari sumber bahasa purba (proto-Austronesia) di wilayah barat? Bahkan, sebuah gambaran telaah akademis (baca laporan
memunculkan persoalan serius: bahasa Indonesia sebagai varian bahasa Melayu dari (Selat) Malaka. Sangat serius persoalan itu karena terlihat jelas bahwa wilayah perairan Selat Malaka itu, misalnya saja dari aspek nama rupabumi (toponimi), tidak murni milik Indonesia.Kembalilah pada ketentuan UU No. 24 Tahun 2009. Semua bahasa yang tidak dituturkan secara turun-temurun di dalam wilayah NKRI—walaupun penuturnya adalah satu rumpun Austronesia—bukan merupakan bahasa (daerah) Indonesia. Perlu ditegaskan bahwa mereka yang bertetangga dengan Indonesia itu ialah penutur bahasa asing. Kekhasan sebuah bahasa asing—apabila dibandingkan dengan bahasa daerah—tidak akan terukur dari perspektif berkeindonesiaan dengan jauh atau dekatnya jarak wilayah penuturan bahasa asing yang dimaksud.
Menegakkan Trigatra
UU No. 24 Tahun 2009 sangat jelas memberikan petunjuk pengenalan dan pengakuan serta penghormatan atas nama tiga bahasa: Indonesia, daerah, dan asing. Memang, dalam ketentuan UU itu, tidak dikenal/diakui adanya nama bahasa jenis yang lain. Bahasa-bahasa serumpun (keserumpunan dengan induk Austronesia)—demi tegaknya amanat konstitusi—mesti didudukkan secara terhormat sebagai bahasa daerah yang dilestarikan atau bahasa asing yang dikuasai.
Perlu disebutkan di sini bahwa sebaiknya, ada tiga kategori penguasaan bahasa asing oleh warga negara Indonesia: pertama, bahasa asing strategis dari negara tetangga Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung berbatasan wilayah kenegaraannya; kedua, bahasa asing strategis dari negara yang bahasanya telah terlebih dahulu diterima sebagai bahasa resmi dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa; dan ketiga, bahasa asing strategis dari negara yang memiliki hubungan kemitraan prioritas lainnya dengan Indonesia.
Dalam hal wilayah NTT yang disebut di atas sebagai tolok ukur kemolekan wajah kebahasaan di Indonesia, misalnya, rumusan Pergub NTT No. 56 Tahun 2018 tentang Hari Berbahasa Inggris masih perlu dipoles lebih lanjut. Kelanjutan implementasi peraturan itu tentu saja tidak hanya berupa pentingnya penguasaan kemampuan berbahasa Inggris (sebagai salah satu bahasa antarbangsa), tetapi juga penguasaan bahasa asing dari negara Timor Leste. Penguasaan bahasa tetangga itu akan berpengaruh positif bagi warga masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah perbatasan antarnegara.
Jauh lebih bagus lagi apabila peraturan kepala daerah tersebut juga memasukkan bahasa asing strategis lainnya, seperti bahasa Jepang/Korea. Bahasa asing dalam konteks kemitraaan strategis akan sangat bermanfaat bagi warga masyarakat yang hendak bekerja dengan pihak negara mitra tersebut. Namun, betapa pun pentingnya penguasaan bahasa asing itu, tak kalah urgensinya ialah pelestarian bahasa daerah. Penggunaan bahasa daerah dan bahasa asing itu semuanya perlu dilakukan dalam satu kesatuan langkah penanganan yang serius dan selaras secara konstitusional dengan mandat mengutamakan bahasa Indonesia.
Baru-baru ini, langkah tegak dengan bersemangat Trigatra Bangun Bahasa diikhtiarkan oleh rekan-rekan sejawat melalui perancangan peraturan daerah (perda) di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Rancang bangun perda itu sementara ini disepakati berjudul gatra pelestarian bahasa daerah. Gatra penguasaan bahasa asing diusulkan masuk agar menjadi bagian substansi pengaturannya, antara lain, karena daerah Kaltim sedang dirancang menjadi kawasan Ibu Kota Nusantara yang berskala dunia global.
Demikian pula gatra pengutamaan bahasa Indonesia yang sempat ditolak menjadi pokok substansi perda tersebut. Alasan dasar penolakan itu adalah sistem otonomi daerah (baca Lampiran UU RI No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah) yang memang memberikan kewenangan pemda hanya untuk bahasa dan sastra daerah; tidak untuk urusan bahasa Indonesia. Bahkan, bahasa asing tidak diurus sama sekali di sana.
Pada era otonomi daerah—sekaligus era globalisasi sekarang—ikhtiar
penegakan trigatra itu agaknya perlu
dilakukan dengan lebih getol dan bersemangat, seiring dengan semangat W.R. Supratman
dalam lantunan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, khususnya pada lirik stanza
ketiga. Marilah kita berjanji: Indonesia abadi!
Maryanto
Widyabasa Ahli Madya Badan Bahasa, Kemendikbudristek