Hikmah Puisi
Tugas saya yang paling sulit dalam
kelas puisi, sekalipun saya sudah berkecimpung di dunia puisi sejak di SMA
(1982—1985), adalah menjawab pertanyaan: “Apakah puisi itu?”
Hal itu sama dengan saat Maman S.
Mahayana dalam bukunya, Jalan Puisi
(2016: 193—195), menjawab pertanyaan yang sama: “Alhasil, tak ada satu pun
definisi yang dapat memuaskan semua pihak. Setiap kepala seolah-olah coba
merumuskan konsep puisinya sendiri-sendiri.” Namun, Maman S. Mahayana kemudian
mengarahkan kita pada kelompok kritik sastra baru (the new criticism) Amerika yang mendefinisikan puisi dengan cara
mengembalikannya pada puisi itu sendiri: “Puisi adalah puisi!”.
“Pembicaraan tentang puisi,
pertama-tama dan terutama, adalah memperlakukan puisi sebagai puisi, ... dengan
cara mengungkapkan ciri-ciri kualitatif,” demikian menurut Maman S. Mahayana yang
mengutip Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren (Understanding Poetry, 1967). “Teks puisi menjadi pilihan karena
dianggap relatif bebas dari latar belakang sejarah, biografi, dan tradisi
kesusastraan.” Berdasarkan alasan itu, Maman S. Mahayana meneruskan pandangan
Cleanth Brooks bahwa puisi (yang baik) mesti memperlihatkan karakteristik
berikut:
(1) Kesatuan dramatik (dramatic
unity), yaitu bersatupadunya semua unsur yang membangun puisi; (2) Sikap (attitudes), yaitu perasaan si penyair
dalam menghadapi objek puisinya. Dalam hal ini, bagaimana penyair menghayati
dan menyatu dengan objek. Jadi, subjek-objek lebur dalam kesatuan puisi. Sikap
penyair dapat ditangkap lewat pernyataan verbal, seperti ironi, metafora, paradoks,
simbolisme, atau majas lain; (3) Penghayatan emosional yang lalu diwujudkan
melalui bahasa konotatif; dan (4) Irama dan bunyi yang dibangun melalui
kemampuan pilihan kata (diksi).
Empat karakteristik Cleanth
Brooks tersebut bertumpu pada bahasa sajak sebagai keindahan dalam penggunaan
bahasa: bersatupadunya semua unsur yang membangun puisi; diwujudkan melalui pernyataan
verbal, seperti ironi, metafora, paradoks, simbolisme, atau majas lain;
diwujudkan melalui bahasa konotatif; dan diwujudkan melalui kemampuan pilihan kata
(diksi). Padahal, keindahan berbahasa dalam puisi itu bukanlah sekadar kebiasaan
(habit) seseorang dalam menekuni
perangkat bahasa hingga tercipta kerajinan kata-kata. Bahasa sajak yang
demikian itu barulah keindahan-fisik puisi, yang dapat menjadi sia-sia tanpa
diimbangi oleh keindahan-batin puisi. Hal itu seperti seseorang yang indah
secara fisik, tetapi tak berakhlak mulia.
Penilaian terhadap puisi oleh
pembaca tidaklah steril dari cara pandang masyarakatnya, tempat puisi dan penyair
serta pembacanya hidup. Jika berorientasi fisik dan duniawi, samalah pula hal
itu dengan menilai apa pun, termasuk menilai puisi. Mungkin masyarakat pembaca
Amerika, tempat Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren serta kelompok kritik
sastra baru (the new criticism) hidup,
berorientasi demikian: sebuah penilaian mestilah objektif dan terbukti secara
fisik. Bukti fisik puisi tentulah bahasa puisi. Oleh karena itu, bukanlah hal
mengherankan jika orientasi penilaiannya yang pertama dan utama berdasar pada
bahasa puisi melalui empat karakter tersebut.
Lain halnya masyarakat Timur,
khususnya Indonesia, yang dalam pandangan dunianya terhadap realitas selalu
melakukan keseimbangan antara yang wadak dan yang spiritual. Puncaknya selalu
dimaknai bahwa pada yang terhampar sebagai realitas alam semesta ini, yang di
dalamnya ada berbagai makhluk, termasuk manusia, terdapat eksistensi Yang
Menciptakannya, yaitu Tuhan. Inilah dimensi religiositas manusia Timur yang berlaku
juga saat cipta, rasa, dan karsa dihasilkan dalam karya seni sastra, yaitu
tidak hanya berorientasi keindahan-fisik dari puisi yang berupa bahasa puisi,
tetapi juga dipertautkan dengan keindahan-batin dari puisi yang berupa makna
“apa yang dikatakan” oleh puisi itu. Itulah sebabnya, dalam membaca dan menilai
puisi, Subagio Sastrowardoyo merekonstruksi “Sosok Pribadi dalam Sajak” (1980),
yang sebagaimana judul bukunya sekaligus meneguhkan keberlisanan sastra
Indonesia, bukan hanya keberaksaraan sastra sebagaimana yang diungkapkan oleh
A. Teuuw (1994). Artinya, keberlisanan senantiasa menautkan aktivitas bersastra,
karya sastra, dengan masyarakat tempat sastrawan hidup, dihidupi, dan
menghidupi nilai-nilai hidup, sikap hidup, dan karya hidup manusia. Dalam
pandangan ini, “petik laku” hidup (istilah Sutardji Calzoum Bachri) dalam kerja
budaya manusia menjadi penting sebagai serangkaian “kemarin dan esok adalah
hari ini” (istilah W.S. Rendra dalam salah satu sajaknya). Dalam dimensi kerohanian
Islam, hal itu disebut sebagai hikmah.
