Mewujudkan Merdeka Belajar dengan Pembelajaran Menulis Cerpen melalui Pendekatan Proses

Pembelajaran bahasa Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari keterampilan membaca dan menulis. Dua keterampilan tersebut sangat erat kaitannya dengan penguasaan bahasa Indonesia. Selain menyimak dan berbicara, keterampilan membaca dan menulis adalah pilar dari keberliteratan seorang pendidik atau pengajar untuk mentransfer ilmu pengetahuan kebahasaan dan kesastraannya kepada peserta didik atau bahkan mahasiswa.

Dalam konteks ilmu bahasa dan bahasa dalam praktik, manusia memiliki empat jenis keterampilan berbahasa. Empat jenis keterampilan berbahasa tersebut adalah keterampilan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis (Ibda, 2020). Keempat keterampilan tersebut merupakan bagian-bagian penting dalam proses penerimaan dan pengeluaran yang dilakukan dalam proses berbahasa. Keempat keterampilan berbahasa tersebut merupakan keterampilan yang saling berhubungan erat antara satu dan lainnya secara berurutan. Ilham dan Wijati (2020) mengemukakan bahwa sejak manusia lahir dan tumbuh sebagai anak-anak, komponen pertama yang dilalui ialah menyimak, kemudian berbicara dari hasil menyimak. Proses menyimak dan berbicara diartikan sebagai keterampilan berbahasa dalam bentuk lisan, sedangkan membaca dan menulis diartikan sebagai keterampilan berbahasa dalam bentuk tulis.

Musaba & Siddik (2017) menjelaskan bahwa menulis didefinisikan sebagai proses mengungkapkan pikiran dan mengalirkan perasaan melalui suatu lambang (tulisan). Menulis juga dapat dikatakan sebagai sebuah hasil pemikiran atau ekspresi seseorang yang dituangkan dalam penggabungan lambang-lambang bahasa. Sebagai keterampilan bahasa yang paripurna, menulis merupakan suatu keharusan yang dimiliki oleh pengajar dan peserta didik. Skinner (dalam Budiyono, 2012) mengemukakan bahwa ada tiga aspek yang mendukung seseorang untuk terampil berbahasa, yaitu frekuensi, peniruan, dan penguatan. Pendapat tersebut diperjelas oleh Budiyono (2012), bahwa dalam pembelajaran bahasa, faktor frekuensi dapat diartikan juga dengan kuantitas pengulangan dalam melatih keterampilan berbahasa. Peserta didik yang makin tekun dan rajin dalam berlatih akan makin terampil berbahasa. Oleh karena itu, praktik berbahasa penting dalam setiap materi pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah atau di perguruan tinggi.

Harus kita akui bersama bahwa budaya membaca dan menulis pada siswa, bahkan masyarakat Indonesia, sangat rendah. Hal tersebut sudah dibuktikan dari beragam survei yang telah dilakukan. Padahal, kegiatan membaca dan menulis adalah hal yang penting dalam proses pembelajaran. Kegiatan membaca berkaitan dengan memberikan asupan nutrisi berupa informasi baru yang berguna bagi siswa dalam mencerna ilmu pengetahuan, sedangkan menulis berkaitan dengan kreativitas siswa dalam mengekspresikan gagasan, ide, pemikiran, dan juga perasaannya dalam bentuk karya tulis.

Pada pembelajaran bahasa Indonesia di jenjang sekolah menengah atas, khususnya pada materi sastra, kurikulum pembelajaran dari pusat sudah mencanangkan agar siswa dapat berekspresi dalam menuliskan karya sastra, baik dalam bentuk puisi (kelas 10), cerita pendek (kelas 11), maupun merancang novel (kelas 12). Sementara itu, di sekolah menengah pertama, materi dan pembelajaran sastra berupa menulis cerita fiksi (kelas 7), membuat cerita pendek (kelas 8), dan menulis puisi (kelas 9). Dari sini kita dapat melihat keseriusan pemangku kebijakan dalam meningkatkan pemahaman literasi, khususnya menulis, kepada siswa di seluruh Nusantara melalui kurikulum yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Namun, pada kenyataannya, di sekolah, pembelajaran menulis karya sastra ini masih kurang diperhatikan oleh pengajar. Pengalaman saya, selaku siswa dan kini menjadi pengajar, pembelajaran menulis karya sastra ini masih terasa sulit dilakukan dengan benar dan serius.  Oleh karena itu, muncul suatu pertanyaan, “Apakah kemampuan menulis karya sastra didapatkan dari pembelajaran di sekolah?” Seharusnya kita jawab bersama dengan jawaban, Ya!” Namun, pembelajaran sastra di sekolah, yang menjadi landasan anak untuk berkreasi, sering kali tidak mendalam dan hanya diajarkan sekilas saja.