Justru dimensi kerohanian
ini menjadi penting dalam berpuisi dan puisi sebab menjadi perspektif seorang
sastrawan dalam mentransformasikan keindahan pengalaman batin dan pandangan
hidupnya melalui karyanya sehingga karyanya bernilai seni. Sastrawan mempunyai kebebasan kreatif dalam menggali bentuk seni yang sejalan
dengan hakikat keindahannya,
moralitasnya, dan pandangan hidupnya. Hal itu disebabkan oleh pencapaian
keindahan (estetika) tertinggi dalam pandangan kerohanian Islam, yaitu hikmah, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad saw.:
Sejumlah puisi mengandung
hikmah. Hikmah adalah unta orang beriman yang hilang. Apabila menemukannya kembali, ia memiliki
kebenaran terbaiknya (al-Hujwiri
melalui Hadi W.M.,
1985: 31).
***
Dalam tesis
berjudul “Konsep Pendidikan Hikmah dalam Al-Qur.’an” (UIKA Bogor 2016), Abd.
Hafidh menyebutkan bahwa setidaknya ada sebelas makna hikmah yang bersumber
dari Al-Qur.’an:
Pertama, kenabian dan kerasulan (an-nubuwah wa ar-risâlah);
kedua, tafsir (takwil) Al-Qur.’an (tafsir Al-Qur.’an wa
ta’wiluhu); ketiga, memahami rahasia dan detail-detail syariat
Islam (al-ilm wa fahm ad-daqa’iq wa al-fiqh fi ad-din); keempat,
mengetahui kebenaran dan mengamalkannya (ma’rifatu al-haq wa
al-amalu bihi); kelima, amal saleh (al-amal al-shalih);
keenam, menghalangi kezaliman (man’u azh-zhulm); ketujuh,
nasihat dan peringatan (al-wa’zhu wa at-tazkir); kedelapan,
ayat-ayat Al-Qur.’an, perintah-perintah dan larangan-larangannya (ayat
Al-Qur.’an wa awamiruhu wa nawahihi); kesembilan, kemampuan
akal memahami hukum-hukum syariat (hujjatu al-aql ala wifqi ahkam
al-syari’ah); kesepuluh, meletakkan sesuatu pada tempat
yang semestinya (wadh’u asy-syai’ fi maudhi’ihi); dan kesebelas,
mengerjakan apa yang semestinya dikerjakan di saat dan momen yang
tepat.
Kata hikmah yang bersumber dari Al-Qur.’an itu kemudian dibumikan
di Indonesia dan masuk dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI). Kata hikmah memiliki enam arti dalam kelas kata benda yang dapat menyatakan nama seseorang,
tempat, atau benda dan segala yang dibendakan: (1) kebijaksanaan dari Allah Swt.; (2) sakti; (3) kesaktian; (4) arti atau makna yang dalam; (5) makna yang terkandung di balik suatu peristiwa; dan (6) manfaat.
Semua arti kata hikmah tersebut, baik yang bersumber dari Al-Qur.’an
maupun KBBI, menunjukkan bahwa hikmah itu merupakan “unta” (kendaraan) orang
beriman yang hilang dan harus dicari hingga ditemukan kebenaran
yang bukan sembarang kebenaran, melainkan kebenaran terbaiknya. Namun,
bagaimanakah cara menemukan hikmah?
Al-Qur.’an
(2: 269) menjawabnya, “wa man yu'ta
al-hikmata faqad 'utiya khairan katsira ‘barang siapa diberikan hikmah
(oleh Tuhan), sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang melimpah’.”
Al-Razi (w. 1209), seorang teolog abad ke-12, menafsirkan hikmah sebagai al-takhalluq bi-akhlaqi Allah 'ala qadri
al-thaqah al-basyariyyah, yaitu berusaha untuk berakhlak sebagaimana akhlak
Tuhan, tetapi sesuai dengan kemampuan manusia. Hikmah adalah usaha manusia untuk
meniru tindakan Tuhan agar manusia mendekati sifat-sifat ketuhanan.
Pada konteks itu, kita harus membedakan antara ilmu
dan hikmah. Ilmu adalah suatu keberadaan yang sifatnya hanya ada dalam pikiran dan belum mengalami transformasi
menjadi tindakan. Hikmah merupakan ilmu yang sudah berubah menjadi laku; menjadi akhlak; menyatu dengan tubuh
kita. Orang Jawa membedakannya dengan istilah yang bagus, yaitu ilmu dan ngelmu.
Ilmu adalah pengetahuan yang sebatas informasi, sedangkan ngelmu merupakan pengetahuan yang telah menyatu menjadi perilaku. “Ngelmu
iku kalakone kanthi laku,” demikian dikatakan Pakubuwono IV (w.
1820) dalam Serat Wulangreh.
Dengan demikian, hikmah adalah ilmu yang bersifat
transformatif sebab mampu mengubah dari “kegelapan menuju cahaya”;
mengubah dari manusia
biasa menjadi insan kamil ‘manusia sempurna’. Dari sinilah makna kebahagiaan hidup memancar.
***
Seseorang yang “mencari
puisi” yang akan dituliskannya samalah dengan kita, manusia, yang telah, sedang,
dan terus akan mencari hikmah itu, maka manusia harus senantiasa membaca
semesta alam, ber-iqra bismi-Rabbikalladzii
khalaq ‘Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan’ .... (Q.S. al-Alaq: 1). Hal yang
mendasari hal itu ialah bahwa seluruh ciptaan di alam semesta ini merupakan
alamat akan eksistensi Tuhan (ayat-ayat kauniyah),
di samping ayat-ayat qauliyah yang berupa kalamullah Al-Qur.’an. Ayat qauliyah adalah ayat-ayat yang Allah
firmankan dalam kitab-kitab-Nya sebagai petunjuk: “Dan Kami turunkan kepadamu Alkitab
(Al-Qur.’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang
yang berserah diri” (an-Nahl,
16: 89). Ayat kauniyah adalah ayat-ayat
dalam bentuk segala ciptaan Allah yang
berupa alam semesta dan semua yang ada di dalamnya,
bahkan diri manusia, baik secara fisik maupun psikis. Ayat kauniyah juga tercantum
dalam Fushshilat: 53): “Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala penjuru
bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur.’an
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu?” Puncak penegasan Al-Qur.’an
tentang keberadaan Allah ialah “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (Rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui” (al-Baqarah: 115).
Dari perspektif inilah sudut pandang kerohanian terhadap semua dan
segala realitas dimulai oleh manusia, apa pun persepsi dan posisi dirinya,
termasuk sebagai penyair, bahwa realitas alam semesta dan manusia adalah lambang
yang harus dimaknai secara ilahiah.
***
Dalam sudut pandang kerohanian,
puisi merupakan buah dari laku hidup kepenyairan seseorang yang beriman dan keduanya
mengandung hikmah. Perwujudan dari hikmah ini ialah bagaimana sudut pandang
seseorang dalam memberi makna, bahkan memetik hikmah dari fenomena alam dan peristiwa
manusia. Oleh karena itu, alam dan manusia merupakan lambang (ayat) yang harus
dibaca oleh kita sebagai manusia.
Dalam upaya memaknai lambang-lambang
kehidupan ini, manusia juga membutuhkan sistem perlambangan guna menandai sekaligus
mengekspresikannya dalam wujud bahasa, sebagai media komunikasi sesama dalam
pergaulan hidup sehari-hari. Pada konteks ini, bahasa dipersepsikan dan
diposisikan secara fungsional guna melakukan komunikasi verbal kepada sesama
manusia.
Namun, manusia memaknai fenomena
alam dan peristiwa manusia bukan sekadar sebagai hal yang wadak belaka, melainkan setingkat
lebih tinggi: ketika manusia melakukan sublimasi, alam, manusia, dan bahasa
dipersepsikan bukan saja sebagai materi atau benda-benda dan alat komunikasi,
melainkan juga sebagai kias kehidupan,
yang mungkin berupa aneka cara permajasan,
yang bermuara sebagai miniatur dari dunia
yang dibangun oleh manusia penyair, yang disebut metafora.
Dengan demikian, karena bersublimasi
atas kias kehidupan, manusia mengalami katarsis,
mengembalikan diri pada dimensi kerohanian yang mengutuhkan pembacaan dan
pemaknaan terhadap realitas bahwa realitas ini terbangun secara harmonis, bertubuh
sekaligus berjiwa, dan kehidupannya justru ditentukan oleh kemauan dan
kemampuan jiwanya dalam melakukan manajemen terhadap tubuhnya. Pada saat inilah
manusia kembali menjadi manusia rohani, yang dalam pandangannya segala sesuatu
disikapi secara bijaksana berdasarkan ide atau gagasan rohaniah dan bersandarkan
pada jiwa yang tenang yang tercerahkan oleh dimensi ketuhanan. Manusia menjadi
bagian dari tindakan Tuhan, meniru tindakan Tuhan agar mendekati sifat-sifat ketuhanan
(hikmah).