Hal ini seharusnya menjadi renungan bersama, terutama bagi para pengajar, agar kita dapat melahirkan siswa Indonesia yang lebih literat. Kondisi pembelajaran yang seperti itu tidak hanya saya alami dan temukan pada lingkungan sekolah dan belajar. Problematika pada pembelajaran menulis karya sastra berakar dari beberapa faktor yang menyebabkan siswa tidak terampil menulis karya sastra, yaitu kurangnya keterampilan guru dalam mengajarkan dan mencontohkan aktivitas menulis karya sastra kepada siswa, kurangnya motivasi siswa dalam menulis karya sastra, dan belum terdapat banyaknya bahan ajar yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran menulis karya sastra.

Pada kenyataannya, dalam proses pembelajaran sastra di sekolah, pengalokasian waktu untuk praktik menulis dan latihan-latihan cenderung sedikit dan pengajaran yang membuat siswa mengerti dan menulis sastra juga kurang dilakukan secara masif dan maksimal. Hal yang mengejutkan adalah masih banyak guru yang tidak konsisten dalam membaca karya sastra (dalam arti guru tidak mengajari siswa untuk membaca dan memahami bacaan karya sastra). Selanjutnya, masih banyak guru yang kurang mempunyai kompetensi dalam menulis karya sastra. Hal tersebut merupakan sebuah ironi. Peran guru yang seharusnya menjadi patron atau anutan dalam belajar sastra menjadi tidak terlihat. Akibatnya, peserta didik tidak tertarik untuk menyenangi bidang sastra dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Kemudian, hal itu menyebabkan pembelajaran sastra seakan-akan menjadi anak tiri dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

Berdasarkan hal itu, pembelajaran menulis karya sastra harus dimulai dari pengajar yang juga belajar dan menulis karya sastra agar peserta didik nanti termotivasi dan terdorong untuk dapat menulis karya juga seperti yang telah dilakukan oleh gurunya karena pada dasarnya peserta didik memosisikan dirinya sebagai pengagum atau mengidolakan guru. Oleh karena itu, seorang guru mempunyai potensi untuk menjadi patron dan harus ditiru dalam melakukan hal-hal yang positif, salah satunya melalui keterampilan menulis. Dalam perkembangannya di Indonesia, setelah sekitar dua tahun dunia dihantam badai pandemi Covid-19, pembelajaran sastra menjadi tidak karuan. Melalui pembelajaran dalam jaringan (daring), peserta didik menjadi makin sulit dalam menyerap cara-cara dan tip serta trik dalam menulis karya sastra, salah satunya dalam pembelajaran menulis cerita pendek.

Kabar baiknya adalah setelah Februari 2022 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencetuskan Kurikulum Merdeka. Upaya yang dilakukan ini menjadi napas baru bagi pengajar dalam melakukan pembelajaran sastra di sekolah. Dalam tujuannya, Kurikulum Merdeka mengharuskan seorang pengajar untuk mendalami konten dan melakukan upaya dalam pewujudan pembelajaran yang dilakukannya. Melalui perkembangan yang ada, pembelajaran menulis cerita pendek dapat dilakukan dengan menerapkan pendekatan proses. Pendekatan proses didefinisikan sebagai suatu pendekatan pengajaran yang lebih mengedepankan dan memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat menghayati atau meresapi proses penyusunan atau penemuan sebuah konsep sebagai kemampuannya dalam pembelajaran yang dilaksanakan (Sagala, 2009).