***
Ada berbagai cara untuk menggapai
makna realitas alam dan realitas budaya manusia, di antaranya sebagaimana yang saya
lakukan dalam sajak dan sebagaimana hal yang ditemukan oleh kritikus sastra Wahyu
Budiantoro, yaitu tiga tingkat pemaknaan terhadap
realitas di dalam sajak. Ketiga hal tersebut dapat terjadi secara simultan
di dalam sebuah sajak.
Pertama, penyair melakukan
objektivikasi terhadap fenomena alam
dan peristiwa manusia, yang digambarkan pada tahap pembuka sebuah puisi. Pada
tahap ini dengan meminjam sudut pandang Kuntowijoyo, sesungguhnya penyair,
sebagai makhluk pemberi makna, memberi makna terhadap fenomena alam atau suatu
peristiwa, baik alam mapun manusia, lalu penyair melakukan sublimasi terhadap fenomena dan peristiwa itu.
Kedua, peristiwa
yang digambarkan secara sublimatif pada tahap ini diwujudkan pada bait kedua,
lalu oleh penyair di-subjektivikasi.
Pada tahap ini penyair, sebagai subjek atas fenomena alam atau peristiwa
manusia yang dimaknainya itu, menghubungkannya dengan makna-makna hidup yang selama
ini menjadi kepribadiannya, baik bersumber dari budaya maupun agama. Pada
tingkat subjektivikasi ini penyair terlibat secara sosial. Dia berpihak pada
subjek dirinya dalam memaknai realitas. Mungkin saja hasilnya justru mengukuhkan
pandangan masyarakat umum, berdiri di tengah-tegah, atau justru menolaknya.
Ketiga, penyair
meningkatkan pemaknaannya terhadap realitas (alam dan budaya). Di dalam
puisinya, penyair mentransendenkan, melangitkan, terbang secara rohani, dan kembali
kepada dirinya sendiri. Penyair melakukan personalisasi
atas makna yang telah dia peroleh dari tahapan objektivikasi dan subjektivikasi
tersebut. Pada tingkat rohani yang demikian, sajak yang merupakan bayangan dari
kepribadian seorang penyair memperoleh makna dan fungsinya, yakni memberikan
pencerahan, baik dari aspek keindahan zahir puisi yang berupa bahasa
puisi, maupun keindahan batin puisi yang sejak awal telah menjadi posisi dan
persepsi seorang penyair, yaitu sebagai manusia rohani.
***
Eksistensi realitas dunia bagi
manusia rohani justru ditentukan oleh pemaknaannya secara rohani. Ciri pertama
dan utama manusia rohani adalah kemampuannya dalam memaknai realitas, bukan
sekadar wadak, artefak, tak
bernyawa, dan terasing dari harmoni antara alam dan manusia, antara manusia dan
Tuhan. Dalam keadaan itu bahasa pun mengikut, bukan hanya sekadar sebagai alat
untuk menyampaikan arti (pengertian), melainkan setingkat lebih tinggi, yaitu memancarkan
makna yang mengandung kebijaksanaan ilahiah. Inilah yang oleh Rasulullah saw.
disabdakan bahwa sebagian puisi mengandung hikmah. Hikmah adalah unta orang
beriman yang hilang di tengah padang pasir. Barang siapa menemukan unta itu, maka dia menemukan
kebenaran terbaiknya.
Jadi, hikmah sebagai sudut pandang
bukanlah sesuatu yang baku, sebagaimana keimanan seseorang, sehingga dapat
bersifat pasang surut. Oleh karena itu, hikmah haruslah terus-menerus dicari
oleh manusia, termasuk manusia penyair, dalam berkehidupan. Dalam dimensi
profetik Gus Mus, berkehidupan dilakukan dengan cara “meng-Allah-kan Allah, memanusiakan
manusia, dan meng-alam-kan alam”. Bahasa sajak akan senantiasa menjadi cermin ekspresi
yang indah dan diindahkan bagi pengalaman manusia rohani dalam kesejatian hidup.
Hal itu sesuai dengan yang pernah diungkapkan oleh penyair profetik dari
Pakistan, Muhammad Iqbal: “Suara seruling yang indah tidaklah disebabkan oleh
mutu bambu dari seruling itu, tetapi disebabkan oleh keindahan yang bergetar dari
hati rohani si peniupnya.” ***
Abdul Wachid B.S.
Penulis adalah seorang penyair, doktor di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS), dan dosen di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.