Pada dasarnya, pendekatan proses adalah pendekatan yang lebih mengedepankan proses dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran menulis, siswa diarahkan agar lebih mengedepankan proses menulisnya, tidak semata-mata hanya berorientasi pada hasil, tetapi lebih menekankan pemahaman siswa pada saat proses belajar menulis. Dalam pembelajaran menulis dengan pendekatan proses ini guru tidak hanya berperan sebagai pemberi tugas dan melakukan penilaian tulisan siswa, tetapi juga berperan untuk membimbing siswa ketika siswa melaksanakan proses menulis tersebut. Pendekatan proses dalam pembelajaran menulis ini menggambarkan bahwa kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah bersifat formal. Prosesnya direncanakan dan disengaja agar siswa dapat memperoleh capaian dan hasil dari tujuan pembelajaran serta mempunyai kompetensi sesuai dengan kurikulum yang diterapkan. Pada akhirnya, seluruh kegiatan pembelajaran dengan pendekatan proses ini terarah pada upaya mencapai tujuan dari pembelajaran yang ditetapkan.

Sebagai upaya mewujudkan peserta didik yang dapat menulis cerita pendek, pendekatan proses ini mengedepankan proses menulis dalam pembelajarannya. Tahapan atau proses ini dilakukan untuk menanamkan prinsip menghargai proses yang dilakukan oleh peserta didik hingga selesai terhadap karya yang dibuatnya. Oleh karena itulah, pada masa selanjutnya peserta didik dapat lebih menghargai setiap karya yang dibuatnya sehingga timbul rasa percaya diri terhadap dirinya. Proses dan tahapan dalam pembelajaran penulisan cerita pendek ini adalah sebagai berikut.

1. Tahap Pramenulis

Tahap ini merupakan tahap awal bagi peserta didik yang akan melaksanakan pembelajaran menulis. Pada tahap ini peserta didik dipersilakan untuk membuat topik berdasarkan apa yang ada pada diri mereka sendiri. Peserta didik dipersilakan untuk mengeksplorasi segala imajinasi atau pengalaman hidup yang dapat dipantik dengan memperhatikan sekitar, membaca, melihat gambar, atau suasana lainnya yang nanti dapat dijadikan sebagai bahan bakar utama atau gagasan yang akan mereka tuliskan menjadi sebuah cerita pendek.

2. Tahap Penulisan Draf

Setelah peserta didik menemukan ide atau gagasan yang akan ditulis, tahap yang harus ditempuh adalah penulisan draf. Pada tahap ini, peserta didik mulai menuliskan gagasan atau idenya ke dalam kata-kata, kalimat, ataupun paragraf yang akan menjadi wacana. Pada tahap ini guru perlu menerangkan kepada peserta didik tentang cara menuangkan ide-ide ke dalam kerangka cerita pendek agar nanti tulisan peserta didik dapat terarahkan menjadi tulisan yang baik.

3. Tahap Revisi

Pada tahap revisi ini siswa akan memperbaiki tulisan yang telah dibuatnya. Aktivitas siswa terfokus pada penambahan, pengurangan, dan penyusunan kembali karangan yang dibuatnya sesuai dengan kaidah kebahasaan dan prinsip keterbacaan agar maksud tulisan tersampaikan dengan baik. Ketika merevisi tulisannya, siswa diharapkan untuk memperhatikan tiga hal penting berikut: (1) melakukan pembacaan ulang seluruh draf yang dibuatnya, (2) saling berbagi (sharing) hasil penulisan draf kasar karangan dengan teman ataupun orang lain sebagai pembaca dan penulis, dan (3) merevisi atau memperbaiki tulisan dengan memperhatikan redaksi yang sesuai dan masukan atau komentar dari teman, guru, atau orang yang membaca tulisannya.

Pada tahap revisi ini siswa diberi waktu untuk beristirahat serta menjauhkan diri dari draf kasar tulisan yang telah dirampungkan. Kemudian, setelah beristirahat, siswa dapat kembali membaca draf kasar yang telah dibuat dengan pikiran yang lebih segar. Pada saat proses membaca ulang inilah siswa dapat membuat perubahan yang berupa penambahan, pengurangan, atau bahkan penghilangan dan pemindahan bagian tertentu pada draf yang dibuatnya.

4. Tahap Penyuntingan

Tahap penyuntingan ini menunjukkan bahwa siswa sudah hampir menghasilkan bentuk sebuah tulisan final. Pada tahap penyuntingan ini siswa memperbaiki kesalahan ejaan, bentuk kata, ataupun aspek kebahasaan lainnya. Penyuntingan ini bertujuan agar karangan yang telah dibuat dapat dengan mudah dibaca oleh orang lain. Penyuntingan dilakukan dengan bantuan kamus atau bantuan orang lain.

Dalam penyuntingan, perbaikan dapat terbagi atas dua tahap, yaitu penyuntingan kejelasan atau keterbacaan dan penyuntingan kebahasaan. Penyuntingan kejelasan atau keterbacaan atas penyajian tulisan dilakukan agar maksud dan tujuan tulisan dapat dimengerti. Penyuntingan pada tahap ini dapat berupa perbaikan kerangka tulisan, pengembangan tulisan, serta penyusunan paragraf dan kalimat. Kemudian, penyuntingan kebahasaan dilakukan agar tulisan yang dibuat sesuai dengan kaidah kebahasaan dan sasaran pembaca yang telah ditentukan. Dalam penyuntingan kebahasaan, tulisan sudah terlihat bentuknya dan mudah dibaca, tetapi masih belum sesuai dengan kaidah kebahasaan. Oleh karena itu, penyuntingan pada tahap ini dilakukan agar nanti tulisan dapat dianalisis, dibaca, serta dapat dipertimbangkan secara menyeluruh menjadi sebuah tulisan yang utuh (Keraf, 2007).

5. Tahap Publikasi

Tahap publikasi dapat dikatakan sebagai tahapan akhir dalam menulis sebuah karya. Pada tahap ini siswa memublikasikan hasil karya mereka dalam bentuk tulisan yang telah disesuaikan. Beragam cara dapat dilakukan siswa untuk memublikasikan tulisannya, misalnya dengan memublikasikannya di majalah dinding (mading) atau mengirimkannya ke media-media, baik media massa maupun media daring (online), agar tulisannya dapat dibaca oleh lebih banyak orang.

Melalui tahap publikasi ini, pada peserta didik ditanamkan kepercayaan diri oleh guru dan teman sebayanya bahwa karya tulisnya yang dihasilkan melalui serangkaian proses itu memiliki nilai dan estetika yang dapat dibaca oleh banyak orang. Selain itu, tahap publikasi juga menjadi bukti bahwa telah lahir karya-karya baru dari penulis-penulis baru yang akan menjadi tonggak sastra Indonesia yang selalu berkembang.

Simpulan

Pembelajaran menulis cerita pendek dengan menggunakan pendekatan proses menjadikan peserta didik sebagai insan yang peduli akan proses dan setiap tahap perkembangan yang dilalui dalam pembuatan karyanya. Melalui pembelajaran ini, setidaknya peserta didik dapat mandiri dan berkreasi sesuai dengan prosesnya dan siap untuk berkompetisi saat karya yang dihasilkannya dapat dipublikasikan. Dari proses tersebut, peserta didik dan guru turut serta dalam mewujudkan penerapan Kurikulum Merdeka.

 

Referensi

Budiyono, Herman. 2012. Pembelajaran Keterampilan Menulis Berbasis Proses Menulis dan Teori Pemeroleha Bahasa. Jurnal Pena, Vol. 2, No. 3.

Ibda, Hamidulloh. 2020. Bahasa Indonesia Tingkat Lanjut untuk Mahasiswa (Dilengkapi Caturtunggal Keterampilan Berbahasa). Semarang: Pilar Nusantara.

Ilham, Muhammad & Wijati, Iva Ani. 2020. Keterampilan Berbicara: Pengantar Keterampilan Berbahasa. Pasuruan: Lembaga Academic & Research Institute.

Keraf, Gorys. 2007. Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa. Flores: Nusa Indah.

Musaba & Siddik. 2017. DasarDasar Keterampilan Menulis. Yogyakarta: Aswaja   Pressindo.

Sagala, Syaiful. 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: CV. Alfabeta.

Bayu Suta Wardianto

Bayu Suta Wardianto, lahir di Tegal 1998. Penulis adalah peneliti di bidang bahasa dan sastra di Lembaga Kajian Nusantara Raya UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Penulis dapat dihubungi melalui media sosial Instagramya, @suta_sartika.

Sedang Tren

Ingin mengetahui lebih lanjut?

Kunjungi media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa